Pagi itu saya sedang mengobrol dengan seorang ibu di gereja. Obrolan kami sampailah ke topik pasangan-pasangan yang sudah menikah. Lalu tiba-tiba ibu itu berhenti bicara dan menatap saya seperti terinspirasi oleh sesuatu.
Dan si ibu melanjutkan.. “Jadi inget nih, dulu … (menyebut nama senior saya) pernah dijodohin sama… (menyebut nama seorang laki-laki). Tapi ya mungkin tidak jodoh jadi tidak nyantol. Lelaki itu orangnya sudah mapan, punya rumah dan usaha sendiri. Iya ya.. kenapa ga dipasangin saja sama Keke”.
Haduh… saya cengar cengir dengan muka yang entah mungkin sudah berwarna merah- kuning-hijau. Soalnya mau bilang jangan, saya tidak enak hati. Tapi kalau tidak bilang jangan, ntar dikiranya saya ok.
Ada beberapa alasan yang bikin saya rada alergi sama perkara jodoh-menjodohin ini. Yang pertama rasanya kok hampir selalu saya diiming-imingi oleh hal-hal materi yang dimiliki oleh laki-laki sampai saya berpikir apa saya dikira perempuan matre??
Ya. Ya. Ya. Saya tahu perempuan memang mencari laki-laki yang sudah mapan secara ekonomi. Tapi saya punya pengalaman yang membuat saya berkeyakinan teguh untuk tidak bersandar pada apa pun kecuali pada Tuhan.
Saya mulai bekerja hanya beberapa bulan setelah saya lulus dari perguruan tinggi di tahun 1993. Usia saya baru 22 tahun saat itu dan saya berhasil masuk di PT. Indosat yang ada di Jakarta. Honor saya hanya Rp.150.000. Tapi sekitar setengah tahun kemudian melonjak naik menjadi Rp.900.000!.
I wore black coat |
Bayangkanlah di usia 22 tahun saya sudah bergaji sebesar itu di jaman sebelum nilai rupiah anjlok karena krismon. Saya sampai bisa punya deposito jutaan rupiah.
Karier saya sempat turun setelah itu tapi kemudian melesat naik di tahun 1997 ketika saya bekerja di perusahaan asing sebagai sekretaris direktur. Usia saya 26 pada waktu itu.
Ketika perusahaan itu tutup karena krismon, saya justru jadi kaya mendadak karena mendapat uang pesangon yang nilainya diukur dengan standard dollar. Saya bisa membeli sebuah mobil dari sebagian uang itu.
The car, before we sold it |
Lalu apakah saya jadi sengsara karena kehilangan pekerjaan? Tidak. Mantan boss saya yang baik itu berhasil mendapatkan pekerjaan bagi saya di perusahaan milik temannya yang juga perusahaan asing. Dan di perusahaan baru ini gaji saya jumlahnya dua kali lipat dari gaji yang pernah saya terima dari perusahaan sebelumnya. Jadi kalau bagi kebanyakan orang krismon membawa derita, saya justru kebalikannya. Krismon membawa berkah.
Tapi kemudian datang masanya dimana saya kehilangan kesehatan saya, gaji saya, pekerjaan saya, tabungan saya, sampai ke mobil, deposito dan simpanan emas serta dollar yang kami miliki. Bersama dengan semua itu, hilang juga kepercayaan diri, kebanggaan dan keangkuhan saya.
Tahun 2005 saya bekerja sebagai guru TK. Anda tahu berapa gaji saya? Rp.350.000!. Pada waktu saya berhenti tahun 2011 gaji terakhir saya adalah Rp.600.000. Bahkan gaji pembantu rumah tangga pun lebih besar dari gaji saya pada waktu itu.
Jadi dari pengalaman pribadi itu saya tahu bahwa apa pun yang ada di dunia ini tidak bisa kita jadikan sebagai sandaran.
Itu juga yang membuat saya sering ‘gerah’ kalau ada lelaki yang mendekati saya atau didekat-dekatkan kepada saya dan memakai kebendaannya untuk memikat saya.
Tapi toh lagi-lagi kembali disodorkan kepada saya, lelaki demi lelaki yang…
“Bu Keke, saya punya teman. Masih single juga. Punya kerjaan bagus, gajinya gede. Punya rumah juga” kata ibu dari mantan murid saya di taman kanak-kanak yang herannya kok masih juga getol berupaya ngejodohin saya dengan temannya itu.
