Murid les saya bertambah lagi. Nia dan Debora. Empat dan
lima tahun.
I have more students to
tutor. Nia and Debora. Four and five years old.
Nia baru belajar mengenal huruf. Sementara Debora belajar
membaca.
Nia is learning abc. While
Debora learns to read.
Waktu satu jam lewat tanpa terasa karena yang mengajar dan
yang belajar sama-sama sibuk tidak hanya dengan urusan huruf a-i-u-e-o dan
ba-bi-bu-be-bo tapi juga dengan berbagai aktivitas mulai bernyanyi, bercerita,
bercanda dan yang terakhir kami lakukan di menit-menit terakhir adalah berfoto.
An hour passed without
any of us noticed it because the teacher and the students were all busy not
only with a-i-u-e-o and ba-bi-bu-be-bo but also with many other activities from
singing, talking, joking and in the last minutes were filled by us taking
pictures.
Mereka meninggalkan rumah saya dengan muka ceria dan mata
bersinar penuh kegembiraan.
They left my house with
happiness shown on their faces and their eyes shone brightly.
Saya memperhatikan mereka dan sangat terkesan tidak hanya
karena melihat kebahagiaan di muka mereka tapi juga karena teringat satu jam
yang lalu kami tidak saling mengenal.
I looked at them and was
impressed not only to see happiness on their faces but because the fact is an
hour ago we were strangers.
Dua hari kemudian mereka datang lagi karena jadwal les
mereka dua kali seminggu.
Two days later they came
again as they are scheduled to have the tutoring twice a week.
Hari itu mereka datang beberapa menit sebelum jam empat
sore.
They came few minutes
before four in the afternoon.
“Sudah tidak sabar nunggu jam empat, bu Keke” kata mamanya
“Semangat mau belajar”
“They hardly wait for
four o’clock, Keke” said the mother “So excited to have their tutoring”
Mereka masuk sambil berceloteh riang. Sesi les kedua ini
berjalan menyenangkan.
They came in, very much
chatty. This second session of tutoring went pleasantly.
Minggu berikutnya, Selasa (26/8) Nia datang dengan berurai
air mata.
The next week, on Tuesday
(August 26th) Nia came, crying.
Lho kok nangis, kenapa, nak?
Why are you crying,
kiddo?
“Baru bangun, bu Keke” kata mamanya “Saya bangunin”
“She just wake up” said
the mother “I woke her up”
Oh, kasihan.. Saya minta supaya ibunya tidak memaksanya
untuk les.
Oh, dear.. I asked her
mother not to push her to attend today’s tutoring.
Beberapa menit kemudian, ketika Debora baru saja kelihatan
siap untuk mulai belajar.. seseorang memanggil saya.
Few minutes later, just
when Debora ready to learn.. someone called out for me.
Nia datang di antar oleh tantenya. Masih menangis.
Nia came with her aunt.
Still crying.
“Mau belajar, bu” kata tantenya sambil tersenyum.
“She wants to have her
tutoring” said her aunt. Smiling.
Wah, gimana caranya mau belajar kalau masih nangis begini?,
tanya saya pada diri sendiri. Tapi saya tidak berkata apa-apa.
Now how would she learn
when she is still crying like this?, I asked myself. But I said nothing.
Saya bukakan pintu “Masuk yuk, sayang” kata saya pada Nia
yang masuk sambil masih menangis tersedu-sedu dan langsung menggandeng tangan
saya.
I opened the gate “Come
in, dear” I spoke to Nia who came in, still crying and she held my hand.
Di dalam rumah.. “Nia duduk ya disamping Debora” kata saya
lembut. Tapi Nia menggeleng dan menangis lebih keras. Walah.. gimana nih? Masa
mau tetap berdiri?
After we got in the
house.. “Nia sits next to Debora, ok” I spoke gently to Nia. But she shook her
head and cried louder. Oh no.. what should I do? She can’t just stand there.
Saya memutar otak “Nia duduk dipangkuan bu Keke aja ya” Dia
tidak menolak. Saya duduk di kursi kecil sementara dia duduk di paha kiri saya.
Dia meletakkan kepalanya di bahu saya, masih menangis tersedu-sedu.
I thought hard to come
out with something “Nia sits on my lap, ok” she didn’t show anything against it
so I sat on a small chair while she sat on my left tigh. She rested her head on
my shoulder, still crying.
Debora dan saya mencoba menghiburnya. Mengalihkan
perhatiannya. Membuatnya berhenti menangis. Debora bahkan sampai membuat gambar
kolam dan ikan sambil berceloteh tentang ikan dalam upayanya untuk membuat Nia
mau berhenti menangis.
Debora and I tried to
soothe Nia. To distract her. Did everything to make her stop crying. Debora
even drew a pool and fishes as she endlessly spoke about those fishes in her
effort to make Nia to stop crying.
Diperlukan mungkin lebih dari lima belas menit untuk
akhirnya saya bisa membuat Nia berhenti menangis.
It needed probably more
than fifteen minutes for me to finally made Nia stopped crying.
Tidak banyak yang bisa mereka pelajari hari ini karena
bagaimana saya bisa mengajar Debora yang penuh semangat dan bawel itu dengan
Nia yang duduk dipangkuan saya sambil menangis? Dan bagaimana pula saya serta Debora dapat fokus pada pelajaran dengan diiringi oleh suara tangisan Nia?
