Siapa yang tidak pernah berontak pada orang tuanya? Rasanya sih rata-rata anak pasti pernah. Yang membedakan hanya pada kadarnya, ada yang pemberontakannya masuk dalam tingkatan parah tapi ada juga yang ringan.
Pemberontakan saya berkisar pada keinginan untuk menjadi diri sendiri.
Setelah saya bertambah umur dan bertambah dewasa, saya menyadari bahwa cinta orang tua saya yang demikian besar itu bagai pedang bermata dua. Di satu sisi cinta itu menentramkan, membahagiakan dan menaungi saya tapi di sisi lain cinta itu memenjarakan saya.
Tentu ada latar belakangnya kenapa orang tua saya sampai memiliki takaran cinta di atas rata-rata.
Orang tua ayah saya berpisah di saat ayah saya menginjak masa remaja. Walau tidak bercerai tapi mereka tidak lagi hidup serumah. 6 orang anak dibagi dua. 4 anak lelaki ikut ayah sementara 2 anak perempuan ikut ibu.
Kehidupan ayah saya bersama seorang kakak lelaki dan 2 orang adik lelakinya mulai berantakan karena ayah mereka menderita depresi. Tidak lagi bekerja sehingga akhirnya untuk bisa makan, perabotan rumah di jual satu persatu sampai rumah mereka kosong melompong.
Mereka jatuh miskin.
Padahal sebelumnya kehidupan mereka tergolong makmur. Kakek saya adalah kepala PJKA. Mereka tinggal di kompleks perumahan karyawan PJKA di Manggarai, Jakarta. Perpisahan dengan istrinya membuat kakek saya depresi berat. Kerjanya hanya mengurung diri di kamar. Tidak lagi peduli pada apa pun.
Ayah saya dengan kakak serta 2 adik mereka dipaksa keadaan untuk mencari makan dan membesarkan diri mereka sendiri. Orang tua ada tapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
1 year old Keke with mom & dad in 1972 |
Ibu saya lain lagi. Usianya sudah 37 waktu saya lahir. Saya adalah anak yang dikiranya tidak akan pernah dimilikinya. Walau kemudian lahir lagi 2 anak setelah saya tapi hanya saya yang bertahan hidup sampai sekarang.
Jadi orang tua saya mempunyai alasan yang mendorong mereka menjadi terlalu mencintai anaknya.
Saya betul-betul terlalu disetir oleh mereka.
Saya baru belajar membeli baju sendiri setelah punya duit sendiri. Sebelumnya ibu saya yang memilihkan semua baju saya walaupun model dan warnanya tidak saya sukai. Waktu masih kecil, konflik memang belum muncul. Tapi setelah masuk usia remaja.. mm.. mulai deh pemberontakan kecil-kecilan itu muncul.
Masalahnya, selera kami berbeda. Mama berpikir anak perempuannya harus didandanin dengan baju-baju manis, berenda-renda, pokoknya yang feminin. Nah, kenyataannya saya benci berbaju dan bersepatu yang gayanya ‘cewek banget’ karena saya berkepribadian praktis dan tomboy.
Bisa dibayangkanlah cuma gara-gara urusan baju dan sepatu bisa bikin saya dan mama ngotot-ngototan, cemberut-cemberutan sampai akhirnya ada yang ngambek. Repotnya saya dan nyokap sama-sama punya sifat kepala batu. Cuma karena kami berdua kini sudah sama-sama lebih tua maka masing-masing sudah lebih bisa menguasai emosi dan ego.
Ayah saya punya kepribadian kontras dengan ibu saya. Lebih lembut, lebih sabar, lebih ngemong dan lebih mengalah. Padahal jaman mudanya dulu papa tergolong anak berandalan, tukang keluyuran, tukang berantem dan penaik darah. Setelah berkeluarga dan punya anak rupanya mengikis sifat-sifat liarnya itu. Hehe.
Enaknya ya, papa selalu ada dipihak saya. Papa betul-betul yang mengurusi saya, jadi teman curhat, teman bercanda dan kalau sakit maka papa yang saya cari. Bahkan sampai setua ini pun saya masih menggelendot ke bokap. Paling enak kalau sambil nonton tv, sambil meluk si papa. Hehe. Atau malam kalau sudah nyantai di rumah pasti sambil duduk di sofa, nyender dan meluk bokap, ngobrol deh kita berdua. Apa aja bisa diobrolin.
Ga enaknya ya, bokap paranoid banget. Maksudnya kelewatan khawatir soal keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan saya.
Jaman masih sekolah dulu, bokap paling senewen kalau saya minta ijin mau nginap di rumah temen, mau pergi-pergi atau piknik. Pertanyaannya segudang; ntar ke sana sama siapa, pulang gimana, naik apa, siapa yang mau ngantar dan nemenin, nanti susah sama urusan makan dan tidur. Bla bla… dll, dst.
