Beberapa hari sebelum kami berangkat ke Jimmers Mountain
Resort, yang menjadi pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah ‘Disana nanti saya sekamar dengan siapa?’.
Few days before
we left to Jimmers Mountain Resort, the question frequently asked was ‘With whom will I share my room?’.
Awalnya saya tidak merepoti hal itu karena pengaturan
rekan-rekan yang akan jadi teman sekamar saya sudah fixed. Tapi eh, rupanya
dirubah. Dua orang ditempatkan sekamar sementara si mahasiswa praktek dan saya
ditempatkan dalam dua kamar yang berbeda.
It didn’t bother
me at first thinking the people with whom I would share room with have already
fixed. Well, what did I know, it was changed. Two of them were placed in same
room while the intern and I were placed in two different rooms.
Setelah melihat daftar nama orang-orang yang sekamar dengan
saya, sontak saya minta dipindahkan.
I quickly asked
to be placed not with them once I learned whom I would share room with.
Maaf, jangan salah paham, alasan saya tidak ingin sekamar
dengan mereka bukan karena mereka orang-orang yang tidak menyenangkan. Saya
mengenal mereka cukup baik dan mereka adalah orang-orang baik tapi ini adalah
liburan, saat dimana saya ingin bebas lepas menjadi diri saya tanpa harus ada
kewajiban untuk jaim. Jadi saya harus sekamar dengan orang yang berpikiran sama
dengan saya.
Please don’t
misunderstand, the reason I didn’t want to share room with them was not because
they are unpleasant people. I know them well and they are nice people but this
was a vacation, time when I just wanted completely be myself without any
obligation to behave well. So I had to share room with somebody who had the
same mind.
Pilihan saya jatuh pada si mahasiswi magang. Kami berdua
berbeda usia lebih dari dua puluh tahun tapi ada banyak kesamaan di antara kami
dalam selera humor, musik, pemikiran dan prinsip. Yang terutama adalah kami
bisa menjadi diri sendiri, bisa bicara tentang apa saja, bisa bercanda
gila-gilaan, bisa ngomong dengan gaya paling nyeleneh, bebas dan lepas.
My choice fell
on the intern. There are twenty years of age gap between us but we have many
things incommon from our humor, music, thinking and principles. The most
importantly is we can always be ourselves with each other, we can talk about
anything, we can joke like crazy, talk in the most loosened way freely.
Ternyata membutuhkan sedikit perjuangan sebelum akhirnya
kami berdua bisa ditempatkan sekamar karena kami sempat dipisahkan walau kami
sudah ditempatkan sekamar oleh anggota panitia yang berwewenang dalam hal
pengaturan kamar.
It needed a
little struggle before we both finally placed in same room because we were put
in different room though we had been placed in same room by the incharge
committee member.
Kami berdua sama-sama bersyukur sekali bisa sekamar dengan
orang yang memang satu frekuensi sehingga suasana dalam kamar, dalam hati dan
dalam pikiran sama damainya.
We both were
grateful to share the room with somebody who is same in tune so the mood in the
room, in heart and mind are peaceful.
Karena tidak semua yang ikut ke Jimmers seberuntung kami.
Not everyone who
went to Jimmers was as lucky as we were.
Malam pertama kami disana.. jam 10, ibu (yang awalnya saya
pilih untuk jadi teman sekamar) muncul di depan pintu kamar kami yang kebetulan
sedang dibuka.
On our first
night there.. at 10 pm, a lady (whom I chose as my roommate) showed up at our
open door.
Dia mencari kamar rekan kami. Tapi hari berikutnya saya
diceritai oleh seorang ibu lain yang sekamar dengan ibu ini tentang alasan sebenarnya
kenapa malam-malam dia menyelinap keluar dari kamar mereka.
She was looking
for our acquaintance. But the next day another lady told me the real reason why
she sneaked out of their room that night.
Dua ibu ini, si mahasiswi magang dan saya awalnya
ditempatkan dalam satu kamar. Kami berempat satu frekuensi sehingga merasa pas
kalau berbagi kamar selama berada di Jimmers.
