Mempercayai adalah hal yang penting.
Believing is important.
Perkaranya adalah apa yang kita percayai dan kepada siapa
kita percaya.
What we believe and who we believe
remain as the main issues.
* * * * *
Kamu percaya?
Do you believe it?
Kita tentu tidak akan percaya kalau mendengar gajah bisa
terbang seperti burung. Mustahil. Itu cuma lelucon.
We definitely won’t believe when we
hear elephant can fly like a bird. Impossible. It is nothing but joke.
Kamu seorang pecundang..
You are a loser..
Kalau otak kita mengeluarkan pemikiran seperti ini atau kita
mendengar perkataan seperti ini ditujukan kepada diri kita, akankah kita
mempercayainya sebagai suatu kebenaran? Apakah kita menerimanya sebagai fakta?
If say, our brain came up with that
kind of thinking or we heard those words were spoken about us, would we believe
it as truth? Would we accept it as fact?
Untuk menemukan jawabannya, jangan langsung menelannya
bulat-bulat atau mempercayai sampai ke titik komanya tapi ambilah waktu untuk
melihat dan mengujinya dari berbagai sisi..
To find the answer, don’t just
swallow it down or take everything literally. Give yourself some time to see
and test it from many angles..
Apa kamu layak menjadi
pemimpin sharing sementara kamu tidak pernah mengikuti ibadah setiap hari
Minggu..
Are you a suited to
lead a sharing while you never attend Sunday service..
Ucapan ini sampai ke telinga saya beberapa hari lalu.
These words came to my ears just a
few days ago.
Apakah saya mempercayainya bulat-bulat?
Did I believe it?
Tidak.
No.
Apa saya tidak mengindahkannya?
Did I ignore it?
Tidak.
No.
Yang saya lakukan adalah berdiam diri. Saya sengaja
melakukannya untuk mendinginkan kepala dan hati saya.
I kept myself quiet. I did it on
purpose to cool down my head and my heart.
Karena pertama kali saya mendengar omongan seperti itu, saya
merasa seakan ditampar. Perasaan saya campur aduk antara kesal, bingung, tidak
percaya dan marah.
The first time I heard it I felt it like
a slap on my face. My feelings were the mixture of upsetness, confusion,
amazement and anger.
Mari saya jelaskan dulu latar belakangnya; begini, dua tahun
lalu kehidupan saya dilanda badai pencobaan. Orang tua saya bergantian sakit.
Yang paling parah adalah ibu saya sampai tahun itu beberapa kali kami mengira
saat terakhirnya sudah datang.
Let me take you to my life two years
earlier; so, it was stormy. My parents were ill, one after another. My
mother's condition was so worse, we thought her end had come.
Saya tidak bisa menerimanya karena saya merasa waktu itu
seharusnya belum datang. Saya masih membutuhkan mereka dan selalu ada keyakinan
dalam hati saya bahwa mereka harus melihat terwujudnya semua harapan, doa dan
iman mereka untuk saya.
I couldn’t accept it because I
thought that moment should not come yet. I still need them and there is this
feeling in me which keep saying that they should see all of their hopes,
prayers and faith for me come to pass.
Saya bingung dan marah. Saya kehilangan arah. Depresi yang
parah memakan fisik dan kesehatan saya dalam bentuk haid saya yang tidak
berhenti selama sebulan dan kondisi ini berjalan selama hampir setahun. Dokter
kandungan yang saya datangi memberikan tiga kemungkinan; ganggungan hormon, ada
tumor atau gejala awal kanker rahim.
I was confused and angry. I lost my
way. The severe depression took its toll on my physic and health when I had my
haid unstoppable for a month and this went for nearly a year. The
gynecologist’s prognosis were either it was hormone abnormality, tumor or early
symptoms of uterus cancer.
Saya betul-betul nyaris jadi gila karenanya.
I was nearly gone crazy at that time.
Saya kehilangan iman pada Tuhan. Suatu hal yang tidak pernah
terbayangkan akan bisa terjadi, apalagi saya bekerja di gereja.
I lost my faith to God. An
unthinkable thing to happen, and I work in church.
Tadinya saya menutupinya. Tapi kemudian saya berpikir buat
apa saya berpura-pura? Apa gunanya saya mengikuti ibadah tapi pikiran saya
kemana-mana dan hati saya penuh dengan kegetiran.
