Oma = grandmother =
granny
Bagi beberapa keluarga, kakek nenek memiliki arti atau
posisi penting.
To some
families, grandparents hold such important position or have special place in the
heart of the family members.
Jadi menurut pendapat saya, menjadi kakek atau nenek (seharusnya) adalah sesuatu yang membahagiakan dan membanggakan, bahkan juga
merupakan kehormatan.
So in my
opinion, becoming a grandfather or grandmother (suppose) is something that
makes someone happy and proud, it is even an honorable position.
Tapi pengalaman saya menunjukkan bahwa tidak semua orang
berpikiran demikian.
But my
experience showed me that not everybody thought that way.
Beberapa orang tidak ingin dipanggil bapak atau ibu karena
merasa dirinya belum menikah, masih muda atau karena belum menjadi seorang
bapak / ibu. Di Indonesia panggilan bapak atau ibu lazim digunakan untuk
laki-laki atau wanita yang sudah menikah, lebih senior dalam umur atau jabatan
atau karena sudah menjadi seorang ayah / ibu.
Some
people dislike it to be addressed Mr or Mrs (sir or ma'am) because they think
they are single, young or not yet becoming a father or mother. In Indonesia
when you address a man with Mr, it is to someone who is older, married or
already a father. It goes the same for the Mrs.
Itu sebabnya beberapa teman saya bisa di bilang amat sangat
alergi di panggil dengan sebutan bapak atau ibu. Mereka sama sekali tidak
menganggap panggilan itu sebagai panggilan penuh hormat. Mereka justru protes
kalau di panggil bapak atau ibu.
That is
why some of my friends refuse to be addressed as ‘sir’ or ‘ma’am’. They don’t
see it as something respectful. They are not just dislike it, they would get
furious.
Sementara itu ada orang-orang lain yang mengharapkan (bahkan
menuntut) untuk selalu di panggil bapak atau ibu karena mereka menganggapnya
sebagai suatu kehormatan.
In other
side, there are other people who expect (even demand) to be addressed sir or
ma’am because they see it as being respected.
Hehe. Lucu kan?
Lol.
Isn’t it so funny?
Nah, pengalaman saya itu terjadi lama berselang. Seorang
kenalan yang sudah berumur dan karenanya saya kira sudah mempunyai cucu. Baru
belakangan saya tahu kalau ternyata dia berstatus lajang, tidak menikah, tidak
punya anak dan tentu saja belum bercucu.
So, it
happened some time ago. Involving an acquaintance who is much senior and so I
thought she had grandchild already. Later I learned that she is still single,
unmarried, no children and of course no grandchildren.
Ketika bertemu dengannya, saya spontan menyalami dan
memanggilnya ‘oma’, yang segera dikoreksinya; “panggil saja saya kakak”.
When I
met her I spontaneously greeted her and addressed her as ‘oma’, to which she
corrected me, “just call me sister”.
Sumpeh, saya terheran-heran saat itu. Hehe. Ya kan, saya
belum tahu tentang statusnya. Tapi untung saja dia tidak memperpanjang perkara.
Agaknya dia bukan orang tipe ‘sensi’. Hehe. Soalnya saya pernah bertemu dengan
orang-orang yang kadar ‘sensi’-nya sungguh amat sangat keterlaluan di atas
batas normal.
I swear,
I was surprised at that time. Lol. Yeah well, I didn’t know about her marital
status. Luckily she dropped the case. She is obviously not the ‘sensitive’ type
of person. Lol. I have met people whose ‘sensitivity’ can be rated unbelievable
above the normal point.
Saya jadi teringat pada orang tua saya yang di panggil
dengan sebutan oma dan opa. Tetangga-tetangga kami memanggil mereka demikian.
Orang tua dari murid-murid saya juga memanggil mereka demikian.
It
reminds me to my own parents who are addressed as oma and opa. Our neighbors
addressed them oma and opa. The parents of my students do too.
Lalu apa mereka sudah menjadi kakek nenek?
So is
that mean they are already grandparents?
Ya, tidak. Jadi kakek nenek siapa? Anak mereka cuma saya
seorang dan saya pun sampai sekarang belum punya anak. Hehe.
No, they
haven’t. Grandparents to whom anyway? I am their only child and I haven’t had
any child. Lol.
Mereka toh menerima saja di panggil oma dan opa. Justru dianggap lucu.
They have
no problem being addressed as oma and opa. They even think it funny.
Saya lega juga karena sudah dari beberapa tahun lalu saya
mempersiapkan mereka bila seandainya saya tidak akan pernah mau memiliki anak
kandung maka anak mana pun yang memanggil saya ibu atau mama adalah anak yang
saya anggap sebagai anak saya sendiri dan dengan demikian adalah cucu mereka.
It
reliefs me because I have been prepared them for some years now to the fact if
I shall never have my own biological child. So any child who calls me mother or
mom will be seen as if the child is my own biological child and thus, the child
is their grandchild.
Murid-murid saya adalah anak-anak saya. Josh, anak Andre,
adalah anak saya. Jadi mereka adalah cucu-cucu orang tua saya. Cinta tidak
mengenal batasan antara yang darah daging sendiri dengan yang tidak.
My
students are my children. Josh, Andre’s son, is my child. This makes them
becoming my parents’s grandchildren. Love has no border between who is one’s
flesh and blood with who is not.
Saya sendiri tidak mempermasalahkan apakah saya di panggil
ibu atau hanya nama, baik itu oleh mereka yang sebaya dengan saya atau yang
lebih muda. Karena bukankah hidup bukanlah mengenai bagaimana orang memanggil
kita, asalkan mereka tidak memanggil saya ‘anjing, babi, bangsat’.. yah, apa
peduli saya apakah saya di panggil ibu, kakak, cici, mba, non, nyonya atau
hanya Keke.
I myself
am not bothered whether or not people addressed me as Mrs or ma’am or simply
call me with my name by my peers or the younger ones. Life is not about how
people addressing us, as long as they don’t call me ‘bitch, asshole’.. heck, what
do I care if I am addressed as ma’am, sis, miss or just Keke.
Bagaimana kalau suatu hari nanti, setelah saya bertambah
umur namun belum juga menikah, tidak memiliki anak atau cucu dan orang
memanggil saya ‘oma’?
How if
one day, after I grow old but still remain unmarried, have no children nor grandchildren
and people call me ‘oma’?
Oh, saya tidak akan keberatan.
No comments:
Post a Comment