Sekitar dua minggu lalu (21/9) saya pergi ke rumah sahabat
saya di Jakarta dan ini lanjutan cerita tentang ha-hal yang saya temui dalam
perjalanan, sebagian cerita dipostingan
sebelumnya (‘Jakarta, Here I Come Again’).
About two weeks ago (Sept
21st) I went to my bestfriend’s place in Jakarta and the story about
the things I met on that trip continues in this post, I have written some of it
in the previous post (‘Jakarta, Here I Come Again’).
Dari Bogor ke Jakarta saya menggunakan kereta api dan dari
stasiun Kota perjalanan harus dilanjutkan dengan bis transjakarta ke
Cengkareng.
I took the train
from Bogor to get to Jakarta dan from Kota train station the trip went on using
transjakarta bus to Cengkareng.
Berhubung ini bukan pertama kali saya naik bis transjakarta,
dengan langkah-langkah pasti saya menuju loketnya untuk membeli tiket.
Since it was not my
first time taking transjakarta bus, I marched confidently to its ticket
counter.
Terakhir kali saya naik bis ini sewaktu saya mengunjungi
sahabat saya pada bulan Juni dan hanya berselang dua bulan terjadi perubahan
pada sistem tiketnya.
The last time I took
this bus is when I visited my bestfriend in June and in just two months after
that there was the change in ticketing system.
Mulai 11 Agustus tiket yang berlaku
adalah e-tiket. Bentuknya bukan lagi lembaran kertas. Sekarang seperti kartu
kredit atau kartu ATM. Kartu perdana harganya Rp.40.000. Ada saldo Rp.20.000 dalam
e-tiket tsb. Nilai segitu bisa dipakai untuk 5-6 kali perjalanan dengan bis
transjakarta. Kalau habis bisa di isi ulang. Isi ulangnya lewat bank.
Starting
August 11th, transjakarta ticket changed to e-ticket. It is no
longer paper ticket. Its form is similar to credit card or ATM card.
It is Rp.40.000. The card has Rp.20.000 in balance of fares that can be used for 5-6 times
commuting with transjakarta bus. It is rechargeable.
Yah, tujuannya sih bagus. Supaya jadi lebih praktis.
Yeah, it is for good
purpose. To make it practical.
Sayangnya kurang gencar disosialisasikan pada masyarakat.
Jangankan saya yang orang Bogor, sore itu saya lihat masih banyak orang Jakarta
yang kebingungan ketika datang ke loket dan diberitahu tentang e-tiket
tersebut.
Too bad it seems there was less effort
on socializing this e-ticket to the public. Let alone me who came from Bogor, that afternoon I saw there were
many Jakartans who looked completely puzzled when they came to the counter and
were informed about that e-ticket.
Saya lebih suka kalau sistemnya dibuat seperti e-tiket
kereta api. Ada abodemen untuk pemakai regular dan ada yang berlaku hanya untuk
sekali jalan bagi mereka yang tidak rutin berkendara dengan kereta api.
I prefer to have the
system made like the train e-ticket. There is subscription ticket for the
regular train commuter and there is one way ticket for the unregular commuter.
Karena menurut saya, apa gunanya saya harus membeli kartu
seharga Rp.40.000 dengan isi Rp.20.000 kalau dalam setahun hanya 3 kali saya
berkendara dengan bis transjakarta.. jadi yang saya tanya berulang-ulang pada
petugasnya adalah apa ada masa berlaku untuk isi Rp.20.000 itu. Apakah saldo akan
hangus kalau lama tidak saya pakai.
In my opinion, why
should I buy a Rp.40.000 card with Rp.20.000 fares on it if I just take
transjakarta bus 3 times a year. So the question I repeatedly asked the officer
is ‘there is no validity date for this Rp.20.000 fares, right? The balance will not go unvalid if I don’t use it in a long period of time, right?’.
