Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, January 8, 2014

Trust, Honesty, Acceptance, Understanding

“Fakta, laki-laki lebih sering keluyuran”

“Fact, man hang-outs more often”

Vincent mengawali kalimatnya pada hari Minggu pagi itu dengan kata favoritnya ‘Fakta..’

Vincent made his line on that Sunday morning with his favourite word ‘Fact..’

Dan seperti biasa juga ini akan membawa kami dalam entah obrolan atau diskusi panjang.

And as usual it led us into either long talk or long discussion.

“Betul” jawaban spontan dari saya.

“Got that right” was my spontaneous answer.

“Bikin ibu-ibu suka kesal jadinya” dia menatap saya dengan wajah serius.

“Upseting the ladies” he stared at me with that serious look on his face.

“Betul” saya tidak bisa menahan senyum karena pada saat-saat demikian dia justru terlihat sangat lucu “Tapi dilihat dari sisi positifnya, hal itu bikin laki-laki jadi lebih tahu tempat-tempat nongkrong yang enak”

“That’s true” I couldn’t hold my smile because he looked so funny when he was serious “But take it from bright side, it makes the guys know great hang-out places”

Bicara dengan Vincent rasanya seperti tidak dengan seorang anak. Padahal faktanya dia baru kelas 7. Umurnya mungkin baru 13 tahun.

Talking to Vincent doesn’t feel like talking to a child despite the fact that he is just a 7th grader kid. He probably is just 13 years old.

Entah kapan persisnya dia mulai senang menghabiskan waktunya diruangan kerja saya. Bagi saya dia hanyalah satu dari sekian banyak orang yang mendatangi atau menghabiskan beberapa menit berada diruangan saya. Dia dan orang-orang lainnya yang hanya saya temui seminggu sekali.

I don’t know when exactly he started to like spending his time in my room. To me he is just one of the many people who drop by or spend few minutes in my room. He and the people whom I meet once a week.

Tapi lama-lama kami jadi berteman.

But we eventually make friends.

Beberapa minggu terakhir ini dia muncul di tempat kerja saya sejak jam 7 pagi sehingga dia menjadi saksi kesibukan, pontang panting dan senewennya saya mengatur ini itu atau mempersiapkan beberapa hal.

In the past few Sundays he has arrived at my work place since 7 am so he witnessed me hecticly preparing this and that or giving last touch on few matters.

“Diam-diam disini ya, jagain ruangan gue” saya akan berkata demikian sebelum terburu-buru keluar dari ruangan saya.

“Stay here okay, watch my room” I would say this as I rushedly left my room.

“Mau kemana?” dia berseru.

“Where are you going?” he exclaimed.

“Mau taruh segala keprintilan ini dulu” seru saya menjawab dari luar.

“I gotta put these stuff” I exclaimed back.

“Jangan lama-lama” serunya lagi.

“Don’t be long” he exclaimed again.

“Ya, palingan setahun” jawab saya sambil nyengir sendiri.

“Yeah, it would only take me about a year” I replied him as I grinned to myself.

“Yah…” begitulah biasanya jawabannya.

“Yeah..” that was his usual respond.

Vincent & Keke, the dynamic duo
Setelah semua beres, kembalilah saya ke ruangan. Kemudian sementara saya berdandan dan dia sibuk dengan urusan unduh mengunduh game di hp, kami berdua mengobrol tentang berbagai hal. Kadang pembicaraan menjadi serius, kadang kami bercanda, bertingkah atau memasang tampang konyol.

After I was done with whatever I needed to take care, I returned to my room. Then while I put on my makeup and he is busy downloading online games on his cellphone, we talk about lots of things. Sometimes it was serious conversation, other times we joked, being goofy or put silly faces.

Saya heran juga melihat saya bisa bergaul begitu luwesnya dengan seorang anak remaja. Kalau dengan anak remaja yang perempuan, tidak terlalu aneh karena kami kan berjenis kelamin sama sehingga komunikasi bisa lebih jalan. Tapi ini seorang anak laki-laki dan seorang remaja pula.

It amazes me to see I can get along pretty well with a teenager. If this were a teenage girl it wouldn’t amaze me because we share the same gender which makes it easier to talk to them. But this one is a boy, a teenager too.

