Pembicaraan itu berlangsung tidak sengaja. Sabtu sore itu
seorang teman datang. Akan memakai
ruangan untuk berlatih. Tapi dia datang terlalu awal sehingga akhirnya dia
menunggu diruangan saya.
It was a conversation
that none of us intended to happen. That Saturday afternoon a friend came by.
She would use the room to rehearse but she came too early so she waited in my
room.
I forgot what exactly we
talked about but she ended up telling me about her mother.
Ibunya menderita diabetes dan tingginya tingkat gulanya
mengenai titik-titik saraf tertentu. Fisiknya memang pulih tapi kerusakan pada
sarafnya membuatnya menjadi seorang dengan cara berpikir dan berperilaku sulit.
Her mother is a diabetic
and her high blood sugar has somehow damaged her nerve. She recovered,
physically but her damaged nerve turning her into a difficult person on her way
of thinking and behaving.
Contohnya, ketika suaminya memintanya untuk memakai sandal
pada waktu dia akan berkebun, reaksinya adalah marah dan melakukan
kebalikannya. Berkebun tanpa alas kaki dan dengan kaki kotor berjalan masuk ke
rumah sambil menghentak-hentakkan kaki sehingga tentunya lantai rumah menjadi
kotor.
For example, when her
husband asked her to wear sandals when she wanted to do some gardening work,
she got mad and did the opposite. She went to the garden barefoot and then got
in the house with her dirty barefoot, thumping on the floor, making it all
dirty.
Sekalipun secara fisik beliau sudah pulih tapi tetap saja
tidak memungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi tidak ada satu pun
pembantu yang bisa tahan bekerja karena sikap beliau yang terlalu kritis, sok
tau dan skeptis.
Despite that she has
recovered but her condition still making her unable to do house chores but she
never able to get along with any maid. She would criticize, patronize and be so
sceptic toward the maid that none last long.
Jadilah akhirnya teman saya itu yang meluangkan waktu untuk
pulang bukan hanya untuk menengok orang tuanya tapi juga untuk membersihkan
rumah. Dan ibunya menyambut kepulangannya dengan berkata,
So my friend has to
spare her time to go to her parents house not only to check on them but also to
clean the house. And her mother greeting is,
“Babu mami pulang”
“My maid is here”
Teman saya menangis saat menceritakan hal ini sementara saya
tertegun. Tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun karena terlalu sulit percaya
seorang ibu akan mengeluarkan perkataan seperti itu terhadap darah dagingnya
sendiri tapi penyakit diabetes telah menyerang sarafnya dan membuat beliau
menjadi orang yang sulit, sulit untuk dipahami dan sulit untuk ditangani.
My friend cried as she
told me this while I was speechless out of disbelief that a mother would say
such rude thing to her own flesh and blood. But diabetic has damaged her nerve.
Making her a difficult person. Difficult to understand and hard to handle.
Yang melintas dipikiran saya pada saat itu adalah ibu saya
yang belum lama ini mengalami krisis kesehatan dan kondisinya kadang masih naik
turun. Melihatnya seperti itu sudah menguras seluruh enerji, emosi dan saraf
saya.
What crossed my mind at
that time is my own mother who had her health in crisis not so long ago and
having her condition in yo-yo situation, ups and down. Seeing her like that has
already taken lots of my energy, emotion and nerve.
Tapi setidaknya ibu saya tidak kehilangan akal sehatnya.
Saat kondisinya sedang baik, kami bisa mengobrol dan bercanda seperti tidak ada
seorang pun dari kami berdua yang sedang mengalami masalah dengan kesehatan.
But at least my mother’s
senses are still working well. When she is well, we talk and joke as if none of
us are having health issues.
Selama berbulan-bulan saya terjebak dalam situasi yang
sangat tidak menyenangkan berkaitan dengan kesehatan ibu saya dan kesehatan
saya sendiri. Saya berjuang untuk orang tua saya dan juga untuk diri saya
sendiri. Tapi bulan April lalu saya sampai di titik terendah dalam hidup saya
yang membuat saya kehilangan seluruh keinginan untuk hidup. Saya menyerah. Saya
ingin berhenti mengayuh dan membiarkan diri tenggelam.
