Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Monday, August 12, 2013

Don’t Call Me ‘Oma’

Oma = grandmother = granny

Bagi beberapa keluarga, kakek nenek memiliki arti atau posisi penting.

To some families, grandparents hold such important position or have special place in the heart of the family members.

Jadi menurut pendapat saya, menjadi kakek atau nenek (seharusnya) adalah sesuatu yang membahagiakan dan membanggakan, bahkan juga merupakan kehormatan.

So in my opinion, becoming a grandfather or grandmother (suppose) is something that makes someone happy and proud, it is even an honorable position.

Tapi pengalaman saya menunjukkan bahwa tidak semua orang berpikiran demikian.

But my experience showed me that not everybody thought that way.

Beberapa orang tidak ingin dipanggil bapak atau ibu karena merasa dirinya belum menikah, masih muda atau karena belum menjadi seorang bapak / ibu. Di Indonesia panggilan bapak atau ibu lazim digunakan untuk laki-laki atau wanita yang sudah menikah, lebih senior dalam umur atau jabatan atau karena sudah menjadi seorang ayah / ibu.

Some people dislike it to be addressed Mr or Mrs (sir or ma'am) because they think they are single, young or not yet becoming a father or mother. In Indonesia when you address a man with Mr, it is to someone who is older, married or already a father. It goes the same for the Mrs.
  
Itu sebabnya beberapa teman saya bisa di bilang amat sangat alergi di panggil dengan sebutan bapak atau ibu. Mereka sama sekali tidak menganggap panggilan itu sebagai panggilan penuh hormat. Mereka justru protes kalau di panggil bapak atau ibu.

That is why some of my friends refuse to be addressed as ‘sir’ or ‘ma’am’. They don’t see it as something respectful. They are not just dislike it, they would get furious.

Sementara itu ada orang-orang lain yang mengharapkan (bahkan menuntut) untuk selalu di panggil bapak atau ibu karena mereka menganggapnya sebagai suatu kehormatan.

In other side, there are other people who expect (even demand) to be addressed sir or ma’am because they see it as being respected.

Hehe. Lucu kan?

Lol. Isn’t it so funny?

Nah, pengalaman saya itu terjadi lama berselang. Seorang kenalan yang sudah berumur dan karenanya saya kira sudah mempunyai cucu. Baru belakangan saya tahu kalau ternyata dia berstatus lajang, tidak menikah, tidak punya anak dan tentu saja belum bercucu.

So, it happened some time ago. Involving an acquaintance who is much senior and so I thought she had grandchild already. Later I learned that she is still single, unmarried, no children and of course no grandchildren.

Ketika bertemu dengannya, saya spontan menyalami dan memanggilnya ‘oma’, yang segera dikoreksinya; “panggil saja saya kakak”.

When I met her I spontaneously greeted her and addressed her as ‘oma’, to which she corrected me, “just call me sister”.

Sumpeh, saya terheran-heran saat itu. Hehe. Ya kan, saya belum tahu tentang statusnya. Tapi untung saja dia tidak memperpanjang perkara. Agaknya dia bukan orang tipe ‘sensi’. Hehe. Soalnya saya pernah bertemu dengan orang-orang yang kadar ‘sensi’-nya sungguh amat sangat keterlaluan di atas batas normal.

I swear, I was surprised at that time. Lol. Yeah well, I didn’t know about her marital status. Luckily she dropped the case. She is obviously not the ‘sensitive’ type of person. Lol. I have met people whose ‘sensitivity’ can be rated unbelievable above the normal point.

Saya jadi teringat pada orang tua saya yang di panggil dengan sebutan oma dan opa. Tetangga-tetangga kami memanggil mereka demikian. Orang tua dari murid-murid saya juga memanggil mereka demikian.

It reminds me to my own parents who are addressed as oma and opa. Our neighbors addressed them oma and opa. The parents of my students do too.

Lalu apa mereka sudah menjadi kakek nenek?

So is that mean they are already grandparents?

Ya, tidak. Jadi kakek nenek siapa? Anak mereka cuma saya seorang dan saya pun sampai sekarang belum punya anak. Hehe.

No, they haven’t. Grandparents to whom anyway? I am their only child and I haven’t had any child. Lol.

Mereka toh menerima saja di panggil oma dan opa. Justru dianggap lucu.

They have no problem being addressed as oma and opa. They even think it funny.

Saya lega juga karena sudah dari beberapa tahun lalu saya mempersiapkan mereka bila seandainya saya tidak akan pernah mau memiliki anak kandung maka anak mana pun yang memanggil saya ibu atau mama adalah anak yang saya anggap sebagai anak saya sendiri dan dengan demikian adalah cucu mereka.

It reliefs me because I have been prepared them for some years now to the fact if I shall never have my own biological child. So any child who calls me mother or mom will be seen as if the child is my own biological child and thus, the child is their grandchild.

Murid-murid saya adalah anak-anak saya. Josh, anak Andre, adalah anak saya. Jadi mereka adalah cucu-cucu orang tua saya. Cinta tidak mengenal batasan antara yang darah daging sendiri dengan yang tidak. 

My students are my children. Josh, Andre’s son, is my child. This makes them becoming my parents’s grandchildren. Love has no border between who is one’s flesh and blood with who is not.

Saya sendiri tidak mempermasalahkan apakah saya di panggil ibu atau hanya nama, baik itu oleh mereka yang sebaya dengan saya atau yang lebih muda. Karena bukankah hidup bukanlah mengenai bagaimana orang memanggil kita, asalkan mereka tidak memanggil saya ‘anjing, babi, bangsat’.. yah, apa peduli saya apakah saya di panggil ibu, kakak, cici, mba, non, nyonya atau hanya Keke.

I myself am not bothered whether or not people addressed me as Mrs or ma’am or simply call me with my name by my peers or the younger ones. Life is not about how people addressing us, as long as they don’t call me ‘bitch, asshole’.. heck, what do I care if I am addressed as ma’am, sis, miss or just Keke.

Bagaimana kalau suatu hari nanti, setelah saya bertambah umur namun belum juga menikah, tidak memiliki anak atau cucu dan orang memanggil saya ‘oma’?


How if one day, after I grow old but still remain unmarried, have no children nor grandchildren and people call me ‘oma’?

Oh, saya tidak akan keberatan.

Oh, no sweat.

No comments:

Post a Comment