Bagi sebagian besar orang Indonesia, pengobatan dan
pendidikan adalah dua hal yang merupakan kemewahan.
Pertama karena obat-obatan di buat dengan bahan dan takaran
yang khusus, di tempat yang khusus dan ditangani oleh orang-orang yang
berpendidikan khusus. Kombinasi faktor tersebut membuat harga obat melambung
tinggi. Jadi, dengan perkecualian obat untuk sakit recehan, harga obat umumnya
bisa berkisar antara 70 ribu sampai ratusan ribu.
Kemudian tenaga medis seperti seorang dokter juga dihargai
mahal karena ilmu, pengetahuan dan pengalaman seorang dokter nilainya tentu
tidak bisa disamakan dengan ilmu, pengetahuan dan pengalaman seorang (misalnya)
kondektur bis. Dan semakin tinggi ilmu, pengetahuan dan pengalaman seorang dokter, bisa dipastikan semakin tinggi pula tarifnya. Pertimbangannya adalah karena dia sudah mengeluarkan tenaga, waktu, pikiran dan biaya untuk mendapatkan semua itu maka tentu dia harus menerima imbalan seimbang atau bahkan berlipat kali ganda.
Karena itu janganlah kaget kalau ongkos seorang dokter,
sekalipun bagi mata orang awam seakan dia hanya melakukan pemeriksaan tekanan
darah, mendengarkan detak jantung pasien dengan steteskop, memencet-mencet
perut pasien, duduk diam mendengarkan keluhan pasien dan kemudian
mencoret-coret selembar kertas dengan tulisan cakar ayamnya yang akan di bawa
pasien ke apotik untuk mendapatkan obat, tapi untuk keseluruhan prosedur yang
hanya memakan waktu antara 5-15 menit itu, pasien harus membayar antara 40 ribu
sampai ratusan ribu.
Nah, kalau dia berpraktek di rumah sakit tentu tarif yang
dipasangnya lebih tinggi lagi karena ada ketentuan bagi hasil. Sekian persen
atau sekian ribu (entah puluh atau ratus ribu) untuk rumah sakit dan sisanya
untuk si dokter.
Dan rumah sakit seperti perusahaan atau tempat usaha mana
pun, membutuhkan biaya operasional yang tidak kecil jumlahnya karena tentunya
listrik, air, telpon, karyawan, pemeliharaan bangunan dan keamanan harus di
bayar. Belum lagi obat-obat, peralatan medis dan hal-hal lainnya yang harus di
beli atau di bayar.
Bagaimana dengan pendidikan? Yah, pada dasarnya sama saja.
Setiap sekolah harus membayar biaya operasional dan membayar guru. Juga ada
peralatan dan hal-hal lain yang harus di beli atau di bayar oleh sekolah.
Semakin lengkap fasilitas sebuah sekolah, semakin baik
kondisi gedungnya, semakin banyak gurunya (yang bertitel S1, S2, S3, S Teler, S
Cendol dan segala S lainnya), semakin tinggi standard nilai yang dicapai oleh
murid-muridnya, semakin banyak prestasi akademik atau non akademiknya, apalagi
kalau sekolah ini sudah memasang plang sekolah plus plus atau sekolah
internasional, tentu semakin tinggi pula tariff yang di pasang oleh sekolah
tersebut.
Standar gaji guru pun demikian. Semakin tinggi
pendidikannya, semakin tinggi pula standar gajinya.
Dengan catatan, hal ini tidak berlaku bagi rumah sakit,
sekolah, dokter atau guru yang berada di kota kecil, desa atau di pedalaman. Di
tempat-tempat demikian kondisi mereka sama prihatin atau sama susahnya dengan
masyarakat sekitar.
Nah, belum lama ini saya mendengar berita di televisi tentang
seorang pasien yang terpaksa tidak bisa di rawat di rumah sakit karena rumah
sakit itu mengharuskan setiap calon pasien rawat inap untuk membayar 10 juta
sebagai uang deposit.
Di akhir dan awal tahun 2000 saya pernah mengalami masa
dimana saya pernah melenggang masuk dan keluar sebagai pasien rawat inap di
sebuah rumah sakit swasta yang lumayan ternama tanpa harus repot berpikir
bagaimana harus membayar uang deposit, biaya dokter, obat dan rawat inap karena
saat itu saya bekerja di perusahaan swasta asing yang mengasuransikan para
karyawannya.
Kemudian datanglah masa kesusahan. Beberapa tahun lalu saya
pernah nyaris mau gila rasanya ketika orang tua saya bergantian sakit
sampai harus di operasi dan di rawat di rumah sakit. Pada waktu itu saya hanya
seorang guru TK bergaji tidak sampai sejuta, tidak ada asuransi, tidak ada
deposito dan negeri ini tidak memiliki sistem jaminan sosial seperti yang ada
di negeri-negeri barat. Kalau tidak karena bantuan kiri kanan, saya kira apa
yang bisa di jual pastilah akan di jual. Itu saja beberapa benda berharga sudah
di jual.
