“Wah, … (nama murid les saya) pergi berenang, bu” begitu sambutan neneknya ketika saya muncul di depan pintu rumah mereka.
“Oh, … (my tutoring student’s name) went swimming, miss” said the grandmother when I showed up at their door.
Di saat lain.. “Tadi maksa mau ikut mamanya..”
At other time.. “She insisted to go with her mother..”
Atau.. “Jam tiga … (nama kakaknya) baru keluar dari sekolah. Ini lagi di jalan”
Or.. “… (her brother’s name) left school at three o’clock. He is on his way home”
Ketika saya memutuskan untuk tidak lagi meneruskan les mereka, hal-hal di atas itulah alasan utamanya. Walau pun tidak sering terjadi tapi lama-lama bikin sebal saya juga.
When I decided not to tutor them anymore, the above things are the main reason. So they didn’t happen often but it eventually agitated me.
Hal lain yang bikin saya sebal adalah setiap hari les, saya harus mengirimkan sms pada ibunya atau bahkan harus menelpon ke rumah mereka untuk mengingatkan atau menanyakan apa mereka bisa les.
Another thing that got to me is I had to text their mother or even had to call their house to remind or asked them if they would be able to have their tutoring on their tutoring days.
Sudah di sms atau di telpon pun, siangnya ketika saya datang ke rumah mereka, anak-anak itu tidak ada di sana dan saya baru tahu setelah saya sampai di rumah mereka.
Despite the text or phone call, I found them not home when I got there and only after I got there, did I know they were not at home.
Saya pernah bingung sendiri, apa mereka tidak pernah punya jadwal kegiatan? Apa saya harus buat di karton dengan huruf besar-besar bertuliskan “LES BAHASA INGGRIS, MINGGU & JUMAT, JAM 1 SIANG” dan menempelkan foto saya berukuran postcard di karton itu lalu saya tempel di tembok kamar tidur mereka?.. hehe.. oh, mungkin tidak cukup hanya di kamar tidur mereka, saya harus buat masing-masing satu untuk ditempelkan di ruang makan, ruang tamu dan kamar mandi..
I wondered do they ever have schedule on their activites? Should I write on cardboard “ENGLISH TUTORING, SUNDAY & FRIDAY, 1 PM”, glued my postcard photo on it too and put it on their bedroom wall?.. lol.. oh, maybe I should make extra copies to be put on the diningroom, livingroom and bathroom walls..
Insiden terakhir terjadi bulan lalu dan itu benar-benar bikin saya marah. Biasanya saya bersabar hati tapi sekali itu saya tahu saya tidak bisa lagi berkompromi. Sudah keterlaluan. Tidak bisa saya tolerir lagi.
Last incident happened last month and it really made me angry. I usually able to take it patiently but that time I just couldn’t compromise. It had gone too far. I can’t tolerate it anymore.
Paginya sudah saya sms ibu mereka. Ok, bisa les, katanya. Siangnya saya buru-buru dari kantor. Sampai di rumah mereka, anak-anaknya belum pulang dari sekolah. Tidak ada informasi bahwa mereka akan pulang lebih siang. Orang rumah tidak ada yang ingat jadwal les dan ibunya lebih tidak ingat lagi. Semua baru sadar hari itu ada les, ketika saya datang.
I texted their mother in the morning. Ok, they will have their tutoring, she texted me back. I rushedly left the office in the afternoon. I got at their house, they haven’t got back from school. I have got no information that they would leave school late in the afternoon. Nobody in their house remembered their tutoring schedule and their mother completely forgot it. Only after I got at their house that it knocked their heads that the kids had tutoring on that day.
Luar biasa!
Unbelievable!
Dalam pengalaman saya menjadi guru les dari tahun 2005, ada saja kasus-kasus seperti ini.
I have become a tutor in 2005 and I am telling you, I have met similar cases.
Kalau sampai guru les harus menghubungi orang tua murid lesnya untuk mengingatkan hari itu adalah hari les.. bukankah ini membuktikan anak itu tidak mempunyai jadwal kegiatan.
When the tutor must contact the parents to remind them about toturing on every tutoring day.. isn’t this proves the child has no activity schedule.
