Sebal dan gembira bergantian mengisi hati saya hari Sabtu ini (28/5). Mungkin seharusnya saya tidak sebal tapi yah, sebal dan sekaligus tersinggung sah-sah saja saya rasakan.
Begini, hari ini giliran saya untuk bercerita saat ibadah. Seminggu sekali diadakan ibadah di sekolah. Ngapain aja di ibadah itu? Ada bernyanyi lagu-lagu rohani Kristen, memberi persembahan dan kemudian mendengarkan cerita yang di ambil dari Alkitab.
Kepsek, wali kelas TK B dan saya bergantian menjadi pembawa cerita. Hari ini giliran saya. Dari rumah sudah saya siapkan materinya. Nah, sesaat sebelum ibadah mulai kepsek bertanya cerita apa yang akan saya sampaikan. Tentang Yohanes Pembaptis, kata saya. Apa intinya? Seorang pembawa berita atau firman Tuhan.
Hm. Mukanya menunjukkan pancaran antara ragu, skeptis dan sedikit.. mudah-mudahan ini cuma perasaan saya saja ya.. seperti meremehkan atau geli.. ya, seperti itulah. Sulit digambarkan. Tapi yang jelas saya tidak senang melihatnya dan karena saya sudah 6 tahun bekerja di TK ini yang artinya 7 hari dalam seminggu saya menemui kepsek maka saya sudah mengenal gelagat dari air muka seperti itu.
Benar saja. Sesaat sebelum tiba waktu untuk menyampaikan cerita, kepsek yang menjadi MC tiba-tiba mengatakan kepada saya bahwa beliau yang akan menyampaikan cerita.
Kalian mungkin berpikir apa yang harus saya keluhkan? Harusnya saya lega dong karena terlepas dari kewajiban menjadi pembawa cerita. Itu dia maksud saya di awal tadi. Harusnya saya tidak sebal. Tapi toh saya merasa sebal dan tersinggung juga.
Ini bagian dari kepribadian kepsek. Terlalu menganggap dirinya lebih baik, lebih tahu dan lebih bisa dari orang lain. Apesnya hal ini didukung dengan fakta bahwa beliau memang memiliki otak, cara berpikir dan kemampuan di atas rata-rata. Apesnya lagi, beliau juga (amat) menyadari hal ini. Jadi tidak heran kalau kemudian di dalam dirinya terbentuklah pemikiran bahwa orang lain tidak bisa melakukan sesuatu sebaik dia.
Bukan satu dua orang yang sudah mengeluhkan tentang hal ini. Bukan sekali dua kali hubungannya dengan orang lain menjadi tawar, pecah dan tegang karenanya.
Tapi hal-hal tsb tidak bisa menjadi suatu pengingat baginya untuk melakukan instropeksi diri karena di dalam benak pikirannya selalu ada pembenaran diri. Jadi baginya kalau hal itu terjadi maka kesalahan tidak terletak pada dirinya tapi pada orang lain yang tidak mau atau sulit menerima saran, nasihat dan kritik. Belum pernah saya mendengar doi mengatakan mungkin hal itu terjadi karena cara dan kata-kata yang tidak tepat atau bijaksana.
Sulit menghadapi orang seperti ini. Apalagi kalau dirinya dilengkapi juga dengan segala yang membuatnya merasa ‘di atas angin’ karena mempunyai kedudukan tinggi atau prestasi dan keberhasilan.
Padahal semua itu harusnya menjadi hal yang membuat siapa pun semakin renddah hati.
Kelebihan-kelebihan yang ada dalam diri manusia mana pun tidak ada yang abadi. Bahkan dalam hitungan detik kemampuan otak yang paling jenius pun bisa hilang. Tidak percaya? Seorang teman saya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cedera otak. Dia harus belajar lagi untuk membaca, menulis, berhitung dan mengingat, bahkan juga untuk bicara. Sebagian besar memori otaknya hilang yang membuatnya tidak bisa mengingat hal-hal dan orang-orang yang sudah dikenalnya atau yang pernah terjadi di masa lalu.
Peristiwa apa pun bisa membuat seorang manusia kehilangan hal-hal yang diandalkan dan dibanggakannya. Harta, kepintaran, kekuatan, keberhasilan, status, posisi, koneksi, kepopuleran. Jadi menurut saya goblok betul kita kalau kita petantang-petenteng di depan orang lain karena merasa diri lebih superior. Hal yang kita rasa membuat diri kita lebih superior itu bisa hilang secepat menjentikkan jari.
