Batu sudah pasti akan mengalahkan kertas. Setebal apa pun
kertasnya, mana bisa menandingi batu?. Akan tetap robek bila di lempar atau
ditimpakan batu.
Saya berkepribadian seperti batu. Kokoh. Keras. Tegar. Sulit
untuk mengalah. Susah untuk memaafkan. Penaik darah. Pemberang. Bukan orang
penyabar. Mudah tersinggung. Saya memang sudah belajar untuk menguasai diri
tapi semua itu adalah sifat-sifat dasar yang tetap ada dalam diri saya.
Tapi apakah anda pikir saya akan menghancurkan siapa saja
yang berdiri di depan saya atau yang merintangi jalan saya?
Beberapa hari lalu saya menyadari bahwa seseorang
berkepribadian seperti kertaslah yang mengalahkan saya.
Dia adalah seorang yang beberapa kali membuat saya gregetan
karena melihatnya tidak bisa tegas dalam sikon dimana dia harus bersikap tegas.
Tapi kami berdua bersahabat, berteman akrab, rekan kerja dan menjadi seperti
saudara selama setahun tiga bulan ini.
Kami berbagi tanggung jawab dalam pekerjaan, berbagi
rahasia, berbagi cerita, berbagi beban dalam hati dan berbagi kekonyolan dalam
kesamaan rasa humor. Kadang (sangat jarang terjadi), kami saling mengesalkan hati
seorang dengan lainnya. Tapi seringkali kami menjadi sekutu oleh karena rasa
senasib bekerja di tempat yang sama, dipersatukan oleh karena harus menghadapi
sikon dan orang-orang yang sama selama 6 hari dalam seminggu.
Beberapa hari lalu dia mengesalkan hati saya oleh karena
soal pekerjaan. Saya tidak mengandalkan dia sepenuhnya tapi karena menganggap
kami adalah satu tim dalam beberapa pekerjaan maka saya membutuhkan perannya
tidak hanya untuk memberi input tapi juga untuk melakukan cek dan ricek.
Ketika saya bekerja di sebuah perusahaan yang salah satu
bisnisnya adalah menerbitkan buku telpon berbahasa Jepang, lima orang anggota
divisi yang menjalankan bisnis ini bekerja sama mengecek draft dari buku telpon
itu.
Jadi proses cek dan ricek draft di mulai dari si Jepang,
kemudian draft itu diteruskan ke managernya untuk di cek ulang, lalu diserahkan
ke saya untuk kembali di cek, setelahnya kepada tenaga marketing kami dan yang
terakhir adalah seorang staff kami.
Pengecekan berlapis-lapis seperti itu sengaja dilakukan
sebelum draft naik cetak karena mata seseorang belum tentu bisa
mengindentifikasi kesalahan pada pencantuman data (nama perusahaan, alamat,
telpon dll) atau kesalahan pengetikan. Bahkan si Jepang yang terkenal super
duper teliti itu pun tidak mau ambil resiko dengan hanya mengandalkan dirinya
yang melakukan pengecekan tersebut. Dia melibatkan kami semua yang ada di
divisinya.
Nah, barulah setelah melalui proses cek dan ricek yang
berlapis-lapis tersebut, draft itu naik cetak.
Ada bagian dalam pekerjaan saya yang melakukan hal seperti
ini tapi walaupun judulnya juga ada pengecekan, sesungguhnya bisa dikatakan
hampir seluruhnya yang mengerjakannya adalah saya. Dan dari sekian banyak orang
yang minta dikirimi draft untuk (katanya) di cek, hanya seorang yang
betul-betul melakukan pengecekan.
Yang seorang lagi, yang saya harapkan untuk melakukan
pengecekan berlapis adalah teman saya ini. Dan saya memaksanya untuk mengecek
tidak hanya sekali. Tapi dua kali. So, ketika cetakan itu sudah jadi maka semua
isinya saya kategorikan sudah atas sepengetahuan termasuk sudah melalui
pengecekan dia.
Toh, masih tidak sempurna. Dan semua protes serta kritikan
atas kesalahan itu jatuh kepada saya. Bahkan saya rasa banyak yang mengira
karya cetakan itu sepenuhnya adalah tanggung jawab saya. Bukan tanggung jawab
dan kolaborasi satu tim.
Saya berbesar hati untuk menerima semua kritikan dan protes
seakan cetakan itu adalah hasil pemikiran, hasil kerja serta hasil karya saya
dan dengan demikian menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya (FYI, pujian minim
sekali saya terima -nyaris tidak ada- bila cetakan itu baik dan tidak ada
kesalahan)
Entah kenapa, mungkin lama-lama muak juga saya jadinya.
Saya menekan dan menyembunyikan perasaan ini.
Tapi pagi itu ketika teman saya mengatakan saya salah
mengetik tanggal tertentu dalam kolom info, saya meradang. Karakter batu saya
naik ke permukaan. Saya jengkel, kesal, sebal, tersinggung, hati saya panas,
bergolak sejadi-jadinya tanpa bisa saya kendalikan lagi.
Pikir saya, apa dia tidak melihat kesalahan itu pada waktu
dia mengecek cetakan itu? Lalu sekarang kenapa baru protes? Kalau kayak begini,
buat apa saya minta dia mengecek?. Dan kekesalan saya bertambah-tambah ketika
datang orang lain yang ikut ‘berbaik hati’ menunjukkan kesalahan yang sama.
