Waktu perjalanan yang lama menuju ke Jakarta karena
diselingi dengan jalanan yang macet memberikan kepada saya dan rekan saya
kesempatan untuk mengobrol panjang lebar tentang berbagai hal.
I protested. Whatta? The bulletin has been printed and her name is already in it. This is not about can or can’t be re-scheduled to the next Sunday. This is about stick to your own word.
He dislikes it if I keep changing my mind. He gets upset if I say yes today and change my mind the next day or in a few moments later for no clear or nonsense reason.
The long hours we spent when we
were on our way to Jakarta, as the traffic was jammed, has given my
acquaintance and I a chance to talk about lots of things.
Satu dari berbagai hal itu adalah tentang pengalaman kami
berurusan dengan mahasiswa.
One of those many things is about
our experience dealing with college students.
“Tobat saya kalau minta mereka datang untuk nyanyi” saya
curhat “Saya ngalamin berapa kali tuh, mereka ngomong bisa, tiba-tiba 2 hari sebelum hari Minggu mereka kontak ke saya buat kasih tahu mereka ga bisa datang”.
“I have had it dealing with them”
I shared her my experience “I have had times when I asked if they could come
and sing in the service and they said yes but 2 days before Sunday they contacted me to inform me they couldn't come”.
Rekan saya tertawa “Oh, belum lagi datangnya mepet. Bikin
orang senewen”.
My acquaintance laughed “Oh, not
to mention how they arrived in the last minute. Driving us crazy”.
Saya ngakak “Ibadah jam 8, kalau bisa mereka sampainya jam 8
kurang sedetik. Padahal sudah dikasih tahu, diingetin dan malah diminta supaya
minimal 10 menit sebelum jam 8 sudah sampai supaya mereka bisa berdoa bareng
dengan kita dan tidak usah terbirit-birit kayak dikejar anjing waktu masuk ke
ruang ibadah. Ngomongnya ke saya sih ‘ok, ok, kak’.. tapi prakteknya beda”.
I burst out my laugh “The service
starts at 8 am, they would like arriving at one second before 8. Despite the fact that I have informed,
reminded and even asked them to at least arrive 10 minutes before 8 so they
could pray with us and wouldn’t have to get inside the room in a rush as if
they were being chased by wild dogs. They said ‘ok, ok, sis’.. but the words
are far different with reality”
Kami berdua tertawa geli. Antara lucu
tapi juga bercampur dengan prihatin dan kesal.
We both laughed. It was funny
laugh mixed with concern and upsetness.
Saya tidak berpikir untuk membuat postingan tentang hal ini
kalau saja tidak karena saya kembali menemukan pengalaman serupa.
I didn’t think I would make a
post about this if only I didn’t have another similar experience.
Kali ini saya bereaksi agak tegas karena saya kesal, kaget
dan sangat kecewa.
My reaction was a bit stern as I
was upset, surprised and deeply disappointed.
4 hari sebelum hari Minggu saya memintanya untuk menyanyi di ibadah kami. Besoknya saya kembali mengkonfirmasi kesediaannya untuk datang karena ini
berhubungan dengan pencantuman namanya di warta. Dia mengkonfirmasi, ya bisa. Hari Jumat warta dikirim ke percetakan dan namanya sudah
tercantum didalamnya.
I asked her to sing in service 4 days . The next day I contacted her to confirm because if
she said yes, I would put her name in this week’s bulletin. She confirmed, yes,
she would sing. So on Friday all the material was sent to the
publishing company with her name on it.
Jumat malam dia menghubungi saya; Maaf, ada acara di kampus pada hari Minggu. Tidak bisa nyanyi jadinya.
Ganti ke Minggu depan saja ya?
She contacted me on Friday evening; Sorry, there will be an event in campuss on
Sunday. Thus, can’t sing in the service. Re-schedule it to the next Sunday, ok?
Saya protes. Kok gitu sih? Warta sudah di cetak dan namanya
sudah tertera didalamnya. Ini bukan soal bisa atau tidaknya di undur ke hari
Minggu berikutnya. Tapi ini soal tidak konsekuen sama omongannya sendiri.
I protested. Whatta? The bulletin has been printed and her name is already in it. This is not about can or can’t be re-scheduled to the next Sunday. This is about stick to your own word.
Pusing saya jadinya. Dalam tiga tahun saya bekerja di tempat ini, ada beberapa mahasiswa yang saya masukkan ke dalam black-list. Itu artinya saya tidak akan pernah minta mereka untuk mengisi
pujian di ibadah kami kecuali kalau mereka sendiri yang mengajukan diri. Dan tetap saya sediakan cadangan paduan suara lain karena saya tidak bisa terlalu mengandalkan kata-kata mereka.
It gave me the headache. In my three years working in this place there are few college and university
students whom I put in my black-list. It means I won’t ask them to sing in our
service unless if they themselves who inform me they want to sing in the service.
However, I try to have other choir as a back up because though they have said
ok, I can’t one hundred percent rely on their words.
Maaf, saya tidak punya niat untuk mendiskreditkan anak
kecil, remaja atau mahasiswa tapi kenyataannya manusia dibawah usia 30 tahun
umumnya belum terlalu bisa diandalkan omongannya. Ini karena pikirannya masih
gampang berubah-ubah, gampang mundur dan gampang terpengaruh. Faktor
kepribadian yang belum seutuhnya terbentuk menjadi kokoh adalah penyebab
utamanya.
Sorry, I have no intention to
discredit kids, teens or university students but the fact is people under 30
years old can’t really be taken seriously by they words. This is because their
minds are easily change, easily taken a back and easily be influenced. Immatured personality plays major role in it.