Demikianlah pengalaman saya dengan urusan pengobatan. Bagaimana
dengan pendidikan?.
Tahun 1984, seorang pegawai tata usaha sebuah SMP swasta
mengatakan ‘kalau tidak punya uang, jangan sekolah di sini’ ketika ayah saya
meminta waktu untuk membayar kekurangan uang pendaftaran murid baru (untuk
mendaftarkan saya di sekolah itu). Dan tahun 1990 ayah saya menjual
satu-satunya mobil (Toyota Corolla tahun 1970an) yang kami miliki untuk
membiayai masa tiga tahun saya kuliah di perguruan tinggi swasta.
Itulah kenyataan hidup.
Masing-masing kita pastilah mempunyai pengalaman pribadi
atau setidaknya menyaksikan bagaimana orang lain berjuang (untuk kemudian
berhasil atau gagal) mendapatkan pengobatan atau pendidikan yang layak.
Pengalaman pribadi saya dalam hal kesehatan dan pendidikan
membuat saya melakukan apa yang saya bisa untuk menolong orang lain yang
menghadapi sikon yang pernah saya hadapi. Seringkali saya frustrasi karena
tidak bisa memberikan lebih banyak karena kondisi keuangan saya sendiri belum
memungkinkan untuk bisa melakukannya.
Entah anda memiliki atau tidak memiliki pengalaman pribadi
dengan keterbatasan mendapat pengobatan atau pendidikan, bantulah orang yang
anda tahu sedang mengalami kesulitan untuk mendapat pengobatan atau pendidikan
yang layak.
Di jaman sekarang ini janganlah berharap banyak dari
pemerintah atau para politisi. Terutama bila anda tinggal di negeri seperti
yang saya tinggali ini. Di sini, seringkali rakyat harus berjuang sendiri atau
harus saling membela, saling menolong, saling menopang.
_____________________________________________
For most Indonesian, medication and education are two
luxurious things.
Why does medication considered as a luxury?
First, it is made by people with specific knowledge and
skill and made from specific stuff. That is the reason why its price is not
cheap. Except the medication for regular illness such as cold or cough. Over
here the price is between 70 thousand rupiah up to hundred thousands rupiah.
And medical practitioners don’t come cheap either because
they have spent lots of time, energy and money to get all the knowledge, skills
and experience. Theirs are specific ones that not everybody can have. Theirs
are not something that like bus driver have.
So don’t get surprise when you see a doctor’s bill comes in
huge amount. We may see the doctor is just checking our blood pressure, pulse,
put the stethoscope on our stomach or listen quietly as we describe our health
problem and then scribble something on a sheet of paper for us to bring to the
drugstore. The whole procedure may only take 5-15 minutes but the charge is
unbelievable high, here it varies from 40 thousand to hundred thousands rupiah.
The more knowledge, skills or experience a doctor has, the
higher his/her fee is. Well, it would be fair return.
The bill may go higher if for doctors in hospitals because
they have to share their fees with the hospital.
And hospital like other business places have to pay for
operational expenses such as water, power, phone, staff, building maintenance,
security, not to mention for the medics, facilities and equipment. Those
aren’t cheap.
How about education? It is just the same. Schools have
operational expenses, staff and teachers to pay.
The better a school is in its building, facilities and the
more teachers work there, especially if the teachers have high academic degree,
or if it is a bilingual school, the school charge not just hundred thousands
rupiah but millions of rupiah.
The exception is for hospitals, schools, teachers, medical
practitioners who work in remote areas. They don’t charge you as high as the
ones in the city. Sometimes their own condition is just as lack or poor as the
people in their location.
I heard from the news that a patient couldn’t get
hospitalized because the hospital requires every in-patient to put 10 millions
rupiah deposit.
In 2000 I had the experience when I went to hospital as out
or in-patient without had to pay a single cent because at that time I worked in
a company that insured its employees. So I had medical insurance that covered
all of my medical bills.
But came hardship when I thought I lost my sanity when my
parents got sick and had to be hospitalized. I worked as a kindergarten teacher
whose monthly salary was just about 500 thousand rupiah. We didn’t have health
insurance, no saving and this country does not have social system like the one
in western countries. If there was no financial help from people, I wouldn’t
know how to pay those medical bills because we had sell things to pay those
bills.
That’s my experience regarding medication. Education? Lets
see..,
In 1984 a staff in junior highschool where my father came to
register me as freshman said ‘don’t enroll your child here if you don’t have
the money to pay the expenses’ after my father asked he could pay the school’s
registration fee in installment because the cash he brought was a little short.
And in 1990 he had to sell our only car (a 1970s Toyota Corolla) for my
education in college.
That’s the reality of life.
Each of us have personal experience or witness other
people’s struggle to get proper medication or education that we deserve.
My personal experiences have made me tried to help when I
saw anyone in need with medication or education bills. It frustrates me though
that I can’t give as much as I want due to my own financial condition.
I urge you to help anyone who is struggling to get proper
medical help or proper education.
No comments:
Post a Comment