Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Saturday, October 17, 2015

Now & Then

Dulu & Sekarang..

Hari Senin kemarin (12/10) saya sebenarnya berencana untuk melewatkan hari cuti saya dengan pergi ke satu tempat bersama dua rekan kerja tapi karena dua-duanya tidak bisa jadi saya harus merubah rencana.

Last Monday (Oct 12th) I planned to spend my leave day by went to a place with two of my colleagues but both couldn’t come so I had to change the plan.

Setelah selama beberapa menit kebingungan memilih tempat mana yang enak untuk saya kunjungi, pilihan saya jatuh pada sekolah tempat saya dulu mengajar.

After spent few minutes in confusion thinking which nice place to go to, my pick fell on the school where I worked as teacher.

Empat tahun lalu saya mengundurkan diri dari sekolah itu dan sejak itu saya tidak pernah lagi mengunjunginya. Saya memang sengaja tidak mau berkunjung karena melihatnya membuat saya sedih.

Four years ago I resigned from that school and eversince that I never paid a single visit. I didn’t want to because it would only make me sad.

Saya menjadi guru bukan karena pilihan. Saya tidak sengaja menemukan panggilan jiwa sebagai guru ketika sepuluh tahun yang lalu saya mengajar di gereja. Walau awalnya saya sempat jiper ketika harus mengajar anak-anak balita tapi lama-lama saya menyukainya.

Becoming a teacher was not my option. I unintentionally found my calling on it when ten years ago I taught Sunday school in a church. Despite the fact that it made me nervous when I taught the toddlers but started to like it.

Beberapa bulan kemudian saya mendapat tawaran untuk mengajar di sebuah taman kanak-kanak.

Few months later an offer came to me to teach in a kindergarten.

Dan mengajarlah saya disana dari tahun 2005-2011.


So from 2005 to 2011 I worked there as teacher.

Menjadi guru murni karena panggilan jiwa, mengajar tanpa memiliki ijasah guru, bermodal hanya kasih sayang untuk anak-anak dan saya belajar tentang cara mengajar dari buku dan memperhatikan guru lain saat mengajar.

Becoming a teacher pure by a heart’s call, teaching without having any teaching degree, all I had was the love for children and learning how to teach from books and watching other teacher when they taught.

Tapi lebih banyak saya mengikuti insting saya, suatu rasa di dalam diri saya yang membimbing saya hingga saya tahu bagaimana harus menyampaikan pelajaran, bagaimana harus membimbing dan bergaul dengan murid-murid saya dan juga dengan orang tua mereka.

But I followed my gut feeling, this feeling in me that led me so I knew how to present the lesson, how to guide and built relationship with my students and with their parents as well.

Menjadi guru membuat saya bahagia biarpun gajinya kecil (gaji pembantu jauh lebih besar dari pada gaji guru TK), biarpun saya harus nyambi jadi guru les supaya saya bisa memberi makan diri saya dan orang tua saya, biarpun sekolahnya kecil, biarpun saya harus hidup prihatin..

Becoming a teacher made me happy though it sucks in its salary (a maid is paid higher than kindergarten teacher), though I had to take side job as English tutor to make ends meet as I had to feed not just myself but also my parents, though the school is small, though I had to live in scarce.

Kondisi kesehatan orang tua saya yang menurun memaksa saya untuk menerima tawaran kerja yang memberikan gaji lebih besar.

My parents deteriorating health forced me to accept job offer that pays higher.

Saya mengundurkan diri dari sekolah itu.

I resigned from that school.

Saya benci pada sikon yang memaksa saya untuk menerima pekerjaan yang memberikan gaji lebih besar. Saya merasa tidak ada bedanya dengan pelacur yang menjual jiwa dan tubuhnya demi uang.

I hated the condition that forced me to accept the job that pays me higher. I felt no difference with a whore who sells her soul and body for money.

Saya tidak pernah bisa benar-benar mencintai pekerjaan saya seperti saya mencintai pekerjaan saya sebagai guru.

I can never really love my job as I love teaching.

Saya belajar untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru itu, saya melakukannya sebaik mungkin dan selama empat tahun ini saya berhasil survive di pekerjaan itu tapi saya melihatnya hanya sebagai pekerjaan yang memberi saya uang lebih banyak.

I learn to adapt myself with the new job, I do my job as well as I can and I have survived in this job for the past four years but I see it just as a job that gives me more money.

Hati saya, jiwa saya dan cinta saya tidak ada disana.

My heart, my soul and my love are not in there.

Ketika saya bekerja sebagai guru, saya melakukannya dengan seluruh hati saya, jiwa saya dan cinta saya.

When I work as teacher, I do that with all my heart, my soul and my love.

Berhenti mengajar rasanya seperti kehilangan jiwa dan tahun pertama setelah saya berhenti dari sekolah itu adalah tahun yang paling berat. Dua tahun berikutnya adalah masa-masa penuh kesusahan.

To quit teaching felt like losing my soul and the first year after I resigned from that school was the hardest year. Two years after that were hardship years.

Keadaan mulai membaik sejak akhir tahun lalu.

Things got better from last year’s end.

