Dulu & Sekarang..
Hari Senin kemarin (12/10) saya sebenarnya berencana untuk
melewatkan hari cuti saya dengan pergi ke satu tempat bersama dua rekan kerja
tapi karena dua-duanya tidak bisa jadi saya harus merubah rencana.
Last Monday
(Oct 12th) I planned to spend my leave day by went to a place with
two of my colleagues but both couldn’t come so I had to change the plan.
Setelah selama beberapa menit kebingungan memilih tempat
mana yang enak untuk saya kunjungi, pilihan saya jatuh pada sekolah tempat saya
dulu mengajar.
After spent
few minutes in confusion thinking which nice place to go to, my pick fell on
the school where I worked as teacher.
Empat tahun lalu saya mengundurkan diri dari sekolah itu dan
sejak itu saya tidak pernah lagi mengunjunginya. Saya memang sengaja tidak mau
berkunjung karena melihatnya membuat saya sedih.
Four years ago
I resigned from that school and eversince that I never paid a single visit. I
didn’t want to because it would only make me sad.
Saya menjadi guru bukan karena pilihan. Saya tidak sengaja
menemukan panggilan jiwa sebagai guru ketika sepuluh tahun yang lalu saya mengajar
di gereja. Walau awalnya saya sempat jiper ketika harus mengajar anak-anak
balita tapi lama-lama saya menyukainya.
Becoming a
teacher was not my option. I unintentionally found my calling on it when ten
years ago I taught Sunday school in a church. Despite the fact that it made me
nervous when I taught the toddlers but started to like it.
Beberapa bulan kemudian saya mendapat tawaran untuk mengajar
di sebuah taman kanak-kanak.
Few months
later an offer came to me to teach in a kindergarten.
Dan mengajarlah saya disana dari tahun 2005-2011.
So from 2005
to 2011 I worked there as teacher.
Menjadi guru murni karena panggilan jiwa, mengajar tanpa
memiliki ijasah guru, bermodal hanya kasih sayang untuk anak-anak dan saya belajar
tentang cara mengajar dari buku dan memperhatikan guru lain saat mengajar.
Becoming a
teacher pure by a heart’s call, teaching without having any teaching degree, all
I had was the love for children and learning how to teach from books and
watching other teacher when they taught.
Tapi lebih banyak saya mengikuti insting saya, suatu rasa di
dalam diri saya yang membimbing saya hingga saya tahu bagaimana harus menyampaikan
pelajaran, bagaimana harus membimbing dan bergaul dengan murid-murid saya dan
juga dengan orang tua mereka.
But I followed
my gut feeling, this feeling in me that led me so I knew how to present the
lesson, how to guide and built relationship with my students and with their
parents as well.
Menjadi guru membuat saya bahagia biarpun gajinya kecil
(gaji pembantu jauh lebih besar dari pada gaji guru TK), biarpun saya harus
nyambi jadi guru les supaya saya bisa memberi makan diri saya dan orang tua
saya, biarpun sekolahnya kecil, biarpun saya harus hidup prihatin..
Becoming a
teacher made me happy though it sucks in its salary (a maid is paid higher than
kindergarten teacher), though I had to take side job as English tutor to make
ends meet as I had to feed not just myself but also my parents, though the
school is small, though I had to live in scarce.
Kondisi kesehatan orang tua saya yang menurun memaksa saya
untuk menerima tawaran kerja yang memberikan gaji lebih besar.
My parents
deteriorating health forced me to accept job offer that pays higher.
Saya mengundurkan diri dari sekolah itu.
I resigned
from that school.
Saya benci pada sikon yang memaksa saya untuk menerima pekerjaan
yang memberikan gaji lebih besar. Saya merasa tidak ada bedanya dengan pelacur
yang menjual jiwa dan tubuhnya demi uang.
I hated the
condition that forced me to accept the job that pays me higher. I felt no
difference with a whore who sells her soul and body for money.