At first I covered it up. But then I
thought why pretended? What good was it for me to attend the service but my
mind wandered around and my heart was bitter.
Cepat atau lambat akhirnya senior-senior saya menyadari
bahwa saya tidak lagi pernah ikut ibadah. Dan untuk alasan beragam, dari yang
benar-benar karena peduli dan sayang ke saya sampai pada yang lebih ingin
menjaga citra, mereka berusaha untuk mengembalikan saya ke jalan yang benar.
Sooner or later my seniors realized
that I skipped the service. And for various of motives, from the genuine care
and love for me to the one of keeping an image, they tried to put me back on
the right track.
Tidak seorang pun dari mereka yang berhasil mengubah pikiran
saya.
None of them could change my mind.
Saat itu adalah masa dimana saya sebetulnya sedang mengalami
perombakan, pendewasaan dan pembentukan ulang dari iman serta kerohanian saya.
That was actually the time when I
went through faith and spiritual renovation, maturation and reformation.
Saya tidak akan menjadi diri saya sekarang ini, seorang yang
jauh lebih baik secara kejiwaan dan kerohanian kalau saya tidak melalui
masa-masa itu.
I wouldn’t be the person I am today,
somebody who has better psyche and spiritual, if I didn’t go through those moments.
Lalu saya dilibatkan dalam persekutuan pemuda ditempat kerja
saya ini. Dari hanya menjadi peserta sampai akhirnya ditunjuk untuk memimpin
sharing dan akhirnya menjadi ketua pemuda.
Later I was involved in the youth
fellowship in my office. From just being a regular attendance to later got
appointed to lead the sharing session and then become the chief of this group.
Semua mengalir begitu saja. Saya tidak pernah mengajukan
diri, tidak pernah berminat untuk ikut dalam kelompok pemuda ini karena merasa
dari sisi umur, saya sudah terlalu tua untuk disebut pemuda dan apa anak-anak
muda ini bisa mengimbangi pemikiran dan pengertian saya atau sebaliknya..
It just happened. I never volunteered
myself, never had any interest to join this youth group because seeing it from
my age, I can’t classify myself as a youth and could these young people balance
my mind and my understanding, vice versa..
Tapi saya menganggap kebersamaan saya dengan mereka adalah
saat dimana saya bisa mempelajari banyak hal baru dan saya bisa membagikan
pemikiran, pengertian dan pengalaman saya kepada mereka.
But I took my presence among them as
an opportunity to learn many new things and I can share them my thoughts,
understanding and experience.
Hal-hal yang saya temui dan keberatan Andre membuat saya
sempat mengundurkan diri dari kelompok ini. Sebetulnya saya lakukan itu tidak
dengan sepenuh hati. Dan Tuhan juga tidak menghendaki terjadi demikian hingga
kemudian terjadi beberapa hal yang membuat saya berubah pikiran. Bahkan kali
ini saya menjadi lebih berkomitmen.
The things I discovered and Andre’s
objection have made me left this group. Something I did half heartedly. And
obviously God didn’t want me to abandon them either so things happened that
made me changed my mind. This time my commitment is even more strong.
Jadi bayangkan bagaimana kagetnya saya ketika mendengar
perkataan yang intinya mengenai ketidaklayakan saya untuk memimpin sharing
karena saya masih belum mengikuti ibadah.
So imagine how surprised I was when I
heard those words that spoke my incapability to lead sharing session because I
still am not attending the service.
Tapi saya memilih untuk berdiam diri. Menenangkan emosi.
Tidak mengkonfrontasikan pada yang orang yang mengatakan hal tersebut.
But I chose to remain quiet. Calmed
myself down. Not confronted it to the people who said it.
Walau saya menilai ucapan itu didasarkan pada pengertian
yang dangkal karena berarti mengukur tingkat kerohanian seseorang hanya dengan
melihat kehadirannya dalam ibadah..
Though I think such saying shows how
it was concluded on shallow understanding because it means they value
somebody’s spirituality based on the person’s attendance on the service..
Tapi saya juga berusaha untuk fair dengan pemikiran; kan
mereka tidak melihat dan karenanya tidak mengetahui kalau setidaknya seminggu
sebelum saya memimpin sharing atau mengikuti persekutuan pemuda, saya selalu
berdoa supaya Tuhan menguasai diri saya sepenuhnya supaya bukan lagi saya yang
memimpin sharing, bukan saya yang memilih lagu-lagu yang akan kami nyanyikan.