Beberapa ibu dari mantan murid saya di sekolah itu sudah sering menanyakan kapan saya mampir ke sana. Baru hari Senin itu hati saya tergerak untuk datang ke sana.

Few mothers of my former students in that school have been asking when would I visit it. But only on that Monday did my heart moved to go there.

Dalam perjalanan menuju sekolah itu..

On the way to that school..

Sepanjang jalan menuju sekolah itu membuat saya seperti berjalan mundur ke masa lalu tanpa meninggalkan masa sekarang.

On the way there it made me felt like walking backward to the past but without leaving the present.

Beberapa rumah menjadi lebih bagus sementara rumah-rumah lainnya kini berubah menjadi toko-toko kecil.

Few houses have been renovated while others turned into small shops.

Tapi jalannya tetap sama dan hati saya terharu saat teringat dulu karena uang saya tidak sebanyak sekarang maka entah itu panas atau hujan, saya jalan kaki. Sekarang tanpa ragu saya naik becak. Dulu cuma kalau hujan besar sekali atau saya sedang tidak sehat, barulah saya naik becak.

But the street is still the same and it was bitter sweet memory when I remembered how my money was not as much as I have now so whether it was sunny or rainy, I walked to school. Now I could afford to ride on pedicab. Back then, I would only ride on pedicab when it rained heavily or I was not feeling well.

Dan sebelum saya naik becak, saya membeli dulu gorengan senilai sepuluh ribu rupiah. Dulu, jangankan mengeluarkan sepuluh ribu untuk cemilan, keluar duit tiga ribu buat naik becak saja saya ogah. Bukan karena saya pelit pada diri sendiri tapi karena uang saya memang tidak banyak.

And before I rode on pedicab, I bought some fried snacks worth ten thousand rupiah. Back then, let alone spending ten thousand for snacks, I wouldn’t waste three thousand for riding on pedicab. Not because I was cheap on myself but it was because I didn’t have lots of money.

Dulu saya kurus dan kulit tidak seputih sekarang.

Back then I was thin and my skin wasn’t as fair as it is now.

Sampai di sekolah..

After arriving in school..

Empat orang ibu menyambut saya dengan gembira.

Four mothers excitedly greeted me.

Saya juga gembira dan tidak menduga bertemu dengan mereka karena sudah lewat entah berapa tahun sejak anak-anak mereka lulus dari TK ini.


I was also happy and surprised to meet them because it has passed few years after their children graduated from this kindergarten.

“Sekarang giliran adik-adiknya yang sekolah disini, bu”

“It is their siblings who study here, ma’am”

Mereka tetap mengingat dan menghormati saya sekalipun saya bukan lagi guru di sekolah ini.

They still regard and respect me though I no longer teacher in this school.

Tapi karena dari dulu saya menerapkan hubungan informal dengan para orang tua dari murid-murid saya, hubungan saya dengan mereka lebih mirip menyerupai hubungan kekawanan. Dan sekarang setelah saya tidak lagi menjadi guru di sekolah itu, rasa kekawanan itu menjadi lebih dekat, lebih akrab.

But since I always built informal relationship with parents of my students, my relationship with them was more like a friendship. And now being no longer a teacher in that school makes that friendship bonds, closer.

Apa kabar, kamerad?

How are you doing, comerades?

“Halo, Ke!”

“Hello, Keke!”

Sambutan meriah berikutnya datang dari rekan-rekan guru, termasuk kepala sekolahnya.

The next merry greetings came from my former fellow teachers, including the headmaster.

Melihat mereka, bertemu dengan mereka, bicara dengan mereka, berada kembali di ruang kelas.. semua melontarkan saya kembali ke masa lalu.


Seeing them, meeting them, talking to them, being in the classroom.. it all put me back to the past.

Mereka tidak melupakan saya. Tidak menganggap saya sebagai bukan guru. Mereka tetap melihat saya sebagai bagian dari mereka. Mereka ingin saya kembali menjadi bagian dari sekolah ini, kembali menyatu dengan mereka.


They have not forgotten me. I am not considered as an ex-teacher. They still see me as one of them. They want me to become part of this school again, becoming one of them once more.


Saya masih memiliki 'sentuhan ajaib' itu

I still have that 'magic touch'

Saya sedang berdiri sambil bicara dengan ibu-ibu itu ketika saya merasa ada yang mencolek lengan saya dari belakang.

I was standing and talking to those ladies when I felt somebody touched my arm from behind me.

Saya menoleh ke belakang dan melihat seorang anak laki-laki menatap saya dengan sepasang mata yang bersinar nakal sambil terkekeh kecil.

I turned and saw a little boy stared at me with his shinning pair of eyes, mischievously, as he giggled.

“Oh, jadi kamu ya yang colek-colek” kata saya sambil pelan-pelan berjalan mendekatinya dan memasang cengiran nakal di muka saya.

“Oh, so you are the one who touched me” I spoke as I walked slowly toward him and put on a mischievous grin on my face.

Dia spontan tertawa terpingkal-pingkal.

He spontaneously burst out his laughter.

Dan selama beberapa saat kami berdua menikmati permainan saling colek lalu saya lari mengejarnya.