For months I stuck in
unpleasant situation due to my mother’s health and also my own. I fought it hard
not only for my parents but also for myself. But last April I got to the lowest
point in my life and I lost my spirit. I gave up. I wanted to stop paddling and
let myself drowned.
Ketika teman saya menceritakan tentang ibunya, saya
merasakan kepedihan dalam hatinya karena saya juga merasakannya walau dalam
kasus yang berbeda. Penderitaan emosi dan fisiknya bisa saya pahami.
When my friend told me
about her mother, I felt her pain because I felt it too though through
different situation. I understood her misery and sorrow.
Ungkapan yang saya jadikan judul tulisan ini menjadi
ilustrasi bahwa kalau kita mau mengerti tentang permasalahan, perasaan atau
penderitaan orang lain, kita harus menempatkan diri dalam posisi orang
tersebut. Lebih baik lagi kalau kita sendiri pernah mengalami hal yang sama.
The proverb I use as the
title illustrates what would it take for us to really understand other’s
problem, feelings or pain. It would be to place ourselves in her/his position.
It would be much better if we have been there, that we have had same or similar
situation.
Satu alasan utama mengapa saya ogah menceritakan kesusahan
saya adalah karena orang belum tentu bisa mengerti seperti apa sesungguhnya
situasi dan perasaan saya. Mereka bisa saja mendengarkan, mengangguk-angguk
seakan mengerti, memberi senyum simpatik tapi saya meragukan apa benar-benar
demikian yang ada dalam hatinya.
One main reason why I
don’t tell people about my problems is because they can’t really understand my
situation and my feelings. They could listen, nodded as if they understood,
smiled sympathetically but I doubt it if that genuinely came from the heart.
Dulu sewaktu saya masih bekerja sebagai guru TK, beberapa
kali saya harus menjadi konselor bagi orang tua murid saya yang sedang
mengalami masalah dalam rumah tangganya. Satu hal yang bikin saya pusing tujuh
keliling karena saya sendiri belum menikah, manalah saya tahu tentang perkara
orang berumah tangga jadi bagaimana saya bisa memberi saran atau nasihat yang
benar atau bijaksana.
When I worked as kindergarten teacher, sometimes I had to
act as a counselor to my students’s parents who were having marital problems.
It gave me quite a headache because I am not married, how am I suppose to know
marital problems? How could I give them the right or wise suggestion and
advice?
Yang bisa saya katakan pada mereka adalah yang sejujurnya,
saya tidak bisa sungguh-sungguh mengerti keadaan yang sedang mereka hadapi,
saya minta maaf untuk itu. Tapi saya ada di sini bila mereka ingin curhat dan
membagi beban di hati.
I could only tell them
the truth, that I can’t really understand their situation, I apologized for
that. But I am here if they want to talk and share the burden.
Kehadiran seorang yang peduli seringkali lebih dibutuhkan
dari seribu nasihat atau sejuta kata penghiburan. Saya mengalaminya sendiri.
Seseorang hadir ketika saya tiba di titik dimana saya menyerah. Dia tidak
mengatakan sejuta kalimat. Dia datang pada saat yang tepat untuk menangkap
tangan saya ketika saya hampir tenggelam.
The presence of someone
who cares is more important than a thousand advice or a million words of
consolation. I knew this too well. Somebody came at the time I was ready to
give up. He didn’t say a thousand words. I was drowned and he caught my hand on
time.
Untuk beberapa waktu sesudahnya dia tidak berada jauh dari
saya sampai kemudian saya memutuskan untuk melepaskan diri dan
melanjutkan perjalanan dengan kemampuan sendiri.
For a short period of
time he was never far from me. Until I decided to let myself go and continue my
journey on my own strength.
Bahkan ketika saya telah sanggup melakukannya sendiri, saya
tahu dia tetap mengawasi dari jauh dan memastikan bahwa saya baik-baik saja.
Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana dia hadir ketika saya
memerlukan seseorang. Saya menghargai semua yang telah dilakukannya dan setulus
hati menghormatinya sebagai seorang pribadi.
No comments:
Post a Comment