Ketika saya berkesempatan untuk mengunjungi daerah pedesaan
di luar kota, saya mendapat pengalaman berharga untuk bisa bertemu, mengenal
dan mempelajari tentang orang-orang ini yang tidak dibesarkan, tinggal atau
bekerja di kota besar.
When I had the chance to
visit a village in the countryside, it gave me
precious experience to meet, know and learn about the people who are not
raised, live or work in the city.
Mereka lebih ramah, lebih terbuka, lebih spontan dan lebih
tulus dari orang-orang kota. Mereka memiliki cara berpikir yang juga jauh lebih
sederhana.
They are friendlier, more
welcome, more spontaneous and more sincere than the people in the city. They
also have simplier way of thinking.
Contoh sederhana yang saya lihat adalah tetangga ibu Yayah
yang menjemur pakaiannya di atas genteng rumahnya. Yap, betul sekali. Pakaian
basah yang sudah di cuci bersih itu di gelar di atas genteng rumahnya.
For example, I saw Mrs.
Yayah’s neighbor put her newly wet clean and freshed laundry on her house roof.
Kebetulan posisi rumahnya agak ke bawah karena lokasi desa
itu berada diperbukitan sehingga tanahnya naik turun, tidak rata. Jadi, si
tetangga itu tinggal berdiri di tanah yang agak tinggi di sisi rumahnya dan
dari situ dia jadi lebih tinggi dari atap rumahnya.
The village located in a
hill so it is not a flat ground. And if this neighbor goes up to the right side
of her house, she becomes taller than her house’s roof.
Cuma ya, saya tidak mengira hal ini akan dimanfaatkan untuk
menjadikan atap rumah sebagai tempat untuk menjemur pakaian. Jadi saya kaget
sewaktu melihat dia sedang asyik menjemur pakaian di atas genteng rumahnya.
Pemandangan seperti ini tidak pernah saya lihat di kota. Tadinya saya ingin
memotretnya tapi khawatir kalau dia memergoki nanti dia heran atau jadi
tersinggung. Karena itu saya hanya memandangi saja dari kejauhan sambil cengar-cengir sendiri.
I just didn’t expect anyone
would use it as a place to put fresh clean wet laundry. It surprised me seeing
her did that. I have never seen anything like that in the city so it crossed my
mind to take her picture but I worried it would make her wonder or upset her so
I just watched her and hid my smile.
Hal lain yang sempat membuat saya terkaget-kaget adalah
ketika mengetahui bahwa di desa, seorang perempuan seusia saya sudah dianggap
tua. Hah?? Nyaris saja tawa saya meletus. Umur saya baru saja jadi 42. Dan saya
sama sekali tidak merasa atau terlihat tua. Jadi yang bener aja dong, masa umur
segini sudah dianggap nenek-nenek?? Hehe.
Other thing that really
surprised me is when I was told that in the village, woman in my age is already
considered old. Whatta?? I almost burst out my laugh. I just turned 42. And I
don’t feel nor look old. So you gotta be kidding me to say that I was already
considered as a granny at this age?? Lol.
Tapi kemudian terpikir oleh saya bahwa rata-rata orang desa
menikah di usia sangat muda. Lulus SMP atau SMA mereka sudah menikah. Ya, jelas
saja usia 40an mereka sudah punya cucu alias sudah jadi kakek nenek.
But then I realized most people
in the villages get married in young age. They settled down after they graduate
junior or senior high school. So it makes sense that when they have become
grandparents when they are in their 40’s.
Ibu Yayah yang usianya 2 tahun lebih muda saja terlihat
seakan lebih tua 5-10 tahun dari saya. Dan 5 bulan lagi dia akan menjadi nenek
karena putrinya yang berusia 19 tahun sedang hamil 4 bulan.
Mrs. Yayah who is 2 years
younger than me looks like as if she were 5-10 years older than me. And in
another 5 months she will become a grandmother because her 19 years old
daughter is 4 months old pregnant.
Beda benar dengan saya yang lahir dan besar di kota. Umur 19
tahun saya baru lulus dari SMA dan ayah saya ngotot memasukkan saya ke
perguruan tinggi walau itu artinya dia harus menjual mobil kami satu-satunya
untuk biaya kuliah saya selama 3 tahun.
It is so different with me
who was born and raised in the city. I was 19 when I graduated high school and
my father insisted to send me to college though it means he had to sell our
only car to finance my 3 years college education.
Saya menyelesaikan pendidikan saya lebih cepat sehingga usia
saya baru 22 sewaktu saya lulus dan mulai bekerja. Target saya ketika itu adalah
5 tahun berikutnya saya akan kuliah sambil kerja untuk mengambil S1 tapi
keuangan saya banyak terpakai untuk orang tua sehingga rencana tinggal rencana.
I graduated early when I
was 22 and I have got my first job. My plan at that time is I would go back to
college to get my bachelor degree after 5 years but the funds was used for my
parents so there goes my plan.
Sejak itu ambisi saya hanyalah kerja dan kerja. Saya
pacaran-bubar-pacaran-bubar selama bertahun-tahun tanpa berkeinginan untuk
menikah. Sampai ketika usia saya mencapai lebih dari 35 tahun, saya merasa saya
belum mendapatkan cita-cita saya sehingga saya hapus pernikahan dari daftar
hal-hal yang ingin saya capai. Pertimbangan secara logika saja; pernikahan bisa
menghalangi langkah saya untuk mencapai cita-cita.
Ever since then my only
ambition was work and work. I had boyfriend-I broke up-had another
boyfriend-broke up again pattern for many years without any desire to get
married. And by the time I reached 35, I felt I haven’t accomplished my dreams
so I deleted marriage from my list of things that I want to do in my life. It
is pure logic; marriage would be a hindrance.
Orang kota bisa menerima pandangan seperti ini dan tidak
menganggap aneh perempuan seperti saya. Tapi orang desa menganggap hal itu aneh
dan mereka mengasihani saya. Coba bayangkan, saya dikasihani karena saya belum
menikah! Hehe. Ya ampun…
People in the city can
accept this point of view and thus don’t think I am sort of weird person. But
people in the village think differently. They find it odd and they feel pity.
Would you believe it that people feel pity to me because I am not married. Lol. Geez, for crying out loud…
Yang lebih mengagetkan dan lucu lagi, saya ditanyai apa saya
masih gadis? Wah, apa di kira saya belum menikah karena saya janda? Hah?? Dan
yang bertanya itu bapak-bapak lho. Weleh, saya datang buat berkunjung, pak,
bukan buat cari suami. Hehe.
What more surprising is
when I was asked if I am still a virgin. Am I what?? Or am I a widow? What an
assumption because I am not married. And fyi, a man asked me those questions.
Dude, I came to visit a friend and her family, not to find a husband. Lol.
Ya, pertanyaan-pertanyaan demikian membuat saya merasa lucu
bercampur jengah tapi saya yakin mereka tidak punya maksud untuk membuat saya
merasa tidak nyaman. Mereka hanya demikian ingin tahu. Jadi ya saya tidak
menjadi kesal karenanya.
Those questions made me
wanted to laugh it out loud but also felt a bit uneasy but I knew they didn’t
mean to upset me. They just had this big curiosity. So it didn’t upset me.
Saya pulang membawa banyak hal yang bisa saya pikirkan dan
jadikan tulisan. Tapi yang pasti, dengan segala hal yang saya temui di desa
itu, saya terpikat dengan masyarakatnya, dengan kehidupannya dan dengan
pemandangannya. Seandainya saya bisa tinggal dan bekerja di sana..