Siapa yang tidak pernah mengalami saat yang rasanya jadi kepingin menggeram kayak anjing? Grrr... Semua pasti pernah. Tapi
mudah-mudahan tidak sering ya.. hehe..
Who
never had moment that made us wanted to just growl like a dog? Grrr... Everybody had that moment once in a while. Let’s just hope it doesn’t
happen often.. lol..
Dulu waktu saya masih lebih muda, emosi saya masih
meledak-ledak.. jadi yang namanya grrr grrr.. hmm.. sering.. tidak pandang perkara kecil
sampai besar.
When I
was younger, my emotion was like a roller coaster.. so I oftenly had grr grr moment..
anything from small to big thing could trigger it.
Setelah melihat dan mengalami bagaimana grrr grrr itu
merugikan diri sendiri dan juga orang lain, saya berusaha untuk menguasainya..
tapi bukan berarti saya tidak pernah ber-grrr lagi lho..
After
seeing and experienced it first handly how those grrr moments brought nothing good on
myself and neither to others, I try to control it.. but it doesn’t mean I never
have had it anymore..
Payahnya sifat dasar saya adalah penaik darah, keras dan
tidak sabaran. Kombinasi yang tidak bagus.
The
thing is I am basically a short tempered, strong headed and impatient person.
Bad combination.
Jadi kalau saya sesuatu atau
seseorang bikin saya jadi meng-grrr.. widih.., siaga satu deh karena sifat pemarah saya bisa keluar
sebelum saya sempat mengendalikannya.
So
when something or somebody causing me to have grrr moment.. hell.., be on your guard because
my temper might erupt at any second before I could control it.
Dan kalau saya sudah marah… haduh.. lebih baik jangan ada di
dekat saya deh..
And
when I got angry... oh man.. I am telling you, you better stay away from me for
your own safety..
Setahun lalu ada yang mengadakan rapat diruangan saya dan sesudahnya semua pergi begitu saja
meninggalkan kursi-kursi yang tadi mereka bawa masuk ke ruangan saya.
A year
ago my room was turned into a meeting room and after they
were done, they just left the chairs they brought to my room.
Saya baru mengetahui kondisi ini setelah saya masuk ke
ruangan saya dan langsunglah... grrr... bagaikan bensin bertemu dengan korek api.. menyalakan
api amarah dalam diri saya.
I
found it out after I returned to my room and I had... grrr moment instantly.. it was like gasoline met
lighter.. together they created one hell of wrath in me.
“Setan!.. sinting!” dan segala kata makian lain sudah berada
di ujung bibir saya. Sambil menggigit bibir, sendirian saya membenahi
kursi-kursi itu.. oh, jangan dikira saya melakukannya pelan-pelan.. tidak,
bray.. saya gombrang gambreng itu kursi-kursi sialan.. hehe..
“Wtf!..
s***t!” and others cursing words were on the tip of my lips. I bit it, then I
took the chairs back to where they were stored, all by myself.. oh, don’t think
I did that slowly.. nope.. I slammed those f***ing chairs.. lol..
Entah karena mendengar suara ribut atau teringat pada
kursi-kursi yang ditinggalkan bertebaran diruangan saya, seorang dari yang ikut
rapat kembali ke ruangan saya dengan mengajak dua orang lainnya dan mereka
membantu saya.
I
don’t know whether the noise or the chairs in my room stroke somebody’s memory,
one of the meeting attendant returned to my room with two other people and they
helped me.
Lain lagi ceritanya ketika seseorang di
tempat kerja memakai komputer yang sedang saya pakai karena harus mengeprint
sesuatu.
Another
incident happened when a colleague at work place used
the computer that I was using because he needed to print something.
Yang kemudian bikin saya ber-grrr adalah ketika dia
membukai file-file yang sedang saya kerjakan di komputer. Satu diantaranya
adalah blog saya yang sedang saya susun sebelum di posting.
What
caused my grrr moment is when he opened the files I was working on the computer.
One of them was my blog which I was arranging the draft before I posted.
