Hari Sabtu (22/6) seseorang di tempat kerja saya muncul
diruangan saya sambil menyedot-nyedot hidung. Matanya kelihatan agak merah.
Last
Saturday (June 22nd) somebody at work showed up in my room making
sound like she was having runny nose. Her eyes looked a little teary.
Lalu dia bicara tentang ‘musibah’ yang menimpa keluarganya.
Ibu mertuanya yang berusia 98 tahun muntah darah.
And she
talked about the ‘unfortunate’ thing be fallen upon her family. Her 98 year old
mother in law spitted out blood.
Hmm…
Sekitar 1-2 jam kemudian dia kembali ke ruangan saya ketika
saya sedang berada bersama seorang rekan dan lagi-lagi dia menyedot-nyedot
hidung seperti sebelumnya. Kali ini lebih keras.
About 1-2
hours later she came to my room again when I was with my colleague. Again, she
made a sound like someone who was having runny nose. This time she made it
sounded louder.
Saya tidak memperdulikannya. Rekan saya yang sedang banyak
pikiran juga tidak terlalu memperhatikan. Jadi dia kembali mengulangi ucapannya
bahwa keluarganya sedang mengalami ‘musibah’.
I pretend I
didn’t notice any of this. My colleague who had lots of things on his mind
apparently didn’t notice it either. So she told us again about the
‘unfortunate’ thing be fallen upon her family. Her 98 year old mother in law
spitted out blood.
Rekan saya mengajukan beberapa pertanyaan singkat tapi
terlihat pikirannya sedang tidak terfokus pada apa yang didengarnya. Sedangkan
saya memilih untuk sama sekali tidak berkomentar.
My
colleague asked few short questions but it was clearly showed his mind was very
occupied that he didn’t focus on what he heard. In the meantime I chose not to
say any comment.
Belakangan saya mendengar bahwa dari ruangan saya, orang itu
pergi ke ruangan lain dimana sedang berkumpul sejumlah ibu-ibu yang sedang
latihan nyanyi. Di sana, sambil menyedot-nyedot hidung dan bercucuran air mata,
dia (kembali) bercerita tentang ‘musibah’ yang sedang menimpa keluarganya dalam
bentuk ibu mertuanya yang muntah darah.
Later I
heard that after leaving my room, she went to another room where some ladies
were gathered to have a choir rehearsal. There, making sound like having runny
nose and so teary, she (again) told about the ‘unfortunate’ thing be fallen
upon her family when her 98 year old mother in law spitted out blood.
Hari berikutnya dia datang ke ruangan saya pagi-pagi sekali.
Kebetulan di ruangan itu ada 4 orang lain.
The next
day she came to my room early in the morning. There were 4 people in my room.
Di luar dugaan saya tanpa di tanya, dia langsung duduk dan
bercerita tentang.. yah, apalagi kalau bukan tentang.. tentang ‘musibah’ yang
sedang menimpa keluarganya dalam bentuk ibu mertuanya yang muntah darah.
To my
surprise without being asked how she was doing, she sat down and started to
tell.. well, what else than about.. the ‘unfortunate’ thing be fallen upon her
family when her 98 year old mother in law spitted out blood.
Itu termasuk dengan acara menyedot-nyedot hidung dan air
mata bercucuran. Satu paket lengkap.
That was
including making loud runny nose sound and tearful. One whole package was
there.
Kalau saya pikir pertunjukannya cuma segitu saja, wah, saat
itu saya betul-betul salah kira karena ketika senior saya masuk, eh, dia
langsung meledakkan tangisnya dengan suara keras.
If
I thought the show was all that, I was completely wrong because when my senior
came into the room, she cried loudly.
Senior saya tentu saja kaget. Dia melirik-lirik tapi
untungnya tidak bertanya. Saya pun mencoba mengalihkan perhatiannya dengan
memintanya untuk menandatangani dua buah surat. Selesai tanda tangan, senior
saya keluar dari ruangan saya. Tetap tanpa komentar. Saya lega.
This surely
surprised my senior. He looked at her but thankfully didn’t ask any question. I
tried to distract his attention by asking him to sign two letters. After that
he left my room. Still without saying any comment which relieved me.
Beberapa saat kemudian senior saya kembali ke ruangan saya.
Mungkin mengira hanya tinggal saya yang ada di dalam ruangan sehingga bisa
bertanya ada kejadian apa tadi itu. Ya, orang-orang itu memang sudah keluar
tapi orang yang tadi membuat pertunjukan sinetron satu babak itu masuk lagi ke
ruangan saya dan masih ada di sana ketika senior saya masuk.
A moment later
my senior returned to my room. Thinking I was probably already alone in my room
so he could ask what was happening early this morning. So yes, everyone has
left my room but the person who made a scene got into my room again and was
still there when my senior came in.
Senior saya jelas melihat dia ada diruangan saya jadi ya ga
ada pilihan selain senyum dan nanya gimana kabarnya. Lah, malah di jawab ‘maaf
ya pak, kalau saya atau suami saya punya salah ke bapak’.
