Sore itu sesuai dengan perjanjian, teman Andre mengirimkan
supirnya untuk menjemput saya. Ada acara makan malam dirumahnya. Tapi saya
lebih bersemangat untuk bertemu dengan orang-orang yang ikut makan malam itu.
That afternoon,
Andre’s friend sent his driver to pick me up. Dinner at his place. But it was
not dinner that I was looking eagerly to have. It was meeting the people at
dinner that excited me.
Great dinner.
Makanannya enak.
Tasty meals.
Minumannya beragam karena yang datang masing-masing membawa
sebotol minuman alkohol. Kecuali saya. Teman Andre mengatakan saya tidak perlu
membawa minuman apa pun karena Andre sudah mengirimkan sebotol anggur.
Various drinks
because those who came each brought a bottle of alcohol drink. Except me
because Andre’s friend told me I didn’t need to bring any since Andre has
already sent a bottle of wine.
Obrolannya ramai. Yah, jarang-jarang bisa kumpul seperti
ini. Percakapannya mulai dari peristiwa yang sudah lewat, soal pekerjaan
masing-masing, pasangan sampai ke gosip-gosip tidak penting.
Merry
conversation. Well, it is not everyday that we could get together like this. So
we talked about the things in the past, about our works, our partners to the
unimportant gossips.
Sepuluh orang mengelilingi meja makan itu. Laki-laki.
Perempuan. Tua. Muda. Berpasangan. Atau yang datang sendiri seperti saya.
Beragam kebangsaan. Dipersatukan oleh rasa lapar dan kekawanan.
Ten people sat
around that dining table. Men. Women. Old. Young. Couples. Singles like myself.
Multiple nationalities. Bond by hunger and friendship.
Bahasa Inggris adalah bahasa yang dominan terdengar malam
itu. Tapi kadang telinga saya menangkap bahasa Jerman, Perancis, Italia dan
Spanyol. Menyenangkan bisa mendengar berbagai jenis bahasa asing.
English was the
language spoken that evening. But sometimes I heard some Germans, French, Italian and
Spanish. It was such a pleasure to hear various foreign languages.
Kadang saya pikir mereka lupa kalau saya adalah orang
Indonesia. Dan di antara mereka yang berkulit putih, bermata biru, coklat,
kehijauan serta berambut hitam, coklat, pirang sampai merah ini, saya
satu-satunya yang melayu.
Sometimes I
think they have forgotten that I am an Indonesian. And among this people with
white skins, blue-brown-greenish eyes, black-brown-blond-red hairs, I am the
only one who is an Asian.
Mereka menerima, menghargai dan menghormati saya seakan saya
adalah satu dari mereka. Padahal bangsa saya sendiri kadang memandang saya
dengan sebelah mata.
They accept,
appreciate and respect me as if I were one of them. Where my own fellow
countrymen sometimes degrade me. Pity.
Mungkin juga mereka menganggap saya sebagai seorang dari
mereka karena saya pacar Andre. Karena Andre seorang kulit putih maka saya pun
dianggap demikian? Atau karena kepribadian saya yang membuat mereka menerima saya
sebagai bagian dari mereka? Entahlah. Yang pasti, saya gembira karena mereka
bisa menerima saya apa adanya dengan atau tanpa Andre.
Maybe they
accept me because I’m Andre’s girlfriend? Because Andre is a foreigner just
like them that I’m also seen that way? Or is it because of my own personality? Dunno.
One thing for sure is I am happy that they accept me as myself with or without
Andre by my side.
Saya sibuk dengan pikiran-pikiran itu.. dan bel di pintu yang berdering mengalihkan perhatian saya.
Me and my wandering thoughts.. and the door bell
rang distracted me.
“Itu dia datang” teman Andre tersenyum ke arah saya “dari
tadi sudah saya tunggu”
“There he is”
Andre’s friend smiled to me “I’ve been waiting for him to come”
“Who would that
be?” emang siapa sih itu? I wondered why he smiled like that to me Saya
bertanya-tanya kenapa kok dia tersenyum penuh arti begitu.
“You’ll see” he winked his eye. Dia mengedipkan sebelah mata. Lihat saja nanti.
Dan saya nyaris tersedak ketika mendengar orang yang datang
itu menyapa dengan suara keras I almost choked when I heard the guest’s greeted loudly “good
evening, everybody. Sorry I’m late. You know the traffic in Jakarta”. Selamat semuanya. Sori telat. Tahu
sendirilah lalu lintas di Jakarta.
Andre.