Saya tidak akan jadi ber-grrr kalau hal itu dilakukannya
tanpa sengaja. Tapi ini tidak demikian. Dia berhenti dan membacanya. Teguran
saya supaya dia tidak membacanya, tidak diindahkannya.
I
wouldn’t have grrr at him if he unintentionally did that. But that was not the case.
He stopped and read it. I told him not to but he ignored me.
Kan sama saja dibaca sekarang atau nanti, itu pendapatnya.
Tapi buat saya, kalau masih dalam bentuk draft, saya tidak mau orang lain
membacanya.
It
wouldn’t make any difference to read it now or later, that was his excuse. But
for me, when it is still in draft, I don’t want anyone read it.
Ini sudah cukup untuk bikin saya jadi grrr. Tapi yang menarik keluar sifat pemarah saya adalah karena dia tidak
mengindahkan perkataan saya untuk tidak membacanya. Dan untuk diketahui, saya
memperingatkannya tidak hanya sekali.
This
was enough to make me had grrr moment. But what made it triggered my temper is him
ignoring me when I told him not to read it. And fyi, I didn’t warn him just
once.
Meledaklah amarah saya dan saya tidak lagi peduli ruangan
saya sepi atau ramai..
My anger
came in huge blast and I didn’t care whether the room was empty or not..
Kadang saya menyesali saat-saat saya jadi grrr begitu, tapi lebih sering tidak.
Katakanlah saya egois, tapi dalam pandangan saya, kan tidak datang tanpa
sebab dan itu bukan karena saya yang cari gara-gara atau saya bikin perkara
untuk menciptakan grrr bagi diri sendiri.
Sometimes
I regret those grrr moments but mostly I don’t. So let’s say I am
selfish, but in my perspective, grrr moments wouldn’t just popped out of nowhere
and it is not me who made a scene or came up with anything to create it.
Fakta lain tentang saat-saat grrr adalah dia bisa cepat hilang
atau bertahan lama tergantung pada sikon.
Another
fact about grrr moments is it can go away fast or it stays. It depends on
situation.
Sekitar setengah tahun lalu ruangan saya berubah fungsi
menjadi ruang doa. Tapi ketika itu mereka mengambil posisi sedemikian rupa
sehingga akhirnya saya dan seorang senior lainnya jadi susah untuk bekerja.
About
half a year ago my room has to be altered into praying room. But at that time
they occupied nearly almost the whole room that it made me and a senior
couldn’t work.
Saya menyatakan keberatan saya pada penanggung jawab dari
kegiatan doa itu. Argumen yang saya pakai adalah masing-masing pihak (mereka
dan saya) sama-sama saling mengganggu dan terganggu.
I went
to that praying team's PIC. My argument is each party was equally annoyed.
Tapi dia tidak mau mengalah. Dia menemui senior saya yang
menjadi pemimpin di tempat kerja saya ini dan intinya adalah, entah benar atau
salah, sayalah yang harus mengalah.
But
she didn’t want to give in. She went to see my senior who is the chief in my work
place. The point is whether I was right or not, I was the one who had to give
in.
Saya pikir, yah.. ini toh bukan rumah saya, bukan kamar
saya.. mana ada ceritanya saya bisa menang adu argumen. Apalagi senior saya
sudah ketok palu.. punya pilihan apa saya selain harus terima apa pun
keputusannya..
I
thought, yeah.. so it’s not my house, not my bedroom.. what made me thought I
would win my argument. Especially since my senior has given the verdict.. what
option did I have beside accept it..
Tapi.. ada tapinya.. bukan berarti itu tidak membuat saya
jadi tidak meng-grrr. Justru jadi bertambah grrrrr..
However..
yes, that’s right.. it didn’t mean I then had no grrr moment. Infact, it
added more fuel to it.
Suatu hari Minggu, saya berdiri di pojok pantry dengan
memegang segelas kopi dingin dan membawa segudang grrrr dalam hati karena
sekali lagi saya tidak bisa bekerja dalam ruangan saya karena ruangan itu
sedang dipakai untuk berdoa.. haha.. luar biasa..
