“Nich alamat ibu. Dari terminal
Bubulak, naik angkot 05 jurusan Leuwiliang. Turun di Cemplang. Dari Cemplang
naik angkot jurusan Purwabakti. Di pasar Purwabakti turun. Naik ojek bilang aja
mau ke pak lurah Bajri di desa Cibunian”
“Here’s my address. From Bubulak bus
station, take the car to Leuwiliang. Get off at Cemplang. From Cemplang, take
the car to Purwabakti. Get off at Purwabakti market. Tell the motorcycle driver
to take you to Mr. Bajri, the head of Cibunian village”
Itu kutipan langsung sms dari Ibu Yayah hari Kamis siang
(23/5) yang membuat saya tertawa karena ketika saya meminta dia memberitahu
alamat rumahnya, saya membayangkan dia akan memberikan nama jalan, nomor rumah,
perumahan, rt/rw. Eh, yang saya terima justru seperti yang di atas itu sehingga
sampai sekarang pun saya tidak tahu rumahnya ada di jalan apa, nomor berapa,
rt/rw berapa. Hehe.
That was the text I received
from Mrs. Yayah on Thursday afternoon (May 23rd) which made me
laughed because it was not what I expected to get when I asked for her home
address. So I still don’t know the name of the street where she lives nor do I
know her house number.
Ibu Yayah berikut suami, anak dan mantunya berkenalan dengan
saya dan orang tua saya di rumah sakit PMI. Ibu saya sekamar dengan anaknya
yang terkena demam berdarah.
Mrs. Yayah, her husband, her
daughter and her son in law became acquainted to my parents and I when we were
in PMI hospital. My mother shared room with her daughter who was hospitalized
for having dengue fever.
Lucunya, ibu saya dan anak ibu Yayah masuk rumah sakit pada
hari yang sama dan keluar pada hari yang sama juga. Dan karena membawa dua
mobil, mereka menawarkan untuk mengantarkan kami pulang memakai satu dari dua
mobil itu.
Funny thing is, my mother and
Mrs. Yayah’s daughter was hospitalized in the same day and released on the same
day too. They brought their two cars and offered to take us home on one of
those cars.
Bantuan tidak terduga dan sangat disyukuri karena hari itu
turun hujan. Saya dan ayah saya sudah menyiapkan mental untuk menghadapi
kenyataan kalau kami harus membawa ibu saya pulang memakai kendaraan umum di
tengah hujan yang lumayan deras.
Unexpected
aid and thus, highly appreciated because it rained quite heavily. My father and
I were both prepared mentally to face the fact if we had to bring my mother
home using public transportation under the pouring rain.
Bisa dibayangkan ayah saya dalam usianya yang 68 tahun dan
dalam keadaan kelelahan karena menunggui ibu saya selama 4 hari di rawat, ibu
saya yang berusia 78 tahun yang belum 100% pulih dan saya sendiri yang saat itu
masih dibawah pengaruh obat untuk menormalkan hormon serta untuk menghentikan
menstruasi harus pulang memakai kendaraan umum di bawah guyuran hujan. Di Bogor tidak ada taksi. Harus sewa angkot.
If you could imagine my 68
years old father whom very exhausted for having to accompany my mother when she
was in the hospital for 4 days, my 78 years old mother who haven’t fully
recovered and myself who was also under the side effect of the medicine to
normalize my raging hormone and also to stop my menstruation, and we had to use
public transportation under the pouring rain to go home. There is no taxi in Bogor. If you don't want to use public transportation you have to rent a car.
Tidak seorang pun dari kami yang mengeluh atau menggerutu.
Berpikir saja sudah sulit pada waktu itu. Hidup demikian kerasnya pada kami
akhir-akhir ini sehingga bagi kami yang penting adalah kami saling mengasihi
satu dengan lainnya dan dengan demikian penderitaan tidak akan terasa sangat
menyakitkan.
None of us complained or
grumbled. We couldn’t even think. Life has been hard to us lately that what
mattered most for us is that our love sticks us together and it makes the pain
less painful.
Hubungan kami dengan ibu Yayah tetap berlanjut melalui sms.
Mereka sangat ramah dan bersifat terbuka sehingga rasanya kami sudah saling
kenal lama. Ketulusan dan keluguan seperti itu jarang ditemui di jaman seperti
sekarang ini.
Our communication with Mrs
Yayah continues through text. They are very friendly and have this welcoming
attitude that is rare in today’s time.
Undangan mereka supaya kami datang mengunjungi mereka
misalnya, bukanlah undangan basa-basi. Mereka dengan tulus dan serius ingin
supaya kami bisa mengunjungi rumah mereka.
They meant it when they invited
us to visit their house. A genuine and serious invitation.
Awal bulan Mei ini saya berpikir-pikir saya perlu pergi
menyepi sejenak. Saya perlu mengalihkan perhatian. Saya harus mencari suasana
baru. Saya perlu menenangkan hati dan pikiran.
Early this May I thought I
needed to get away for awhile. I needed a distraction. I must had a break. I
got to calm my mind and my heart.
Saya galau memikirkan dan melihat ibu saya yang kondisinya
naik turun. Saya galau memikirkan diri sendiri yang hampir sebulan ini
kembali menstruasi walau jumlahnya sudah tidak lagi segila bulan lalu. Saya galau
memikirkan kehidupan dan karir saya yang seperti jalan di tempat. Saya galau memikirkan begitu banyak cita-cita saya yang sepertinya kok jauuuuuuh sekali seakan nyaris tidak tergapai. Saya galau
memikirkan hubungan saya dan Andre yang secara sepihak telah saya istirahatkan
tanpa batas waktu. Saya galau karena saya bertemu seseorang yang membuat saya
tertarik padanya tanpa bisa memilikinya. Dan saya harus menghadapi kecemburuan
dan kecurigaan tidak hanya dari Andre. Konflik membuat saya semakin capek.
