I couldn’t take it anymore. I blew up at
my bestfriend last Saturday. And as usual, he let me babbling around, punching
his hand and arms. Just like before, I soon got back my senses and I felt sorry
for blewing up like that.
Tapi hari itu bukanlah hari yang baik. Tegangan lagi tinggi
karena saya memikirkan ibu saya yang sakit dan sudah sehari di rawat di rumah
sakit. Saya capek karena harus mondar mandir ke rumah sakit. Saya letih karena
mengurusi rumah seorang diri. Saya kurang makan karena beban pikiran membuat
selera makan saya hilang. Saya mengantuk karena susah tidur.
But it was not a good day for me. Tension
was high. I had my mom in my mind. She was hospitalized since yesterday. I was
tired for went back and forth to the hospital. I was exhausted to have to do
all the housework by myself. I didn’t eat properly because I just didn’t have
any appetite. I didn’t get enough sleep as the thoughts in my mind kept me
awoke at night.
I have already warned him in the morning
that my brain was in malfunction mode.
Saya sudah terlalu mengenal diri sendiri. Saya tahu dalam
saat demikian saya mudah meledak, gampang tersinggung, mudah marah dan kalau
sudah seperti itu, saya jadi seperti banteng yang akan menanduk siapa saja.
I knew myself all too well. I knew that at
times like that I would be easily go mad. Anything could make me blow up and
like a bull that would run after and attack anybody who got into its way.
Sepanjang hari itu saya berupaya untuk menyembunyikan emosi
jiwa itu, mencoba menjinakkan dan menaklukkannya.
I spent the day trying to hide my restless
soul, trying helplessy to tame and overcome it.
Ya, pada waktu saya berpikir saya telah berhasil…
Just when I thought I have succeededly
done it…
Saya masuk ke ruangan saya dan melihat amplop putih di atas
meja saya. Mengira bahwa itu adalah surat yang di taruh oleh satpam karena
ketika saya bertanya tidak ada yang mengatakan siapa pengantar surat itu maka
saya membukanya. Amplop tidak di lem dan tidak ada tertulis nama siapa pun
membuat saya membukanya dan terheran-heran melihat isinya yang ternyata adalah
hasil test darah orang yang sama sekali tidak saya kenal.
I went to my room and saw a white envelope
lied on my desk. Assuming it was a letter put by the security guard after I
asked who put it on my desk and got no answer, I opened it. There was no name
written on it and it was not sealed. I found a blood test report inside it. I
read the name on it and it was an unfamiliar male’s name.
Sahabat saya tidak melihat ini. Jadi saya bertanya lagi
padanya milik siapa amplop berikut isinya itu. Eh, dia malah protes kenapa saya
membuka amplop itu.
My bestfriend didn’t see what I just did
with the envelope so I asked him again whose envelope was it. To which he
protested why I opened it.
Meledaklah saya. Kalau kamu tidak mau saya membukanya,
jangan taruh di atas meja saya, bentak saya galak. Tadi kan sudah saya tanya.
Kok diam saja.
It sent blood to my head. If you don’t
want me to open it, don’t put it on my desk, I snapped in full rage. I asked
whose envelope was this before I opened it. Why didn’t you say it was yours.
Banteng itu maju, menyeruduk.
The bull has just ran over him.
Dia tidak marah. Dia diam. Sesaat kemudian dia menghampiri
saya, menunduk dan berbisik, kenapa jadi sensitif begini? Tanpa nada marah.
Tanpa raut muka kesal. Tidak kelihatan gusar.
It didn’t upset him. He just went quiet. A
moment later he came to me, bowed down and wishpered, why are you so sensitive
like that? No anger in his voice. He didn't look upset.
Saya tidak menduga sama sekali akan diperhadapkan dengan
pertanyaan seperti itu.
I wasn’t really expect to be asked by such
question.
Dengan menekan segala rasa kesal, menyesal dan air mata yang
mau meluncur keluar, saya menjawab dengan ketus, sudahlah, pergi saja kamu.
Sekarang kan kamu begitu, cuma datang dan telpon kalau ada perlu, kalau mau minta
tolong, kalau mau nyuruh saya. Habis itu langsung pergi. Kamu ga ada bedanya
dengan orang-orang lainnya yang ada di sini.
Pressing down my upsetness, regret and
tears that would soon fill my eyes, I snapped back at him, leave me alone, just
leave. You have become just like anybody else, just come or call when you need
something, when you ask me to do a favor or to give me orders. After that, you
left.
Saya pukul tangannya, lengannya,
mencubit keras-keras. Ketika saya berhenti, dia bertanya apa sudah keluar semua
amarah saya.
I punched his hands,
arms and pinched them hard. Eventually I stopped and he asked if I had let all my
anger out.
Seperti yang dulu pernah saya tulis, dia adalah kertas dan
saya adalah batu. Kelemahlembutan dan
kesabarannya selalu mampu mengalahkan kekerasan saya. Dan saat itu hal yang
sama terjadi lagi. Mendengar perkataannya tadi hati saya melembut. Kekesalan
saya mencair. Kemarahan saya hilang.
Banteng itu bisa dijinakkan.