Yah, begini deh repotnya jadi orang yang tidak tega untuk berkata ‘tidak’. Saya tidak sampai hati untuk berkata ‘tidak’.
Cuma karena bilang ‘iya’-nya setengah hati maka yang terjadi adalah setiap kali saya berpapasan dengan ibu itu, saya hanya melambaikan tangan dan mengarang seribu alasan supaya saya tidak perlu mengobrol dengannya. Bukan apa-apa, saya takut ujung-ujungnya nanti dia teringat pada teman yang mau dijodohinnya pada saya itu. Jadi yang paling aman ya menghindar saja deh. Hehe.
Ok, saya tahu mereka berniat baik.
Bukan sekali dua kali saya mendengar orang bertanya kenapa saya masih juga melajang. Mereka melihat saya sudah mapan, punya sifat yang menyenangkan dan bisa luwes bergaul. Tapi kok anehnya belum berjodoh juga, jadi mereka, terutama ibu-ibu, merasa mungkin saya perlu dibantu untuk bisa menemukan jodoh.
Alasan kedua kenapa saya tidak suka dijodoh-jodohin adalah karena rasanya jadi tidak alami. Seperti ada beban mental kepada pihak yang berperan sebagai mak comblang karena mereka tentunya berharap pencomblangannya bisa berhasil.
Akibatnya saya merasa seperti atlit yang diharapkan selalu mendapat medali emas dalam Olimpiade. Saya tidak bisa menikmati proses pedekatenya.
Alasan ketiga adalah, saya merasa diri saya seperti barang yang sedang dinilai oleh pihak lelaki yang ingin mengetahui apa saya bisa cocok dengan dirinya.
Padahal kalau saya jalan dengan seseorang, saya tidak mau berpikir seperti itu. Perkara cocok atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting acara jalan berdua itu bisa sama-sama dinikmati oleh kedua belah pihak. Buat saya, ini menentukan apakah saya akan menjawab ya atau menolak tawaran jalan berikutnya.
Yah, sejauh ini sih saya selalu berhasil berkelit menghindari para makcomblang itu. Hehe.
Tapi… mmm… ga juga sih…,
Habis kayaknya kok para makcomblang itu ‘patah tumbuh hilang berganti’.. hehe… iya bener deh, bingung saya jadinya karena rasanya baru saja lega lolos dari yang satu, eh, nongol yang lain…
Seperti yang terjadi belum lama ini…
“Ke, temen gue nitip ini buat elu” kata seorang teman saya.
Apaan ini ya? Tapi berhubung sedang sibuk, saya hanya menerimanya tanpa berpikir macam-macam. Baru setelah di rumah, saya teringat pada amplop itu. Saya buka dan … hehe, saya ngakak sendiri karena isinya surat perkenalan dari seorang lelaki yang sama sekali tidak saya kenal. Yang bikin saya sampai ngakak adalah karena surat perkenalannya itu model isian biodata seperti untuk melamar pekerjaan. Duh..., sori ngetawain, abis lucu dan aneh gitu sih... hehe...
Lalu beberapa hari lalu adik sepupu saya datang ke rumah bersama keluarganya. Kebetulan saat itu saya belum pulang. Jadi saya tidak bertemu dengan mereka. Dari cerita bokap nyokap, mereka sangat ingin ketemu dengan saya. Maklum, adik sepupu saya setelah menikah diboyong oleh suaminya yang asli orang Inggris itu ke negerinya.
Lalu… “Ada titipan tuh” kata nyokap.
Saya sudah girang-girang saja karena mengira titipannya mungkin coklat atau siapa tahu malah duit poundsterling. Hehehe…
Tapi kok isinya CD? Saya buka di komputer dan lho kok isinya rekaman cowok bule Inggris yang bahasanya bikin telinga saya juling karena aksen skotlandianya yang medok banget.
Setelah saya simak baik-baik ternyata dia adalah adik dari suami sepupu saya itu. Terus kenapa dia ngirimin saya CD? … oh, itu, dia lagi nyari istri… dan dia kepengennya yang orang asia.
Wah, ini sih namanya " Gubrak!!.com ".
Gimana dong?? Masa sih saya harus pasang pengumuman, ‘Dimohon dengan amat sangat untuk tidak mencomblangi Keke dengan siapa pun’.
Hehe…
________________________________________
That morning I was talking to a lady when our conversation moved to the topic of the couples in the church. It was then when she suddenly stopped to stare at me and as if she just got inspired by something, she went on saying “it just got to me that … (my senior’s name) was once tried to be matched to … (a guy’s name) but perhaps they were not meant for eachother. Why haven’t I thought this before? The guy is still single, he has his own business and a nice house”.
