Sewaktu Ibu Yayah menuliskan tentang nama desa tempat
tinggalnya, saya tidak membayangkan bahwa itu betul-betul desa karena tempat
saya tinggal pun masih ada yang namanya kantor desa.
When Mrs. Yayah texted me the name of the village
where she lives, I did not expect it to be a real village because the place
where I live has a village office.
Tapi daerah tempat tinggal saya tidak lagi bisa dikatakan
sebagai desa karena suasananya sudah suasana kota. Lagi pula perumahan tempat
tinggal saya sebagian besar di huni oleh pendatang dari Jakarta. Tidak heran
kalau gaya kami membawa diri adalah gaya orang-orang yang besar di kota besar.
The place where I live is not a village. It does
not have any village atmosphere either. Most inhabitants in my housing complex
are people from Jakarta so it is
the big city inhabitant’s attitude.
Saya adalah orang kota besar. Terlahir dan dibesarkan di ibu
kota. Walau pun bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan
telah banyak mengunjungi berbagai tempat di negeri ini tapi saya masih juga
terkaget-kaget ketika mengalami benturan budaya.
I am a big city person. Born and raised in Jakarta, the
capital city. Even though I have known lots of people that have various
background and I have visited many place in this country but I am still having
cultural shock.
Keramahan dan keterbukaan ibu Yayah saja sebetulnya sudah
menggambarkan ciri khas masyarakat pedesaan yang belum sepenuhnya
terkontaminasi oleh pengaruh pendatang dari kota besar.
Mrs. Yayah’s hospitality and openness have
actually put a picture about villagers characteristic that has not completely
contaminated by the city’s influence.
Karakter ini saya temui dalam diri keponakan ibu Yayah yang
menjemput saya di pasar Purwabakti. Remaja yang baru lulus SMA ini langsung
menyapa saya dengan ramah sampai saya merasa seakan-akan kami sudah kenal
sangat lama. Sikap ini persis sama dengan yang ada di ibu Yayah, suami, anak
dan mantunya.
I found this character in Mrs. Yayah’s nephew who
came to pick me from Purwabakti market. The young man who just graduated from
highschool greeted me warmly as if we have known each other for many years.
This same attitude can be found in Mrs. Yayah, her husband, daughter and son in
law.
Buat saya hal ini terasa sebagai sesuatu yang baru tapi
sangat menyenangkan. Karakter asli saya jadi muncul karena saya merasa dengan
orang-orang ini saya bisa menjadi diri saya sendiri.
For me this is a new thing, a bit odd but it is
pleasing. My real character came to the surface because I feel I can be myself
when I am with these kind of people.
Saya sebetulnya seorang yang lugas, spontan, tanpa pretensi,
tulus dan periang tapi dalam kehidupan sehari-hari terpaksa harus menahan diri,
memakai topeng ketika menghadapi orang-orang tertentu dan menyembunyikan diri
saya ketika saya menjadi seperti yang orang lain inginkan.
I am a straight forward, spontaneous,
unpretentious, sincere and cheerful person but I have to hold myself, wearing
mask when facing certain people and hide my real personality when I become what
other people want me to be.
Kejutan budaya berikutnya yang saya rasakan adalah saat saya
sedang duduk di ruang tamu rumah ibu Yayah. Sementara kami mengobrol itu
beberapa kali datang orang yang ingin menemui ibu Yayah. Dan begitu orang-orang
itu melihat ada saya di ruang tamu itu, mereka spontan mengulurkan tangan untuk
menyalami saya.
The next cultural shock came when I was talking
with Mrs. Yayah in her livingroom. People came to see her and when they saw me
they spontaneously handed out their hands to shake hands with me.
Dipikir-pikir, mereka kan tidak kenal saya. Saya cuma
tamunya ibu Yayah. Kebiasaan orang kota adalah mereka tidak akan menyapa
apalagi menyalami!
I mean, they didn’t know me. I was
just Mrs. Yayah’s guest. People from the city wouldn’t do such thing!