Lalu saat saya sedang melatih anak-anak menari kembali doi masuk. Bukan untuk mengawasi. Tapi ikut bergabung. Lho? Anak muridnya sendiri di kelas PG (Playgroup) bagaimana?
Teteh sudah dari awal menemani saya di kelas setelah diketahuinya saya akan melatih anak-anak menari. Tentunya karena dia lebih suka menemani saya. Hehe. Membantu saya melatih anak-anak bisa saja hanya alasan supaya dia bisa terlepas dari kepsek. Tapi saya ok ok saja kok. Malah enak bisa mendapat bala bantuan.
Teteh sudah dari awal menemani saya di kelas setelah diketahuinya saya akan melatih anak-anak menari. Tentunya karena dia lebih suka menemani saya. Hehe. Membantu saya melatih anak-anak bisa saja hanya alasan supaya dia bisa terlepas dari kepsek. Tapi saya ok ok saja kok. Malah enak bisa mendapat bala bantuan.
Di tengah-tengah asyiknya anak-anak berlatih menari tiba-tiba…
“Kamu di PG” sambil mengibaskan tangannya kepada saya seakan mengusir seekor kucing.
“Gimana sih ibu?!” dengan mengatakan gerutuan itu dan sambil setengah membanting pintu penghubung antara kelas saya dan PG saat saya menutupnya, saya pindah ke kelas PG.
Yang saya temui detik berikutnya adalah muka-muka keheranan dari Apin, mamanya Justin yang sedang menunggui adiknya Justin, Chelsea; mamanya Ferents, papanya Jason, serta di depan pintu mamanya Kezia, mamanya Jovan dan Michael serta neneknya Belinda.
“Lho? Terus siapa yang mengajar anak TK A menari?” tanya Apin karena samar-samar kami masih mendengar suara musik yang di pakai untuk menari anak TK A.
“Siapa lagi, Pin” saya tersenyum getir.
Tertawalah mereka.
“Jadi si emak yang ngajar di situ?” tanya mamanya Ferents antara bingung, geli, kasihan pada saya tapi juga senang.
Ya, itulah yang saya lihat dari reaksi mereka.
Di satu sisi mereka heran kenapa kok bukan wali kelas TK A sendiri yang melatih anak-anak TK A menari, kenapa wali kelas PG enak saja main pergi meninggalkan anak muridnya sendiri dan kenapa kok malah wali kelas TK A yaitu saya yang dialihkan untuk mengawasi anak PG yang sedang makan dan kemudian istirahat, kenapa ga teteh aja?
Tapi di sisi lain mereka sangat gembira karena di luar dugaan saya muncul. Segera saja saya mendengar komentar-komentar yang intinya mengatakan kegembiraan mereka karena saya yang mengawasi anak-anak mereka, bagaimana sikap dan perilaku kepsek yang menurut mereka aneh dan tidak tepat, lalu juga mengadukan kekesalan mereka, belum lagi mendapat cerita dari ibu salah satu murid PG itu yang mengatakan anaknya sudah berulang kali minta pindah sekolah karena tidak menyukai kepsek.
Waduh.
Tapi mendengar keluhan dan pengaduan mereka membuat saya prihatin.
Kegundahan hati saya semakin terhapus ketika anak-anak perempuan di kelas saya yang sudah selesai berlatih agaknya di suruh bermain keluar.
“Bu Keke!” seru mereka sambil berlari menghambur untuk memeluk saya yang sedang duduk di depan pintu kelas PG di temani emak-emak anak PG “Ibu kemana saja sih? Kok bukannya ibu yang ngelatih kita nari?”
Duh, nak. Saya mau jawab apa coba di tanya begitu? Tidak mungkin kan saya mengatakan ‘ibu guru kalian ini di usir keluar sama kepsek dan latihan kalian di ambil alih begitu saja oleh beliau’.
Jadilah saya memeluk mereka untuk mengusir kegetiran dalam hati. Saya benamkan muka saya dalam pelukan mereka dan merasakan aliran kasih dalam hati saya.
Setiap kali saya sedang merasa kacau, hal seperti ini kerap saya lakukan untuk merasakan kasih itu mengalir. Kasih yang saya rasakan untuk mereka dan kasih mereka kepada saya menjadi semacam obat pelipur lara. Saya selalu merasa jauh lebih baik, tenang dan damai karenanya.
“Hai, beli karcis dulu!” tiba-tiba Stevany berseru.
Beli karcis? Saya mengerutkan kening heran. Tapi detik berikutnya saya tertawa ngakak.