Kalau sampai orang satu rumah bisa lupa hari itu si anak ada les, bukankah itu jelas-jelas menunjukkan betapa pentingnya arti sebuah jadwal?
If everybody in the house completely forget the child has tutoring on that day, isn’t it show it clearly the importance of having a schedule?
Saya tidak tahu bagaimana orang tua jaman sekarang mendidik kedisiplinan pada anak. Mungkin sudah jauh berbeda dengan jaman saya dulu. Mungkin sekarang ini kontrol sudah jauh lebih longgar.
These days I completely have no idea how parents discipline their children. Maybe it is so different with my time. Maybe the control has become more loosened.
Ketika umur saya 11, kehidupan saya mengalami banyak perubahan. Adik saya yang tinggal satu, meninggal dunia karena sakit demam berdarah. Peristiwa itu menjadikan saya sebagai anak tunggal.
When I was 11, my life had many big changes. My only sister died of dengue fever. It made me as an only child.
Lalu ibu saya harus kembali bekerja.
After that my mother had to go back to work.
Awalnya saya dititipkan ke nenek saya (ibu dari ayah saya). Jadi pulang sekolah saya berada dirumahnya sampai sore hari ayah saya datang menjemput. Tapi itu tidak lama karena saya tidak betah berada di rumah nenek saya karena merasa diperlakukan seperti cucu tiri dibandingkan dengan sepupu-sepupu saya yang lain yang juga berada disana.
At first I stayed at my grandmother’s place (she was my father’s mother). I went there after school and in the afternoon my father picked me up. But it didn’t go long as I didn’t feel comfortable to be treated differently with my cousins who were also stayed there.
Orang tua saya mempekerjakan pembantu rumah tangga untuk menemani saya tinggal di rumah sepulang sekolah. Tapi ini juga tidak lama karena ada saja masalah yang ditimbulkan oleh pembantu demi pembantu itu.
My parents hired a housemaid to keep me company at home after school. But it didn’t go long because there were troubles brought by the maids.
Akhirnya kami sepakat saya akan tinggal di rumah sendiri. Jadi pada usia 11 tahun, saya membawa kunci rumah dan tinggal di rumah sendiri sejak pulang dari sekolah sampai orang tua saya pulang dari kantor sekitar jam 5.
Finally we agreed I was to stay home by myself. So I was 11 years old when I brought the key to our house and stayed home alone after I got there from school until around 5 pm when my parents returned from work.
Ibu saya membuatkan jadwal untuk saya. Jam 7 pagi sampai jam 11 ada di sekolah. Jam 12 di rumah dan sampai jam 1 siang kegiatan saya adalah; ganti baju, cuci tangan, makan siang, istirahat sebentar sebelum tidur siang.
My mother made me a schedule. 7 am to 11 am school time. After I got home at noon to 1 pm my activities were changed school uniform after I got home, washed my hands, had lunch and rested before napped.
Jam 2.30 saya bangun dan mempersiapkan diri untuk pergi les (kalau hari itu saya ada jadwal les). Kalau tidak, saya bisa bermain dengan anak-anak tetangga.
I napped until 2.30 pm and I had to prepare myself for tutoring (if I had tutoring on that day). If there was no tutoring, I could play with the kids in the neighborhood.
Jam 4 sore saya biasanya sudah ada di rumah lagi. Saya mandi. Nonton tv sambil menunggu orang tua saya pulang.
I usually back in the house at 4 pm. I took a bath. After that watched tv while waited for my parents to get home.
Jam 6 kami makan malam. Jam 7 saya belajar, mengerjakan pr atau mengecek pelajaran untuk besok. Jam 8 mempersiapkan buku-buku untuk dibawa ke sekolah besokannya. Jam 8.30 harus sudah beres supaya saya bisa nonton tv. Jam 9 atau paling lambat jam 9.30, saya sudah berada di tempat tidur.
We had dinner at 6 pm. I did my homework, studied or prepared for tomorrow’s subjects at 7 pm. 8 pm was to prepare the books I would bring to school tomorrow. It must be done at 8.30 pm so I could watch tv. 9 pm or by latest at 9.30 pm I had to be in bed.