Sometime ago I wrote about our different characters. I described him as the
paper while I am the stone. His gentleness and patience have always able to tame
me. That happened again. Anger melted away. The bull was tamed.
Hanya saja, saya tidak mengatakan padanya bahwa saya
merindukan sahabat saya. Kemana perginya sahabat saya? Saya kehilangan dirinya
sebagai sahabat saya. Sudah tidak ada artinya lagikah persahabatan baik yang
telah terjalin selama hampir 2 tahun?
What I didn’t tell him is that I missed my
bestfriend. Where did he go? I am losing him as my bestfriend. Would our
friendship, that has gone for almost two years, have no meaning now?
I thought I am your
best friend, tulis Andre di wall facebook saya.
I thought I am your best friend, Andre
wrote that on my facebook wall.
Tentu saja dia sahabat saya. Tapi dia berada begitu jauh.
Dia tidak mengetahui hal-hal yang terjadi di tempat ini. Dia tidak mengalami
pahit manisnya hal-hal yang terjadi di sini.
Of course he is my bestfriend. But he is
so far away from me. He does not know the things happen in this place on daily
basis. He was not here and experience the bitter sweet things that have
happened.
Mul, temen bukan dia
doang, tulis teman saya yang lain.
He is not your only friend, wrote another
friend of mine.
Betul. Tapi apakah persahabatan harus berhenti sampai disini
saja? Lalu segala tawa, air mata, kebersamaan, percakapan dari hal umum sampai
yang paling rahasia yang terjadi diantara kami kini tidak memiliki arti apa
pun?
True. But should our friendship ends now?
Then the laugh, tears, togetherness, talk and secrets that we have shared with
each other meant nothing?
Begitu murahkah arti suatu persahabatan sehingga ketika kami
tidak lagi bertemu sesering sebelum dia pindah tempat tinggal, maka
persahabatan itu mendingin, menjauh dan terlupakan?
Does friendship hold cheap value that when
we don’t meet as often as before he moved out our friendship gets cold and
forgotten?
Hari Kamis (4/4) di luar kebiasaan dia berada di kantor
seharian. Persis seperti dulu. Saya tidak mau menjadi terlalu gembira
karenanya. Saya lebih banyak diam. Kalau pun kami bicara dan tertawa, rasanya
tidak lagi seperti dulu. Tapi kami makan siang bersama… wah, surprise juga saya
karena dia tidak langsung kabur seperti biasanya.
I was surprised
to find him stayed the whole day on Thursday (April 4th). But I
didn’t want to make myself get carried away. I went quiet most of the time.
Even when we talked and laughed, it felt different. We had lunch together
though and I was surprised he didn’t just flee like he used to do.
Dan kami makan siang bersama. Seperti dulu lagi. Tapi hati
saya masih tetap penuh dengan sejuta pertanyaan. Akankah kami bisa tetap
menjadi sahabat seperti dulu? Ataukah kami hanya menjadi sahabat pada hari ini
saja?
And so we had lunch together. Just like
before. But my mind filled with so many questions. Would we able to remain
bestfriends? Or we were just being bestfriends for this day only?
Saya bukan orang yang bergantung secara fisik atau emosi
pada orang lain. Saya terbiasa mandiri dan terbiasa sendiri. Saya bukan
perempuan cengeng atau pecicilan.
I am the kind of person who gets
physically or emotionally depend on others. I am used to be independent and
being on my own. I am not a weak woman.
Tapi ada saat-saat tertentu dimana saya merasa sangat sedih,
sendiri, lemah dan sepi. Dan pada saat-saat demikian, saya ingin berada di
dekat orang-orang yang mempunyai kedekatan melebihi kekawanan biasa. Kehadiran
mereka di dekat saya mampu menentramkan hati saya tanpa saya harus benar-benar
menceritakan apa yang saya rasakan atau pikirkan. Mendengar suara mereka saja
membuat saya merasa jauh lebih baik. Saya memang tidak pernah mengatakannya.
Tapi saya menunjukkan bahwa mereka istimewa bagi saya.
But there were
times when I felt so distraught, losing the ground and lonely, times when I
wanted to be around people who have close relationship with me. I found their
presence comforting without words had to be spoken to let them know what
bothered me inside. Even their voices could make me felt better. I never said
this. I showed them how special they are to me.
Ataukah kehidupan memisahkan saya dengan sahabat saya ini?
Perubahan-perubahan yang terjadi menjadi tanda bahwa kami memiliki alur
kehidupan yang berbeda. Menandai kalau
peranannya dalam hidup saya sudah berakhir atau sebaliknya?
Or life separating me and my bestfriend?
Changes that have happened are signs that we have different life path? Marking
the end of his role in my life or mine in his life?
‘It is not the end, it
marks a new start’ tulis teman saya yang lain.
‘It is not the end, it marks
a new start’ wrote another friend of mine.
Yah, agaknya masing-masing kami akan memasuki awal dari fase
kehidupan yang baru.
Well, I guess
each of us is about to enter our own new phase of life.
Kalau memang demikian adanya maka saya harus mengatakan
bahwa saya menghargai persahabatan kami dan bahwa saya harus berani melangkah
maju, melepaskan beberapa bagian yang ada di masa lalu serta masa kini.
No comments:
Post a Comment