“Terima kasih ya, Keke, masih mau jadi temen aku”
“Thank you, Keke, for
still wanting to be my friend”
Alis mata saya mungkin sudah terangkat demikian tinggi,
lebih tinggi lagi pasti bakal copot.. hehe.. bukan apa-apa, kalimat teman saya
itu terdengar agak tidak biasa.
My eye brow must have
been raised so high, it would fall off its place if it raised higher.. lol.. it
was all after hearing unusual lines which my friend just told me.
“Aku takut kamu tidak mau jadi teman aku setelah tahu aku
begini”
“I was afraid you
wouldn’t want to be my friend anymore after you knew me like this”
Saya nyengir sambil dalam hati menggeleng-gelengkan kepala
karena isi kepala saya di hari pernikahan ‘adik’ saya (6/7) lalu itu sedang
penuh dengan berbagai macam pikiran; beberapa saat sebelumnya kami baru saja
tiba di gereja tempat pernikahan dilangsungkan, ngos-ngosan dan ngebul
kepanasan karena harus berjuang mencari kendaraan, menghadapi macet dan udara
tengah hari yang panasnya sampai ke ubun-ubun. Pff…
I grinned while deep
inside I shook my head in amazement because I was having like a ton of thoughts
on that day of my ‘brother’s’ wedding (July 6th), just a moment ago
we got at the church where the wedding was held, pretty much puffing and
huffing over having to struggle to get the vehicle, stuck in the traffic in
mid-day heat that felt like burning my head.
Lalu di dalam gereja, saya duduk sambil berpikir-pikir apa
yang ada dalam hati ‘adik’ saya itu. Diantara perasaan saya sendiri yang
bercampur aduk antara senang melihatnya menikah setelah berpacaran cukup lama,
mengkhawatirkan nasib persahabatan kami yang telah berjalan selama 2 tahun,
akankah berubah setelah dia menikah? Lalu sms dari Andre mengingatkan saya
bahwa malam sebelumnya kami sempat sedikit bersitegang karena saya tidak mau
dia ikut ke pernikahan ini. Dan saya bertemu dengan laki-laki lain yang
beberapa waktu lalu dan untuk sekian waktu lamanya sempat masuk ke dalam hati
saya. Semua itu bercampur aduk dengan kegembiraan bertemu dengan beberapa orang
yang sudah lama tidak saya temui. Di sela-sela canda tawa dengan mereka yang
punya rasa humor sama dengan saya.
And then in the church,
I sat there thinking what my ‘brother’ had on mind. In between my happiness
seeing him married his long time sweetheart and my own anxieties over the
thought of what our two years old friendship would be like now that he is
married, would it change? A text from Andre reminded me of our minor tension
over this wedding and me not wanting him to attend it. And I met that other guy
who a short while a go and for a period of time got into my heart. All mixed
with my pleasure of meeting some people whom I have not seen in quite a while.
In between exchanging laugh and jokes with those whom share the same sense of humor.
Melambung-lambung dalam rasa gembira, cemas, bersemangat,
bingung, merasa bersalah yang memabukkan itu, saya menghadapi tamparan
kenyataan bahwa fisik saya sedang kembali berjuang melawan hormon.
Bouncing by the euphoria
of happiness, anxieties, excitement, confusion, reality slapped me when it
showed how once again my physic was in a battle against the hormone.
Hari itu sudah tiga kali saya mengganti pembalut dan di
toilet gereja, saya gemetaran dalam ketakutan melihat begitu banyaknya darah.
Mengalir deras seperti keran bocor. Dalam hati saya memaki dengan segala macam
makian yang saya ketahui. Keparat! Hormon dan menstruasi terkutuk ini tidak
akan pernah mengalahkan saya. Bahkan sejuta topan badai pun tidak akan bisa
membuat saya tidak menghadiri pernikahan ‘adik’ saya ini. Dia adalah sahabat
saya, rekan kerja dan orang yang telah saya anggap sebagai adik sendiri.
Persahabatan dan persaudaraan kami pada hari itu mampu mengalahkan kelemahan
fisik saya.
I had my sanitary napkin
changed three times that day and in the church’s toilet I shook in fear seeing
so many blood came out of my body as if it was water out of leaking tap. Fuck!
I cursed ever curse I knew. This damn hormone and menstruation will never
defeat me. Even a thousand hurricanes would not stop me from attending my
‘brother’s’ wedding. He is my bestfriend, a colleague and somebody who I have
considered as a brother. Our friendship and brother-sisterhood were much too
strong, they overcame my weak physic.