Jadwal itu mengajarkan saya untuk disiplin dan mandiri.
The schedule taught me to become discipline and independent.
Karena awalnya saya harus melihat jam dan melihat jadwal itu tapi kemudian semua menjadi suatu rutinitas dan akhirnya saya sudah tahu apa yang harus saya lakukan pada jam-jam yang ada dalam jadwal itu tanpa harus diingatkan lagi.
Because at first I had to see the clock and the schedule but it became a routine and at the end I knew what I had to do on the scheduled hours without had to be reminded.
Yang paling saya sukai adalah orang tua saya, terutama ibu saya, mempercayai saya. Rasanya menyenangkan untuk bisa dipercayai dan untuk bisa bertanggungjawab atas diri sendiri.
What I liked most is my parents, especially my mother, trusted me. It felt so good to be trusted and to be responsible on myself.
Sewaktu saya tinggal di rumah teman saya, saya melihat bagaimana setiap malam dia harus berkali-kali mengingatkan anak-anaknya untuk belajar, untuk mengerjakan pr, untuk mempersiapkan buku-buku untuk dibawa besok ke sekolah..
When I stayed at my friend’s place, I saw how she had to remind her kids again and again to study, to do homework, to prepare the books they were going to bring to school tomorrow..
Bisa dikatakan anak-anaknya tidak akan bergerak kalau pantat mereka tidak di dorong oleh teman saya. Jangankan untuk belajar, untuk makan dan mandi saja, kalau tidak diteriaki oleh teman saya, anak-anak itu akan berlama-lama tidur, nonton tv atau bermain.
It could be said the kids wouldn’t move if my friend didn’t kick their asses. Let alone to study, they wouldn’t take a bath or have lunch-dinner if my friend didn’t yell at them or they would stay in bed, watched tv or played.
Duileee.. pikir saya antara geli, kasihan dan prihatin.. cuma lihat aja sudah bikin saya capek.. gimana teman saya yang harus ngelakoninya? Sudah berapa tahun hal seperti ini berjalan dan sampai berapa tahun lagi dia harus melakukannya?
Gosh.. I thought as I felt funny, sorry and annoyed.. I felt exhausted only by watching her.. how it would feel for her? How long has this been going and how many years should she do this?
Umur saya lebih muda setahun dari anak sulungnya ketika saya mulai jadi mandiri dan punya disiplin diri.
I was a year younger than her oldest child when I became independent and had self-discipline.
Melihat hal-hal itu menimbulkan pertanyaan ‘seperti apa orang tua mengajarkan disiplin dan kemandirian pada anak-anak mereka?’..
Seeing these things raised a question ‘how parents teach discipline and independency to their children?’..
Ketika Josh, putra Andre, melewatkan libur natalnya bersama ayahnya di Bogor, ibunya mengirimkan jadwal kegiatan Josh pada Andre. Dengan demikian entah dia berada di Amerika atau di Bogor, kegiatannya tetap mengikuti jadwal yang sudah disusun oleh ibunya.
When Josh, Andre’s son, spent his Christmas holiday with his father in Bogor, his mother emailed Josh’s schedule to Andre. This way, either the kid is in America or in Bogor, his activity could be maintained as the ones scheduled by his mother.
Beberapa perubahan tentu saja dilakukan dengan pertimbangan dalam suasana liburan. Misalnya jam tidur yang diperbolehkan satu jam lebih larut dari jadwal atau jam bangun yang lebih siang dari yang ada dalam jadwal.
Some changes were made because under the consideration that the kid was on holiday. So stayed up an hour late or getting up late than the ones in the schedule were permitted.
Membiasakan seorang anak untuk mengikuti jadwal memang bukan hal mudah. Tapi kalau orang tuanya atau orang dewasa disekitarnya tetap konsisten, cepat atau lambat, anak itu akan bisa.
It is not easy to make a child get used with schedule. But if the parents or the adults around him/her keep their consistency then sooner or later the kid will adapt the schedule into his/her life.
Saya suka menonton acara Nanny 911. Membuat jadwal termasuk dalam satu metode pendidikan yang mereka ajarkan.
