Judul di atas itu adalah judul lagu Amy Grant.
The above title is actually
Amy Grant’s song.
Beberapa hari terakhir ini saya sedang berburu lagu-lagu
jadul tahun 1990an di youtube. Dan tidak sengaja saya menemukan lagu lama milik
Amy Grant ini.
I spent the last few days
hunting the 90s old song on youtube. And I found this Amy Grant’s song.
Tapi judul lagu itu bisa dihubungkan dengan beberapa hal yang saya temui dalam kehidupan saya. Jadi dapat ide buat tulisan ini.
The song title can be related to few stuff I met in my life. So there it is, I have got an idea what to write in this post.
Berapa banyak dari kita yang memikirkan hal-hal sederhana?
How many of us have simple
things on mind?
Berapa banyak dari kita yang menginginkan hal-hal sederhana?
How many of us wish for
simple things?
Kita bertumbuh dengan doktrin ‘Jangan pernah merasa puas’.
We grew up with ‘Never feel enough’ doctrine instilled
in us.
Masih ingat bagaimana dulu ketika kita mendapat nilai
ulangan 7 dan guru atau orang tua kita akan mengatakan ‘kok cuma dapat segini?’ atau ‘lain
kali kamu harus dapat nilai lebih baik dari ini’.
Remember how back in school
days when we got 7 for our exam and the teacher or our parents said ‘is this the best grade you could get?’
or ‘you should get better grade next
time’.
Tujuannya mungkin baik. Memberi dorongan semangat.
Good intention. Giving encouragement.
Tapi kadang hal ini membuat orang tidak bisa menghargai
hasil yang kecil, meremehkannya karena berpikir sesuatu yang besarlah yang
patut mendapat pujian, pengakuan dan penghargaan.
But sometimes it makes many things
taken for granted, underestimate what considered to be small achievement
because we think only something big, something outstanding that deserved praise,
acknowledgement and appreciation.
Padahal yang kecil itu belum tentu tidak ada artinya.
Inferiority is not
meaningless.
Karena siapa tahu bahwa untuk mendapatkan hasil yang ‘cuma
segitu’ ternyata membutuhkan perjuangan, kerja keras dan ketekunan.
Because who knows that to
earn what is called ‘is that all you can get’ is actually the outcome of a
struggle, hardwork and persistence.
Saya ingat jaman sekolah dulu, saya paling benci dengan
pelajaran berhitung karena otak saya bukan otak matematika.
I remember how, back in
school days, I hated math so much. I am just not into it.
Saya harus belajar mati-matian demi mendapatkan nilai 6
untuk ulangan matematika. Dapat nilai 7 berarti perjuangan luar biasa.
I had to study hard to get 6
for my math exam grade. 7 meant one hell of a struggle.
Di tahun terakhir masa kuliah saya, nilai ujian matematika
saya lebih tinggi dari teman kuliah saya. Ya, beruntunglah saya mendapat
sekumpulan teman sekelas yang berotak pintar tapi tanpa pamrih mau menolong
saya belajar pada pelajaran yang paling saya benci itu. Jadi ketika saya
mendapat nilai baik, mereka ikut gembira. Bahkan teman yang menjadi tutor saya
itu malah sangat gembira ketika mengetahui nilai saya lebih tinggi dari
nilainya karena dia merasa telah berhasil mengajar saya.
In my last year in college,
I got higher math grade than my classmate. Well, I was lucky to have a bunch of
smart and kind classmates who willing to help me study that one particular
subject I hated so much. They shared my joy when I got good grade. One
particular classmate who tutored me was even so thrilled knowing my grade was
higher than his as it made him felt he had become a good tutor.
Sekian belas tahun kemudian, oleh karena garis nasib
(keluarga dari pihak ibu saya banyak yang menjadi guru), jadilah saya seorang
guru. Mengajar adalah panggilan jiwa. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan
dari pada melihat seorang anak berhasil menjadi pribadi yang lebih baik dan
memiliki kemampuan akademis yang juga lebih baik.
Many years later, the hand
of fate brought me to a job that made me found my call as a teacher (many of relatives from my mother’s side were or are teachers). Nothing makes me happier
than to see a child becomes a better person and having improved academical ability.
Menjadi guru mengingatkan saya pada masa-masa ketika saya
masih seorang murid.
Being a teacher reminds me
to the times when I was a student.
Mengingatkan saya pada kebencian saya pada
pelajaran-pelajaran tertentu.
Reminds me of how much I hated
certain subjects.
Mengingatkan saya pada perjuangan saya untuk mendapatkan
nilai supaya saya dapat naik kelas atau lulus.
Reminds me how I struggled
to get appropriate grade to pass the exam or class.
Mengingatkan saya pada komentar ‘kok cuma dapat segini?’ atau ‘lain
kali kamu harus dapat nilai lebih baik dari ini’.
Reminds me to ‘is this the best grade you could get?’
or ‘you should get better grade next
time’.
Mengingatkan saya pada teman kuliah saya yang ikut jungkir
balik membantu saya mempelajari pelajaran yang paling tidak saya sukai, sampai
saya bisa mendapatkan nilai ujian lebih tinggi dari nilainya.
Reminds me to my former
classmate in college who helped me study the subject I hated most, resulted in
my grade was higher than his.
