Tapi dulu sewaktu
masih kecil dan remaja, saya segan kalau harus masuk pasar tradisional. Karena
jaman itu keadaannya jauh dari nyaman atau mentereng.
Pasar
tradisional umumnya menempati satu bangunan yang di bagi-bagi menjadi
ruangan-ruangan kecil yang ukurannya mungkin sama dengan atau sedikit lebih
besar dari kamar saya (2,5 x 2,5 m). Ruangan-ruangan itu di jual cash, kredit
atau hanya disewakan. Dalam ruangan-ruangan kecil itu para pedagang berjualan.
Dan hanya ada
jalur selebar antara 90 cm sampai satu meter untuk orang berlalu-lalang.
Udara dan
sinar matahari masuk hanya melalui bagian depan atau belakang yang terbuka.
Kalau beruntung mendapat bangunan yang bagian tengahnya memiliki lubang
ventilasi atau genteng kaca di atap sehingga cahaya matahari dan udara segar
bisa masuk. Tapi biasanya sih tidak ada sehingga di dalam pasar cahayanya
remang-remang walau pun di luar matahari sedang bersinar segarang-garangnya.
Dengan
minimnya ventilasi untuk masuk udara dan cahaya matahari membuat ruangan di
bagian dalam pasar menjadi sumpek, gelap, lembab, penuh dengan berbagai macam
bau napas manusia bercampur berbagai aroma badan orang, parfum, deodoran, asap
rokok, sayuran, beras, rempah-rempah, plastik, daging sapi sampai bau ikan.
Lantainya pun
sudah tidak kelihatan lagi warna dan bentuk aslinya karena tertutup dengan
tanah, lumpur (apalagi kalau sedang hujan), sampah sayuran, plastik, ceceran
makanan, puntung rokok. Di beberapa pasar, lantainya malah hanya berupa semen.
Dengan
kondisi seperti itu pasar tradisional memberi kesan kumuh, jorok dan
menjijikkan. Kalau anda tipe orang yang gampang jijik, mudah mual atau muntah,
mending jangan masuk ke pasar tradisional.
Tapi dengan
berjalannya waktu, pemerintah di berbagai daerah (bukan hanya di Jakarta)
tergerak untuk memperbaiki kondisi pasar tradisional sehingga banyak yang sudah
menjadi rapi, bersih dan nyaman walau tidak meninggalkan gaya khas pasar
tradisional. Dan tentunya masih tanpa AC.
Cuma ya, orang
Indonesia memang kreatif. Tidak perlu bangunan, di pinggir jalan, di terminal
bis dan bahkan di tepi jalan rel kereta api pun para pedagang berkumpul dari
sekian waktu kemudian tempat mereka berkumpul untuk berjualan telah menjadi
pasar tradisional. Tentunya pasar tidak resmi. Tanpa ijin.
Namun
begitulah orang Indonesia. Percampuran antara kegigihan perjuangan hidup dengan
kebandelan dan kebodohan.
Yang
terpikir hanyalah bahwa demi nafkah tidak jadi soal harus berjualan di bawah
terik matahari, terhajar debu, angin dan hujan setiap harinya. Duduk di atas
jongkok atau dingklik (kursi kecil) yang ukurannya secuil dan sama sekali tidak
empuk. Bahkan tidak jarang hanya beralas plastik atau karton, sukur-sukur kalau
punya tikar.
Demi menghidupi diri sendiri dan anggota keluarga, sepetak tanah tanpa ijin dan sertifikat itu di bela sampai titik darah penghabisan. Tak gentar melawan preman, tukang parkir, kendaraan yang berlalu lalang, kereta api yang melaju bagai angin taufan sampai polisi pun tidak mampu mematahkan kaki dan hati mereka.
Seperti kata
Andre “You gotta admire them. The creativity, the spirit and the struggle to
live. I know I admire them. You don’t anything like this in the US”. Kamu harus mengagumi mereka. Kreativitasnya, semangatnya dan perjuangan
hidup. Saya mengagumi semua itu. Kamu ga bisa nemuin yang kayak gini di Amerika.
__________________________________________
Eventhough supermarkets have been mushrooming but
traditional markets can never be separated from Indonesian daily life.
But as a child and then a teenager I disliked it because
back then it was not as good as it is now.
Traditional market is usually located in a building. Inside
there are rooms that may not even bigger than my bedroom (2,5 x 2,5 m). The
rooms are sold by cash, credit or for lease. And in those small rooms people
sell from veggies, fruits, rice, spices, beef to plastic and pans.
And there is only about 90 cm to a meter wide of alley for
people to walk.
Ventilation is from front or back entrance. So it is dim and
hot inside. Not all building used for traditional market is equipped
with good ventilation that allow fresh air and sunlight get inside the
building.
If you are inside the building, the air you breath is the
mixture of people’s body odor, perfume, deodorant, cigarette smoke, veggies,
rice, spices, plastic, beef to fish.
And the floor is not white or shiny. Sometimes you can’t
even tell the design, form or color of the tiles because they are wet, muddy
and covered with pieces of veggies, plastic, crumbs, cigarette butt. In some
traditional market the floor is just a cemented ground.
The above condition makes traditional market looks dirty and
disgusting. If you easily get sick by unpleasant odor or dirtiness then better
not get inside these traditional markets.
But with the passing time government have been rebuilt,
renovated or built the traditional markets buildings. Making them clean and
neat without turning them into modern market. Which means no AC nor cart.
However, the creative Indonesian make trading available anywhere.
Building is not necessarily needed. The traders can do their trading on the
sidewalks, at bus station, even on the side of railway. And after some period
of time the place they chose has become a traditional market. No registration.
No permit. Ilegal market of course.
But that’s Indonesian. The mixture of perseverance,
headstrong and ignorance.
To make ends meet is the main purpose. In doing so they
don’t care if they have to do the trading under the burning heat of sun, being
swarmed by dust from the passing vehicles on the street or showered by heavy
rain. Sitting on stool or sometimes on the hard pavement, covered only by
plastic, cardboard or mat.
No one can tell them to leave that very spot they choose as their place to trade. To feed themselves or their family, they stand firm on that ground even if it means they have to fight the police or facing the risk being hit by the passing vehicles or train. Nothing and nobody can break their spirits or their legs.
"You gotta admire them. The creativity, the spirit, the struggle to live. You don't find anything like this in the US" said Andre to me.
No comments:
Post a Comment