I like watching Nanny 911. Making schedule is one of the things they taught.
“Oh, … (my tutoring student’s name) went swimming, miss” said the grandmother when I showed up at their door.
Di saat lain.. “Tadi maksa mau ikut mamanya..”
At other time.. “She insisted to go with her mother..”
Atau.. “Jam tiga … (nama kakaknya) baru keluar dari sekolah. Ini lagi di jalan”
Or.. “… (her brother’s name) left school at three o’clock. He is on his way home”
Ketika saya memutuskan untuk tidak lagi meneruskan les mereka, hal-hal di atas itulah alasan utamanya. Walau pun tidak sering terjadi tapi lama-lama bikin sebal saya juga.
When I decided not to tutor them anymore, the above things are the main reason. So they didn’t happen often but it eventually agitated me.
Hal lain yang bikin saya sebal adalah setiap hari les, saya harus mengirimkan sms pada ibunya atau bahkan harus menelpon ke rumah mereka untuk mengingatkan atau menanyakan apa mereka bisa les.
Another thing that got to me is I had to text their mother or even had to call their house to remind or asked them if they would be able to have their tutoring on their tutoring days.
Sudah di sms atau di telpon pun, siangnya ketika saya datang ke rumah mereka, anak-anak itu tidak ada di sana dan saya baru tahu setelah saya sampai di rumah mereka.
Despite the text or phone call, I found them not home when I got there and only after I got there, did I know they were not at home.
Saya pernah bingung sendiri, apa mereka tidak pernah punya jadwal kegiatan? Apa saya harus buat di karton dengan huruf besar-besar bertuliskan “LES BAHASA INGGRIS, MINGGU & JUMAT, JAM 1 SIANG” dan menempelkan foto saya berukuran postcard di karton itu lalu saya tempel di tembok kamar tidur mereka?.. hehe.. oh, mungkin tidak cukup hanya di kamar tidur mereka, saya harus buat masing-masing satu untuk ditempelkan di ruang makan, ruang tamu dan kamar mandi..
I wondered do they ever have schedule on their activites? Should I write on cardboard “ENGLISH TUTORING, SUNDAY & FRIDAY, 1 PM”, glued my postcard photo on it too and put it on their bedroom wall?.. lol.. oh, maybe I should make extra copies to be put on the diningroom, livingroom and bathroom walls..
Insiden terakhir terjadi bulan lalu dan itu benar-benar bikin saya marah. Biasanya saya bersabar hati tapi sekali itu saya tahu saya tidak bisa lagi berkompromi. Sudah keterlaluan. Tidak bisa saya tolerir lagi.
Last incident happened last month and it really made me angry. I usually able to take it patiently but that time I just couldn’t compromise. It had gone too far. I can’t tolerate it anymore.
Paginya sudah saya sms ibu mereka. Ok, bisa les, katanya. Siangnya saya buru-buru dari kantor. Sampai di rumah mereka, anak-anaknya belum pulang dari sekolah. Tidak ada informasi bahwa mereka akan pulang lebih siang. Orang rumah tidak ada yang ingat jadwal les dan ibunya lebih tidak ingat lagi. Semua baru sadar hari itu ada les, ketika saya datang.
I texted their mother in the morning. Ok, they will have their tutoring, she texted me back. I rushedly left the office in the afternoon. I got at their house, they haven’t got back from school. I have got no information that they would leave school late in the afternoon. Nobody in their house remembered their tutoring schedule and their mother completely forgot it. Only after I got at their house that it knocked their heads that the kids had tutoring on that day.
Luar biasa!
Unbelievable!
Dalam pengalaman saya menjadi guru les dari tahun 2005, ada saja kasus-kasus seperti ini.
I have become a tutor in 2005 and I am telling you, I have met similar cases.
Kalau sampai guru les harus menghubungi orang tua murid lesnya untuk mengingatkan hari itu adalah hari les.. bukankah ini membuktikan anak itu tidak mempunyai jadwal kegiatan.
When the tutor must contact the parents to remind them about toturing on every tutoring day.. isn’t this proves the child has no activity schedule.