Saya tidak pernah bisa benar-benar mencintai pekerjaan saya seperti
saya mencintai pekerjaan saya sebagai guru.
I can never
really love my job as I love teaching.
Saya belajar untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru
itu, saya melakukannya sebaik mungkin dan selama empat tahun ini saya berhasil
survive di pekerjaan itu tapi saya melihatnya hanya sebagai pekerjaan yang
memberi saya uang lebih banyak.
I learn to
adapt myself with the new job, I do my job as well as I can and I have survived
in this job for the past four years but I see it just as a job that gives me more
money.
Hati saya, jiwa saya dan cinta saya tidak ada disana.
My heart, my
soul and my love are not in there.
Ketika saya bekerja sebagai guru, saya melakukannya dengan
seluruh hati saya, jiwa saya dan cinta saya.
When I work as
teacher, I do that with all my heart, my soul and my love.
Berhenti mengajar rasanya seperti kehilangan jiwa dan tahun
pertama setelah saya berhenti dari sekolah itu adalah tahun yang paling berat.
Dua tahun berikutnya adalah masa-masa penuh kesusahan.
To quit
teaching felt like losing my soul and the first year after I resigned from that
school was the hardest year. Two years after that were hardship years.
Keadaan mulai membaik sejak akhir tahun lalu.
Things got
better from last year’s end.
Beberapa ibu dari mantan murid saya di sekolah itu sudah
sering menanyakan kapan saya mampir ke sana. Baru hari Senin itu hati saya tergerak
untuk datang ke sana.
Few mothers of
my former students in that school have been asking when would I visit it. But
only on that Monday did my heart moved to go there.
Dalam perjalanan menuju sekolah itu..
On the way to that school..
Sepanjang jalan menuju sekolah itu membuat saya seperti
berjalan mundur ke masa lalu tanpa meninggalkan masa sekarang.
On the way
there it made me felt like walking backward to the past but without leaving the
present.
Beberapa rumah menjadi lebih bagus sementara rumah-rumah
lainnya kini berubah menjadi toko-toko kecil.
Few houses
have been renovated while others turned into small shops.
Tapi jalannya tetap sama dan hati saya terharu saat teringat
dulu karena uang saya tidak sebanyak sekarang maka entah itu panas atau hujan,
saya jalan kaki. Sekarang tanpa ragu saya naik becak. Dulu cuma kalau hujan
besar sekali atau saya sedang tidak sehat, barulah saya naik becak.
But the street
is still the same and it was bitter sweet memory when I remembered how my money
was not as much as I have now so whether it was sunny or rainy, I walked to
school. Now I could afford to ride on pedicab. Back then, I would only ride on
pedicab when it rained heavily or I was not feeling well.
Dan sebelum saya naik becak, saya membeli dulu gorengan
senilai sepuluh ribu rupiah. Dulu, jangankan mengeluarkan sepuluh ribu untuk
cemilan, keluar duit tiga ribu buat naik becak saja saya ogah. Bukan karena
saya pelit pada diri sendiri tapi karena uang saya memang tidak banyak.
And before I rode
on pedicab, I bought some fried snacks worth ten thousand rupiah. Back then,
let alone spending ten thousand for snacks, I wouldn’t waste three thousand for
riding on pedicab. Not because I was cheap on myself but it was because I
didn’t have lots of money.
Dulu saya kurus dan kulit tidak seputih sekarang.
Back then I
was thin and my skin wasn’t as fair as it is now.
Sampai di sekolah..
After arriving in school..
Empat orang ibu menyambut saya dengan gembira.
Four mothers excitedly
greeted me.
Saya juga gembira dan tidak menduga bertemu dengan mereka
karena sudah lewat entah berapa tahun sejak anak-anak mereka lulus dari TK ini.
I was also
happy and surprised to meet them because it has passed few years after their
children graduated from this kindergarten.
“Sekarang giliran adik-adiknya yang sekolah disini, bu”
“It is their
siblings who study here, ma’am”
Mereka tetap mengingat dan menghormati saya sekalipun saya
bukan lagi guru di sekolah ini.