Saya melihat matanya seakan mencari seseorang begitu dia
masuk ke ruang makan. Pasti mencari saya. Jadi
dia tahu tentang makan malam ini. Dia tahu saya akan berada di sini. Semua
ini sudah diketahuinya atau mungkin sudah direncanakan dari awal.
I saw his eyes
searched the room when he got into the diningroom. He must be looking for me. So he knew about this evening’s dinner.
He knew I would be here. He knew everything about this or it might has been
planned from the start.
Kehadirannya langsung disambut dengan sapaan dari
teman-temannya.
His friends
welcomed him with their greetings.
“Darling, how
nice to see you again” sayang,
senang ketemu lagi.
“Dude, you came
just in time before we ate this all” bro,
kamu datang tepat waktu sebelon semua makanan ini kami habiskan.
“How’s
Singapore?” gimana keadaan
Singapura?
“How was your
flight?” gimana penerbangannya
tadi?
“Got stuck in
the bloody traffic eh, mate?” macet
ya tadi?
“What have you
got there?” apa yang kamu bawa
itu?
“Well, it’s so
nice to see you all again” senangnya
kita bisa ketemu lagi. Andre menyalami satu persatu, mencium pipi
wanita-wanita yang ada di situ “Singapore
is Singapore. The flight was okay. Yep, one hell of a traffic out there. Glad
to be here on time before you ate this all, kid. Well, I’ve got a bottle of champagne.
The best year” Singapura yah biasa aja. Penerbangannya lancar. Ya, lalu lintasnya gile bener. Sukur bisa sampai disini sebelum kamu habisin makanannya. Oh, saya bawa sebotol champagne. Tahun yang terbaik.
“What are we
celebrating?” apa yang kita
rayakan?
“To celebrate
tonight, to be here with friends and my girl” untuk merayakan malam ini, ada di sini dengan teman-teman dan gadisku.
Andre melembutkan suaranya ketika dia mengucapkan “my girl”, dia berlutut di sisi
saya, tersenyum lembut. Mukanya terlihat lelah tapi matanya bersinar.
Andre softened
his voice when he said “my
girl”, he kneeled beside me and smiled tenderly. He looked tired but his eyes
shone brightly.
Setelah tidak melihatnya selama berbulan-bulan dan mengisi
percakapan kami akhir-akhir ini dengan pertengkaran demi pertengkaran membuat
saya kehilangan kata-kata.
After not seeing
him for months and filled our conversation with fights after fights made me
speechless.
Dia tidak menunggu jawaban. Dia mencium saya. Harum tubuhnya
samar bercampur dengan bau cologne, sabun, obat kumur dan tembakau membuat saya
merindukannya teramat sangat.
He didn’t wait
for me to say anything. He kissed me. The smell of his body mixed with cologne,
soap, mouthwash and tobacco made me missed him so much.
Lama setelah makan malam itu selesai barulah kami bisa
bicara berdua di teras.
We talked in the terrace, long after the dinner over.
“What was in
Singapore? Why didn’t you tell me you went there?” I asked him. Saya bertanya. Ada apa di Singapura? Kenapa tidak kasih tahu kalau kamu ke sana?
“Business”
Andre menatap saya. Andre stared at me “Went to see
some people. And a friend of mine has been asking me to join his firm. I went
to check the place. He gives me fair remuneration and an apartment”. Bisnis. Bisnis. Ketemu dengan beberapa orang. Dan
seorang teman saya nawarin saya untuk kerja di perusahaannya. Jadi saya ke sana
untuk lihat tempatnya. Dia kasih penawaran yang menarik dan sebuah apartemen.
“What are you
saying?” maksud kamu apa?
Alis mata saya pasti sudah terangkat sampai ke dahi. My eyebrows must have been raised to my forehead “That you are moving to Singapore?” kamu pindah ke Singapura?
“Yes”
“How about your
job in the States? Your apartment? Josh?” tanya saya bertubi-tubi. I asked him one question after another.
“Well, I’ve got
this job offer that I don’t get everyday and I can keep my clients. I put my
apartment for rent. Josh is fine with his mom” saya dapat penawaran kerja yang bagus yang tidak boleh dilewatkan dan
klien saya toh masih tetap pakai jasa saya. Apartemen saya sewain ke orang
lain. Josh baik-baik saja dengan ibunya.
Saya tertawa antara lucu dan skeptis.
I laughed. It felt
funny and I was also skeptical.
“Why now?”
kenapa baru sekarang?
“You've always
nagging me to get a job in Jakarta. Well, this is the closest that I could get”
kamu kan selalu minta saya cari
kerja di Jakarta. Nah, cuma ini yang paling dekat yang bisa saya dapatkan.