Kalau sampai orang satu rumah bisa lupa hari itu si anak ada les, bukankah itu jelas-jelas menunjukkan betapa pentingnya arti sebuah jadwal?
If everybody in the house completely forget the child has tutoring on that day, isn’t it show it clearly the importance of having a schedule?
Saya tidak tahu bagaimana orang tua jaman sekarang mendidik kedisiplinan pada anak. Mungkin sudah jauh berbeda dengan jaman saya dulu. Mungkin sekarang ini kontrol sudah jauh lebih longgar.
These days I completely have no idea how parents discipline their children. Maybe it is so different with my time. Maybe the control has become more loosened.
Ketika umur saya 11, kehidupan saya mengalami banyak perubahan. Adik saya yang tinggal satu, meninggal dunia karena sakit demam berdarah. Peristiwa itu menjadikan saya sebagai anak tunggal.
few months before my only sister passed away |
Lalu ibu saya harus kembali bekerja.
After that my mother had to go back to work.
Awalnya saya dititipkan ke nenek saya (ibu dari ayah saya). Jadi pulang sekolah saya berada dirumahnya sampai sore hari ayah saya datang menjemput. Tapi itu tidak lama karena saya tidak betah berada di rumah nenek saya karena merasa diperlakukan seperti cucu tiri dibandingkan dengan sepupu-sepupu saya yang lain yang juga berada disana.
At first I stayed at my grandmother’s place (she was my father’s mother). I went there after school and in the afternoon my father picked me up. But it didn’t go long as I didn’t feel comfortable to be treated differently with my cousins who were also stayed there.
Orang tua saya mempekerjakan pembantu rumah tangga untuk menemani saya tinggal di rumah sepulang sekolah. Tapi ini juga tidak lama karena ada saja masalah yang ditimbulkan oleh pembantu demi pembantu itu.
My parents hired a housemaid to keep me company at home after school. But it didn’t go long because there were troubles brought by the maids.
Akhirnya kami sepakat saya akan tinggal di rumah sendiri. Jadi pada usia 11 tahun, saya membawa kunci rumah dan tinggal di rumah sendiri sejak pulang dari sekolah sampai orang tua saya pulang dari kantor sekitar jam 5.
Finally we agreed I was to stay home by myself. So I was 11 years old when I brought the key to our house and stayed home alone after I got there from school until around 5 pm when my parents returned from work.
Ibu saya membuatkan jadwal untuk saya. Jam 7 pagi sampai jam 11 ada di sekolah. Jam 12 di rumah dan sampai jam 1 siang kegiatan saya adalah; ganti baju, cuci tangan, makan siang, istirahat sebentar sebelum tidur siang.
My mother made me a schedule. 7 am to 11 am school time. After I got home at noon to 1 pm my activities were changed school uniform after I got home, washed my hands, had lunch and rested before napped.
Jam 2.30 saya bangun dan mempersiapkan diri untuk pergi les (kalau hari itu saya ada jadwal les). Kalau tidak, saya bisa bermain dengan anak-anak tetangga.
I napped until 2.30 pm and I had to prepare myself for tutoring (if I had tutoring on that day). If there was no tutoring, I could play with the kids in the neighborhood.
Jam 4 sore saya biasanya sudah ada di rumah lagi. Saya mandi. Nonton tv sambil menunggu orang tua saya pulang.
I usually back in the house at 4 pm. I took a bath. After that watched tv while waited for my parents to get home.
Jam 6 kami makan malam. Jam 7 saya belajar, mengerjakan pr atau mengecek pelajaran untuk besok. Jam 8 mempersiapkan buku-buku untuk dibawa ke sekolah besokannya. Jam 8.30 harus sudah beres supaya saya bisa nonton tv. Jam 9 atau paling lambat jam 9.30, saya sudah berada di tempat tidur.
We had dinner at 6 pm. I did my homework, studied or prepared for tomorrow’s subjects at 7 pm. 8 pm was to prepare the books I would bring to school tomorrow. It must be done at 8.30 pm so I could watch tv. 9 pm or by latest at 9.30 pm I had to be in bed.
Jadwal itu mengajarkan saya untuk disiplin dan mandiri.
