Ini film ke dua setelah The Impossible yang sangat saya
rekomendasikan untuk di tonton saat sedang menghadapi masalah atau kesukaran dalam
hidup.
This is the
second movie after The Impossible that I highly recommend you to watch when you
are in the midst of problem or having hardship in life.
Soalnya begini, ketika sedang tertimpa masalah atau
kesukaran, biasanya kita berpikir atau merasa bahwa masalah atau kesukaran itu
teramat sangat besar dan berat.
The thing is
when problem occurs or hardship hits us, we would think it were so huge and
unbearable.
Reaksi yang sering muncul adalah marah. Entah itu marah
kepada diri sendiri atau marah kepada orang lain.
The common
reaction is get angry. Whether it is angry to yourself or to other
person/people.
Kadang membuat dalih atau mencari kambing hitam.
Sometimes
making excuses or looking for a scapegoat.
Ada yang membenarkan diri. Ada yang mengasihani diri.
Some make
self justification. Others feel self pity.
Itu sebabnya kita harus berusaha untuk keluar dari perangkap
itu.
It is why we
have to try to set ourselves out of the trap.
Ya, masalah boleh ada. Kesukaran memang tidak langsung
hilang seperti orang main sulap. Penyakit tidak langsung sembuh. Uang tidak
tiba-tiba jatuh ke atas pangkuan. Pekerjaan tidak serta merta didapatkan dalam
sekali mengirim lamaran kerja. Kesalahan yang sama tidak bisa diharapkan untuk
tidak terulang lagi. Tidak mungkin berharap berjodoh dengan orang pertama yang
dipacari.
Yes, so
problem is very much exist. Troubles don’t disappear magically. Illness is not
cured. Money does not fall on to our lap. One job application does not earn us
that job. Same mistake can not be expected from not happening again. Do not
hope the first person who became our boy/girlfriend would end up in marriage.
Jadi yang pertama kali dilakukan adalah realistis. Boleh
sedih, boleh kesal, boleh putus asa, boleh bingung.
So the first
thing to do is to be realistic. Yes, we can feel sad, upset, despair, confuse.
Film The Pursuit Of Happyness (Mengejar Kebahagiaan) adalah
film yang di angkat dari kisah nyata tentang satu masa dalam kehidupan
seseorang yang mengalami masalah demi masalah, baru mengalami sedikit kelegaan
kemudian harus menghadapi kesulitan berikutnya.
The Pursuit
Of Happyness is a true story movie about a man who for some period of time had
to go through one problem after another, one small good thing followed by
another hardship.
Dari seorang yang memiliki tempat tinggal sampai harus
pindah ke motel dan karena tidak punya uang untuk membayar maka dia harus
bermalam di toilet stasiun kereta api dan akhirnya di rumah singgah untuk
gelandangan. Untuk bisa mendapat tempat di rumah singgah itu dia harus
mengantri karena begitu banyaknya gelandangan yang juga membutuhkan tempat
untuk bermalam.
Father & son |
From someone
who had a place to stay then forced to move to a motel and because he had no
money to pay the rent he had to spend a night at the train station’s toilet.
Later he stayed in a house for homeless people. To be able to get a place at
that house he had to stand in a long line along with other homeless people.
Spending a night at train station toilet |
Istrinya meninggalkannya karena mendapat pekerjaan di kota
lain. Putra mereka satu-satunya ditinggalkan. Jadi putranya itu ikut
terseret-seret dalam berbagai kesusahannya.
His wife left
him because she got a job in other town. Their only son was left under his
custody. So the boy was dragged from one tough time to another one.
Pekerjaannya sendiri adalah menjual alat medis dan benda itu
tergolong mahal serta tidak semua dokter atau rumah sakit memandangnya sebagai
benda yang sangat dibutuhkan sehingga bukan perkara mudah untuk bisa
menjualnya. Membutuhkan waktu berhari-hari atau malah berminggu-minggu untuk
bisa menjual satu.
His business
was selling this medical equipment and it was quite expensive, plus not all
doctor or hospital think it as a necessary equipment so it was not an easy
thing to sell it. It took days or even weeks to sell just one of that thing.