Dulu sewaktu saya masih bekerja sebagai guru, setiap hari
Sabtu datang orang-orang dari Jakarta yang memberikan les musik dan balet
gratis. Biasanya saya belum pulang ketika mereka sampai. Jadi saya masih berada
di dalam kelas saya ketika mereka masuk, menaruh barang-barang, duduk atau
berdiri sambil mengobrol dan tidak sekalipun menegur saya apalagi menyalami
saya!
When I was working as kindergarten teacher, every
Saturday we had people came from Jakarta who would give music and balet lesson
for free. I usually was there in my classroom when they came there, put their
stuff, sat or stood talking to each other without even once greeted nor came to
shake hands with me!
Di tempat kerja saya sekarang ini saja pernah saya
kedatangan beberapa anak muda yang mengunjungi rekan kerja saya. Mereka masuk
ke ruangan saya, duduk, mengobrol dengan rekan saya itu dan tidak sekali pun
ada yang menegur, menyalami atau memperkenalkan diri kepada saya sementara
ruangan itu adalah ruang kerja saya dan mereka adalah tamu. Rekan kerja saya
juga merasa tidak perlu repot-repot memperkenalkan mereka kepada saya. Saya
ingat saat itu saya berdecak kagum dalam hati. Luar biasa orang-orang ini!
I had some young people came to my work place to
meet my colleagu. They came to my room, sat, talked with my colleague without
anyone bothered to greet me, came to shake hands with me or introduce
themselves to me. My colleague himself didn’t feel obliged to introduce them to
me. And they were in my room! I clicked my tongue in astonishment seeing those
people’s attitude. What an amazing behavior!
Rekan kerja saya yang sama itu belum lama ini datang dan
pergi tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. Saya dan seorang senior saya yang
sedang berada dalam ruangan saya menyadari ada orang datang karena mendengar
suara pintu ruangan sebelah dibuka orang. Ketika dia pergi, pintu tidak
ditutupnya lagi dan juga karena tidak bersuara maka kami tidak tahu kalau dia
sudah pergi lagi.
Not so long ago, the same colleague of mine came
and left without saying a word. I was in my room with a senior when we heard
someone opened the door of the room next to my room. But he didn’t close the
door when he left and didn’t make a noise so we didn’t hear him left.
Beberapa waktu kemudian saya menyadari ruangan itu tetap
gelap. Heran juga saya karena saya yakin saya dengar ada orang membuka pintu
ruangan itu. Jadi saya pergi memeriksa ruangan itu dan memang tidak ada seorang
pun di dalam situ.
After a while I peeked the room and wondered why
it was dark when I clearly heard someone open its door so I inspected it and
found no one was there.
“Siapa, Ke?” tanya senior saya ketika saya kembali ke
ruangan saya.
“Who was there?” asked my senior when I returned
to my room.
“Ga tau, pak” jawab saya tanpa memberitahunya bahwa saya
tahu siapa yang datang karena saya mencium harum parfum khas rekan saya itu
“Setan kali. Datang ga ketahuan siapa, pergi juga ga ada bunyinya”
“Don’t know” I didn’t tell him that I knew who
came because I smelled his perfume “Maybe a ghost. Didn’t know who came and no
sound when it left”
“Mungkin …” senior saya menyebutkan nama rekan saya itu.
Tapi karena melihat saya hanya mengangkat bahu, dia pergi keluar untuk bertanya
pada satpam. Beberapa waktu kemudian dia kembali, tersenyum lega “Bener, Ke,
tadi ….. yang datang”
“Maybe it was …” my senior said my colleague’s
name. but seeing me just shrugged my shoulder, he went out to the security to
ask who came few minutes ago. He returned to my room with a relief smile “Yes,
it was … who came”
Yah, hati orang jahat atau baik memang tidak bisa ditentukan
dari sikap dan prilakunya. Tapi beberapa pengalaman saya menunjukkan bahwa
orang yang kita sebut orang kampung, yang mungkin kita pandang sebelah mata
ternyata bisa lebih berbudaya dari pada kita yang menyebut atau menganggap diri
orang kota dengan martabat yang lebih tinggi.
It is true that a good or bad heart can not be
determined from one’s behavior or attitude. But my experiences shown that people
whom we called hillbillies, the people whom we underestimated have in fact more
culture than us and we regard ourselves as the city people who have more
culture than them.
Kita patut merasa malu.
No comments:
Post a Comment