I was so troubled thinking and
seeing my mother’s condition goes up and down. I was troubled thinking about my
own condition for having menstruation for nearly a month now though it is not
as much as last month. I am troubled thinking about my life and career that
seems stuck. I was troubled thinking about my dreams that seemed so far away almost unreachable. I was troubled thinking about my relationship with Andre that I
have one sidedly decided to put it on break. I was troubled thinking about
someone I was attracted to and yet can’t have him. And I had to deal with not
just Andre’s jealousy and suspicion. I was so sick and tired with these
conflicts.
Ah, gila! Saya agaknya sudah gila.
This is so crazy! I obviously
have gone mad.
Rumah ibu Yayah menjadi tempat yang saya pilih sebagai
tempat pelarian.
And Mrs. Yayah’s home became my
chosen sanctuary.
Ayah saya melarang saya pergi sendiri ke sana.
My father told me not to go
there all by myself.
Tapi saya ingin bertualang.
But I wanted to have some
adventure.
Ya, saya tahu rumah ibu Yayah sangat jauh. 2 jam perjalanan
kata ibu Yayah. Ok, saya tahu kondisi fisik saya masih dibayangi oleh
menstruasi tapi asal jangan saya berangkat dengan perut kosong, rasanya sih
saya akan kuat.
Yes, I knew Mrs. Yayah house is
so far away. 2 hours needed to get there, she told me. Ok, I knew my
menstruation overshadowed my physical condition but I thought I would be fine
as long as I didn’t go there with empty stomach.
Saya ingin mengetes kemampuan fisik dan mental. Saya
merencanakan untuk melakukan banyak hal baru, pergi ke tempat-tempat baru dan
yang jauh-jauh dan bulan depan setidaknya saya telah merencanakan untuk dua
kali pergi hiking ke gunung.
I wanted to test my own
physical and mental condition. I planned to do new things, to go to new and far
places and next month I have also planned to go at least twice hiking to the
mountain.
Saya harus kuat dan kokoh lagi. Saya tidak boleh dikalahkan
oleh apa pun dan siapa pun. Kalau sudah begini, sifat kepala batu saya muncul.
Maklum, bintangnya saja Taurus. Banteng. Hehe.
I must get myself strong and
tough again. I must not be defeated by anything or anyone. Now at time like
this, my head strong character came to the surface. Well, I am a Taurus. A
bull. Lol.
Jadi hari Jumat siang (24/5) saya berangkat langsung dari
kantor. Mengikuti urut-urutan seperti yang ibu Yayah tuliskan dalam smsnya.
Semua berjalan lancar walau pun di terminal Bubulak sempat nyaris tertidur saya
di angkot saking lamanya itu angkot ngetem, kemudian terbingung-bingung mencari
angkot jurusan Purwabakti setelah sampai di Cemplang dan sempat salah turun
sebelum sampai di pasar Purwabakti. Bu Yayah sudah senewen saja ketika menelpon
saya,
So that Friday afternoon (March 24th) I
left from the office. I followed the direction given by Mrs. Yayah on her text.
Everything went smooth though I almost fell to sleep on the car at Bubulak bus
station because it seemed it took forever before it left, at cemplang I got
puzzled trying to find the car to take me to Purwabakti market and I got off
before it reached the market. Mrs. Yayah was nervous when she called me,
“Ke, salah turun dimana? Sekarang ada dimana?”
“Where do you get off? Where
are you now?”
“Ga tau, bu” jawab saya sekenanya sambil cekikikan antara
geli menertawakan ketololan sendiri yang bikin saya sampai salah turun dan sebagian karena agak senewen juga “Ah, gampang, bu, saya naik angkot yang sama aja” Pikir
saya, sudahlah, di bawa enjoy ajalah. Kan nanti juga sampai juga di pasar itu.
“I don’t know” I giggled at my
own stupidity and half nervous “oh, don’t worry, I’ll take another car” No
sweat, enjoy the trip. I would get at that market eventually. That is what I
had on mind.
Jam 3.30 sore baru sampai saya di pasar itu. Buset, ini
rekor baru. 3 jam bukan 2 jam seperti yang dikatakan oleh ibu Yayah ketika saya
bertanya berapa lama untuk sampai di rumahnya. 3 jam adalah waktu tempuh yang
sama dari Jakarta ke Indramayu dan Jakarta-Bandung. Gileee!!
I got at that market at 3.30
pm. Man, I just made a new record. 3 hours instead of 2 hours that Mrs. Yayah
said it would take to get to her house. Jakarta to Indramayu takes 3 hours
drive and so does Jakarta-Bandung.
Saya di jemput oleh keponakan ibu Yayah. Di sepanjang sisa
perjalanan lagi-lagi saya menahan napas melihat pemandangan indah pegunungan
dan sawah ladang yang membentang di depan mata. Kami berhenti dulu untuk
memotret.
Mrs. Yayah’s nephew picked me up with his motorcycle. Once again I gasped to see the beautiful view of the mountains and rice fields. We stopped so I could take these photos.
Ceritanya berlanjut dipostingan berikutnya…
No comments:
Post a Comment