My senior
saw her and had no other choice than to smile to her and asked how she was to
which she replied by saying ‘please forgive me and my husband if we have done
mistakes’
Pret!
Wtf!
Senior saya terheran-heran mendengarnya. Pada waktu itu saya
betul-betul merasa antara ingin tertawa, malu, tapi rasanya juga ingin banget
melempar sepatu saya ke kepala manusia pencipta adegan sinetron sebabak ini.
Kirain sih pertunjukannya sudah selesai tapi rupanya masih mau dilanjutkan toh?
It puzzled
my senior. I felt I wanted to laugh, embarrassed and at the same time wanting
it so bad to throw my shoes to that make-a-scene person. I thought the show has
ended, well, so she wanted to make another scene?
Pertanyaan senior saya malah di jawab dengan tatapan mata
berkaca-kaca. Hah!
And she
answered my senior’s question with her teary eyes. Blah!
Keesokan harinya saya mendengar dari seseorang yang dekat
dengan saya di tempat kerja ini bahwa kemarin itu si pembuat adegan sinetron
satu babak itu mengulang-ulang cerita tentang ‘musibah’nya lengkap dengan adegan
menyedot-nyedot hidung dan berlinangan air mata.
The next
day I heard from a trusted person that make-a-scene-person went around and
repeated her story about her mother in law, oh, of course served in full
package of made noise of having runny nose and teary eyes.
“Kok ya kayak semua orang harus tahu tentang kesusahannya”
kata orang yang dekat dengan saya itu.
“As if everybody has to know about her trouble” said my trusted person.
Saya cuma mencibir.
I just sneered.
Maaf. Saya mungkin memberi kesan sebagai orang yang sangat
jahat, tidak punya belas kasihan dan tidak bisa berempati terhadap kesusahan
orang.
Well,
excuse me. I may give you the impression like a very mean person, not showing
mercy nor emphaty toward somebody’s misery.
Tapi orang ini sudah kami juluki ‘lebay’ dan semakin lama
lebay-nya tidak berkurang tapi malah bertambah.
We actually
have dubbed that person as ‘drama queen’ and her exaggerating on making a scene
has not lesser but increases.
Saya jadi ingat hal-hal yang saya alami sekitar 2 bulan
lalu.
Something
just reminded me to what have happened to me about 2 months ago.
Ibu saya dua kali harus di rawat di rumah sakit dalam selang
waktu hanya 2 mingguan. Yang terakhir
kali masuk rumah sakit, malah saya kira riwayatnya sudah akan habis sampai di
situ saja.
My mother
had to be hospitalized twice in just 2 weeks apart. The last time she was
hospitalized I really thought she was dying.
Bulan April itu juga menandai kira-kira 8 bulan saya
mengalami menstruasi nyaris tanpa henti karena gangguan hormon.
That same
April marked the 8 months of me having uncontrollable menstrual caused by
hormones.
Dokter kandungan yang saya temui bicara blak-blakan bahwa
saya sebetulnya harus dibiopsi untuk mengetahui apa penyebabnya. Kalau obat
yang diberikannya tidak bisa menghentikan menstruasi saya maka ada 2
kemungkinan penyebab; ada myum (tumor) dalam rahim atau ini adalah gejala
kanker rahim.
The
gynecologist spoke frankly that I needed to have a biopsy in order for him to
know what has caused my menstrual went crazy like that. If the medicines he
gave me could not stop the bleeding then there might be 2 possible causes; a
tumor in my uterus or a sign of uterus cancer.
Ketika sedang berada di apotik, saya duduk terpekur. Pikiran
saya kosong. Saya tidak tahu apakah saya harus tertawa atau menangis. Saya
hanya duduk dan tidak bisa merasakan apa pun.
When I was
in the drugstore, I just sat there quietly. My mind was empty. I didn’t know if
I had to laugh or cry. I just sat there dan felt numb.
Ibu saya sakit. Saya sakit. Diagnosa dokter sama sekali
tidak membesarkan hati.
My mother
was ill. I myself was ill. The doctor’s prognosis was bleak.
Saya telah mengalami berbagai macam kesusahan tapi selalu
ada jalan keluar. Namun malam itu, di apotik, sementara duduk diam membisu,
saya merasa perjalanan hidup saya sudah sampai ke titik akhir dan saya tidak
melihat ada jalan keluar.
I have had
many hardship before but there were always way out. But that evening, in that
drugstore, sitting quietly alone, I felt I had reached the end of my journey
and I saw no way out.
Dan pada saat kritis itu, senior saya yang baik hati itu
datang. Beliau bertanya apa yang dikatakan dokter. Dan beliau sejenak terdiam
setelah mendengar diagnosa menyeramkan yang beberapa menit sebelumnya
disampaikan dokter kepada saya.
In that
critical moment, my senior came. He asked what was the gynecologist told me.
He stood there, speechless for a minute or so after he heard the prognosis.
