Kami tidak bertengkar.
We didn’t
fight.
Kami sedang mengobrol ketika tiba-tiba percakapan kami masuk
ke suatu topik tertentu.
We were
having a conversation when it turned into one specific subject.
Topik yang saya benci. Topik yang saya harap tidak pernah kami percakapkan. Tapi di sisi lain percakapan itu membuat kami akhirnya lebih
membuka mata kami pada perbedaan-perbedaan dalam kepribadian kami.
The subject that
I hated. The subject that I wished would never got into our conversation but in other side that talk was
an eye opener for us about the differences in our personality.
Selama dua hari yang ada dalam hati dan pikiran saya adalah
marah, bingung, sedih dan frustrasi.
For two days
all I had in my heart and mind were anger, confusion, sadness and frustration.
Permintaan maaf dan pernyataan bahwa dia masih menyayangi
saya dan saya sangat berharga baginya tidak cukup untuk menentramkan hati
karena saya naluri saya mengatakan saya perlu mencari akar permasalahannya dan
menemukan jalan keluarnya.
Apology and
his statement that he loves me and I am precious to him were not enough to ease
my heart as my instinct told me that I needed to find the bottom of the problem
and work on it.
Pembicaraan saya lewat whatsapp dengan seorang teman lama tanpa terduga membantu saya menemukan jawaban yang
saya cari.
The talk I
had through whatsapp messages with an old friend has unexpectedly given me the answer I was looking for.
Kepribadian kami berbeda.
We have
different personalities.
Topik pembicaraan boleh berganti. Masalah bisa berbeda. Situasi
dan kondisi juga berganti dan berbeda. Tapi reaksi saya dan dia pada dasarnya
akan selalu sama karena hal itu ditentukan oleh tipe kepribadian kami
masing-masing.
The topic of
conversation may change. Problem maybe different. The situation and condition
may also change and different. But each of us will have same reaction as it is
determined by the types of our personality.
Membutuhkan waktu beberapa menit sebelum saya teringat pada
sebuah buku yang dulu pernah sangat membantu saya untuk memahami murid-murid
saya ketika saya bekerja sebagai guru TK.
It took few
minutes to remind me to a book that was once help me to understand my students
when I worked as kindergarten teacher.
Siapa duga buku itu akhirnya juga menolong saya untuk
memahami tipe kepribadian saya dan pacar saya.
Who would
guess the book came as a big help for me to understand the type of my
personality and my boyfriend.
Choleric vs Phlegmatic
Orang bertipe kepribadian koleris adalah orang yang keras,
tegas, penuh enerji, punya keyakinan diri yang kuat, pantang menyerah, penuh
inisiatif, mandiri, berbakat menjadi pemimpin, cepat dalam bertindak dan
berpikir tapi juga seorang yang sangat menuntut. Jabaran lengkapnya ada dalam daftar dibawah ini;
A choleris is
a tough, firm, energetic, has strong self confidence, never giving up, full of
initiative, has leadership skill, quick in taking action and in thinking but
also a very demanding person. Detail can be seen in the above list.
Seperti itulah pacar saya.
That is how
my boyfriend is.
Dan itulah hal-hal yang membuat saya mengagumi dan menjadi tertarik
padanya.
And those are
the things that make me admire and later became attracted to him.
Dari dulu saya mencari dan membutuhkan sosok laki-laki yang
tegas, kokoh, bisa diandalkan, yang bisa melindungi, menjadi pemimpin dan bisa
membimbing saya.
I have always
seek and need a tough, firm, reliable man who can protect, lead and guide me.
Kehidupan telah membentuk saya menjadi seorang yang mandiri dan
tegar tapi ada sisi-sisi dalam diri saya yang tetap tidak bisa hilang; saya
terlalu sensitif dan itu membuat saya gampang parno, gampang stress, gampang
depresi.
Life has
formed me into an independent and strong person but there is one part in me
that remains the same and that is me being too sensitive and it makes me get anxieties
easily, also to fall easily into stress and depression.
Sepanjang hidup saya berjuang melawan sisi gelap dalam diri
saya itu. Kadang saya menang tapi lebih sering saya kalah dan perjuangan untuk
bangkit lagi membutuhkan waktu yang panjang serta proses yang sulit.
All of my
life I am in battle with that dark side within me. Sometimes I win but mostly I
lost the battle and the struggle to stand again takes a long time and difficult
process.
Karena itu saya membutuhkan seorang yang jauh lebih tegar,
tegas dan kuat dari saya tapi penuh dengan kasih, kelembutan, kesabaran dan pengertian.
That is why I
need somebody who is tougher, firmer and stronger than me but has lot of love,
gentleness, patience and understanding.
Saya bukan orang yang lemah tapi ketika saya sedang parno,
saya membutuhkan seseorang yang mampu menarik saya keluar, yang memegangi saya
kuat-kuat supaya saya jangan tenggelam dalam segala kecemasan, ketakutan dan
kegelisahan serta menolong saya supaya saya bisa kembali berdiri tegak.
I am not a
weak person but when I am having anxieties attack, I need somebody who can pull
me out, who hold me tight so I won’t drown in my worries, fear and stress and
helping me so I can stand again.
