“Rame ya whatsapp hari ini” teman saya nyeletuk ketika untuk
yang ke sekian kalinya hp kami berdua berbunyi.
“Whatsapp has been
beeping quite often today” said my friend when our cellphones beeped again.
Mata kami bertemu. Sama-sama sejenak menghentikan apa pun
yang sedang kami kerjakan.
Our eyes met. Both
stopped whatever the stuff we were doing.
“Seandainya saja mereka menunjukkan semangat seperti ini
setiap kali kita akan mengadakan persekutuan” gumam saya sambil menghela napas.
“If only they showed
this kind of enthusiasm everytime we are holding a fellowship” I mumbled as I
took a deep breath.
Kami berdua bertukar pandang.
We exchanged glance.
Beberapa bulan lalu kelompok pemuda di tempat kerja saya
memutuskan untuk mengadakan retreat pada bulan Mei.
Few months ago the youth
group in my workplace decided to have a retreat in May.
Wajar saja kalau kami merundingkan beberapa pilihan tempat
atau membicarakan hal-hal lain yang berhubungan dengan program acara retreat
itu.
It makes sense if we
discuss the places where we are going to have that retreat before we pick one
or talk about the retreat timetable.
Wajar-wajar juga sih kalau anak-anak muda ini menjadi bersemangat.
It makes sense too if it excites these young people.
Sayangnya semangat seperti itu tidak ditunjukkan
menjelang acara persekutuan biasa.
It is just that such enthusiasm has never shown toward the regular fellowship.
“Pengen betul saya komen; ‘hei, kenapa kalian ga nunjukin semangat sebesar ini kalau kita mau
adain persekutuan? Kenapa menjelang persekutuan ga ada yang pernah nanya; tema
persekutuan kita apa ya? Nats-nya dari mana? Pembahasannya tentang apa ya?’..
tapi ketika ini tentang jalan-jalan.. wow lihat semangatnyaaa!..” saya mengeluh
panjang.
“I am so itch to
comment; ‘hey, why don’t you show this
kind of enthusiasm whenever we are going to have a fellowship? Why is it nobody
ever ask, what is this service’s topic? What is the reference verses taken
from? What will we discuss on this session?’ but when it comes to a field
trip.. wow just look at the enthusiasm!..” I groaned.
Teman saya tertawa melihat kegalauan saya.
My
friend laughed seeing my agony.
Retreat berarti
mengambil waktu untuk menyepi, demikian kata ayah saya yang pernah
mengikuti dan mengadakan retreat ketika dia masih aktif dalam pelayanan gereja.
Retreat means taking
solitude time, said my father having the experience of joined and organized
retreats when he was involved actively in church.
Retreat adalah saat dimana kita mengambil waktu untuk
menjauhkan diri dari kesibukan dan bahkan dari kehidupan dunia.
Retreat is when we take
time to seclude ourselves from whatever that keeping us busy on daily basis and
even from the hustle bustle of life.
Tujuan retreat bukan untuk jalan-jalan, bukan mengenai cari
penginapan yang punya kolam renang atau fasilitas outdoor yang menarik.
Retreat is not a
traveling, it is not about finding an inn with swimming pool or having fun
outdoor facility.
Retreat adalah untuk mencari waktu untuk mendekatkan diri
dengan Tuhan.
Retreat is finding time
to get close to God.
Dalam alkitab diceritakan bagaimana Tuhan Yesus bangun
pagi-pagi sekali dan pergi ke tempat yang sepi untuk berdoa. Sebelum yang
lainnya bangun, sebelum orang-orang mendatangiNya, sebelum aktivitas kehidupan
menyibukkanNya.. itulah yang Dia lakukan.
image:www.pixshark.com |
Tapi dalam jaman sekarang ini yang semuanya serba sibuk dan
terburu-buru, berapa banyak dari kita yang masih sempat melakukan hal demikian?
But in the time where
everyone is busy and everything is done in a hurry, how many of us still able
to do that?
Retreat, ibadah dan persekutuan adalah saat khusus untuk
Tuhan.
Retreat, the service and
fellowship are special moments for God.
Jadi, kalau semua itu memiliki tujuan yang sama, lalu kenapa
respon yang ditunjukkan lebih menggebu-gebu untuk retreat tapi biasa-biasa saja
terhadap ibadah atau persekutuan?
So, when they are all
have the same purpose, why is retreat drawn more excitement response while the
service or fellowship get cool respond?
Saya berandai-andai.. kalau misalnya kita mengetahui besok
adalah hari terakhir kita hidup di dunia ini atau kalau besok telah dipastikan
adalah hari kiamat.. masihkah kita menjadi lebih bersemangat ketika membahas tentang lokasi retreat dari pada waktu untuk mendengarkan
firman Tuhan?
I was just thinking.. if
somehow we knew tomorrow would be our last living day on earth or if it were
confirmed that tomorrow would be the doomsday.. would we still give more time
to discuss about where the retreat would be held than the time to hear the
words of God?
* *
* *
Saya dan orang tua saya melewatkan 14 tahun dalam masa-masa
yang sulit. 3 tahun terakhir malah yang terberat.
My parents and I spent
14 difficult years. The last 3 years were the toughest.
Demikian sulitnya masa-masa itu sampai saya pernah
menanyakan pada Tuhan, ‘tidak adakah
artinya lagikah kami ini bagiMu?’