Saya belum minum obat saat itu karena masih berharap jumlah
dan siklus menstruasi itu akan menormalkan dirinya sendiri secara alami. Selain
itu saya tahu kalau saya minum obat, bisa-bisa saya tidak sanggup datang karena
tiga macam obat itu juga menyedot tenaga saya, membuat saya mengantuk, capek
dan perut tidak boleh kosong. Jadi saya baru minum obat pada hari Senin (8/7).
I did not take the meds
because I was hoping the quantity and cycle of my menstruation would become
normal by itself. Beside, I was afraid I would not able to come since the meds
sucking my energy, making me sleepy, tired and can’t have empty stomach. So I
took them on Monday (July 8th).
Acara pernikahan ‘adik’ saya itu berjalan rasanya panjang
dan lama sekali. Makin sore, makin terasa badan saya mulai dingin. Wah gawat,
saya tahu betul gelagatnya. Tekanan darah saya mulai turun. Saya kehilangan
banyak darah dan tenaga karena banyak bergerak. Saya membutuhkan kalori dalam
bentuk makanan atau minuman manis. Tapi acara makan belum di mulai.
My brother’s wedding
went like ages. Late in the afternoon I felt chill ran over my body. Bad news,
I knew it too well. My blood pressure went down. I lost lots of blood and
energy. I needed calories in form of food or sweet drink but the reception has
not even started.
Untungnya saya bisa duduk. Seorang ibu memberikan permen
kepada saya. Oh, sukur.. sukur. Mudah-mudahan semua itu bisa membuat badan saya
memulihkan diri.
I was glad to get myself
a seat. A lady gave me some candies. Oh man, thank goodness… hopefully they
could recharge my body.
Ketika akhirnya para undangan dipersilahkan menikmati
hidangan…
When the guests were finally asked to have the food and drink...
“Keke, aku ga lapar” kata teman saya.
“Keke, I am not hungry”
said my friend.
Saya sampai harus berhenti berjalan sejenak untuk
menatapnya.
I stopped walking to
look at her.
“Gimana ceritanya ga lapar?” tanya saya bingung “kamu kan
tidak makan apa-apa dari siang tadi”
“What do you mean you
are not hungry?” I asked in my confusion “you have not had anything from noon”
“Iya, Keke, tapi aku ga lapar” kata teman saya dengan muka
yang semakin membingungkan saya.
“Yes, Keke, but I am not
hungry” said my friend with her look that made me more confused.
“Kamu sama laparnya dengan saya” kata saya akhirnya “kamu
harus makan, biar pun sedikit. Ayo”
“You are just as hungry
as I am” I said that “you have to eat something, even if it is just a little.
Come on”
Dengan kepala yang terasa sedikit pusing, badan yang agak
dingin dan sedikit limbung saya berjalan sambil menggandeng tangannya, setengah
menyeretnya ke dalam. Saya ambil piring, sendok, tisu dan air mineral, lalu
saya taruhkan ke tangannya. Kami antri mengambil makanan.
With a slight dizzy, a
chill ran through my body and could not walk straight, I grabbed her hand and
half dragged her inside. I put the plate, spoon, tissue and mineral water on
her hands. We stood in line to get the food.
“Ini apa?” dia bertanya mengamati deretan makanan “itu apa?.
Aku ga makan daging. Tidak boleh yang pedas dan terlalu berbumbu”
“What is this?” she
asked as she studied the food on the table “what is that? I don’t eat meat”
Hadoh! Trus mau di kasih makan apa dong teman saya yang satu ini?
Gosh! What should I feed
her then?
“Itu ada sayur, brokoli, kentang, kamu boleh makan ikan?”
saya menghiburnya sambil menunjuk beberapa jenis masakan yang saya perkirakan
dan harap mudah-mudahan bisa serta mau dia makan.
“There are some veggies,
broccoli, potatoes, you could eat fish, could you?” I soothed her up as I pointed
some meals that I assumed and hoped she could eat.
“Ya.. ya, bener, Ke” dia tampak gembira. Diam-diam saya
menghela napas lega. Hehe. Soalnya repot kan kalau nanti jadi sakit gara-gara
tidak mau makan, yang entah karena apa.
“Yes.. yes, you are
right” she looked happy. I quietly sighed my relief. Lol. It would make her
sick for not eating anything, I wondered why she just seemed reluctant to eat.
Kami lalu mengambil tempat duduk di luar. Ah… dalam beberapa
menit setelah makan, saya merasakan tubuh saya menjadi segar. Pusing, rasa
dingin dan lemas itu hilang. Pikiran saya jadi terang lagi.
We got ourselves seats
outside. Ah… few minutes after had the meals I felt refreshed. Gone were the
dizzy, chill and nausea. I could think straight again.
“Kerumunan orang dan suara yang bising bikin aku hilang
selera” kata teman saya tiba-tiba “kalau sudah begitu aku jadi tidak berasa
lapar”
“Crowd of people and the
noise made me lost my appetite” said my friend “and it just made me not hungry”
“Masa sih?” saya tertawa kecil. Tidak percaya.