Dengan demikian semua berjalan bukan karena keinginan, ide, pemikiran atau
selera saya.
one of our youth meeting |
Saya tidak perlu membuktikan apa pun pada siapa pun. Saya
hanya mengikuti pimpinan dan panggilan Tuhan. Saya menjalankan bagian saya
dengan sungguh-sungguh.
I don’t need to prove anything to
anyone. I just follow God’s lead and call. I do my part with all my heart.
Keraguan mereka terhadap kelayakan spiritualitas saya karena
saya tidak mengikuti ibadah.. hmm.. saya tidak mau demi membangun citra diri
sebagai seorang dengan spiritualitas yang layak membuat saya harus menjadi
munafik.
Their doubt on my spirituality based
on my absent from attending the service.. hmm.. it is not my intention to build
self image of somebody with proper spirituality that make me have to become a
hypocrite.
Saya tidak tergerak untuk mengikuti ibadah karena saya
merasa jiwa saya tidak menemukan apa yang saya cari dan butuhkan dari ibadah
itu. Saya menemukannya melalui apa yang Tuhan tunjukkan dan ajarkan pada saya
dalam kehidupan, juga lewat percakapan pribadi saya dalam doa kepada Tuhan dan
banyak merenungkan firmanNya.
I am not moved to attend the service
because I feel my soul does not find what I search and need from that service.
I find it from the things God shows and teaches from real life, also through my
private conversation to Him in prayers and lots of time thinking about His
words.
Nah, orang kan tidak melihatnya. Jadi ya ada yang berpikir
dan menyimpulkan bahwa mengikuti ibadah menyatakan kondisi spiritualitas
seseorang berada dalam jalur yang benar. Yang tidak beribadah berarti kondisi
spiritualitasnya meragukan. Haha.. asyik banget kan kesimpulannya..
So people don’t see this. And yeah,
few of them think and conclude that attending service shows somebody’s
spirituality is in the right track. Those who don’t attend it make their
spirituality should be questioned. Haha.. what a superb conclusion..
Berhari-hari saya berdoa dan akhirnya saya menemukan
jawabannya. Tuhan mengatakan kalau ada yang minta saya mengikuti ibadah, ikuti
saja tapi selama ibadah, arahkanlah hati dan pikiran saya padaNya dalam doa,
saya tidak perlu mendengarkan apa yang dikatakan oleh pengkhotbahnya kalau saya
tidak ingin melakukannya tapi itu tidak perlu membuat saya gelisah karena
sebagai gantinya saya bisa berkonsentrasi dalam doa. Dan itu sudah saya lakukan
hari Minggu lalu.. hehe..
I have been praying for this for days
and finally I found the answer. God said if somebody asked me to attend the
service, go and attend it, but focus my heart and mind to Him in prayer all
through the service, I don’t even have to listen to the preacher if I don’t
want to but it should not have to make me feel restless as I can concentrate in
silent prayer. Oh, by the way, I have done it last Sunday.. lol..
Inti dari yang ingin saya sampaikan melalui pengalaman saya
diatas adalah bahwa ketika kita mendengar tentang sesuatu, yang harus kita
lakukan;
My point from the stuff I wrote above
is when we hear something, what we should do are;
Ambil waktu sejenak untuk tidak langsung mempercayainya tapi
juga tidak mengacuhkannya.
Take time to not believe it as the
whole truth but not ignoring it either.
Kemudian ambil waktu untuk menyelidiki kebenarannya, lihat
dari berbagai sisi, tempatkan diri pada sikon atau posisi yang berbeda.
After that take time to investigate
to find the real truth, observe it from different angles, put yourself in
different situation and position.
Kalau kita belum menemukan jawabannya, ambil waktu menunggu
hingga akhirnya kebenaran yang asli muncul.
If we still have not found the
answer, take time to wait for the real truth to appear.
Setiap hari ada banyak hal yang kita dengar, tapi belum
tentu semuanya itu adalah hal yang benar. Jadilah waspada dan bijaksana supaya
jangan kehilangan arah atau hilang pegangan.
No comments:
Post a Comment