Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, July 31, 2013

Get The Hell Out of My Room!

Di pagi hari belum lama berselang dari saat saya memasukkan postingan ini..

In the morning not so long ago from the day I upload this post..

Senior saya masuk ke ruangan saya membawa 5 orang.

My senior got inside my room with 5 other people.

“Keke, kita mau doa pagi diruangan kamu ya, soalnya di luar hujan” senior saya nyengir menatap saya yang bengong menatap mereka.

“Keke, we are having our morning prayer here in your room, it is raining outside” my senior grinned seeing me staring at them with what must be a big surprise written all over my face.

Ya, saya tahu di luar hujan. Tapi omong-omong itu cuma gerimis kok. Kenapa tiba-tiba mereka semua jadi takut air?

Yeah, so I knew it was raining outside. But by the way, it was just drizzling. Howcome everyone freaked out with it?

Bruk.. bruk.. senior saya di bantu seorang dari mereka membawa kursi lipat ke dalam ruangan saya.

Thump.. thump.. my senior, helped by one of those people, brought folding chairs into my room.

Hmm…

“Karena kita berdoa diruangan kamu, kamu ikutan juga ya” celoteh senior saya lagi, sambil menatap saya dengan cengiran lebar “Keke yang berdoa duluan”

“Since we are going to pray in your room, you join us, ok” said my senior as he looked at me with his big grin “Keke will say the first pray”

Jiah! Saya sontak menggaruk-garuk kening. Jengkel bercampur geli dan bingung.

Yeah, right! I scratched my forehead. Feeling upset mixed with tickled and puzzled.

“Kamu bikin Keke jadi bingung sampai garuk-garuk gitu” seorang ibu tertawa melihat kelakuan saya. Hehe.

“You give Keke the confusion that she scratched her forehead like that” a lady laughed as she saw my gesture. Lol.

“Jangan diruangan saya, pak” kata saya sambil bertanya-tanya kenapa senior saya menggiring mereka ke ruangan saya. Biasanya mereka berdoa diruangan lain. Ok di luar hujan tapi kan cuma gerimis. Lagi pula jarak menuju bangunan dimana mereka biasa berdoa tidak sampai sepuluh langkah. Kalau pun pagi itu semua mendadak jadi takut air, memangnya tidak ada payung?

“Not in my room, sir” I said as I wondered why my senior brought them to my room. They usually use other room. Ok, so it was raining outside but it was just a drizzle. Besides, it takes only about ten steps to get to the building where they use to pray. Even when everyone suddenly freaked out to rain, no one had umbrella?

“Orang sering masuk ruangan saya, pak” lanjut saya “nanti terganggu”

“People come into this room often” I continued “it would distract you all”

“Ayo, Keke” kata senior saya lagi, seakan tidak mendengar argumentasi saya, sambil mengambil tempat duduk di depan meja saya.

“Come on, Keke” said my senior, as if he did not hear my argumentation, he took a seat infront of my desk.

“Ogah ah, pak” jawab saya tegas. Heh, saya sudah tidak percaya lagi dengan segala hal itu dan saya di suruh berdoa? Sungguh menggelikan. Apa yang mau saya doakan? Apa saya harus bicara pada sesuatu yang tidak lagi saya percayai?

“Nope, I pass, sir” was my firm answer. Heck, I do not believe in that kind a thing and I was asked to pray? How ridiculous. What would I pray? Would I speak to a thing that I no longer have faith in?

Dan mereka berdoa di dalam ruangan saya sementara saya tetap melanjutkan pekerjaan saya.

And so they prayed in my room while I continued my work.

Benar juga kata saya tadi. Tidak sampai 2 menit mereka berdoa, pintu terbuka dan masuklah seorang rekan. Semenit kemudian pintu terbuka lagi dan masuklah orang lain sambil bersuara keras memanggil saya.

Just like I said earlier. Less than 2 minutes later, the door flung opened and a colleague came in. Another minute another person came in as she loudly called out for me.

Selama mereka berdoa itu, saya hitung ada lima kali pintu di buka. Ada yang masuk. Ada yang langsung keluar lagi begitu melihat kegiatan yang sedang berlangsung di dalam ruangan saya.

All the time they were praying, I counted the door was opened five times. Few came in. Another left when they saw what was going on in my room.

Diam-diam saya menyeringai. Kan tadi sudah saya peringatkan. Ruangan saya laris manis kalau pagi begini. Tapi tidak seorang pun yang mau mendengarkan saya. Jadi tanggung resiko kalau susah konsentrasi karena mendengar bunyi pintu dibuka, suara orang memanggil saya atau orang masuk sambil mengobrol. Sudah begitu pintu ruangan saya itu mengeluarkan suara lumayan keras kalau digerakkan. Hehe.