Saya menemukan potensi ini dalam diri pacar saya tapi
karena dia belum sepenuhnya mengenal diri saya, tanpa dia sadari dan tanpa di
sengaja hal-hal dalam dirinya yang seharusnya bisa menolong saya malah jadi
memukul saya.
I found this
in my partner but since he has not completely known me, the things in him that
supposed to help me had unintentionally turned against me.
Nah, berbeda dengan Koleris, orang dengan tipe kepribadian Phlegmatis adalah orang yang
tidak mendesak, tidak suka memerintah, pemalu, tidak mau menonjolkan diri,
tidak suka dengan konflik serta pertentangan, yang lebih senang memberikan
dukungan, melayani, mengalah, tertutup, ingin menyenangkan orang lain, sulit
mengatakan tidak, tidak menuntut, sabar, rendah hati, punya rasa simpati dan
empati yang besar untuk orang lain.
So, far different with Choleric, Phlegmatic
is somebody who is not pushy, not bossy, shy, stay out of the spotlight,
dislike conflict and disagreement, supportive, caregiver, give in, reserved,
wants to please other people, hard to say no, not demanding, patient, low
profile, has big sympathy and empathy for others.
Seperti itulah saya.
That is me.
Kelihatanlah bagaimana kontrasnya perbedaan pribadi kami berdua.
It clearly
shows the contrast in our personality.
Sebetulnya hal itu tidak jadi masalah. Kami bisa menempatkan
diri dengan baik.
It is
actually not become a problem. We can get along well.
Masalah timbul ketika dia menuntut saya untuk menjadi
seperti yang dia inginkan, untuk mengikuti kemauan dan caranya tanpa mengukur
atau menyadari bahwa saya bukanlah dirinya. Apa yang tepat untuk dirinya belum
tentu tepat untuk diri saya, apa yang terbukti berhasil ketika diterapkan pada
dirinya belum tentu memberikan hasil yang sama ketika hal itu dipraktekkan
kepada saya.
It became a
problem when he demanded me to be what he wanted, to follow his will and his
ways without measuring it or realized that I am not him. What is right for him
doesn’t make it right for me as well, what works for him doesn’t mean will do
the same when it is applied on me.
Saya tahu apa niatnya baik, dia tidak ingin menyusahkan
saya, dia malah ingin menolong saya dan saya mengakui hal-hal yang dikatakannya
adalah benar tapi caranya tidak tepat dan tidak cocok untuk diterapkan pada
orang dengan tipe pribadi seperti saya.
I knew he
meant well, he didn’t mean to give me trouble, instead, he wanted to help me and I admit the things he said were right but his way was improper and surely unfitted to be
applied to someone with my kind of personality.
Disinilah timbul konflik karena saya merasa dipojokkan, saya
merasa dia tidak bisa mengerti saya dan tidak menerima diri saya apa adanya.
This is when
conflict aroused because I felt cornered, I felt he didn’t understand me and unwilling
to accept me the way I am.
Akibatnya dua hari saya stress memikirkan bagaimana cara mengatasi
gejolak emosi saya dan bagaimana mengatasi masalah ini.
As the result I spent two days having stress thinking how to calm myself down and to find solution for this
problem.
Dalam kekacauan pikiran dan ketidakstabilan emosi, saya
sempat mengatakan saya tidak mau meneruskan hubungan kami.
In a complete
mess and unstable emotion and mind, I told him I didn’t want to continue our
relationship.
Bukan karena saya benar-benar ingin putus.
I didn’t
really want to break up with him.
Hal itu lebih dikarenakan saya merasa tidak tahu bagaimana
harus menghadapi pasangan saya kalau sekiranya di kemudian hari kami menghadapi
suatu perkara dan dia kembali memberikan reaksi yang sama, apa lalu saya harus
kembali menjadi marah, bingung, sakit hati dan sedih? Apa diam selama dua hari
atau permintaan maaf akan membuat segalanya kembali menjadi baik?
It was mostly
because I didn’t know how to deal with my partner if something shall come up in
the future and he gives same reaction, would it anger, confuse, offended and
sad again? Would two days in silence or apology suppose to make everything okay
again?
Saya tidak mau meneruskan hubungan kami kalau saya tidak
menemukan cara yang bisa saya pakai kalau di kemudian hari saya kembali harus
berhadapan dengan sifat penuntutnya.
I didn’t want
to continue our relationship if I didn’t find something that I can use when I
bump into his demanding character in the future.
Syukurlah saya menemukan caranya. Komunikasi.
Good thing I
found the best way to handle it. Communication.
Saya bersyukur juga pasangan saya memiliki kemampuan untuk
mau mengakui dan menerima input, kritikan dan saran, mau mengakui kesalahannya
dan mau mengubah dirinya. Saya amat menghargainya.
I am grateful
that my partner has the ability to admit and accept input, critic and
suggestion, willing to admit his fault and willing to change. I really appreciate
it.
Di antara kami berdua ada dua kepribadian yang amat berbeda tapi kami belajar untuk saling mengenal satu dengan lainnya supaya kepribadian itu bisa saling mengisi dan melengkapi.
There are two different personalities between us but we learn to know each other so those personalities can complete each other.
No comments:
Post a Comment