Jadi pengalaman pertama saya nginap di rumah teman ya setelah saya kelas 2 SMA. Itu juga dengan hati tidak tentram karena dari rumah, pertanyaan-pertanyaan bokap membombardir telinga saya.
Pertanyaan-pertanyaan yang menghilangkan rasa percaya diri saya.
Di SMA juga saya memulai pemberontakan kelas lebih berat dari sebelumnya. Saya ikut naik gunung karena diajak teman. Walaupun sesudahnya telinga saya ‘kenyang’ mendengar gerutuan bokap yang menyesalkan keikutsertaan saya dalam acara itu ditambah dengan badan yang sakit semua, basah kuyup penuh lumpur, terbaret, lecet dan lebam disana sini tapi hati saya puas juga karena merasa saya mampu melakukan sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan akan mau dan bisa saya lakukan.
Jadi apa yang bagi orang lain adalah hal sederhana seperti misalnya berangkat sekolah dan kerja naik bis, bagi saya itu perlu perjuangan lahir batin. Hehe. Soalnya saya harus berhadapan dengan orang tua yang rada-rada paranoid.
Mereka baru yakin setelah melihat saya selalu kembali pulang dalam keadaan utuh dan masih bernyawa. Hehe. Itu yang bikin mereka pun tidak lagi meributkan soal saya pergi kemana-mana dengan memakai kendaraan umum. Tapi saya tetap punya beban mental untuk menjaga supaya hal-hal yang saya temui di jalan atau di dalam kendaraan umum tidak mereka ketahui. Kalau tidak, waduh, paranoid mereka bisa balik lagi.
Itu sebabnya saya baru menceritakan kepada mereka kalau saya ditabrak motor di depan Hotel Salak, 3 hari setelah peristiwa itu terjadi. Selama 3 hari saya sukses menyembunyikan biru-biru dan lecet di kaki serta lutut saya. Hehe. Itu saja udahannya bokap ngotot ngantar jemput saya. Duh, kayak anak TK aja deh gue. Tau gitu ga usah diceritain aja ya.
Tapi ini menjadi pola kelakuan saya pada orang tua saya. Baru bercerita beberapa hari kemudian.
Waktu saya kerja di Indramayu, beberapa kali saya ke kota Cirebon sendirian. Naik bis. Bangga betul saya karena sebelumnya sempat kebat kebit. Gara-garanya ya terlalu sering dan terlalu banyak dicekokin dengan kekhawatiran ayah saya.
Dasar saya kepala batu dan suka nekad-nekad-an, di hari libur langsung saja saya cegat bis ke Cirebon. Lalu sendirian juga saya keluyuran di kota itu dari pagi sampai sore. Dan saya baru menceritakannya ke bokap setelah lewat 2 hari berikutnya. Jadi kan papa ga bisa ngelarang. Lha, anaknya sudah jalan ke sana dan sudah kembali dalam keadaan utuh, selamat tidak kurang suatu apa pun. Hehe.
Waktu umur saya 27-30, saya paling sering jalan dan baru cerita ke papa mama tentang ‘petualangan’ saya setelah peristiwanya lewat beberapa hari berikutnya. Tinggalah entah berapa kali mata bokap melotot mendengar bagaimana pada jam 2 pagi saya pernah naik taksi sendiri dari Blok M, habis dugem, ke tempat kost di daerah Kebon Kacang (belakang Plaza Indonesia) atau 2 tahun lalu saat saya berangkat naik bis sendirian dari Bogor ke Tamini (Taman Mini) Square, padahal seumur-umur belum pernah saya ke tempat itu.
Saya sebetulnya tidak mau sembunyi-sembunyi seperti itu, tidak mau berbohong, tapi apa boleh buat. Saya tidak mau harus tarik urat dulu dengan orang tua, terutama papa. Mereka tidak sepenuhnya bisa menerima dan mengerti kalau rasa cintanya yang terlalu besar membuat saya bisa bertumbuh jadi manusia kuper, penakut, pencemas, tidak mandiri dan ga pede. Kalau begitu kan menjadikan anak jadi tolol, tul ga?
Boleh percaya, boleh tidak, tahun lalu saya pergi ke Jakarta untuk reuni dengan mantan teman-teman kerja. Saat itu saya memberitahu papa mama bahwa saya naik kereta api pulang pergi. Tahu ga? Jam 7 malam, bokap nelpon ke hp. Nyuruh pulang. Takut nanti kemalaman. Takut ga ada kereta lagi. Takut susah nyari angkot. Takut begini, takut begitu.
Aduh mak!
Bayangin deh, lagi enak-enak makan malam sambil cerita-cerita dan ketawa ketiwi bareng temen-temen yang ga tiap hari bisa saya temui, eh, Cinderella dikentongin sama satpam di rumah, di suruh pulang.
Plaza Indonesia, Jakarta. Second reunion with old friends & former co-workers |
Tanggal 4 Agustus saya pergi ke Bogor Lakeside. Masih di Bogor juga kan, tapi waktu saya belum pulang jam 9 malam, bokap nelpon ke hp.