Harusnya sih semakin bertambah umur, semakin banyak
pengalaman, kepribadian seseorang terbentuk menjadi kokoh. Karena itu harusnya sikap serta omongannya lebih mantap, lebih bisa dipercaya dan lebih bisa
diandalkan.
Someone’s personality should be
formed solidly as the person gets older and get more experience. Therefore
his/her attitude and words should be more dependable, trustable and reliable.
Tapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Umur boleh
bertambah, pengalaman makin banyak tapi sikap serta omongannya tidak bisa
diandalkan dan dipercaya.
But reality shows differently.
Getting older and getting experienced don’t make one’s attitude and words
become reliable and trustable.
Pengamatan saya menunjukkan bahwa orang-orang barat lebih
unggul dalam hal-hal begini dari pada orang asia.
My observation shows that
foreigner are better in this stuff than Asian people.
Saya tidak tahu apakah ini disebabkan karena orang asia
cenderung lebih santai sehingga menjadi cenderung menganggap enteng so tidak
terbeban untuk menyelaraskan omongannya dengan sikapnya atau tergantung tipe
manusianya.
I don’t know if it is because
Asian are tend to be more laid back so they take things easily without thinking
to synchronize their words with their attitude or is it the type of the person?
Saya memperhatikan dan mempelajari tipe manusia
barat dan timur. Andre misalnya, adalah orang yang amat sangat konsekuen dengan
omongannya.
So, yes, I observe and learn the
western and eastern type of people. Andre, for example, is very much a person
who keeps his words.
Dia tidak suka kalau saya klemat klemot. Dia kesal kalau
hari ini saya bilang ya dan besok atau beberapa saat kemudian saya berubah
pikiran tanpa alasan yang jelas atau untuk alasan yang tidak masuk akal.
He dislikes it if I keep changing my mind. He gets upset if I say yes today and change my mind the next day or in a few moments later for no clear or nonsense reason.
Akhirnya saya terbiasa ngomong sesuai dengan apa yang saya
inginkan atau yang saya tahu mau serta bisa saya lakukan. Saya tidak memberi
jawaban ngambang, tidak berkata mudah-mudahan, pantang bilang insya Allah dan
paling tidak mau mengucapkan kata-kata yang menjanjikan, yang membuat telinga jadi berbunga-bunga atau melambungkan harapan orang.
It has become a habit for me to
say what I mean or say things that I know I can and will do. I won’t give blur
answer, won’t say hopefully, won’t say insya Allah (if God allows) and
definitely won’t say promising words, stuff that will flatter people or raises
hope
Contoh,
One example,
“Keke, come and sit in the front
row” said my senior.
“Ga ah pak, biar gampang nanti keluarnya” jawab saya.
“Nope, it’s closer with the
entrance door” I told him.
Saya tertawa melihat dia mengangkat alisnya.
I laughed seeing him raised his
eye brows.
“Saya ikut seperempat acara aja ya” kata saya padanya.
“I'm here to attend a quarter of this evening's prayer, ok” I said to him.
Kantor saya sedang mengadakan 6 hari doa. Senior saya itu
ingin supaya saya ikut. Saya tidak ingin ikut. Dan Senin pagi kami sampai
seperti tawar menawar tentang hal itu. Beliau ngotot minta saya ikut sementara
saya bersikukuh menolak.
My office held 6 days of prayer.
My senior wanted me to attend it. I didn’t want to attend it. And that Monday
morning we spent few minutes on sort of persuading each other. He persistently
asked me to come while I persistently said no.
Akhirnya..
Finally..
“Kalau bapak mau saya hadir, saya akan hadir” kata saya.
“If you want me to attend it, I
will be there” I told him.
“Eh, kamu tuh ya” si babe tertawa “Kok ya harus di rayu. Itu
kan buat doain kamu juga”.
“There” he laughed “Why should I
persuade you. It is to pray for you too”.
“Pak, saya datang untuk bapak dan karena bapak” jawab saya
dengan sungguh-sungguh.
“Sir, I come for you and because
of you” I meant what I said.
Jam kerja saya hanya sampai jam 4 sore. Acara diadakan jam 6
sore. Jadi 2 jam itu saya ngetem di kantor sekali pun sebetulnya saya lebih
suka pulang karena saya capek, saya ngantuk dan perut serta badan saya juga
lagi tidak enak karena sedang haid. Tapi karena saya sudah bilang saya akan
hadir, ya, saya pegang omongan saya.
My work time ends at 4 pm. The
event held at 6 pm. So I stayed in the office for 2 hours though I really
wanted to go home because I was tired, sleepy and my stomach plus my body
didn’t feel well as I was having my haid. But I have said I would attend the
even, so yes, I kept my words.
Saya tidak merasa sanggup untuk mengikuti acara sampai
selesai. Jadi pada si babe, saya katakan saya hanya ikut seperempat acara saja.
However I didn’t think I could
stay until it was done. So I told him I would only attend a quarter of it.
Dan itulah yang saya lakukan.
And that what I did.
Senior saya tidak marah. Beliau sudah terlalu mengenal saya
dan tahu saya orang yang bicara apa adanya. Saya juga tidak merasa telah
melakukan sesuatu yang bisa membuatnya tidak senang. Saya hanya mengatakan apa
yang benar-benar saya tahu bisa dan mau saya lakukan. Dan itulah juga yang saya
lakukan.
This didn’t upset my senior. He
has known me too well and knows I say what I mean and I mean what I say. I too didn’t feel I have
done something to displease him. I just told him what I knew I could and
willing to do. And that is what I did.
No comments:
Post a Comment