Postingan ini masih berkaitan dengan catatan-catatan dalam postingan berjudul 'What
a Wonderful World', 'The Power.. is it powerful?' dan 'Double Agent'.
This
post is related to 'What a Wonderful World', 'The Power.. is it powerful?' and 'Double Agent' posts.
Postingan saya banyak yang saling berkaitan.
There
are co-relation between every post I made every month.
Ada satu jalinan cerita yang saling berkaitan atau merupakan
sambungan antar satu postingan dengan yang berikutnya.
There
is a line of story that is co-related between one post with the next posts.
Tapi saya perhatikan dari pencatatan statistik blogger,
pembaca blog saya umumnya membaca tanpa mengikuti urutan postingan dari awal
sampai yang terakhir.
Blogger
stats shows that my blog readers picked random posts to read.
Buat saya, itu seperti sebuah buku yang mempunyai (misalnya)
10 bab tapi hanya bab 2, 5 dan 8 saja yang dibaca.
For
me, it is like a book that has 10 chapters but only read its chapter 2, 5 and
8.
Itu seperti bertemu dengan seseorang hanya 2-3 kali
seminggu.
It’s
like meeting someone for only 2-3 times a week.
Bagaimana bisa mengetahui isi sebuah buku kalau tidak
membaca seluruh bab yang ada didalamnya?
How
the whole content of a book is possibly known without reading all of its
chapters?
Bagaimana bisa sepenuhnya mengenali seseorang bila demikian
sedikit waktu yang dilewatkan bersama dengannya?
How
is it possible to know a person well if there is so little time spent with him
or her?
Membaca sesuatu atau bertemu dengan seseorang secara
sepintas tidak akan memberikan gambaran yang utuh tentang apa yang tersimpan
didalamnya.
Reading
something or meeting someone slightly won’t give the whole picture about what’s
inside.
Dan itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang demikian
bersemangat mengajak (baca: menyuruh) saya ikut ibadah.
And
that is what those people did when they eagerly asked (I should say; ordered)
me to attend the service.
*Belum baca postingan saya
‘What a Wonderful World’?. Baca dulu supaya bisa ikutin jalan ceritanya dari
awal.
*Haven’t read my post ‘What
a Wonderful World’? Read it first because the story starts from that post.
Jadi begitulah, saya lupa persisnya kapan saya tidak mau
lagi mengikuti ibadah.
So
there it is, I forget when exactly I stopped attending the service.
Tapi ketika beberapa orang mulai memperhatikannya, reaksi
mereka semua sama; mencoba dengan berbagai cara untuk membuat saya mau
mengikuti ibadah.
But
when people started to notice this, they showed same reaction; they tried
everything to make me attend the service.
Segala macam cara dicoba, mulai dari ajakan, bujukan,
teguran, omelan sampai yang terakhir adalah membawanya dalam rapat dewan sehingga
akhirnya diputuskan bahwa ruangan saya harus dikunci selama ibadah berlangsung
dan tidak ada seorang pun yang boleh berada didalamnya. Jadi semua berasumsi
dengan demikian saya tidak akan punya pilihan selain harus keluar dari ruangan
itu dan mengikuti ibadah.
They
tried every way, from nagging, persuasion, reprimand, soft yell to the last
effort using the way of what the board has decided in their meeting that my
room should be locked during service hours and no one should stay there. Thus,
assuming it would leave me with no other option than to leave the room and attend
the service.
Benarkah itu yang saya lakukan?
Did I
do that?
Ya, tapi hal itu saya lakukan hanya karena orang yang paling
saya hormati ditempat ini yang meminta saya untuk melakukannya.
Yes,
I did but only because the man I have most respect for in this place asked me
to do that.
Lalu apakah sesudahnya saya mengikuti ibadah?
Did I
attend the service after that?
Haha…
Tentu saja tidak.
Absolutely
not.
Tapi reaksi orang-orang itu membuat saya
menggeleng-gelengkan kepala.
But
those people’s reaction made me shook my head.
Karena ini sama seperti membaca buku hanya separuh isinya
atau mengenali orang yang hanya ditemui selama 1-2 jam dalam kurun waktu 2-3
kali seminggu.
Because
this is just like reading few chapters of a book or knowing a person who came
for 1-2 hours for 2-3 times a week.
Mereka hanya menginginkan saya untuk mengikuti ibadah tapi
tidak pernah bertanya mengapa saya ogah mengikuti ibadah.
They
just wanted me to attend the service but never asked why I refuse to attend it.
Menghadirkan saya di dalam ruang ibadah menjadi seperti
sebuah target.
Making
me present in the room where the service is held has seemed like a goal.
Dan ketika saya tetap menolak, mereka tetap membuntuti saya
seperti sekelompok salesman yang tidak akan menyerah sebelum saya membeli
barang yang mereka tawarkan tanpa pernah bertanya-tanya apa yang ada di balik
penolakan saya; apakah saya sudah memiliki barang tersebut atau karena saya
tidak berminat untuk membeli atau karena saya tidak membutuhkannya.
Dan
when I persistently refused, they keep tailing me like a bunch of salesmen who
wouldn’t give up before I buy the merchandise they offer me to buy without
bothering to ask what really lies behind my refusal; is it because I already
have that merchandise or because I have no interest of buying it or because I
don’t need it.
Itulah yang membuat saya menggeleng-gelengkan kepala.
That
is what made me shook my head.