“Kalau mau duduk dipangkuan bu Keke beli karcis dulu” dengan gaya centil bercampur sok mengatur, Stevany memberi perintah sekaligus pemberitahuan kepada teman-temannya yang lucunya langsung antri berpura-pura membeli karcis. Hehe.
Yaelah. Di kata mau nonton pertandingan sepak bola apa? Tapi idenya boleh juga. Dengan cara begitu tidak ada yang merasa sirik melihat temannya dipangku dan dipeluk oleh saya.
Bahkan juga menghindari pertengkaran karena yang satu merasa lebih berhak untuk dipangku oleh saya dari pada yang lain. Temannya tentu tidak mau terima. Nah, jadilah ujung-ujungnya saya harus menjadi wasit. Bisa dibayangkankah itu? Berebut mau dipangku dan dipeluk oleh saya saja bisa menimbulkan pertengkaran. Hehe.
“Satu karcis sepuluh hitungan ya” kata saya geli. Mereka bisa menerima syarat saya itu. Jadi setiap anak yang mendapat giliran untuk duduk dipangkuan saya akan duduk dan dipeluk selama 10 hitungan.
Maksudnya, teman-temannya yang sedang antri menunggu giliran menghitung 1sampai 10. Hehe.
Wah, pangkuan dan pelukan saya laku nih. Hayo, siapa lagi yang mau dipangku dan dipeluk sama bu Keke? Tapi beli karcisnya dulu sama Stevany ya. Hehe.
Tapi setelah kira-kira 10 anak, rasanya kok gempor juga nih paha dan dengkul. Bagaimana tidak? Di atas pangkuan saya banyak yang tidak mau diam.
Macam-macam saja ulahnya. Dari yang duduk dipangkuan saya sambil mencubiti pipi saya, memencet hidung saya, melompat-lompat macam naik kuda, menarik telinga saya, memeluk leher saya sampai saya terbatuk-batuk karena tidak kira-kira memeluknya. Mereka tidak peduli kepalanya sampai ada yang beradu dengan pintu.
Sudah begitu anak PG pun ikut ambil kesempatan untuk… menggelitiki saya. Jadilah saya terkikik-kikik geli saat tangan-tangan kecil itu menggelitiki leher dan pinggang saya. Ampun! Jangan main keroyokan dong. Hehe.
“Bu Keke mah akrab sama anak-anak ya” kata mamanya Jovan dan Michael.
“Bu, yang kayak begini tidak ada di rumah” jawab saya geli “jadi selama di sekolah saya puas-puasin main, bergaul, mengajar sampai ngegonggongin mereka”. Hehe.
“Coba, berani tidak begitu ke bu .... (nama kepsek)” kata mama Kezia menggoda anaknya saat dia mencolek dan menggelitiki saya.
Saya cuma tertawa. Tapi sebetulnya tidak adil membandingkan kepsek dengan saya. Kami dua orang yang berbeda bagai langit dan bumi.
Tapi seandainya kepsek mau menjadi sedikit santai, luwes, tidak terlalu ingin sempurna dan menjadi superior serta tidak jaim maka beliau akan menjadi sosok pribadi yang lebih menyenangkan karena sebetulnya doi bukanlah manusia yang 100% buruk. Ada sisi-sisi kebaikannya juga. Tapi sayangnya tertutup oleh kelemahan dan kekurangannya.
“Bu, ini anak-anak mau istirahat?” tanya teteh kepada saya sambil menongolkan dirinya dari dalam kelas TK A.
“Wah, tidak tahu, teh” jawab saya “gurunya bilang apa?”
Teteh tersenyum penuh arti. Mengerti makna dalam sindiran halus pada ucapan saya tadi.
Tapi sebetulnya saya memang mengatakan itu karena tidak mau nanti menjadi kesal karena saat saya mengatakan anak-anak harus masuk ternyata ‘guru’ di dalam kelas saya menginginkan sebaliknya.
Bagaimana pun juga kan guru yang sedang mengajar di dalam kelas kan yang lebih tahu dan jelas berwewenang serta berkuasa atas kelas itu. Bukan saya yang sedang mengajar di dalam kelas itu. Jangan lupa bahwa saya sudah diusir keluar dari dalam kelas saya sendiri.
Untunglah semua sudah mengenal saya seperti apa orangnya dan kepsek seperti apa. Jadi para orang tua murid itu mengerti. Tapi bagaimana kalau mereka tidak mengenal masing-masing kami?