And so the two of us spent few moments of the game touching me and I ran after him trying to catch him.

Pada waktu istirahat..

During recess..

“Kappa” gadis kecil itu membaca tulisan di kaos saya.

“Kappa” the little girl read the writing on my tshirt.

Saya yang sedang memegangi ayunan yang dinaikinya sampai kaget karena tidak menduga dia sudah bisa membaca.

She was on the swinging and I was holding it, I didn’t expect her to read the writing on my surprise and so got surprised to see that she could read it.

“Ya, Kappa” saya tersenyum sambil mengelus pipinya “Kamu sudah bisa membaca”

“Yes, Kappa” I smiled as I caressed her cheek “You can read”

Dia tersenyum dan kami mengobrol tentang berbagai hal. Beberapa dari kawannya mendekat dan tahu-tahu sudah ikut mengobrol.

She smiled and we talked about many things. Few of her friends approached us and suddenly they just joined our conversation.

Saya sedang istirahat di ruang tata usaha ketika serombongan anak lelaki mendatangi saya dan menggerombol di depan pintu.

I was taking a break in the school’s administrator room when a bunch of little boys came to me and gathered infront of the door.

Ributnya mereka karena ada yang bicara ke saya, ada yang menyanyi-nyanyi dan ada yang menatap saya sambil nyengir serta membuat gerakan untuk mengajak saya bermain.

It was so noisy as they tried to talk to me, others were singing and there were some who stared at me, grinned and made a gesture of asking me to join their game.

Saya mengikuti permainan mereka, permainan ‘tangkaplah saya’.

I joined their game, the game of ‘catch me’.

Setelah sekolah usai, saya masuk ke ruang kelas TK B. Beberapa anak sedang mengikuti pelajaran membaca. Saya duduk dengan niat hanya untuk memperhatikan mereka dan mencuri waktu untuk mengobrol dengan walikelasnya.


After school I sneaked into the classroom for the older students. Some children were there learning to read. I took a seat and wanted to just observing them and stole some time talking with their teacher.

Tapi akhirnya anak-anak itu dan saya jadi terlibat dalam pembicaraan diselingi dengan canda tawa saat saya memakai cara bercanda untuk membuat mereka menyelesaikan tugas dengan cepat.

But at the end those children and I got ourselves into small talk full with jokes and laughter when I tried to use the joke to make them did their task faster.

Saya sendiri terheran-heran melihat diri saya begitu cepat melebur dengan anak-anak ini padahal semua tidak mengenal saya. Hari itu adalah hari pertama mereka melihat saya.

I was amazed to see how fast I could blend in with those children who didn’t know me. That day was the first time they met me.

Selama empat tahun sejak saya mengundurkan diri dari sekolah itu, kontak saya dengan anak-anak usia 2-6 tahun sangat terbatas. Saya tidak lagi terbiasa bergaul dengan mereka tapi hari itu saya tidak merasa kikuk berada di antara mereka.

For four years after I resigned from that school, I make few contact with children age 2-6 years old. I am no longer used to be around them but that day I didn’t even feel ackward to be among them.

Bernapas dalam oksigen murni..

Breathing in pure oxygen..

Satu hal yang tidak pernah bisa membuat saya memberikan seluruh hati saya, jiwa saya dan cinta saya pada pekerjaan di luar mengajar adalah karena berada di antara anak-anak seperti bernapas dalam udara yang bersih, menghirup oksigen murni.

One thing that makes me unable to give all my heart, my soul and my love to any job outside teaching is because being with children is like breathing the clean air, inhaling pure oxygen.

Selama empat tahun saya bekerja di dunia orang dewasa dan berada di antara orang dewasa. Rasanya seperti menghirup udara yang penuh dengan polusi. Membuat sesak napas dan kadang seperti mencekik seluruh keberadaan saya.

For four years I work in adult environment and be in the midst of the adult. It feels like breathing polluted air. Making it hard to breath and sometimes it choked my whole being.

Banyak yang baik pada saya. Banyak yang menyayangi saya.

Many are kind to me. Many love me.

Tapi orang dewasa penuh dengan ego, ambisi, keinginan tersembunyi, kemunafikan, iri, masalah-masalah psikologis yang jauh lebih parah dari masalah anak-anak.

But grown ups are full with ego, ambition, hidden wishes, hypocrisy and psychologic problems that are worse than the children’s.

Dalam diri saya tetap ada sisi kanak-kanak yang menginginkan kemurnian itu.

The child in me still wanting to have that purity.

Kembalilah..

Come back..

Rekan-rekan saya dan beberapa orang tua murid ingin saya kembali mengajar di sekolah itu.

My fellow teachers and some parents wish to have me back as teacher in that school.

Dari hasil obrolan saya hari itu, saya tahu saya pasti akan langsung diterima kalau saya mau kembali.

From that day’s conversation I knew I definitely will be accepted right away if I want to regain my position as teacher.

Dan tidak ada yang lebih saya inginkan selain dapat kembali mengajar di sekolah.

And there is nothing I want more than to be able to teach in school again.

No comments:

Post a Comment