Hal lain yang mengherankan saya adalah karena saya lebih terbiasa menghadapi anak-anak usia TK dan SD. Berhadapan dengan anak remaja, saya jadi kikuk. Tidak tahu bagaimana saya harus bersikap. Bingung harus berkata apa. Rasanya mereka seperti mahluk dari planet lain dan mereka bicara dengan bahasa mereka sendiri yang tidak bisa saya mengerti.

Another thing that amazes me is because I am more accustomed to deal with kindergarten or elementary kids. Being with teenager makes me feel awkward. I don’t know how to treat them. Don’t know what to say to them. It were as if they came from different planet and they talked in their own language that I don’t understand.

Anak-anak remaja itu rasanya sama kikuknya bila berhadapan dengan orang dewasa karena harus diakui orang dewasa identik dengan nasihat, larangan, omelan, kritikan dan peringatan agar mereka yang lebih muda bersikap penuh sopan santun dan hormat.

The teenager feel mutual awkwardness toward adults because we have to admit that adults are identic with advices, rules, nagging, critics or keep reminding the young ones to watch their good manner and respect toward the elder.

Akibatnya para remaja itu menjadi tidak nyaman berada dengan orang dewasa. Mereka bersikap acuh, dingin, formal atau menjauhi orang dewasa.

The result is those teenagers feel uncomfortable being around adults. They are ignorant, distant, formal or avoiding the adults.

Vincent tahu saya seorang dewasa. Dan walaupun dia kelihatannya bisa bergaul dengan siapa saja, saya tahu dia senang bergaul dengan saya karena sikap saya tidak seperti orang dewasa pada umumnya.

Vincent knew I am an adult. And though it looks like he can get along with anyone, I knew he likes hanging around me because I don’t act like most adult.

Saya tidak peduli apakah dia bersikap penuh sopan santun atau penuh hormat pada saya, saya tidak merasa terganggu kalau dia kelepasan bicara menggunakan bahasa atau ungkapan yang kasar, tidak menjadi gusar kalau dia bersikap nyeleneh.

I don’t care if he watches his manner or treat me in full respect or not, I don’t bother when he spontaneously speaks using bad language, it doesn’t upset me when he is being goofy.

Hasilnya adalah kami jadi berteman. Kami tidak merasa ada jurang pemisah. Dia merasa bisa menjadi dirinya sendiri ketika berada dengan saya dan begitu pula sebaliknya. Rasa nyaman dan saling percaya ada dalam hubungan kekawanan kami.

The outcome is us making friends. We don’t feel there is a gap diving us. He feels he can be himself when he is with me and vice versa. There is the feeling of comfort and trust in our friendship.

Saya memiliki seorang senior di tempat kerja saya yang walaupun berusia jauh di atas saya tapi bisa membangun dan membina hubungan tanpa jurang pemisah di antara kami. Ada rasa nyaman dan percaya dalam hubungan itu ketika masing-masing kami dapat menjadi dirinya sendiri.

I have a senior at work who, despite being much older than me, able to build and have a gap-less relationship with me. There are comfort and trust in that relationship when each of us know we can be ourselves.

Ketika orang mulai menyadari absennya saya dari ibadah, bergantian mereka mendatangi saya dan menghujani saya dengan pertanyaan serta nasihat tanpa pernah bertanya apakah saya membutuhkan semua itu, menyukai semua itu atau bisa menerima semua itu.


When people started to notice my absence in Sunday service, they took turn to come to me and showered me with questions and advices without ever asked if I needed any of it, if I liked any of it or if I could accept any of it.

Tapi senior saya yang satu itu tidak pernah bertanya, tidak pernah mendesak, tidak menasihati, tidak mengkritik, tidak menghakimi, tidak mengambil kesimpulan sepihak. Padahal saya tahu dia pasti telah lama mengetahui dan memperhatikan segala kelakuan saya dan posisinya membenarkan dia untuk melakukan seperti yang orang-orang lain lakukan.

But that one particular senior didn’t ask, nor pushed, gave advice, criticized, judged, made one sided conclusion. I knew he has known and must has been noticing my behavior and his position gives him right to do what those people did.

