Belum lama berselang…
Not so long ago…
“Ka, bawa bekal?” tanya ‘adik’ saya pada Jumat (31/5) siang
itu.
“Do you bring your
lunch?” asked my ‘brother’ that Friday (May 31st) afternoon.
May 2012 |
“Yep” I stopped typing
on the computer. I stared at him. Studied his face “Why? Want to have lunch
with me?”
“Kakak jangan pulang dulu ya. Saya mau beli makanan”
“Don’t leave. I am gonna
go out to get something for lunch”
“Ya, gih, sana. Jangan lama-lama”
“Ok. Don't take long”
Kami pun makan siang bareng. Sesuatu yang dulu kerap kami
lakukan tapi menjadi hal yang jarang sekali kami lakukan selama 6 bulan
terakhir ini.
And so we had lunch
together. Something that we had regularly but rarely do in the past 6 months.
Saya banyak bertanya selama kami makan siang bersama itu.
Kapan kamu menikah? Dimana? Tinggal dimana nanti setelah menikah? Dan beberapa
pertanyaan lain.
I asked him lots of
question during our lunch that afternoon. When will you get married? Where is
it gonna take place? Where will you live after you get married? And many other
questions.
Oh, omong-omong, yang saya sebut ‘adik’ ini bukan adik
kandung. Dia rekan dan teman di tempat kerja. Tapi sejak awal dia memanggil
saya ‘kakak’ karena dia lebih muda 13 tahun. Lama-lama saya jadi memanggilnya
‘de’. Bukan niat memanggil ‘adik’ sebetulnya tapi menyebut huruf depan nama
panggilannya. Akhirnya jadi kebiasaan.
Oh, by the way, the
person I called my ‘brother’ is not my real brother. He is a colleague and a friend.
He has been calling me ‘sis’ since the day we met because he is 13 years
younger than me. I then called him ‘brother’, not really wanted to call him
that but it has become my own way of
calling him.
Selama kami mengobrol itu saya tidak bisa tidak berpikir
saya sudah tidak mengikuti hal-hal yang terjadi dalam hidupnya. Ya, saya tahu
dia akan menikah. Saya mendengar selintas dari pembicaraannya dengan
orang-orang lain tentang pernikahannya.
During our conversation
I just couldn’t stop thinking of how much I have left behind on following the
things in his life. Yes, I know he is getting married. I have heard him talked
about it when people asked about it.
Tapi saya tidak menyimak. Saya hanya mendengar. Tanpa minat.
But I wasn’t listening.
I just heard it. With no interest.
Siang itu saya menyadari bahwa sementara kami tetap
berteman, bekerja sama dan saling memanggil ‘kak’ dan ‘dik’ tapi masing-masing
sedang mengalami perubahan dalam kehidupannya.
That afternoon I
realized that while we remain friends, work side by side and call each other
with our affectionate call of ‘sis’ and ‘brother’ but each of us has gone
through changes in life.
Dalam waktu tidak sampai setahun ada demikian banyak
perubahan.
There are so many
changes in less than a year.
Saya tahu itu bagian dari kehidupan.
I know changes are part
of life.
Beberapa minggu lalu ‘adik’ saya ini melontarkan protesnya
“Kakak kok sekarang nyebelin sih?”
Few weeks ago my
‘brother’ protested “Sis, why is it you are lately becoming a pain in the ass?”
Saya kaget juga mendengarnya. Tapi saya balik protes “Lha,
memangnya kamu pikir kamu juga ga nyebelin?”
I stunned. But I snapped
back “And you think you have not become an ass yourself?”
Semua berakhir dengan tawa kami setelah saya menambahkan
“Sudahlah, kita saling menjengkelkan satu dengan lainnya”.
All end with the two of
us laughed after I said “Heck, so we are bitching at each other”
Tapi kata-katanya itu susah saya lupakan. Bukan karena hal
itu membuat saya kesal, marah atau tersinggung. Tidak. Pertanyaan itu
mengganggu perasaan saya karena saya menyadari kami berubah, kami tidak lagi
seperti dulu, kami tidak lagi sering mengobrol, curhat atau bercanda, kami
sibuk dengan urusan masing-masing sekali pun dari luar kami tetap kelihatan
dekat dan bisa mempertahankan hubungan baik.
But the truth is his
words haunted me. It does not upset or offend me. Not at all. It bothers me
because I realize we have changed, we are no longer like the way we were, we
don’t talk, share our feelings or jokes, we are busy with our own business
though we appear to remain close and in good relationship.
Tapi setelah berpikir-pikir lagi, perubahan ini membawa
dampak yang baik juga bagi saya karena saya kembali mandiri secara emosi.
But after gave it some
thoughts, this change is actually good for me because it makes me getting back
my emotional independency.
Saya tidak mau emosi saya dikendalikan oleh orang-orang
disekitar saya walau tentu saja sulit untuk tidak merasa hati terisi dengan
kegembiraan yang murni ketika bertemu atau bersama dengan orang-orang tertentu.
I don’t want my emotion
be controlled by the people around me although it is hard not to feel genuinely
happy when I meet or be with certain people.
Tapi apa jadinya kalau orang-orang ini berubah atau tidak
lagi bisa berada di sisi saya? Akankah hal itu mengurangi kebahagiaan saya?
But what happens when
those people change or can no longer be by my side? Will it make me less happy?
Saya belajar untuk tidak membiarkan orang mengendalikan kebahagiaan
saya.
I learn not to let
people control my happiness.
Ketika ‘adik’ saya tidak lagi bisa datang ke tempat kerja
saya sesering dulu, apakah itu akan mengurangi kebahagiaan saya?
When my ‘brother’ can
come to my work place as often as before, would it make me less happy?
Tentu saja tidak.
Absolutely not.
I am the one who
determines my own happiness.
Jadi jangan biarkan orang lain memegang kendali atas
kebahagiaan kita.
So don’t let other
people have control on our happiness.
Perubahan seringkali membawa dampak baik.
No comments:
Post a Comment