They still
regard and respect me though I no longer teacher in this school.
Tapi karena dari dulu saya menerapkan hubungan informal
dengan para orang tua dari murid-murid saya, hubungan saya dengan mereka lebih
mirip menyerupai hubungan kekawanan. Dan sekarang setelah saya tidak lagi
menjadi guru di sekolah itu, rasa kekawanan itu menjadi lebih dekat, lebih
akrab.
But since I
always built informal relationship with parents of my students, my relationship
with them was more like a friendship. And now being no longer a teacher in that
school makes that friendship bonds, closer.
Apa
kabar, kamerad?
How are you doing, comerades?
“Halo, Ke!”
“Hello, Keke!”
Sambutan meriah berikutnya datang dari rekan-rekan guru,
termasuk kepala sekolahnya.
The next merry
greetings came from my former fellow teachers, including the headmaster.
Melihat mereka, bertemu dengan mereka, bicara dengan mereka,
berada kembali di ruang kelas.. semua melontarkan saya kembali ke masa lalu.
Seeing them,
meeting them, talking to them, being in the classroom.. it all put me back to
the past.
Mereka tidak melupakan saya. Tidak menganggap saya sebagai
bukan guru. Mereka tetap melihat saya sebagai bagian dari mereka. Mereka ingin
saya kembali menjadi bagian dari sekolah ini, kembali menyatu dengan mereka.
They have not
forgotten me. I am not considered as an ex-teacher. They still see me as one of
them. They want me to become part of this school again, becoming one of them
once more.
Saya masih memiliki 'sentuhan ajaib' itu
I still have that 'magic touch'
Saya sedang berdiri sambil bicara dengan ibu-ibu itu ketika
saya merasa ada yang mencolek lengan saya dari belakang.
I was standing
and talking to those ladies when I felt somebody touched my arm from behind me.
Saya menoleh ke belakang dan melihat seorang anak laki-laki
menatap saya dengan sepasang mata yang bersinar nakal sambil terkekeh kecil.
I turned and
saw a little boy stared at me with his shinning pair of eyes, mischievously, as
he giggled.
“Oh, jadi kamu ya yang colek-colek” kata saya sambil
pelan-pelan berjalan mendekatinya dan memasang cengiran nakal di muka saya.
“Oh, so you
are the one who touched me” I spoke as I walked slowly toward him and put on a
mischievous grin on my face.
Dia spontan tertawa terpingkal-pingkal.
He
spontaneously burst out his laughter.
Dan selama beberapa saat kami berdua menikmati permainan
saling colek lalu saya lari mengejarnya.
And so the two
of us spent few moments of the game touching me and I ran after him trying to catch him.
Pada waktu istirahat..
During
recess..
“Kappa” gadis kecil itu membaca tulisan di kaos saya.
“Kappa” the
little girl read the writing on my tshirt.
Saya yang sedang memegangi ayunan yang dinaikinya sampai
kaget karena tidak menduga dia sudah bisa membaca.
She was on the
swinging and I was holding it, I didn’t expect her to read the writing on my
surprise and so got surprised to see that she could read it.
“Ya, Kappa” saya tersenyum sambil mengelus pipinya “Kamu
sudah bisa membaca”
“Yes, Kappa” I
smiled as I caressed her cheek “You can read”
Dia tersenyum dan kami mengobrol tentang berbagai hal.
Beberapa dari kawannya mendekat dan tahu-tahu sudah ikut mengobrol.
She smiled and
we talked about many things. Few of her friends approached us and suddenly they
just joined our conversation.
Saya sedang istirahat di ruang tata usaha ketika serombongan
anak lelaki mendatangi saya dan menggerombol di depan pintu.
I was taking a
break in the school’s administrator room when a bunch of little boys came to me
and gathered infront of the door.