Sekarang pertanyaan saya adalah; kalau saya mengalah, kalau
mengikuti keinginan mereka, kalau memuaskan hasrat mereka.. apa itu berarti
misi sudah tercapai?
Now
my question is, if I gave in, if I did what they wanted, if I fulfiled their
desire,.. would it mean mission accomplished?
Yah, tidak susah bagi saya untuk masuk ke dalam ruangan itu.
Supaya terlihat hadir mengikuti ibadah..
Well,
it shed me no sweat to just be in that room. So be seen attending the service..
Tapi kalau hanya badan saya yang berada disana sementara
hati-pikiran-jiwa saya berada ditempat lain..
But
if my body is the only thing that is present while my heart-mind-soul are
somewhere else..
Apakah itu masuk dalam pemikiran mereka?
Would
they think about that?
Ataukah semua itu tidak masuk dalam pertimbangan asalkan
tubuh saya menghadiri ibadah.. ya, hanya tubuh saya yang sepertinya lebih
penting.. tidak penting kemana perginya hati-pikiran-jiwa saya selama mengikuti
ibadah itu.
Or it
is not something to consider as long as my body is attending the service.. yes,
it seems all that matters is just having me physically at present.. doesn’t
matter where my heart-mind-soul are during the service.
Apakah gunanya saya berada di dalam sana sementara hati saya
tetap kosong, pikiran saya penuh dengan berbagai hal lain, jiwa saya beku dan
dingin..
What
is the point for me to be in that room while my heart remains empty, my mind fills
with many other things, my soul frozen and cold..?
Mereka tidak pernah bertanya..
They
never asked..
Mungkin karena semua hal yang saya tulis diatas itu tidak
terpikirkan oleh mereka.
Maybe
the things I wrote above never crossed their minds.
Mungkin mereka tidak mau repot.
Maybe
they just don’t want to trouble themselves.
Karena kalau saya patuh, selesailah perkaranya. Tidak harus
buang waktu, enerji dan pikiran untuk bertanya-tanya atau memikirkan kenapa
saya menjadi demikian anti untuk beribadah serta tidak harus mencari solusinya.
Because
if I obey, it would solve the problem. No waste of time, energy nor mind to ask
or think why I have become so reluctant in attending Sunday service, plus no
need to find the solution.
Saya bisa saja memainkan peranan sebagai anak manis yang
patuh untuk menyenangkan mereka tapi saya telah mengambil keputusan tentang apa
yang menurut saya baik bagi diri saya.
I
could play a role as a sweet-obedient person to please them but I have made up
my mind about what I think is best for me.
Sebelum saya mengambil keputusan ini, ada masa 3-4 tahun
ketika saya mulai mempertanyakan tentang banyak hal yang ada dalam keyakinan
yang saya anut. Semakin lama dan semakin jauh perjalanan hidup saya, semua itu
terasa semakin bertentangan dan tidak membawa kedamaian bagi saya.
Before
I made that decision, there were 3-4 years when I started to question the
things in the religion I believed in. The longer and the further my life are,
those things brought more internal conflict that made me restless.
6 bulan lalu beberapa peristiwa terjadi dan semua itu
meyakinkan saya untuk melepas semua yang pernah saya percayai.
Things
happened 6 months ago and they convinced me to let go everything that I have
ever believed.
Saya tidak berpindah keyakinan, saya hanya memilih untuk
tidak meyakini apa pun selain akal logika saya.
I
didn’t convert to other belief, I just choose not to have any believe except my
logic.
Ada banyak alasan di balik pengambilan keputusan itu.
There
are many reason behind that decision.
Saya akan menuliskan beberapa diantaranya dalam
catatan-catatan berikutnya tapi yang bisa saya tuliskan disini adalah karena
saya tidak menemukan banyak hal yang saya cari dan butuhkan dari apa yang dulu
pernah saya percayai.
I
will write some of them in my next posts but what I can write here is I didn’t
find what I sought for and needed.
Sebagai gantinya saya mencari dan menemukan kebijaksanaan
melalui hal-hal yang saya temui dalam kehidupan sehari-hari serta dari
manusia-manusia yang saya temui.
As
its replacement I seek and find wisdom through things in life and the people I
meet on daily basis.
Dan sejauh ini hal itu cukup menentramkan hati dan meredakan
kegelisahan jiwa.
And
so far it is enough to bring peace to my heart and to soothe my restless soul.
Sekarang yang saya pikirkan adalah saya tidak mau menentang
siapa pun tapi saya juga tidak mau menjadi seorang pemain sandiwara di depan
orang-orang itu.
What
I think now is I don’t want to stand against anyone but I also don’t want to be
an actor, doing acting infront of those people.
Mereka adalah orang-orang yang saya kenal cukup baik selama
2 tahun terakhir ini.
They
are the people whom I have known quite well in the past 2 years.
Saya tahu beberapa diantaranya bahkan sungguh-sungguh
menyayangi saya.
I
know some of them really love me.
Mereka bukan orang jahat.
They
are not bad people.
Tapi kadang-kadang sikap dan reaksi mereka mengesankan bahwa
mereka merasa lebih nyaman dengan kepalsuan dari pada harus menghadapi
kejujuran.
But sometimes
their attitude and reaction gave me the impression that they find fakes more
comforting than plain honesty.
Saya telah melakukan banyak sandiwara tapi sekali ini saya
tidak akan mau bersandiwara tentang apa yang saya yakini karena adalah hak saya
sebagai seorang manusia untuk memilih mana yang mau saya percayai dan mana yang
tidak mau saya percayai.
No comments:
Post a Comment