Demi mendapatkan uang untuk makan putranya, dia sampai harus
mendonorkan darahnya. Di Amerika rupanya menerima bayaran untuk mendonorkan
darah. Di Indonesia hanya menerima susu, telur atau mie instan.
To get money
to buy food for his son, he had to sell his blood. I just knew that people in
America get paid when they donate their blood. In Indonesia red-cross just give
milk, egg or instant noodle as a reward.
Pokoknya menonton film ini bisa membuat kita tertawa, gemas
dan juga meneteskan air mata.
This movie
can make us laugh, shake our heads in disbelief and also cry.
Soalnya itu yang terjadi pada saya selama menonton film itu.
Hehe.
I laughed, I
shook my head in disbelief and I cried when I watched it. Lol.
Yang paling penting adalah saya merasa semua masalah,
penderitaan dan penyakit saya jadi seperti kecil sekali bila dibandingkan
dengan apa yang dihadapi oleh si tokoh yang kisah hidupnya di angkat dalam film
itu.
The most
important thing is I felt all my problem, suffering and illness are small if
they are compared with what the man had to deal with.
Seburuk-buruknya keadaan saya, saya masih punya pekerjaan
tetap, gaji tetap setiap bulan, segala pengeluaran ekstra karena sakit bisa
dilunasi tanpa harus berhutang, masih ada rumah sendiri dan kami tetap utuh
sebagai satu keluarga.
No matter how
worst my situation was, I have a job, I get paid every month, every extra
expenses could be paid without leaving us in debt, we have our own house and we
remain as a family.
Inilah yang saya maksudkan dengan kita harus keluar dari
perangkap.
This is what
I meant when I wrote we have to get ourselves out of the trap.
Perangkap dalam bentuk kemarahan, kesedihan, rasa
mengasihani diri sendiri, putus asa, kekesalan, mencari kambing hitam, membuat
dalih, membenarkan diri sendiri, iri, benci, bersikap kekanak-kanakan.
The trap in
the form of anger, sadness, self pity, despair, upsetness, looking for
scapegoat, making excuses, envy, hatred, act childishly.
Saya tidak suka melihat orang yang membesar-besarkan perkara
setiap kali ada masalah. Yang bereaksi seakan langit runtuh di atas kepalanya
ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan keinginan atau harapannya.
I dislike
anyone who exaggerates thing when problem occurs. Who reacts as if sky fell on
his/her head when things don’t go according to his/her wishes.
Atau orang yang lebih suka mengasihani diri sendiri.
Memasang muka muram atau berkeliling menceritakan tentang penderitaannya.
Or to anyone
who likes to dwell in self pity. Putting sad face or walk around telling
everybody about his/her misfortune and suffering.
Berhentilah menjadi anak kecil.
Stop being a
child.
Tidak mudah untuk berubah dari kanak-kanak menjadi seorang
dewasa.
It is not
easy to transform from being a child into an adult.
Saya menjalani kehidupan yang tidak mudah dari tahun 2001
sampai ke tahun 2013 ini. Kehidupan saya di tahun-tahun sebelumnya memang tidak
bertabur bunga tapi rasanya yang saya alami dari selama 12 tahun terakhir ini
lebih berat dari yang sebelumnya.
I had quite
hard years from 2001-2013. My life was not an easy one before that but it seems
in the past 12 years I have lived a more harder life.
Hasilnya sih banyak merubah sifat, kebiasaan dan kepribadian
saya.
They have
changed my characters, habits and personality.
Penyakit, kecelakaan, kehilangan pekerjaan dan perjuangan
untuk mendapat pekerjaan, kesulitan keuangan, jatuh cinta-patah hati berjuta
kali telah membuat saya berubah dari seorang kanak-kanak menjadi lebih dewasa.
Illness,
accidents, losing a job and struggle to get a job, financial problem, falling
in love-heart broken like a million of times have turned me from a child into
an adult.
Umur tidak menjamin kita menjadi orang dewasa. Hanya dewasa
dalam definisi hukum. Patut disayangkan kalau sikap, kelakuan dan cara berpikir
kita ternyata tidak ada bedanya dengan anak berusia 5 tahun.
No comments:
Post a Comment