These two
ladies, the intern and I were placed in same room at first. We all are in same
tune so we all felt we would make each other as a good roommate during our stay
at Jimmers.
Tapi mereka berdua kemudian dipisahkan dari si mahasiswi
magang dan saya karena ada dua orang ibu lainnya yang ngotot ingin sekamar
dengan mereka.
But then they
were separated from the intern and I because there were another two ladies who
insisted to share room with them.
“Gue sih ok sama siapa aja, Ke” kata seorang dari dua ibu
ini ketika saya memprotes perubahan kamar ini.
“I have no
problem sharing room with anyone, Keke” said one of them when I protested the change in the arrangement of our room.
Ya sudahlah kalau mereka rela. Beda dengan saya dan si
mahasiswi magang yang tetap berupaya, hampir ngotot, untuk bisa sekamar.
Well, that
should do if they didn’t mind. Unlike me and the intern who kept tried,
insistently, to share a room.
Beberapa hari kemudian kami berempat berkumpul dan saling
berbagi cerita, satu dari sekian banyak cerita adalah tentang dua teman sekamar
mereka.
Few days later
the four of us got together and we shared stories, one of them was about their
two roommates.
the ladies who were supposed to share room with me and the intern |
“Oh.. jadi waktu malam-malam nongol di kamar kita rupanya
lagi stress ya” saya ngakak setelah mengetahui bahwa malam itu satu dari ibu
itu sengaja menyelinap keluar dari kamarnya karena tidak tahan dengan seorang
rekan sekamarnya.
“Oh.. so when
you came to our room that night you were distraught” I bursted out my laugh
when I learned how that night one of the ladies sneaked out of her room for she
couldn’t stand one of her roommate.
“Katanya ‘Gue sih ok
sama siapa aja, Ke’..” ledek saya masih sambil tertawa geli.
“What happened to “I have no problem sharing room with
anyone, Keke” “ I teased her as I still laughing.
“Gue mau gila rasanya, Ke” ibu itu ikut ngakak “Itu malam
gue sudah kagak tahan”
“I was going
mad, Keke” the lady laughed as hard as I was “That night I just couldn’t stand
it anymore”
Intinya adalah dua ibu yang paling cuek, paling humoris dan
paling santai dari semua orang yang saya kenal di tempat kerja saya, bisa
stress ketika menghadapi seorang ibu.
The point is
these two most outgoing, humorist and easy going ladies I have ever known in my
work place could get lots of stress when facing a lady.
Saya jadi ingat tulisan Trinity dalam bukunya ‘The Naked
Traveler - jilid 2’,
This reminded me
to what Trinity wrote in her book ‘The Naked Traveler - 2nd edition’,
“Kalaupun mau jalan
sama teman, pilih deh teman yang benar-benar dekat. Dengan kondisi lelah mental
dan fisik (dan keterbatasan uang), biasanya sifat asli manusia keluar deh, tuh.
Kalau bukan sama teman dekat, bisa-bisa sakit hati dan akhirnya berantem, deh”(hal.
250)
“If you wish to
travel with a friend, chose a very close one, because when we are mentally and physical exhausted (along
with funds shortage), this condition may bring out our true color. Could end up
having hard feeling or having a fight with our traveling companion” (page 250)
Entah itu rekan perjalanan atau rekan sekamar, filosofinya
pada dasarnya sama.
Whether it is
traveling companion or roommate, the philosophy is basically same.
Jadi jangan anggap remeh ketika memilih rekan seperjalanan
atau rekan sekamar. Jangan berkata atau berpikir ‘Ah, gue sih ok sama siapa
saja’ tapi kemudian jadi stress sendiri ketika orang yang ada bersama dengan
kita ternyata punya sifat, kepribadian atau kebiasaan yang amat sangat luar
biasa ‘ajaib’.. hehe..
So don’t just
pick anybody as traveling companion or roommate. Don’t say or think ‘Hey, I’m
ok with anybody’ but later become so stress when the person who accompanies us
happen to have ‘unique’ character, personality or habit.. haha..
No comments:
Post a Comment