Jadi ketika saya mengajar, murid-murid saya tahu bahwa
mereka dan juga saya bersama-sama berusaha supaya mereka bisa mengerti
pelajaran yang sedang saya ajarkan kepada mereka. Bahwa semua itu adalah perjuangan kami.
So when I teach my students,
they know that they and I are working together to make them understand the
subject I am teaching them. It is our effort.
Ketika mereka datang membawa nilai-nilai ulangan, saya
mengajak mereka untuk dapat menerimanya dengan segala kebesaran hati,
kebanggaan dan penghargaan atas kerja keras, ketekunan dan kemampuan mereka.
When they bringing me their
grades, I encouraged them to accept it with big heart, pride and appreciation
for their hardwork, persistence and capabilities.
Saya tidak ingin mereka mengecilkan atau meremehkan nilai
yang mereka dapatkan.
I don’t want them to
underestimate their own grades.
Saya tidak akan pernah mengomentari ‘kenapa nilai kamu cuma segini?’
I will never say ‘is this the best grade you can get?’
Ketika mereka mendapat nilai ulangan atau ujian 7, 8 atau 9,
komentar saya selalu ‘nilai itu tidak jelek. Kamu sudah belajar dengan baik,
dalam keadaan batuk, pilek dan hujan deras pun kamu tetap datang ke rumah ibu
Keke buat belajar. Kamu sudah berusaha dengan baik, bu Keke senang melihat
semangat kamu buat belajar”
When they got 7, 8 or 9 for
their exam, my usual comment is ‘It is not bad. You have study hard, you came
to my house to study even when you had cold, cough and in pouring rain. You
have done your best, I am happy to see such spirit”
Untuk mendorong mereka berusaha lebih baik lagi,
bersama-sama kami memperhatikan soal-soal ulangan mereka. Melihat dimana mereka
membuat kesalahan. Apakah kesalahan yang mereka buat adalah karena
ketidakmengertian mereka atau ketidaktelitian mereka atau karena saya memang
belum mengajarkan kepada mereka tapi tiba-tiba saja muncul dalam ulangan.
To encourage them to do
better, we examined their exam paper. Studying their mistakes. Were those mistakes
done because they didn’t understand or the result of their carelessness or
something I haven’t taught them but came up in the exam.
Dengan cara begini saya mengajar mereka untuk menghargai
usaha dan kemampuan diri sendiri, tidak mengecilkan diri sendiri sehingga tidak
jadi merasa minder atau kehilangan harga diri, tapi tidak menghilangkan
kenyataan bahwa mereka tetap masih bisa memperbaiki diri, belajar lebih giat
dan mendapat hasil yang lebih baik.
This way I teach them to
appreciate their effort and ability, not to underestimate that they lost their
confident or pride, but without disregarding the fact that they can make
improvement, they should learn harder and they can get better grades.
Sangat menyenangkan ketika kita bisa menerima, bergembira
dan menghargai hal-hal kecil karena sekali sudah tertanam sikap seperti itu di
dalam diri kita maka hal kecil tidak akan membuat kita merasa kecil dan hal
besar tidak akan membuat kita merasa besar.
It is a pleasure when we can
accept, be glad and appreciate small things because once the kind of mindset is
instilled in us then small things don’t make us feel small and big things don’t
make us feel big.
Tapi dalam pengalaman hidup saya, saya telah bertemu dengan
banyak orang yang tidak bisa melakukan hal demikian.
But in my life, I have met
many people who can’t do that.
Seseorang pernah mengatakan ‘Kenapa rasanya rumput tetangga
selalu lebih hijau?’
Someone was once said ‘Why
is it the neighbor’s lawn looks greener than my own?’
Saya terheran-heran mendengarnya.
It amazed me.
Orang yang berucap demikian itu memiliki kehidupan yang
terjamin.
The person who said that is
living comfortably.
Dia tidak seperti saya yang harus bertahan menerima segala
macam perlakuan demi mendapat upah dibawah standar UMR; dia tidak harus bekerja
dengan dalam keadaan badan sedang mengalami menstruasi demikian
banyak dan hampir tidak bisa berhenti karena ketidaknormalan homon; dia tidak harus bekerja untuk menafkahi
orangtuanya; dia bahkan tidak harus bekerja karena memiliki suami yang lebih
dari mampu untuk menafkahi dirinya dan anak-anak mereka.
Unlike me, that person
doesn’t have to stay in a job that gives so many endurance for a lower minimum
wage; that person doesn’t have to work with a body that weakened by having
abnormality menstruation that went for a year; that person doesn’t have to work
to support her parents; that person doesn’t even have to work because she has a
well to do husband who can support her and their children’s lives.
Maaf-maaf saja, saya tidak akan meneteskan air mata untuk
orang-orang seperti itu karena saya menganggap mereka cengeng dan tidak tahu menghargai hal-hal kecil, hal-hal sederhana yang ada pada diri
atau pada hidup mereka.
So I am sorry to say that I
will never shed a tear for people like that person because they act like babies
and so ungrateful for the small simple things they have in them or
in their lives.
Ketidaksempurnaan ada dimana saja. Jadi wajar kalau setiap manusia menginginkan banyak hal yang lebih baik atau lebih banyak. Tapi bukan berarti yang tidak sempurna itu lalu tidak dihargai.
Imperfectness is everywhere. It makes every one of us wishing for better things or having more. But doesn't mean we can't appreciate the imperfectness.
No comments:
Post a Comment