On one
Sunday, I stood in the corner of the pantry, holding a glass of ice coffee and
tons of grrrr in me because once again I couldn’t work in my room because it
was used as praying room.. haha.. splendid..
Saya ditemani oleh senior saya yang juga menempati ruangan
itu. Kami berdua memutuskan untuk ngopi dulu di pantry sambil menunggu
orang-orang itu selesai berdoa.. hmm..
I was
accompanied by a senior who was also work in my room. We both decided to get
some coffee in the pantry while waiting for those people to get done with their
praying.. hmm..
Kami sedang mengobrol ketika masuklah senior saya (yang
memutuskan ruangan saya tetap akan dijadikan ruang doa). Beliau sebenarnya
adalah senior saya yang paling dekat dengan saya, orang yang juga paling saya
hormati dan sayangi. Kami berdua punya kesamaan dalam rasa humor dan itu yang
membuat kami dengan santainya bisa bercanda dan saling meledek.
We
were talking when my senior came in (the one who decided my room to be made as
praying room). He is actually a senior who’s closest with me, he is my most
respected and loved person as well. We both have same sense of humor and that
is what makes us can joke around and teasing each other.
Gurauan dan ledekannya tidak pernah bikin saya jadi grrr.
His
jokes and tease never made me had grrr moments.
Pagi itu dia mengatakan suatu gurauan. Saya diam saja. Tidak
menanggapi. Tersenyum saja tidak.
That
morning he said a joke. I kept silent. Unresponded. Not even smile.
Dia membuat gerakan seakan menonjok lengan saya. Sesuatu
yang senang dilakukannya. Dan saya biasanya spontan balik menonjok lengannya.
Tapi hari itu saya bagaikan gunung es.. saya malah menarik tubuh saya menjauh
dan semakin menyembunyikan diri di sudut pantry.
He
made a gesture as if he would punch my arm. Something he likes to do. And I
usually spontaneously respond by punching back his arm. But that day I was like an
iceberg.. I moved away and hid myself more in the corner of pantry.
Yah, lagi ber-grrr begitu di ajak bercanda.. kagak nyambunglah
yaww.. apalagi karena saya menganggap dia ikut bertanggung jawab untuk membuat
saya tersingkir dari ruangan kerja saya.
Yeah,
so I was having my grrrr moments and he asked me to joke.. I was just not in tune..
especially because I thought he is responsible to make me being thrown out of
my room.
Tentu saja dia mengerti karena minggu berikutnya seorang
karyawan tempat kerja saya ini datang ke ruangan saya dengan membawa berita
bahwa dia disuruh oleh senior kami itu untuk mengatur posisi kursi sehingga
mereka yang berdoa tidak akan menjajah seluruh ruangan saya.
He
surely got the message because the next Sunday a worker in this place came to
my room with a news that he was asked by our senior to arrange the chairs so
those people no longer occupy the whole room.
Apa itu menghilangkan grrr saya?. Tidak. Hanya
menurunkan kadarnya saja.
Did it
wipe off my grrr feelings?. Nope. It’s just reducing it.
Berkompromi bukan berarti rasa grrrr hilang.
Making
compromises not automatically eliminating the grrr feelings.
Belum lama ini saya sempat kesal pada beliau dan sampai dia
pulang, kami tidak bicara lagi. Beberapa saat kemudian, rasa grrr saya berkurang
dan saya agak menyesal karena sempat memasang muka cemberut padanya.
Just
recently he made me upset and until he left, we didn’t talk. Few moments later,
my grrr feelings ceased and I felt sorry I put my frawn face to him.
Kami tidak bertemu di hari biasa kami bertemu di kantor dan
ini menambah rasa penyesalan saya. Setelah beberapa hari lewat, rasa grrrr saya
sudah hilang dan sekarang saya merindukan kehadirannya, ingin mendengar
suaranya ketika menegur saya, ingin mendengar berbagai cerita konyol, gurauan dan ledekan
khasnya.