A grimace showed on my face. Have I not warned you guys. Plenty of people coming in to my room at this morning hours. But nobody listened to me so take the consequence of having your concentration distracted by the loud noise of squeaking door, the sound people called out my name or people came inside while they were talking in loud voice. There you had it. Lol.

with my little guest in the room
“Ruangan itu harusnya di ganti namanya” gerutu saya malam itu setelah menceritakannya pada Andre “bukan sekretariat tapi ruang serba guna karena fungsinya bukan cuma jadi ruang kerja saya dan ruang tamu tapi juga tempat kongkow, dengar musik, pake komputer, online, curhat, rapat sampai jadi gudang”

“The room should be renamed” I grumbled in the evening after I told Andre about that morning scene “not a secretariat but all purpose room because of its function not just as my room and guest room but has also become a hangout place, to listen to music, use the computer, go online, a cubicle to have your confession, a meeting room all the way to become a storage”

Andre ngakak mendengarnya.

It made Andre laughed hard.

Saya menatapnya sambil cemberut. Apanya yang lucu sih?

I stared at him. my face sullen. What was so funny?

“Aduh, manis betul muka kamu” Andre terkekeh “sini deh”

“Now there, you really look so sweet” Andre laughed “come here”

Dipeluknya saya “kamu dan ruanganmu sama-sama multi fungsi. Semua menyukai kamu dan ruanganmu. Semua membutuhkan kamu dan ruanganmu. Semua merasa nyaman dengan kamu dan ruanganmu. Semua betah berlama-lama bersama kamu dan berada diruanganmu”

He hugged me “you and your room are both multi function. Everybody likes you and your room. Everybody needs you and your room. Everybody feels comfortable being with you and in your room. Everybody likes to be around you and your room”

Hmm… saya kok tidak pernah berpikir begitu ya?

Hmm… howcome I never thought that way?

“Yang menyukai kamu ternyata bukan saya saja ya” Andre mencium kening saya, hidung saya, pipi saya dan… mm… “sampai ada beberapa yang benar-benar jatuh cinta ke kamu. Mungkin saya memang harus membawa kamu pergi jauh dari tempat itu”

“So I am not the only one who likes you” Andre kissed my forehead, my nose, my cheek and… mm.. “few really fell for you. Maybe I really must take you away from that place”

Saya tersenyum “lalu saya mau kamu simpan di dalam lemari pakaian kamu?”

I smiled “so are you going to put me in your closet?”

Kami bertatapan dan tertawa.

We stared at each other and just bursted our laugh.

“Taruh aja tulisan ‘yang tidak berkepentingan dilarang masuk’ di depan pintu elu” kata sahabat saya.

“Put the signage ‘personnel only’ on your door” said my bestfriend.

Itu cuma satu dari beberapa komentar atas status facebook yang saya buat saat sedang emosi jiwa gara-gara ruangan saya dipakai sebagai tempat untuk curhat. Ya, bukan perkara curhatnya yang bikin saya sewot. Tapi maaf, permisi, gimana saya bisa kerja kalau kursi saya diduduki orang, kursi di depan komputer juga diduduki orang.

That was just one of the comment I received for my furious facebook status. My room was made as a place to make confession or something like that. I had no problem with it. What put me in fury was, well, excuse me, how could I do my work when someone sat on my chair and the other sat on the chair infront of the computer.

Tidak lama berselang setelah itu, peristiwa yang kira-kira sama terulang lagi.

Not long after that incident, an almost similar incident occurred.

Saya meninggalkan ruangan saya sebentar karena di panggil oleh seorang rekan yang berada di ruangan lain. Ketika saya kembali, mata saya melotot melihat kursi di depan komputer sudah tidak ada. Di ambil oleh seorang rekan. Padahal saat itu saya harus melakukan pekerjaan dengan komputer.

I left my room for a while as a colleague, who was in other room, called me. My eyes were like popping out when I went back to my room and saw the chair infront of the computer was taken by a colleague. And I needed to do some work on the computer.

Dalam dua tahun bekerja di tempat ini saya tidak pernah marah. Baru kali itu amarah saya marah ketika melihat bahwa kursi komputer di ambil oleh rekan saya karena dia akan di pijat oleh seorang ibu!

I have never got mad in my two years working in this place. That was the first time I got angry when I learned that the chair was taken by my colleague because a lady was about to give him a massage.

Kursi lipat begitu banyak di luar.

There are many folded chairs outside.

Kenapa harus ambil kursi yang ada di ruangan saya? Tidak mau repot, gitu?

Why had to take the chair in my room? Because that was easier to do, is that so?

Lalu saya yang harus mengalah dengan menggeret kursi saya atau kursi dari luar, gitu?

So I would be the one who had to drag my chair or took chair from outside of my room, is that so?

Nanti kalau sesi pijat sudah selesai lalu saya yang harus membenahi kursi itu, gitu?

And after the massaging session was done, it would be me who has to return that chair, is that so?

Darah saya mendidih, naik ke otak dan saya pun mengomel dengan galaknya.