“That’s all?”
Cuma itu alasannya?
“What do you
mean?” maksudnya?
“No other
reason?” bukan karena alasan lain?
“Well, actually,
there is, let me put it this way, I am responsible for bringing that man into
your heart” yah, sebetulnya ada, saya
ikut bertanggung jawab memberi orang itu kesempatan untuk masuk dalam hati kamu.
Jawaban Andre mengagetkan saya karena sebelumnya dia selalu
menyalahkan saya.
It was really a surprise
answer because he used to put the blame on me.
“I was not there
for you when you needed someone. He was there for you. He probably has liked
you for a long time, that is to say after I heard how you described him behaved toward you but that moment gave him the way to get into your
heart and you just respond according to your needs at that time. I don't think it was love. You were and are not in love with him. I'm sure of it” Saya tidak ada di sisi kamu sewaktu kamu memerlukan seseorang untuk
mendampingi. Yang ada adalah dia. Mungkin saja dia sudah lama suka sama kamu, kalau dengar dari cerita kamu tentang sikapnya ke kamu tapi momen itu memberi celah baginya untuk masuk ke dalam hati kamu. Kamu merespon sesuai dengan apa yang sedang kamu butuhkan pada waktu itu. Saya kira itu bukan cinta. Saya yakin kamu tidak jatuh cinta pada orang itu.
Saya terpana mendengarnya.
I stunned to
hear this.
“Yes, I blamed
you for a while” ya, untuk
beberapa waktu lamanya saya mempersalahkan kamu. Andre smiled. Andre tersenyum “I was angry. I was jealous. I knew there
were men attracted to you in the past but you didn’t really like them, at least
not like this one so I never felt so worry and threatened”. Saya marah. Saya cemburu. Saya tahu ada
beberapa laki-laki yang pernah suka ke kamu di waktu-waktu sebelumnya tapi kamu
tidak pernah benar-benar balas menyukai mereka, tidak seperti yang satu ini,
jadi ya saya cemas dan was-was.
Dia menggenggam erat tangan saya.
He hold my hand
tight.
“You are a
logical person, now think this with your logic, do you think that guy really loves you?” kamu orang yang berpikir
secara logika, nah, sekarang pikirlah dengan logika, apa laki-laki itu benar-benar mencintai kamu?
Saya menggeleng. Sepertinya sih tidak.
I shook my head. It does not seem like that.
“I know I’m not
a perfect man but I do love you and I don’t want to lose you” saya tahu saya bukan pacar yang sempurna
tapi saya mencintai kamu dan saya tidak mau kehilangan kamu.
“I accept this
job offer so I can be close with you. It will be easier for me to get to you
and I can spend weekends here. Perhaps one day after I get settled there, you
would consider to move there and stay with me” Saya terima tawaran pekerjaan ini supaya saya bisa jadi lebih dekat
sama kamu. Lebih gampang buat saya mengunjungi kamu dan saya bisa berakhir
pekan di sini. Mungkin suatu hari nanti setelah saya mapan di sana, kamu mau
mempertimbangkan untuk ikut pindah ke sana dan tinggal dengan saya.
I nodded. Saya mengangguk “that’s
good”
“So, are we okay
now?” Andre asked me. Andre bertanya pada saya. Kita baikan ya sekarang?
Saya tersenyum. Ya, kami berdamai pada malam
itu.
I smiled. Yes, we reconciled that evening.
Andre masih harus mengurusi beberapa hal mengenai
kepindahannya. Memang agak repot karena dia harus mondar-mandir tapi setidaknya
saya bisa berharap sebelum tahun ini berlalu dia sudah bekerja dan tinggal
lebih dekat dengan saya.
Andre has to
take care few things due to his moving. It makes him have to go back and forth
to few places but at least I can hope he will be working and staying closer to
me before this year ends.
Saya menulis ini dengan seijin dan sepengetahuan Andre
tentunya. Dengan mencatatnya saya bisa mengingat bahwa setiap hubungan bisa
mengalami naik turun. Bahwa siapa saja bisa tertarik pada lawan jenisnya. Dan
hubungan yang buruk tidak selalu mendorong seseorang untuk menjalin hubungan
dengan orang lain. Buktinya hubungan saya dan Andre tidak sedang bermasalah
ketika saya bertemu dengan laki-laki lain dan tertarik padanya. Untung saja
semua ini belum sampai berkembang jauh dan karena itu dampaknya belum sampai
kemana-mana.
No comments:
Post a Comment