Ketika orang-orang lain membuat saya terpojok dan tercekik dengan berbagai pertanyaan, nasihat, kritikan dan saran mereka, yang dilakukan senior saya itu hanyalah mendatangi saya beberapa menit sebelum jam 8 pagi, mendekatkan mukanya ke muka saya dan berbisik sedemikian pelan sehingga hanya saya yang bisa mendengar, “Keke, nanti jam 8 ruangan kamu kunci ya”. Atau kalau tidak sempat, dia hanya akan memunculkan diri sejenak di depan pintu ruangan saya, menatap saya dan memberi kode lewat tatapan matanya atau dengan menunjuk jam tangannya.

When other people cornered and suffocated me with their many questions, advices, critics and suggestions, what my senior did was come to me few minutes before 8 am, put his face closed to mine as he whispered so soft that I was the only one who could hear what he was saying “Keke, lock this room at 8 am okay”. Or if he didn’t have time to do this he would only appear at door and gave me the message through his eyes or by pointing his wrist watch.

Ketika saya hanya mematuhi aturan untuk mengunci ruangan tapi tetap menolak untuk mengikuti ibadah, senior saya tidak mendatangi saya dan langsung menembaki saya dengan sejuta pertanyaan atau nasihat, walaupun saya tahu pastilah ada banyak pertanyaan yang ingin diajukannya kepada saya.

When I obeyed the rule to lock the room but still skipping the service, he didn’t come to me and peppered me with millions of questions and advices, though I knew there must be many questions he wanted to ask me.

Saya menolak untuk menceritakan apa yang membuat saya ogah beribadah.

I refused to tell the reason why I skip the services.

Saya bungkam.

My mouth was sealed.

Saya malas bicara. Kalau yang di ajak bicara bisa mengerti, kalau tidak kan percuma saja. 

I didn’t have the mood to explain things out. If the person I talk to could understand me, if not, it would mean talking for nothing.

Saya pikir dari pada orang buang enerji dengan memperhatikan saya, kenapa mereka tidak melakukan intropeksi terhadap diri mereka sendiri.

I thought they better not waste their energy to put their attention on me while they could do that to make self-introspect on themselves.

Biarlah saya berjalan sesuai dengan prinsip dan keyakinan saya sendiri.

Let me live with my own principle and belief.

Toh hal itu sudah berjalan selama setengah tahun dan tidak seorang pun dirugikan karenanya.

It has been going on for half a year and none of them got anything to lose.

Kemudian terjadilah sesuatu hanya sehari setelah tahun baru yang membuat saya berubah pikiran.

And then something happened just a day after new year that made me changed my mind.

Ucapan seseorang telah membuat saya merasa amat sangat tidak nyaman yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk menemui senior saya itu dan mengatakan sejujur-jujurnya tentang apa yang membuat saya selama beberapa bulan terakhir ini menolak untuk ibadah.

Words spoken by somebody to me have made me feel so very uncomfortable, I decided to see my senior and told him the truth about what have made me skipped Sunday services in the past few months.

Hari Minggu, 5 Januari itu kami bicara berdua selama hampir satu jam.


On that Sunday, January 5th, we talked privately for almost an hour.

Dan saya menceritakan hal-hal yang telah membuat saya kehilangan segala hal yang dulu pernah saya percayai, saya tidak menyembunyikan perasaan saya karena saya tahu bersama dengannya, saya bisa menjadi diri saya sepenuhnya, dia bisa membuat saya merasa nyaman dan saya mempercayainya.

And I told him the things that made me lost my faith, I hid nothing because I knew I can be myself when I am with him, he makes me feel comfortable and I trust him.

Vincent merasakan hal yang sama yang saya rasakan terhadap senior saya itu dan hal itu membuat dia dapat berbicara jujur, tanpa ragu, malu atau takut diceritakannya segala perbuatan atau kelakuannya dari yang paling manis sampai yang paling berdosa, lihat saja contoh percakapan kami yang saya tulis di atas tadi.

Vincent feels the same feeling that I feel for my senior and this makes him can speak honestly, with no hesitation, shame or fear he told me about his behavior or things he did from the nicest to the nasty ones, just take a look at the above conversation. 

Respon saya mirip dengan respon senior saya setelah saya bicara padanya; tidak menghakimi, tidak menjejali dengan segudang nasihat, tidak mendikte, tidak membuat saya semakin merasa terpojok atau menjadikan saya semakin gelisah.