It was so hard that I
once asked God ‘are we meaningless for
Thee?’
Apakah kami tidak lagi
penting untuk Tuhan?.. Tahun 2014 adalah tahun yang kritis untuk iman saya
karena saya hampir memutuskan untuk menjadi seorang ateis sepenuhnya. Semua
karena tidak ada yang lebih menyedihkan bagi saya ketika saya merasa Tuhan
tidak lagi memandang kami sebagai sesuatu yang berharga. Saya tidak hanya
merasa ditinggalkan. Saya hancur. Dan kalau kami tidak ada artinya lagi untuk
Dia, saya bertekad untuk membuktikan bahwa saya bisa hidup tanpa Dia.
Aren’t we no longer important for God?.. 2014 was critical for my faith because I was
so close to make decision to become totally atheist. It was all because nothing
hurt me more than when I felt God no longer saw us worthy. I felt I was being
abandoned. I was devastated. And if we were no longer insignificant for Him, I
determined to prove that I could live without Him.
Orang-orang terdekat dan tersayang mengetahui tentang hal
ini. Tapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa dan menunggu sampai
Tuhan sendiri yang memulihkan keadaan rohani saya yang hancur berantakan.
Those close and loved
ones knew about it. But they couldn’t do nothing except prayed and waited until
God Himself restore my ruined spirituality.
Dan doa mereka terjawab.
And their prayers were
answered.
Tapi sampai kapan pun saya tidak bisa melupakan rasa ‘tidakkah saya penting bagimu’.
But I can never forget
the feeling of ‘am I not important to you’.
Ketika minat dan semangat untuk retreat lebih besar
dibandingkan untuk mendengarkan firman Tuhan, bukankah Tuhan bisa bertanya ‘tidakkah saya penting bagimu?’
When the interest and
enthusiasm are bigger for the retreat than to hear the words of God, would God
not ask ‘am I not important to you?’.
* *
* *
Ketika perhatian dan waktu saya untuk Andre menjadi amat
sangat berkurang, dia mulai uring-uringan yang membuat kami jadi sering
bertengkar dan hubungan kami sempat menegang.., saya tidak bergeming.
When my time and
attention for Andre became less and less, he grew uneasy about it, created many
fights between us and our relationship was under pressure.., I was not moved.
Saya pikir setelah delapan tahun kami bersama, dia
seharusnya sudah tahu, bisa mengerti dan menerima bahwa saya tipe orang yang sulit
dipegang. Saya menyayanginya tapi saya menyukai kemandirian saya dan saya juga
orang yang keras kepala.
I thought after eight
years we have been together, he should have known it better, could understand
and accept that it is not easy to have a hold on me. I love him but I like my
independency and I am also stubborn.
Lalu dalam satu argumentasi yang sengit, dia menyerukan
kata-kata ini; “lalu saya ini apa buat kamu? Pekerjaanmu dan persekutuan itu
lebih penting dari saya”
Then in a fierce
argumentation, he blurted out these words; “so what am I to you? Your job and
that fellowship are more important than me”
Kata-kata ‘lebih
penting dari saya’ bagaikan tamparan untuk saya karena saya teringat pada
masa-masa sulit ketika saya pun merasa saya tidak lagi penting di mata Tuhan.
Saya tahu bagaimana pedihnya hati saya saat itu.
The words ‘more important than me’ were like a
slap on my face because I was reminded to the difficult time when I felt I was
unimportant in God’s eye. I knew how it hurt me so bad.
Selama beberapa hari saya memikirkan situasinya. Kali ini
dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan saya harus mengakui bahwa saya
telah berlaku tidak adil pada Andre dan bahwa ada hal-hal dalam persekutuan
pemuda ini yang mulai mengganggu hati nurani saya.
I spent few days
observing the situation. This time it was from different perspective and I had
to admit I have been unfair to Andre and there are things in this youth
fellowship that has bothered my consciousness.
Atas dasar itulah saya memutuskan untuk mengundurkan diri
dari persekutuan itu.
For that reason I decided
to resign myself from that fellowship.
Saya kini sedang mempertimbangkan apakah saya masih mau ikut
dalam acara retreat itu karena sejujurnya minat saya hilang setelah saya merasa
bagi beberapa dari mereka, retreat ini dikonotasikan sebagai acara jalan-jalan
dan bukan sesuatu untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
I am now considering if
I still want to join the retreat because to be honest, I lost my interest after
I sensed some of them have the perception that retreat is another word for
traveling and not as an opportunity to get closer with God.
Saya hanya tidak ingin berdiri di hadapan Tuhan dan
mendengar Dia berkata ‘Apakah saya tidak
penting bagimu?’ ketika saya menunjukkan minat dan semangat lebih besar
untuk retreatnya dan bukan kepada tujuan retreat itu.
I just don’t want to
stand infront of God and hear Him says ‘Am I not important to you?’ when I show
greater interest and excitement for the retreat and not for its purpose.
Kalau saya berdalih bahwa saya ikut retreat untuk
mendekatkan diri pada Tuhan tapi sebetulnya saya lebih melihatnya sebagai acara
jalan-jalan di akhir pekan, adilkah itu bagi Tuhan?
No comments:
Post a Comment