They didn’t learn much
today because how could I tutor the energetic and chatty Debora while having
Nia on my lap who seemed unable to stop crying? And how could Debora and I focused on the lesson with the noise of Nia crying?
Yah,sebetulnya saya yang jadi banyak belajar dari mereka.
Well, it was actually me who
learned a lot from them.
Hari itu adalah hari ketiga Nia dan Debora datang ke rumah
saya. Tiga kali bertemu dengan total waktu tiga jam.
It was the third day Nia
and Debora came to my house. Three days and three hours in total.
Berapa banyak yang kita ketahui tentang seseorang dengan
hanya bertemu tiga kali atau hanya selama tiga jam?
How much would we know
about someone whom we met just three times or for only three hours?
Reaksi Nia pada hari ini menunjukkan bahwa dia mungkin baru
mengenal saya selama tiga jam tapi dia mempercayai saya.
Nia’s reaction today
showed that she trusts me though she just knew me for three hours.
Malam harinya saya memikirkan anak-anak ini dan merenungkan
banyak hal.
I thought about those
kids at night and had many things in my mind.
Banyak hal membuat saya terkesan sejak dari hari pertama Nia
dan Debora datang ke rumah saya.
Many things impressed me
even since the first day Nia and Debora came to my house.
Nia serta orang tuanya adalah tetangga saya. Jarak rumah
kami hanya dipisahkan oleh satu rumah. Tapi selama ini saya hanya sekali-sekali
saja mengobrol dengan mamanya. Dengan Nia sendiri tidak pernah.
Nia and her parents are
my neighbor. Our houses are just one house apart. But I never spoke to Nia, I
just occassionaly have short chat with her mother.
Debora adalah sepupu Nia yang sering berkunjung ke rumah
Nia. Saya tidak pernah melihatnya, mungkin pernah tapi tidak memperhatikan
karena anak-anak itu tidak pernah main sampai ke depan rumah saya.
Debora is Nia’s cousin
who oftenly comes to her house. I never saw her before, maybe I had but didn’t
pay attention as the kids never played infront of my house.
Jadi saya dan anak-anak itu betul-betul tidak saling
mengenal. Karena itu bayangkanlah bagaimana herannya saya melihat pada hari
pertama mereka tanpa ragu langsung masuk ke rumah saya tanpa disertai oleh
ibu-ibunya.
So the kids and I were
total strangers. Imagine how it surprised me to see how they confidently came
into my house on their first day of tutoring without their mothers came along.
Tanpa ragu, tanpa takut, tanpa resah, tanpa curiga, tanpa
banyak pertimbangan.
Without hesitation,
without fear, without anxiety, without suspicion, without too many
considerations.
Saya tidak bisa tidak berpikir tentang suasana di kantor
selama dua minggu terakhir ini; begitu banyak keresahan, kebingungan,
ketegangan, desas-desus. Beberapa orang menjadi demikian tertekan karenanya
sampai seorang diantaranya sempat jatuh sakit.
I couldn’t think about
the air in the office which in the past two weeks has been filled with so many
anxieties, confusion, tension, rumors. Some people have become so troubled by
this that it even made one of them fell ill.
Semuanya berawal dari apa? Sederhana saja sebetulnya.
Sesuatu yang menurut saya dan juga beberapa orang lainnya, tidak perlu menjadi
demikian rumit.
Where did all this
starting? It was something simple, actually. Something that I and some people
thought should be made complicate.
Tapi ketika pemikiran di isi oleh banyak pertimbangan,
ketakutan, kecemasan, kecurigaan dan praduga.. maka terciptalah suasana yang
penuh dengan aura yang sama.
But when mind is filled
with so many considerations, fears, worries, suspicion and .. it resulted in a
condition that fills exactly with those auras.
Kalau sampai seseorang memilih untuk (terpaksa) tidak datang
ke rumah orang lain untuk membantu memasak atau mempersiapkan rumah orang itu
(yang sudah dianggap sebagai teman) ketika akan diadakan acara dirumah orang
tsb karena takut kalau-kalau tindakan persahabatan itu di lihat dan di nilai
sebagai hal-hal yang tidak pantas atau tidak seharusnya dilakukan..
When somebody chose not
to come to somebody’s house (who has considered as a friend) to help that
person with the cooking or house preparation before a gathering held there for
fearing that friendship based thing would be seen or judged as something
improper to do..
Ketika dua orang teman terpaksa harus menjauh ketika banyak
mata disekitar mereka menatap dengan hati penuh praduga..
When two friends have to
distant themselves when many eyes around them stare at them with heart fills
with so many prejudice..
Ketika dua orang teman dipaksa untuk mengurangi keakraban
mereka karena sesuatu yang bahkan tidak pernah ada dalam pikiran mereka..
When two friends are
forced to limit their closeness for something that they themselves have never
thought..
Saya hanya ingin mengatakan.. ada banyak hal akan menjadi
lebih sederhana dan indah seandainya kita mau menyederhanakan pikiran kita..
I just wanted to say..
many things would be more simple and nicer if only we could simplify our
minds..
Kita perlu belajar dari anak-anak kecil seperti Nia dan
Debora tentang ketulusan, kesederhanaan, keyakinan dan kepercayaan.
We need to learn from
kids like Nia and Debora about sincerity, simplicity, faith and trust.
No comments:
Post a Comment