My blood boiled, ran straight up to my brain and I yelled with all the furry.


“Gimana saya mau kerja, coba? Kursi saya di ambil. Kalau mau buka panti pijat, sana, pakai ruangan lain. Jangan di ruangan saya!”

“How am I suppose to do my work, huh? My chair was taken. If you want to open a massage parlour, go to other room. Don’t do that in my room!”

Saya sendiri kaget kok bisa segalak itu. Tapi sampai detik ini pun, saya tidak menyesal. Saya terlalu mengalah. Orang mengenal saya sebagai sosok yang selalu ramah, ceria dan mengalah. Ada beberapa yang akhirnya jadi bertindak semena-mena, seenak-enaknya saja. Jadi tidak ada salahnya kalau sekali-sekali saya menggonggong. Bahkan perlu juga sih.

It surprised myself to see how furious I was. But I never feel sorry, not even to this very second. I am being too soft. People know me as a nice, friendly, cheerful and soft. Some have then act like they could treat me any way they wanted. So I think I need to bark sometimes. It is even necessary.

Saya ingat kejadian setahun sebelumnya. Seorang teman akan menikah. Entah bagaimana, pada suatu hari mereka memutuskan untuk mengadakan rapat di ruangan saya. Dan jumlah mereka tidak sedikit. Selesai rapat, semua langsung kabur meninggalkan kursi-kursi berantakan.

It reminded me to an incident occurred last year. A friend was getting married. I don’t know why one day they decided to have a meeting in my room. And there were many of them. After the meeting, everyone just left. Leaving the chairs scattered in my room.

Anjrit!

Damn!

Saya ingat bagaimana saya membenahi kursi-kursi itu dan mengembalikan ke tempatnya. Oh, lebih tepatnya adalah saya melakukannya sambil memaki-maki dalam hati dan sambil setengah membanting serta melemparkan semua itu.

I still remember how I put all those chairs back to where they were taken. Oh, to be precise is I did that as I cursed in my heart and half banging, half threw them all.

Entah karena suara gedubrakan kursi atau ada yang tiba-tiba teringat pada kursi-kursi itu, seorang dari mereka ditemani oleh seorang satpam kembali ke ruangan saya sehingga saya tidak harus membereskan semua kursi keparat itu sendirian.

Whether it was the loud noise of crashing chairs at one another when I half threw them, half banging them, one of those people accompanied with the security guard  returned to my room so I did not have to deal with those darn chairs all by myself.  

“Kalau ruangan saya berfungsi ganda, sekalian saja besok-besok dukun beranak buka praktek di situ” gerutu saya.

“If my room is a multi function one, then let’s have the midwive has her practice there” I grumbled.

Andre ngakak mendengarnya.

Andre laughed loudly when he heard that.

Kalau mengingat perjalanan karir saya sejak tahun 1994, saya punya pengalaman panjang berkaitan dengan ruang kerja.

I have many experiences regarding my room at work as it started in 1994.

Dari yang harus numpang di meja kerja orang ketika saya berstatus sebagai karyawan magang, sampai punya ruang sendiri yang menempel dengan ruang atasan karena jabatan saya adalah sekretaris direktur.

From had to use other people’s desk when I was an apprentice all the way to have my own room next to the big boss’s room when I was a secretary to the director.

Kemudian harus bekerja di ruangan seperti aula, hanya meja-meja panjang, deretan kursi, tanpa loker atau lemari untuk karyawan menaruh tas atau file.

Another time I had to work in a wide room like a hall, there were long desks, lines of chairs, no lockers or cabinet for the employess to put their bags or files.

Hal yang kira-kira sama terulang ketika saya menjadi guru. Punya kelas sendiri tapi mejanya cuma meja plastik kecil seperti yang ada di warung atau pasar. Saya sempat kehilangan hp karena tidak ada lemari yang bisa di kunci untuk menaruh tas.

The almost similar condition was when I taught in kindergarten. I had my own classroom but the desk was a small plastic desk like the one in stall or in the market. I lost my cellphone because there was no cabinet that could be locked to put my backpack.

Anehnya dalam beberapa tahun terakhir saya memimpikan bekerja di alam terbuka. Menjadi guru di daerah pedalaman. Konsekuensinya ya, jangan harap bisa sebagus, sebaik dan selengkap kondisi di kota tapi saya ingin berada di tempat yang benar-benar membutuhkan ketulusan hati dari pada ruangan yang nyaman, mencari pengabdian dari pada penampilan necis, cinta yang murni kepada anak-anak serta masyarakat dari pada saling bersaing untuk mendapatkan jabatan atau penghormatan.

Strange thing is in the past few years I dream to work in open air. Becoming a teacher in the rural. Yes, so can't expect it to be as nice or well equipped like in the city but I want to be in a place that really need sincere heart than comfortable room, looking for dedication than fancy clothes, hunger for honesty than competing each other to get position or respect. 

No comments:

Post a Comment