Mungkin beliau tidak mengira kalau selama berbulan-bulan
saya menyembunyikan kondisi saya. Bahkan keadaan ibu saya yang naik turun pun
baru diketahui banyak orang pada bulan April itu.
He probably
surprised to know that I had been hiding my real condition for months. The news
about my own mother’s condition was become known by people in that April.
Selama berbulan-bulan itu apa pernah orang melihat saya
bermuka sedih, pasang aksi seakan sedang sangat susah atau berdukacita?
For those
months has anyone ever seen me put on sad face, acted like I was in so damn
miserable?
Selama berbulan-bulan itu apa pernah saya mengumbar cerita
tentang kondisi fisik saya atau orang tua saya?
For those
months have I ever spread the news about my physical condition or my parents’s?
Tidak pernah.
Never.
Ada saat dimana saya sempat menjadi manusia yang cengeng.
Tapi kemudian saya belajar bahwa air mata tidak akan mengubah apa pun. Tidak
akan mengakhiri kesusahan. Tidak akan bikin penyakit hilang.
There were
times when I was teary and meek. But then I learned that tears won’t change
anything. Won’t end the misery. Won’t make illness gone.
Jadi saya mengeraskan hati. Menegarkan diri.
So I
hardened my heart. Turn myself into a tough person.
Pantang untuk saya menunjukkan isi hati saya yang
sesungguhnya.
I won’t
show the things I really feel.
Saya tekan seluruh emosi negatif dalam hati dan pikiran.
Saya tutup rapat-rapat. Saya sembunyikan semuanya.
I press
down all my negative emotion in my heart and mind. I close the door. I hid them
all.
Ketika saya sudah tidak tahan, saya masuk ke kamar, saya
kunci pintunya dan saya menangis diam-diam di dalam. Jauh dari tatapan orang.
Tidak terdengar oleh siapa pun.
When I
couldn’t take it anymore, I got into my room, I locked the door and I cried
there quietly. Hidden from anyone’s prying eyes. Unheard by them.
Sehari-hari saya menampilkan diri sebagai orang yang ceria,
tenang, sabar, terkendali.
I appear as
a fun loving person, calm, patient, controllable on daily basis.
Karena itu saya tidak bisa bersimpati terhadap orang yang
berkelakuan atau berkepribadian sebagai ‘drama queen’ (atau mungkin juga ‘drama
king’?).
It is why I
feel no emphaty nor sympathy toward people who act or have ‘drama queen’
personality (or perhaps there are also ‘drama
king’ out there?).
Siapa sih yang bebas dari kesulitan, masalah atau penyakit?
Who is
problem free or illness free?
Tidak ada.
None.
Kita hidup lurus-lurus saja pun, hal-hal menjengkelkan,
menyusahkan atau menyedihkan tetap terjadi.
Even when
we have a straight live, annoying, troubling or hurting stuff still came.
Jadi ketika ada orang yang berkelakuan menyebalkan atau
ketika tiba-tiba mengalami sakit, bencana alam atau kesusahan lainnya, tidak
usah deh dilebih-lebihkan seakan-akan semua itu sengaja muncul untuk
menyulitkan kita.
So when
people act like a jerk toward us or out of the blue we fell ill, natural
disaster hit or other troubles, don’t exaggerate it as if it came on purpose to
put us into trouble.
Jangan bertingkah kayak anak kecil!
Don’t be such a baby!
Apa anda pikir dengan mendramatisir perasaan, pikiran atau
keadaan anda maka segala sesuatunya akan berubah? Atau anda mengira masalah
akan pergi? Atau anda berpikir anda akan mendapatkan apa yang anda inginkan?
Bahwa anda akan mendapat kemenangan?
Would you
think that by dramatizing your feelings, thoughts or situation then everything
would be okay? Or problems would go away? Or you would get what you wanted? Or
you think it would make you win the battle?
Yang bener aja..
Yeah,
right, get real..
Atau itu untuk mendapat perhatian dari orang-orang? Lalu mereka akan mengalah kepada anda? Atau anda mengira bisa memperoleh keuntungan?
Or it is to get people's attention? That they would allow you to have you go on your
own way? Or you thought you could get something profitable?
Dulu sewaktu kita masih kecil, hal-hal demikian masih bisa
kita lakukan dan masih bisa memberi hasil memuaskan. Tapi masa umur bertambah
tapi kelakuan dan kepribadian masih setara dengan anak umur 5, 10 atau 15
tahun?
Sure, when
we were kids, we could do things like that and gained some. But come on, would
you get older but your attitude and personality are equal with a 5, 10 or 15
year old?
Jadilah orang dewasa.
Ingatlah bahwa bukan hanya kita satu-satunya yang mengalami masalah dan jangan pula mengira hanya kita yang paling menderita atau yang sangat susah. Ada banyak orang yang mengalami masalah lebih rumit dari yang kita hadapi atau harus hidup dalam penderitaan serta kesusahan yang lebih berat dari yang kita alami.
Just remember that we are not the only one with problems and don't assume that we are the most suffering people on earth. There are many people dealing with more problems or suffer more than us.
No comments:
Post a Comment