‘Jadi anak tunggal itu enak’ demikian rata-rata pemikiran dan pendapat orang ketika mengetahui saya seorang anak tunggal.
Kalau dinilai dari faktor tidak harus berbagi cinta, perhatian dan juga warisan (hehe) orang tua, ya, betul memang enak.
Tapi setelah membaca dua postingan saya yang terdahulu, terlihatlah bahwa menjadi anak tunggal ternyata banyak juga tidak enaknya. Justru karena semua cinta dan perhatian tumplek blek pada saya maka saya diperlakukan seperti barang antik yang mudah pecah.
Pemberontakan-pemberontakan yang saya lakukan terhadap orang tua bukanlah karena saya tidak mencintai mereka. Saya melakukannya karena saya ingin menjadi diri sendiri. Lagi pula kalau saya tidak mendidik dan menempa diri saya untuk menjadi kokoh, tegar serta mandiri, bagaimana jadinya nanti diri saya tanpa orang tua?.
Saya tidak mau menjadi seperti kakak sepupu saya yang juga adalah seorang anak tunggal. Dia mencari figur pengganti orang tuanya. Dia menikah dan menurut saya memperlakukan suaminya juga sebagai orang tuanya. Dia tidak pernah bertumbuh dan berkembang sepenuhnya sebagai dirinya sendiri. Lalu suatu ketika dia mengetahui bahwa suaminya telah mengkhianati cintanya dengan menikahi wanita lain, hancurlah seluruh dunianya.
Karena itu saya tidak mau mencari figur ayah atau ibu dalam diri orang yang saya cintai sebagai pendamping, sahabat, teman, rekan kerja atau saudara. Karena mereka memang bukan ayah atau ibu saya. Bisa saja mereka memang kebapakan atau keibuan tapi saya tidak mau menganggap, menerima atau melihat mereka sebagai sosok yang bisa saya jadikan sebagai pengganti orang tua saya.
Tuhan pun tidak mengajar saya untuk memiliki prinsip seperti itu. Tahun demi tahun Dia memberikan saya pengalaman demikian banyak yang meyakinkan saya bahwa hanya kepada Dia saja saya boleh bersandar.
Tuhan memakai sikon dalam kehidupan untuk memaksa saya menjadi seorang yang tegar, kokoh, tabah, sabar, tekun dan mandiri. Melalui pujian, hinaan, kesuksesan, kejatuhan, kebanggaan dan kekecewaan, saya dibentuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Sekarang ini saya mandiri dalam keuangan, fisik dan emosi. Saya bersyukur dan lega karena semua itu saya dapatkan melalui perjalanan panjang.
Cuma ya sisi jelek dari kemandirian itu adalah saya memiliki kecenderungan untuk merasa tidak membutuhkan orang lain.
Maksudnya begini, saya memang tetap bergaul dan memiliki orang-orang yang dekat dengan saya tapi saya tahu walaupun saya menyukai dan mensyukuri kedekatan itu tapi saya tetap tidak bisa merasakan ketergantungan emosional pada mereka.
Saya menghargai perhatian, dukungan serta cinta yang mereka berikan kepada saya dan saya berupaya untuk membalasnya tapi sekalipun mereka mewarnai hari-hari saya, membuat saya tertawa dan membahagiakan saya tapi saya tahu saya tidak boleh dan tidak bisa bergantung secara emosional kepada mereka.
Saya hanya tidak ingin ketergantungan itu menjadi titik kelemahan saya. Saya tidak ingin ketidakhadiran mereka atau hal-hal tertentu yang mereka perbuat atau katakan menyakiti hati saya sedemikian rupa hingga saya kehilangan pijakan.
Cinta dan kemandirian seringkali memang tidak bisa berjalan selaras.
Demi mendapatkan kemandirian, saya harus mendobrak cinta orang tua saya.
Demi kemandirian yang sama, saya menolak mengijinkan orang-orang tertentu untuk masuk terlalu jauh dalam hati saya. Lebih tepatnya adalah saya takut membiarkan diri saya terlalu mencintai mereka dan saya tidak ingin mereka menjadi terlalu mencintai saya.
_______________________________
Most people think it is great to become an only child.
Well, if you see it from the perspective of having no obligation to share love, attention and heritance (lol), yeah, those are the advantages being an only child.
But if you have read my earlier two posts you can see that it is not always fun being an only child. The fact that I don’t have to share my parents love and attention has put me in their spotlight, making them treat me like a vulnerable antique item.
The rebelation I did to my parents were not made because I don’t love them. I just want to be a full person. Being me. Besides, if I don’t train and taught myself to be strong, what would happen to me if I don’t have my parents by my side?.
I don’t want to make myself like my cousin. She sought for father and mother figures in her husband. She thought she could make him as substitute for her parents. Then when she found out that he cheated on her and married another woman, her world fell apart.
No, I don’t want to turn myself into that kind of person.
I don’t want to seek for parents replacement in the people around me whether they are friends, co-workers or partner. Because they are not my parents. They can’t replace my parents. Maybe they can appear in fatherly or motherly figures but they just are not my parents.
God Himself never taught me to have mind like that. Over the years and through so many things He taught me to only lay on Him.
God uses everything in my life to become a strong, tough, resolute and independent character. Through praise, insult, success, failure, pride and disappointment, I was formed into a better person.
I have become financially, physically and emotionaly independent. I am thankful to that because I have attained them through a very long years.
The disadvantage about independency is I feel not needing other people.
So yes, I socializing myself and having close relationship with certain people. Though I am grateful and enjoy it but I can never feel a thoroughly emotional dependency with them.
I appreciate their attention, support and love they give me and I try my best to do the same to them but still though they make me laugh and ease my pain, I can not make and won’t allow myself become emotionally attached to them.
I just don’t want dependency become my weak point. I don’t want their absence or the things they do or say hurt me in a way that would me lost my ground.
Love and independecy don’t get mixed well.
I have to break from my parents love to get my independency.
No comments:
Post a Comment