Just
recently I wrote about loved ones at home who are always wait for me returning
home every afternoon.
Ketika ibu saya masuk rumah sakit pada
akhir bulan Maret lalu, belum pernah saya merasa demikian hancur-hancuran.
I
have never felt so fell apart when my mother was hospitalized in March.
Saya bisa memiliki segalanya yang ada di
dunia ini tapi apalah artinya semua itu tanpa adanya orang-orang yang mengasihi
dan yang saya kasihi?
I
could have all the world but would it matter without the people who love me and
whom I love so much?
Ketika saya kembali ke rumah, rasanya
seperti meninggalkan dunia yang buruk, kotor, penuh dengan berbagai kepalsuan dan kejahatan.
When
I get home, it feels like leaving the wicked world and all its fakers and evil.
Segala ketegangan rasanya hilang ketika
saya membuka pagar. Segalanya menjadi demikian sederhana. Doggie berlari
mengitari saya. Menggonggong ceria. Melompat berdiri, minta kepalanya
ditepuk-tepuk dan dielus oleh saya.
I
can feel all the tension is gone when I open the fence. Everything looks so
simple. Doggie runs around me. Barks in its happiness. Jumps up, wanting me to
pat and caress its head.
Saya membuka pintu rumah, masuk ke dalam
rumah dan menutup pintu itu.
I
open the door, walk in the house and close that door.
Setiap kali itu pula saya merasa semua
orang aneh kini berada di luar.
Everytime
I do that I feel that I leave behind me all the crazy people out there.
Saya berada di dalam rumah. Doggie ikut
masuk. Ayah saya ada di dalam rumah. Ibu saya ada di dalam rumah.
I
am in the house. Doggie comes in too. My father is in the house and so does my
mother.
Saya tidak lagi peduli apakah ketika saya
pulang saya mendapati ayah saya sedang mengorok di sofa atau sibuk di dapur
atau menonton pertandingan sepak bola di tv, karena yang berarti bagi saya
adalah ayah saya ada di rumah.
When
I get home, I no longer give a damn whether I’d find my father snoring on the
sofa or busy in the kitchen or glue to the tv watching soccer match because
what matters most is he is there.
Saya tidak lagi peduli apakah ketika saya
pulang, saya mendapati ibu saya dalam keadaan sehat atau terbaring lemah di
tempat tidur karena sedang mendapat gangguan pada kesehatannya. Bagi saya, ibu
saya ada di rumah.
When
I get home, I no longer give a damn whether I’d find my mother is well or she
is lying on bed being unwell because what matters most is she is there.
Saya masuk ke rumah dan saya merasa aman
karena di sana ada mereka yang mengasihi dan yang saya kasihi lebih dari apa
pun yang ada di dunia ini.
I
get in the house and I feel safe because there are people who love me and whom
I love more than anything in this world.
Bersama mereka, saya menjadi diri saya sendiri.
Saya tidak perlu memasang senyum palsu, tidak perlu mengalah dan memberikan
kepala saya untuk diinjak, tidak perlu menjadi sasaran ketidaksukaan orang,
tidak perlu meminta maaf untuk hal yang bukan kesalahan saya, tidak perlu
tertawa ketika hati menangis, tidak perlu mengikuti kemauan orang lain yang
sangat bertentangan dengan hati nurani…
Being
with them means I can be completely me. I don’t have to put on fake smile, I
don’t have to give my head to become other people’s door mat, I don’t have to be
a scapegoat, I don’t have to apologize for the mistake that I didn’t do, I
don’t have to laugh when my heart is crying, I don’t have to follow other
people’s wishes that against my will..
Dalam dunia yang keras dan dipenuhi dengan
segala manusia sinting, saya memiliki satu tempat berlindung, tempat saya dapat
bernapas, tempat yang aman dan memberikan kedamaian.
In
this wicked world inhibited by jackass, weirdos and bitches, I have one safe
place where I can hide, I can breathe, a sanctuary, a place I find peace.
Saya sudah pergi ke banyak tempat yang
indah dan memukau. Saya bertemu dan bergaul dengan berbagai orang yang sangat
baik, mengagumkan dan luar biasa.
I
have been to many beautiful places. I have met and hung around amazing,
wonderful and kind people.
Tapi dalam segala kekurangannya, orang tua
saya adalah orang-orang yang membuat saya menjadi diri saya sekarang ini.
Mereka adalah air yang menyejukkan, benteng yang melindungi, karang yang kokoh,
penawar racun dan obat yang paling manjur untuk segala kesakitan yang diberikan
oleh dunia serta manusia-manusianya.
But
with all their imperfectness my parents are the people who make me as the
person I am today. They are the cool water, the fortress, the solid rock, the
antidote and medicine that heal me from all the pain given by the world and its
man.
Ketika orang-orang yang saya kasihi
menderita, saya merasakan kepedihan yang lebih dalam dari pada ketika orang
mencaci dan menghina saya.
When
my loved ones suffer, it hurts me more than when people yelled or scolded me.
Ketika orang-orang yang saya kasihi seakan
hendak direnggut paksa dari sisi saya, saya merasa lebih baik saya ikut mati
bersama mereka karena apalah artinya saya hidup tanpa mereka? Betul, di dunia
ini tidak ada kehidupan tanpa akhir, tapi saya tidak mau orang tua saya pergi
saat ini sebelum mereka melihat segala harapan, keinginan dan impian kami
bertiga terwujud.
When
it seemed death would grab my loved with force, I feel I better die with them
because what would I be without them? Yes, nothing is mortal in this world
but they are not going to be taken before they see all of our wishes, hopes and
dreams come true.
Karena kami bertiga telah merasakan dan
menjalani penderitaan bersama-sama. Kami harus merasakan dan menjalani
kebahagiaan, keberhasilan dan kemakmuran bersama-sama pula.
The
three of us have gone through hardship together. We therefore must have the happiness, success and prosperity together as well.
No comments:
Post a Comment