Jawaban yang saya dapatkan adalah ‘tidak’. Yap, saya akan
menguji kebenarannya kalau saya ke Jakarta bulan depan dan dalam selang waktu
setiap 3-4 bulan berikutnya.
He said ‘no’. Yep, I
am going to see if it is true when I go back to Jakarta next month and in the
next 3-4 months after that.
Hal lainnya tentang kartu seharga Rp.40.000 itu..
Another thing about
that Rp.40.000 card is…
Untung saja saya selalu membawa uang lebih kalau pergi
jauh-jauh. Jadi walau pun kaget ketika di ‘minta’ untuk membeli kartu seharga
Rp.40.000, saya tahu uang yang saya bawa mencukupi.
Good thing I always
bring more money when I go on long distance trip. So though I was surprised
when I was being ‘asked’ to buy that Rp.40.000 card, I knew I had the money.
Namun saya prihatin dan sedih juga melihat beberapa orang
tampak kebingungan dan bahkan ada yang kemudian mundur teratur.
But it concerned and
pitied me to see some people looked confused and few have even backed off.
Yah, di jaman sekarang ini, 40.000 bukanlah jumlah yang
sedikit. Dulu hanya dengan Rp.3.500/orang, bisa membeli tiket bis
transjakarta.. sekarang kita harus beli kartu dulu seharga Rp.40.000.
40.000 is not small
money in these days. In the past people could commute with transjakarta bus
with only Rp.3.500 fares.. now first you have to buy a Rp.40.000 card.
Tidak semua orang membawa uang cash sebesar itu dan tidak
semua orang memiliki uang sebanyak itu.
Not everybody brings
cash that much and not everybody has that much of money.
Apakah bis transjakarta akan menjadi alat transportasi yang
nantinya sulit terjangkau oleh rakyat golongan ekonomi menengah ke bawah?
Would transjakarta
bus become a public transportation that is unaffordable for marginal people?
Kalau memang akan dijadikan moda transportasi umum yang
setengah elit, kenapa saya lihat kondisi bis-bisnya masih banyak yang buluk?
Saya perhatikan kondisi dan bentuk bis yang melewati daerah pusat kota lebih
baik dan penampilannya lebih mentereng dari pada yang melayani rute-rute
pinggiran.
If it is meant to be
a half elite public transportation mode, howcome I saw most of the buses
condition are less impressive? I noticed that the condition of the buses that
serve central city route are better than those that serve suburbs route.
Lalu toiletnya di terminal Kota yang super mungil, yang
lantainya basah dan kotor, tanpa gantungan atau rak untuk meletakkan tas. Saya
sudah menceritakan dalam postingan sebelumnya (‘Jakarta, Here I Come Again’)
tentang bagaimana saya harus berakrobat saat pipis sambil memanggul ransel
besar dan berat karena tidak ada tempat untuk meletakkan ransel itu.
Then there is the
teeny tiny toilet at Kota terminal, with its wet and dirty floor, no hanger or
shelf to put the bag. I have written in my previous post (‘Jakarta, Here I Come
Again’) about how I had to pee while still carried my big and heavy backpack on
my back because there was no place I could put that backpack.
Saya tidak tahu apa yang mengelola toilet itu adalah
manajemen transjakarta atau tidak, kalau misalnya bukan.. wah, mesti ganti tuh
pengelolanya..
I don’t know if the
toilet is under transjakarta’s management or not, but if it is not.. dude, you
better find a better company to run it..
Tapi kalau pengelolanya adalah manajemen transjakarta..,
yow, bro.. dengan sistem tiket baru yang diterapkan oleh mereka dan membuat
kita harus bayar kartu perdana seharga Rp.40.000, mudah-mudahan ada banyak
perubahan baik mulai dari sekarang
But if it is run by
transjakarta management.., yo, bro.. now that you applied new ticketing system
which they charge you Rp.40.000 for the card, hopefully there will be many good
changes from now on.
No comments:
Post a Comment