“Really?” I laughed.
Hardly believed it.
“Ih, bener, Keke” dia tampak serius sekali.
“It is, Keke” she looked
deadly serious.
Saya terheran-heran jadinya.
This puzzled me.
Beberapa detik kemudian sesuatu menyentakkan ingatan saya..
Few seconds later
something shook my memory..
“Dulu saya juga begitu, rasanya kikuk, senewen. Tapi
lama-lama saya lawan karena merugikan diri sendiri” saya ingat saya juga
seperti itu ketika umur saya di bawah 25 tahun. Di usia 42, rasanya semua itu
terjadi sekian abad yang lalu. Saya hampir melupakannya.
“I used to feel like
that, being awkward, nervous. But I fought it because they did no good for
myself” I was reminded that I was just like her before I turned 25. At 42, it
looks like it happens ages ago. I almost forgot how it was felt.
“Iya betul, tapi rasanya susah” dia tertawa, setengah
mengeluh, setengah bingung.
“True but it feels so
hard” she laughed, half despaired, half confused.
Saya menatapnya. Untuk pertama kalinya melihat satu sisi
dalam diri teman saya yang satu ini yang sangat bertolak belakang dengan apa
yang dia tampilkan dalam kesehariannya.
I stared at her. For the
firs time discovering the side in this one friend of mine who is so contrast with
what she appeared herself on daily basis.
“Tenang, dekat-dekat aja sama saya. Nanti lama-lama kamu
pasti ketularan semangat, pede dan keberanian saya” kedengarannya mungkin
seperti bercanda tapi saya tidak sedang bergurau ketika mengucapkan ini.
“Relax, just get close
with me. You will get my spirit, confidence and courage” it sounds like a joke
but I was not joking when I told her this.
Menurut saya, teman saya ini memiliki segudang kelebihan.
Dia tinggi, langsing, seorang guru di sekolah swasta yang cukup terkenal,
berpendidikan sarjana psikologi, bergaji lebih besar dari saya, bisa menyanyi,
bermain piano dan sering menjadi MC. Dia punya segalanya yang saya inginkan.
Rasanya hidup akan menjadi lebih mudah dan indah seandainya saya memiliki
hal-hal tersebut.
I think my friend has it
all. She is tall, slim, a teacher in a well known private school, has
psychology degree, her salary must be much higher than my own, she can sing and
play piano, she has been a master of ceremony in many occasions. Geez, she has everything
I dream of. My life would be a whole lot easier and fun should I live her life.
Lalu kenapa saya yang setahun lebih muda dari dia, yang
tidak memiliki semua kelebihan yang dimilikinya, yang telah dan sedang berjuang
dalam hidup dan menghadapi kelemahan fisik sampai sempat membuat saya merasa
kehidupan tidak berpihak kepada saya, bisa menjadi lebih kuat, tabah serta pede
dari dia?
So why then I am who is
a year younger than her, who does not have all the things she has, who had and
am struggling with life and facing physical weakness that make me life is not
standing on my side, can be stronger, tougher and more confident than her?
Apa saya iri kepada dia? Tidak pernah. Sebelum saya
mengenalinya dengan lebih baik, saya memandangnya sebagai seorang dengan segala
kelebihannya dan yang dengan batin, saya rasa nyambung.
Do I envy her? Not at all.
Before I knew her better, I have seen her as someone with all those things,
with whom I felt the click by heart.
Saya punya banyak kenalan, saya ramah ke semua orang tapi
saya memilih orang-orang tertentu yang dengan batin terasa nyambung.
Orang-orang yang memiliki ketulusan dan kejujuran adalah mereka yang biasanya
melanjutkan hubungan dari kekawanan biasa menjadi persahabatan dan
persaudaraan.
I know lots of people, I
am friendly to them all but I am picky when it comes choosing whom I will take
as my close friends. It has to have the click by heart. People with sincerity
and honesty are the ones who take one step higher from being friend to
bestfriends and brother/sisterhood.
Sekali mereka sudah masuk ke dalam hati saya, tidak semudah
itu saya melemparkan mereka keluar bahkan setelah saya melihat kekurangan dan
kelemahan dalam diri mereka.
Once they are in my
heart, it will not be that easy to kick them out even after I see their
weaknesses.
Toh saya sendiri juga bukan orang yang sempurna sekali pun
dari luar saya kelihatannya sangat yakin dengan diri sendiri.
I am not a perfect person myself despite the fact that I might appear like a confident person.
Persahabatan adalah untuk menerima, saling mengisi dan
melengkapi satu dengan lainnya.
No comments:
Post a Comment