We
didn’t meet on the day when we usually meet in the office and it made me had
more regret. After few days passed, my ill feel has gone and I miss his
presence, I wanted to hear his voice when he talks to me, want to hear his many sily stories, jokes and his way of teasing me.
Grrr momen bisa merugikan tapi kadang bisa memotivasi kita
untuk berbuat kebaikan.
Grrr moments bring no advantage but sometimes it can motivate us to do good thing.
Beberapa hari lalu mahasiswi magang di tempat kerja saya
menerima pesan Blackberry yang mengganggu perasaannya. Seorang rekan saya yang
mengetahui penyebabnya menyuruhnya untuk memberitahu saya.
Few
days ago an intern in my workplace got an annoying Blackberry message. A colleague
who knew about it told her to inform me about it.
Wah, saya langsung meng-grrr begitu membaca isi pesan BB
tersebut karena saya dan rekan itu terbawa-bawa dalam pesan itu.
I tell
you something, I instantly had grrrr moment after I read that BB message because it
referred to me and that colleague too.
Karena si pengirim pesan BB itu tidak terhubung dengan saya
melalui BB, saya mengontaknya lewat whatsapp. Dan saya mengirimkan pesan yang
menyatakan saya ingin tahu apa alasan dia dibalik pesan BB-nya,
bahwa saya merasa terganggu dengan isi pesan tersebut.
Since
the person who sent that BB message is not connected to me through BB, I sent
him whatsapp message where I asked him what was his intention to send such
message, that the content annoyed me.
Saya bukan orang yang suka berkonfrontasi. Saya lebih suka
diam dan mengalah. Tapi sudah grrr.. sifat pemarah dan keras hati saya bisa keluar.
Kalau sudah demikian, saya bisa jadi lebih garang dari siapa pun.
I
don’t like confrontation. I rather keep myself silent and give in. However, grrr feelings can make my short temper and strong head characters come to the surface. When
it happens, it can turn me into a bull.
Grrrr yang terakhir ini ada gunanya karena saya jadi
bangkit membela si mahasiswi magang. Pesan BB yang dikirimkan orang itu padanya
tidak hanya membawa-bawa saya dan rekan saya tapi karena pesan itu juga
beraroma bullying (saya akan menceritakannya dalam postingan berikutnya).
The
last grrr feelings gave positive outcome because it made me stood up to defend the
intern. The BB message is not just mentioned me and another colleague but it
had bullying intention (I will write about in in my next post).
Rasa grrr membuat saya marah sehingga memampukan saya untuk
bereaksi keras pada si pengirim pesan BB itu.
Grrr feelings made me angry and it was like something moved me from within to give firm reaction to the person who sent that
BB message.
Sejak itu dia tidak lagi mengirim pesan BB apa pun pada si
mahasiswi magang. Tapi saya tetap akan memantau karena setelah saya membaca
pesan-pesan dan komen-komen sebelumnya, isinya cenderung mengarah pada bullying
secara psikologis. Saya tidak percaya dengan kata-kata ‘bercanda kok’.
Since
then he no longer send any BB message to the intern. But I will keep my eyes on
him because after I read his previous messages and comments, the content tend
to psychological bullying. I don’t buy his ‘just joking’ words.
Jadi, seperti apakah saat-saat grrr anda?
So,
what is your grrrr moments like?
Saat-saat grrrr lebih banyak tidak ada gunanya, lebih merugikan dan
lebih banyak konyolnya dari pada menguntungkannya. Tapi karena kita bukan
robot.. ya, wajar saja kalau sesekali kita bisa meng-grrr atau menimbulkan grrr bagi orang lain. Asal bisa dikuasai dan tidak dibiarkan berlarut-larut
atau jadi besar.. maka itu saya anggap masih dalam kategori aman.
Grrr feelings bring nothing good, it gives more damage and silliness than bring good
thing. But since we are not robots.. it is understandable to have it once in a while or bringing it to others. As long as we can control it, not allowing it to
go for long time or turn it into huge thing.. I consider it normal.
No comments:
Post a Comment