The schedule taught me to become discipline and independent.
Karena awalnya saya harus melihat jam dan melihat jadwal itu tapi kemudian semua menjadi suatu rutinitas dan akhirnya saya sudah tahu apa yang harus saya lakukan pada jam-jam yang ada dalam jadwal itu tanpa harus diingatkan lagi.
Because at first I had to see the clock and the schedule but it became a routine and at the end I knew what I had to do on the scheduled hours without had to be reminded.
Yang paling saya sukai adalah orang tua saya, terutama ibu saya, mempercayai saya. Rasanya menyenangkan untuk bisa dipercayai dan untuk bisa bertanggungjawab atas diri sendiri.
What I liked most is my parents, especially my mother, trusted me. It felt so good to be trusted and to be responsible on myself.
Sewaktu saya tinggal di rumah teman saya, saya melihat bagaimana setiap malam dia harus berkali-kali mengingatkan anak-anaknya untuk belajar, untuk mengerjakan pr, untuk mempersiapkan buku-buku untuk dibawa besok ke sekolah..
When I stayed at my friend’s place, I saw how she had to remind her kids again and again to study, to do homework, to prepare the books they were going to bring to school tomorrow..
Bisa dikatakan anak-anaknya tidak akan bergerak kalau pantat mereka tidak di dorong oleh teman saya. Jangankan untuk belajar, untuk makan dan mandi saja, kalau tidak diteriaki oleh teman saya, anak-anak itu akan berlama-lama tidur, nonton tv atau bermain.
It could be said the kids wouldn’t move if my friend didn’t kick their asses. Let alone to study, they wouldn’t take a bath or have lunch-dinner if my friend didn’t yell at them or they would stay in bed, watched tv or played.
Duileee.. pikir saya antara geli, kasihan dan prihatin.. cuma lihat aja sudah bikin saya capek.. gimana teman saya yang harus ngelakoninya? Sudah berapa tahun hal seperti ini berjalan dan sampai berapa tahun lagi dia harus melakukannya?
Gosh.. I thought as I felt funny, sorry and annoyed.. I felt exhausted only by watching her.. how it would feel for her? How long has this been going and how many years should she do this?
Umur saya lebih muda setahun dari anak sulungnya ketika saya mulai jadi mandiri dan punya disiplin diri.
I was a year younger than her oldest child when I became independent and had self-discipline.
Melihat hal-hal itu menimbulkan pertanyaan ‘seperti apa orang tua mengajarkan disiplin dan kemandirian pada anak-anak mereka?’..
Seeing these things raised a question ‘how parents teach discipline and independency to their children?’..
Ketika Josh, putra Andre, melewatkan libur natalnya bersama ayahnya di Bogor, ibunya mengirimkan jadwal kegiatan Josh pada Andre. Dengan demikian entah dia berada di Amerika atau di Bogor, kegiatannya tetap mengikuti jadwal yang sudah disusun oleh ibunya.
When Josh, Andre’s son, spent his Christmas holiday with his father in Bogor, his mother emailed Josh’s schedule to Andre. This way, either the kid is in America or in Bogor, his activity could be maintained as the ones scheduled by his mother.
Beberapa perubahan tentu saja dilakukan dengan pertimbangan dalam suasana liburan. Misalnya jam tidur yang diperbolehkan satu jam lebih larut dari jadwal atau jam bangun yang lebih siang dari yang ada dalam jadwal.
Some changes were made because under the consideration that the kid was on holiday. So stayed up an hour late or getting up late than the ones in the schedule were permitted.
Membiasakan seorang anak untuk mengikuti jadwal memang bukan hal mudah. Tapi kalau orang tuanya atau orang dewasa disekitarnya tetap konsisten, cepat atau lambat, anak itu akan bisa.
It is not easy to make a child get used with schedule. But if the parents or the adults around him/her keep their consistency then sooner or later the kid will adapt the schedule into his/her life.
Saya suka menonton acara Nanny 911. Membuat jadwal termasuk dalam satu metode pendidikan yang mereka ajarkan.
I like watching Nanny 911. Making schedule is one of the things they taught.
No comments:
Post a Comment