I grinned while trying to hide my uncomfortableness. My face might have turned its color to reddish, yellowish or green. I didn’t know what to say. I didn’t want to say yes but it was hard to say no either.
There are few reasons why I am allergic to matchmaking. First reason is it seems that I always given with the things owned by the guy. It gives me the impression as if I were a materialistic woman.
Yes. Yes. Ok so women seek for stability and security from men, financially. But my experience convinces me that I should never depend myself on anything but God.
I just graduated from college when I have got my first job. The year was 1993 and I was only 22 years old when I got a job at PT. Indosat. I was paid Rp.150.000 but half year later it was increased to Rp.900.000. That was quite a huge amount for Indonesian standard of salary for a fresh graduate. I could have millions of time deposit in the bank.
My career had its downward after that but in 1997 I got a job at a multinational company as secretary to its director. I was 26 at that time.
The company was closed down in 1998 due to monetary crisis that hit south east asia. But to me it made rich as I received compensation money for its closure. And it was in US dollar. I could use some of the money to buy a car.
And did I suffer from losing a job? Not at all. My kind hearted former boss found me a job at his friend’s company. I made double income in this company. So while most people suffered by the monetary crisis, it prospered me.
Keke & Mr. Nishimura in 1998 |
But then came the time when I lost my health, my salary, my job, my saving, all to our dollar and gold savings. Along with them, I lost my self confidence, pride and ego.
In 2005 I got a job as kindergarten teacher. Do you know how much my salary was? Rp.350.000!. By the time I resigned my salary was Rp.600.000. A maid gets paid higher than me.
It is why I feel uncomfortable when a man tries to impress me with his material things. But still man after man came and…
“Miss Keke, I have a friend who is still single, has a good job, makes a good living and owns a nice house” said a mother of my former student. I still don’t know what makes her so eager to match me with her friend.
Unfortunately I am the kind of person who can’t say no. I don’t have the heart to say no. But since my yes was spoken half hearted, it makes me try to avoid meeting that lady. Everytime I happens to meet her, I wave to her and make thousand of excuses of not to chat with her for fearing she might remember the matchmaking stuff and tries to set his friend with me.
I know they meant well.
I oftently asked why I remain single when it seems I am having quite a good life and having good personality. People, especially mothers, think there must be something missing in my life and they should therefore help me find a husband.
What they don’t know is I dislike matchmaking for reason number two; I don’t feel I can go naturally on the process. Part of it is because I feel a burden to make it works. As if an obligation to the matchmaker who surely wishing it to success.
The result is I can’t enjoy it. I feel like an athlete expected to always win the gold medal in Olympic games.
The third reason is I feel like an item being valued by the guy who tries to find out if I am fitted for him or would make a good wife for him.
The fact is I don’t want to bother myself with it when I go on a date with a man. To me the most important thing is both have good time and enjoy the date. It is the thing that will let me know if I go on the next date or if I will decline it.
Well, I can say that I have been succeeding in avoiding those matchmakers.
Sort of..
I don't know why but it seems there are plenty stock of matchmaker. It feels that I just avoid one and soon bumping on another.. lol.
Just a little while ago..
“Keke, a friend of mine wants you to have this” said a friend.
I was too busy to think much about the envelope. I just took it and forgot all about it until I have got home. At night I opened it and I just laughed it out loud when I saw inside there was a letter that looks like a curriculum vitae. A guy whom I never known nor met sent it to me. He was giving his basic information and description of the woman he was looking for as a wife. .. Sorry I laugh but I found it funny and outrage.
Few days ago my cousin and her family visited my house. I was still at work at the time so I didn’t get to meet them. According to my parents, she really wanted to meet me. She can’t return to Indonesia all the time after she married her husband, an English man, and moved to England.
“She gave you something” said my mom.
I was excited as I thought it might be chocolate or perhaps even better, poundsterling.
But it was a CD. Inside is a recording of an English guy whose heavy Scottish accent gave my ears a dizzy.
I listened to him carefully. So he is my cousin’s brother inlaw. What does he want? Er, he was looking for a wife and he wishes it to be an Asian woman.
Somebody needs to pinch me hard!
Gosh! What should I do? Should I put a signage that says ‘please, please, don’t match Keke with any guy’.
No comments:
Post a Comment