Ributnya mereka karena ada yang bicara ke saya, ada yang
menyanyi-nyanyi dan ada yang menatap saya sambil nyengir serta membuat gerakan
untuk mengajak saya bermain.
It was so
noisy as they tried to talk to me, others were singing and there were some who
stared at me, grinned and made a gesture of asking me to join their game.
Saya mengikuti permainan mereka, permainan ‘tangkaplah
saya’.
I joined their
game, the game of ‘catch me’.
Setelah sekolah usai, saya masuk ke ruang kelas TK B.
Beberapa anak sedang mengikuti pelajaran membaca. Saya duduk dengan niat hanya
untuk memperhatikan mereka dan mencuri waktu untuk mengobrol dengan
walikelasnya.
After school I
sneaked into the classroom for the older students. Some children were there
learning to read. I took a seat and wanted to just observing them and stole some
time talking with their teacher.
Tapi akhirnya anak-anak itu dan saya jadi terlibat dalam
pembicaraan diselingi dengan canda tawa saat saya memakai cara bercanda untuk
membuat mereka menyelesaikan tugas dengan cepat.
But at the end
those children and I got ourselves into small talk full with jokes and laughter
when I tried to use the joke to make them did their task faster.
Saya sendiri terheran-heran melihat diri saya begitu cepat
melebur dengan anak-anak ini padahal semua tidak mengenal saya. Hari itu adalah
hari pertama mereka melihat saya.
I was amazed
to see how fast I could blend in with those children who didn’t know me. That
day was the first time they met me.
Selama empat tahun sejak saya mengundurkan diri dari sekolah
itu, kontak saya dengan anak-anak usia 2-6 tahun sangat terbatas. Saya tidak
lagi terbiasa bergaul dengan mereka tapi hari itu saya tidak merasa kikuk
berada di antara mereka.
For four years
after I resigned from that school, I make few contact with children age 2-6
years old. I am no longer used to be around them but that day I didn’t even
feel ackward to be among them.
Bernapas dalam oksigen murni..
Breathing in pure oxygen..
Satu hal yang tidak pernah bisa membuat saya memberikan
seluruh hati saya, jiwa saya dan cinta saya pada pekerjaan di luar mengajar
adalah karena berada di antara anak-anak seperti bernapas dalam udara yang
bersih, menghirup oksigen murni.
One thing that
makes me unable to give all my heart, my soul and my love to any job outside
teaching is because being with children is like breathing the clean air,
inhaling pure oxygen.
Selama empat tahun saya bekerja di dunia orang dewasa dan
berada di antara orang dewasa. Rasanya seperti menghirup udara yang penuh
dengan polusi. Membuat sesak napas dan kadang seperti mencekik seluruh
keberadaan saya.
For four years
I work in adult environment and be in the midst of the adult. It feels like
breathing polluted air. Making it hard to breath and sometimes it choked my
whole being.
Banyak yang baik pada saya. Banyak yang menyayangi saya.
Many are kind
to me. Many love me.
Tapi orang dewasa penuh dengan ego, ambisi, keinginan
tersembunyi, kemunafikan, iri, masalah-masalah psikologis yang jauh lebih parah
dari masalah anak-anak.
But grown ups
are full with ego, ambition, hidden wishes, hypocrisy and psychologic problems
that are worse than the children’s.
Dalam diri saya tetap ada sisi kanak-kanak yang menginginkan
kemurnian itu.
The child in
me still wanting to have that purity.
Kembalilah..
Come back..
Rekan-rekan saya dan beberapa orang tua murid ingin saya
kembali mengajar di sekolah itu.
My fellow
teachers and some parents wish to have me back as teacher in that school.
Dari hasil obrolan saya hari itu, saya tahu saya pasti akan
langsung diterima kalau saya mau kembali.
From that
day’s conversation I knew I definitely will be accepted right away if I want to
regain my position as teacher.
Dan tidak ada yang lebih saya inginkan selain dapat kembali
mengajar di sekolah.
No comments:
Post a Comment