My respond was similar to my senior’s respond after I talked to him; non-judging, not buldging me with advice, not dictated me, not making me felt more cornered or put more tension on me.

Kata-katanya yang sederhana menentramkan hati saya, nada bicaranya yang lembut melunakkan hati saya, ada nasihat dalam kalimat-kalimat yang diucapkannya tapi tidak membuat saya merasa seperti berhadapan dengan guru agama yang menjejali saya dengan norma-norma agama, dia bicara tentang kehidupan yang nyata, tentang hal-hal yang ditemui dan dialaminya secara nyata dalam kehidupannya serta bagaimana dia mengatasinya.

His simple words eased my weary heart, his soft spoken voice soothed me, there were advices in his words but he didn’t make me feel I was facing a religion teacher who stuffed me with religious norms, he spoke about real life, about the things he met and experienced in his life and how he handled them.

Dia tidak mengecam pandangan saya. Yang diberikannya adalah pengertian tanpa membenarkan atau menyalahkan saya. Dan semua itu membuat saya merasa saya diberikan ruang untuk bernapas.

He didn’t condemn my point of view. What he gave me is his understanding without justified nor blamed me. This made me feel I was given room to breathe.

Satu dari hal-hal yang diucapkan oleh seseorang kepada saya, sehari setelah tahun baru, yang membuat saya merasa sangat tidak nyaman adalah bahwa ketidakhadiran saya dalam ibadah dapat memberikan kesan tidak baik tidak hanya pada diri saya tapi juga pada tempat kerja saya.

One of the things that somebody told me the day after new year which have made me felt very uncomfortable is my absence in Sunday services might put bad image not only on me but also on my work place.

Sementara itu saya bersikukuh untuk tidak berpura-pura. Bahkan tidak demi alasan menampilkan citra diri yang baik.

I on the contrary try to stay true to myself. I refuse to fake things, not even for the sake of good self-image.

Setelah kami bicara pada hari Minggu itu, saya dapat melihat senior saya tidak menganggap saya sebagai seorang pembuat ulah dan tidak menerima hal-hal yang saya katakan padanya sebagai sesuatu yang mencerminkan diri saya sebagai seorang yang aneh, tidak bisa di atur atau keluar dari jalur yang benar.

After our talk on that Sunday, I could see that my senior didn’t see me as sort of trouble maker and didn’t perceive the things I told him as something that pictured me as a weirdo, a rebel or an outcast.

Dia tetap menerima diri saya seutuhnya. Walaupun mungkin dalam hatinya dia tidak setuju atau prihatin dengan jalan pikiran, keputusan atau tindakan saya tapi itu tidak membuatnya mati-matian berusaha ‘meluruskan’ saya.

He accepts me just as me. Though in his mind he probably disagree or concern over my way of thinking, decision or behavior but he didn’t force his way to straighten me.

Hidup dan manusia mengajari kita tentang banyak hal.

Life and people teach us about many things.

Saya tidak tahu kapan saya akan kembali dapat mempercayai semua yang dulu pernah saya percayai atau apakah saya akan mau mempercayainya lagi tapi satu hal yang pasti, badai kehidupan menguji hati orang, memisahkan mana emas murni dan mana emas sepuhan.

I don’t know when I will have my faith back or if I ever want it back but one thing for sure is tough times in life tested what’s really in people’s heart, sorting out pure gold with fake ones.

Saya kehilangan keyakinan saya tapi pada saat yang bersamaan saya memperoleh pelajaran dan hikmat dari orang-orang disekitar saya.

I lost my faith but at the same time I’ve got lessons and wisdom from the people around me.

Saya tidak menyesal harus melalui periode ini karena pendirian saya sedang dibentuk dan saya sedang belajar untuk tetap berdiri teguh mempertahankan pendirian itu.

I don’t regret I have to go through this period of time because I am forming myself to have my own mind and to stand firm on it.

Pada masa-masa ini pula saya semakin yakin mana orang-orang yang murni dapat menerima diri saya apa adanya, yang tetap mempercayai saya, tetap berdiri di pihak saya dan tetap menyayangi saya.

In this same period of time I can tell which are the people who really accept me as me, who don’t lose their trust on me, who keep stand by my side and who love me unconditionally.

No comments:

Post a Comment