Bukankah tindakan kepsek tadi membuat saya bisa kehilangan muka di depan orang tua murid karena mereka bisa berpikir seperti apa cara saya melatih anak murid sendiri menari sampai kepsek mengambil alih dan menyuruh saya untuk mengawasi murid-murid di kelasnya yang saat itu sedang makan bekal dan kemudian bermain. Justru teteh yang hanyalah petugas kebersihan sekolah yang diperkenankan kepsek untuk mendampinginya di dalam kelas saya, melatih anak murid saya! Yah, Saya hanya bisa mengelus dada pada saat itu.
Kalau tidak suka dengan gaya atau cara saya mengajar anak-anak itu menari, ya bilang saja terus terang, toh saya bukan tipe orang yang tidak mau menerima saran, nasehat dan kritik.
Selama 6 tahun saya bisa menerima dianggap dan diperlakukan seperti anak bawang oleh kepsek karena saya menganggap saya sedang belajar. Tapi janganlah melakukan hal-hal yang membuat saya seperti dipermalukan di depan orang tua murid dong.
Saya mencintai pekerjaan ini. Saya mencintai anak-anak itu. Saya mencintai sekolah ini. Saya menyukai para orang tua dari murid-murid saya dan mempunyai hubungan baik, akrab serta erat dengan mereka. Tapi ada hal-hal yang belakangan ini membuat saya merasa tidak tahan. 6 tahun rasanya sudahlah cukup.
Hari Sabtu ini saya sibuk benar. Latihan menari yang saya ingin lakukan hanya sampai jam 9 ternyata mulur sampai hampir 9.30.
Akibatnya segala rencana pelajaran yang mau saya sampaikan ke anak-anak hanya satu yang bisa terealisasi yaitu mewarnai gambar badut & menempel kertas bertuliskan atas dan bawah pada kotak yang tersedia.
Karena hari Kamis wali kelas TK B lupa memberikan buku catatan bahasa Inggris kepada anak-anaknya maka ulangan bahasa Inggris tidak jadi diadakan kemarin dan dialihkan ke hari ini. Itu membuat saya tidak bisa nongkrongin anak-anak saat mereka sedang mengerjakan tugas itu. Yah, jadi tidak ada foto saat mereka sedang mengerjakan tugas deh.Yang ada hanya foto ini saat mereka sedang makan bekal.
Pulang sekolah…
“Bu, ada anak SD” lapor Anggi, anak TK B
Anak SD? Oh ternyata Brenda, Vena, Anggi dan Joan. Mereka sudah kelas 3, 4 dan 5. Mereka juga lulusan TK ini. Kecuali Joan. Tapi saya sudah lama mengenal Joan karena 3-4 tahun lalu dia les membaca pada saya. Sekarang anak itu sudah hampir setinggi saya! Tapi tetap saja anak itu kolokan pada saya. Hehe. Berfotolah kami.
Brenda, Vena, Joan & Keke |
Dalam segala hal ada saja yang bisa menghibur hati saya yang sedang kacau.
_________________________________________________________________
Happy and upset took turn on filling my heart today (Saturday, May 28th). Maybe I shouldn’t but I feel it makes sense for me to feel that way.
It has started when headmaster took over my turn to be today’s service story teller. We run a service every Saturday and the three of us (headmaster, B class teacher and myself) take turn to be the service’s story teller. We tell about Biblical stories.
This morning headmaster asked me what story did I pick. John the Baptist, I told her. What is it about? God’s messenger, was my reply. Hm. There was this familiar look that I’ve known too well (I’ve worked in this kindergarten for 6 years so I’ve known the people in this place too well). That look of a mix of sceptism, hesitation and (I hope it was just my feeling) mock. I shouldn’t be surprised nor upset when she just dismissed me from the task to be today’s story teller. You might even said I shouldn’t be upset at all. But I did feel upset.
The next incident happened when I was running dance rehearsal in my class. Headmaster suddenly got in the class which at first I thought she’d just watch us or help me or criticize me or the kids. She didn’t just do all that.
“Go to Playgroup” with a sway of her hand like I were just a cat she signed me to leave my own class in the middle of the dance rehearsal! Man, it was my kids in my class who were having dance rehearsal which was run by me from the first place!
So she and the cleaning lady who were running the rehearsal! At first it was me and the cleaning lady who came inside to help me running the rehearsal because she saw the Playgroup kids were having their snack time and would then have recess time.
It’s so typical of her. She would jump into anyone’s business and without asking if that person mind, she would take control of it. She’s always feel she can do it better than anyone else. She knows better. Over confidently drive her to act superior.