“Ke, lagi ada dimana?”
Capeeee deh…
_________________________________
As children, I believe each of us have our times when we rebel to our parents. The one that makes it different is it a serious one or not.
Mine has always been driven by the need to become myself.
As I grow older and matured I realize that my parents’s enormous love has two sides; one is comforting and shielding while the other side is imprisoned me.
My dad’s parents splited when he was a teenager. They didn’t divorce but they surely no longer lived together. Their six children were divided under two custodies. Four sons taken by their father while the two younger daughters went with their mother.
My dad, his older brother and their two younger brothers’s world soon fell apart as their father suffered depression. He didn’t go to work and just locked himself in his room. Left with no money forced the boys to sell the furnitures until there was nothing left.
They were broke.
Before the separation they had quite a nice life. My late grandfather was head mechanic department of South Jakarta Railway Company. Left by his wife broke his heart. He seemed not to care to anything anymore.
My dad and his brothers were therefore forced to make their own ways to feed and to raise themselves. They had parents who couldn’t act like parents.
So when my dad got married and has kids of his own, he vowed that he will never let his kids suffer like he and his siblings did.
My mother has her own motivation. She was 37 when she had me. I am the child she thought she would never have. And eventhough she bore two more children but I am the only one who survive as my younger sisters passed away as toddlers.
So both my dad and my mother have their reason that make them love me so very possessively.
I am their puppet.
It shows from simple matter; clothing. My mother’s idea of dressing me is me wearing the very girly dresses. While I hate that kind of clothing. It was never be a problem when I was young. It became my first rebelation when I turned into a teenager who eager to have my own identity.
You could imagine that clothes could make us had arguments. The thing is my mom and I are both strong headed people. It is only because we are now have get older that makes us able to control our emotion and ego.
My dad’s characters are very much contrast with my mom’s. He is loving, kind and gentle. Quite a wonder if you know he adapted street kid’s character and attitude. Wild, fearless, rarely stayed home, always on the street, involved in fights and had a temper. His attitude changed after he has kids.
The thing I love about him is he is always on my side. He really takes good care of me, he is my friend, we joke each other and he is the one I run to when I get sick. No matter how old I am, I always like to sit with him and hug him. We do this when we watch tv or at night when we talk about any subject.
What drives me crazy is him being so paranoid about me.
Back to school days it always drove me nuts whenever I asked permission to spend a night at a friend’s house, to go places or went on a picnic. He would bombarded me with questions like who would take me there, how would I get there, would I be well taken care there.. and so on..
So the first time I spent a night at a friend’s house is when I was in high school. And I spent the night with weary heart for being heard too many of my dad’s paranoid questions.
Questions that made me lost my self confidence.
This was in 1988 |
So simple things like taking public transportation is a thing I must fought to get permission from two rather paranoid people.
Only after my parents see me return home in one piece and still very much alive that they let me take public transportation. However, I need to keep things to myself, the things happened to me while I was commuting on public transportation, unpleasant things are better not be told to them or their paranoid would return. Lol.
It is why I didn’t tell them I was hit by a motorcycle infront Salak Hotel few years ago. For 3 three days I was able to hide my bruishes from their eyes. But once he knew about it, my dad insisted to accompany me anywhere I go. Man, I felt like a kindergartener. So you see, it is so much better not to say anything to them.
But it has become a pattern. I tell my parents of the things I do after I do it.
When I worked in the town of Indramayu (3 hours away from my hometown, Bogor) I spent several times touring the town of Cirebon on my own. Though with weary heart at first for hearing my dad’s discouraging words.
Always been a strong headed and aching for adventure made me took a bus to Cirebon and toured the town on my own from morning to evening. And I told about it to my dad two days after that. He couldn’t object because I have done it and I have returned safely.
When I was 27 to 30, I made lots of escapedes that I told my parents few days after I had them. My dad gasped his breath when he heard I took a cab on my own at two in the morning to return to my rented place after spent the night club hopping or when I went to places that I never went to before using bus.
I don’t like to have to hide things and even lie to my parents. I do that because they can’t really understand that their enormous love to me could turn me into a person who worries constantly over things, to have little self confidence and unable to grow as an independent strong character. Their ways of loving me won’t make me smart.
Plaza Indonesia, Jakarta First reunion with old friends & former co-workers |
Man….
Imagine this, I was having dinner with my old friends, the ones that I haven’t met for 10 years, and my dad asked me to go home. Oh, yes, I forgot; Cinderella had to go home before 7 pm.
I had another reunion with those friends on July 30th. Did I tell my parents it was held in Jakarta? Oh no!. I told them I was meeting them in Bogor. Oh, yeah, so I lied. What choice did I have? I told the truth and Cinderella had night curfew.
On the August 4th I went to Bogor Lakeside to attend an event. It was in Bogor. In my own town but when the clock hit 9 pm, my dad called me.
“Where are you? It’s 9 pm”
No comments:
Post a Comment