The problem with people like her is they have things that make them see and believe that they are smarter & more succeed than anyone else. Especially if they happen to have high position at work or social status that make them feel more convince that they really can do it all or can do it better than anyone else.
Not taking their advantages as things to make them low profile as they aware that each of those advantages is a blessing from God, given to them not to make them superior but to use it for good for other people.
We must remember that nothing is eternal in this world. So what we see as our advantages are immortal things that can be taken away from us in a matter of second. I’ve a friend who had head injury. She lost nearly all of her memory and had to learn to write, read and even to speak. Therefore is there any reason for us to treat other people bad because we feel they are not as good as us.
I was kicked away from my own class. I felt so upset and embarrassed when I entered Playgroup class. The kids & their parents looked puzzled to see me there.
“Who run the dance rehearsal then?” asked Justin’s mother.
“Who else?” I smiled in irony.
They all laughed. At one side they were just as surprised and puzzled as me to see how headmaster kicked me away from my own class. I am so glad they’ve known each of us well enough that they symphatised with me though I felt so humiliated.
In other side playgroup kids’s parents were happy that all of sudden I was incharge in that class. They soon gained me in conversation and many of them even unburdened themselves about how headmaster behaves toward their kids. One kid’s mom even said her daughter has been asking her to move her to different school because the kid don’t like headmaster.
I am so concerned to hear this.
“Miss Keke!” suddenly I saw the girls in my class ran out of their class “Where did you go? Why didn’t you run the rehearsal?”
Soon they swarmed me. Hugged me. Tried to sit on my lap. I was so touched by this though I didn’t know how to answer that question. I just hid my face on their back or shoulder as I hugged them.
“Stop! You all should buy a ticket first” with her girly style, Stevany acted like she was the boss.
Buy a ticket? I wondered what did she mean. I laughed it out loud when I learned that she meant that her friends should buy ‘ticket’ if they want to sit on my lap! Lol.
I was more surprised to see how her classmates obligedly lined up infront of her who pretend to be the lady in the ticket booth.
“Each ticket stands for 10 counts, ok” I smiled to them. It means the other kids should count one to ten when a kid sit on my lap. They agreed.
Happily they sat on my lap but it wasn’t just sat there. They would kiss me, pinched my cheek, hugged my neck so hard that it made me cough, pulled my ears and jumped as if they were horseback riding.
“The kids are close with you” said mom of Jovan and Michael.
“I dare you to do that to miss …. (headmaster’s name)” teased Kezia’s mother when her daughter tickled me.
I just laughed. But it’s not fair to compare me with headmaster because we are so different as heaven and earth. If only headmaster could be more flexible, not so perfectionist, would not worry about image and not eager to act superior toward us, she’d become a more loveable and likeable person. She’s not an entirely bad person, you know. But all her the good side seems to be so overshadowed with her annoying behavior.
“Are the kids allowed to have recess time?” asked school’s cleaning lady to me when she popped out her head from my class.
“How am I supposed to know?” I answered sweetly “what did the teacher in the class said?”
We stared at each other and the cleaning lady smiled. She understood the tease. I wasn’t the only one who was surprised, puzzled and upset by headmaster odd decision to send me off my own class to incharge in Playgroup kids who were having snack and recess time. Everyone thought the cleaning lady was more proper to do that.
But I meant what I said when I said what did the teacher incharge in the class said because any teacher who’s incharged a class is the one with authority to decide what the kids should / should not do. I didn’t want to get upset if headmaster objected my decision though it is my class and it is my kids.
I love this job. I love the kids. I have maintained good and close relationship with the kids’s parents. But after 6 years there are things that I feel enough is enough. I don’t want to take it anymore.
I was so busy today. The rehearsal that I scheduled to be run only until 9 am turned out to go until 9.30 am. The consequence is my teaching plan was turned upside down.
With English test were scheduled to be held today, there was little time for me to prepare the kids for today’s task. I could only give them one and that was to color the clowns and stick the sheet of papers that have ‘above’ & ‘below’ printed on them on the correct box. I couldn’t stay long to watch them do this task so I couldn’t take photo either. The only photo I took is when they were having snack.
After school…
“There are elementary kids” said Anggi, a B class student.
Who? Oh, it was Brenda, Vena, Joan and Anggi. Except Joan, they were all studied in this kindergarten some 4-5 years ago. But I’ve known Joan since 3-4 years ago because I tutored her reading. Now she is almost as tall as I am. We took a moment to take a photo. Joan is still very much cuddling when she meets me.
No comments:
Post a Comment