Saya telah mempelajari fakta bahwa orang tanpa malu dan ragu
menunjukkan kekesalan dan kemarahan mereka kepada saya dibandingkan kepada
orang-orang lain yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari saya. Bahkan
beberapa berpikir bisa menjadikan saya sasaran stress atau ke-bete-an mereka
tanpa di rem lagi. Dan saya seperti tidak mempunyai hak untuk membela diri dan
menyatakan bahwa saya tidak bersalah. Walau kemudian ada yang meminta maaf tapi
hal seperti itu terjadi lagi.
Dan teman saya serta orang-orang di tempat ini agaknya tidak
menyadari tentang hal-hal tersebut.
Setelah dia pergi, saya menghentakkan kaki dan meninju
tembok di dalam kemarahan dan rasa frustrasi saya. Asal tahu saja, ini
kebiasaan saya kalau sudah merasa terlalu marah.
Aduh, saya tahu karakter batu itu meloncat keluar. Tapi saya tidak punya kendali. Saya berjalan hilir mudik dalam ruangan saya, merepet sendirian, mengomel, merutuk dan berupaya dengan segala susah payah untuk mendinginkan hati serta pikiran.
Ketika dia kembali siang harinya, saya belum sepenuhnya
pulih dari kekesalan itu.
Tapi setelah mendengar ‘kicauan’ saya tentang apa yang saya
rasakan, yang dilakukannya kemudian
adalah dengan tulus dan spontan meminta maaf, memberikan saya sebuah permen dan
dengan gaya konyolnya yang sudah sangat saya kenal itu mengajuk hati saya.
Saya menundukkan kepala dalam-dalam. Tidak berani mengangkat
kepala karena tanpa dapat saya cegah, air mata sudah memenuhi mata saya dan
saya tidak mau dia melihat saya menangis. Aduh mak, malu ah.
Kemarahan dan kekesalan saya hilang lenyap karena
kelemahlembutannya. Caranya yang demikian sederhana dan konyol itu anehnya
mampu melunakkan hati saya.
Saya hampir tak percaya bahwa batu itu tidak merobekkan
kertas. Justru dalam kerapuhannya, kertas itu membungkus batu dan mengalahkan,
menundukkan serta melembutkannya.
Tidak sampai lima menit kemudian kami sudah kembali
bercanda, saling meledek, tertawa-tawa
dan mengobrol seperti yang selalu kami lakukan. Tidak tersisa kekesalan atau
kemarahan dalam hati saya.
Yah, siapa kira kalau batu dan kertas bisa saling
membutuhkan.
_________________________________________
Stone will definitely tear off the paper. It does not matter
how thick the paper is, a stone can easily rip it off.
I am a stone. Strong. Hard. Tough. Stubborn. Not easy to
forgive. Short tempered. Impatient. Touchy. So over the years I have learned
how to control them but they are still exist in me.
But do you think I would destroy anyone who stands infront
of me or get into my way?
Few days ago I realized somebody who has paper type of
personality, has tamed me.
He is somebody who has made me itchy to see him unable to
stand firm when he should be firmed. But we both are friends, good buddies,
co-worker and have even turn like siblings.
We share responsibilities at work, we share secrets,
stories, burdens and jokes as we also share the same sense of humor. Sometimes
(which is rare) we also make each other upset. But most of the time we have
become allies, bound by the feelings of ‘in the same boat’ for having to deal
with same situation and people for 6 days a week at this work place.
Now, few days ago he upset me over work. I know don’t rely
on him fully but I thought since we are team then I am not expecting to get
just input from him but I also need him to check this printing matter.
The Japanese company where I worked in 1998 published
Japanese phone directory as one of its business. Before the draft was sent to
printing company, five people who worked at its publishing division took turn
on making layers of checking on the draft.
The checking process went from our Japanese boss, down to
the manager, to me, to our marketing staff and the last went to an
administrator.
That kind of checking was made because one person wouldn’t
able to spot all the misprinting. Even our Japanese boss who was known for
being very thorough didn’t want to do all the checking by himself. He just
didn’t want to take the risk he might miss the misprinting so he recruited his
staff to help him with the checking.
The draft went to the printing company after it got through
those layers of checking.
Part of my present work involves me in publishing a printing
matter. But when it comes to do the checking, you can say I do it all by myself
because of the people who asked me to email them the draft so they can do the
checking, well.., only one of them who really does it.
The one person whom I asks to do regular checking and
rechecking is this friend. I am not only asking. I am forcing him to do not
only once. So when it is finally printed I consider the content is all under
his knowledge and has also passed his checking.
Still, it is imperfect. And all protest or critics be fallen
upon my shoulder. Infact I think many thought the printing is my project and
not the work and collaboration of a team.
I accept all input and critic given with big heart as if I
single handedly came with the idea to do it as it were my project, my idea, my
work and therefore my responsibility (FYI, little, zero praise when it came
with no misprinting).
Well, I guess, I feel sick of it eventually..
I surpressed and hid the feelings though.
But that morning when he came to me and said I have mistyped
his leave dates on the info column in that printing matter, I blew up. The
stone came to the surface. I felt terribly upset, offended and just went mad.
They just flooded out.
I thought didn’t he spot the mistype when he did the
checking? If so, what good would it make to ask him to do it?. I became more
upset when another person came and ‘kindly’ mentioned about the mistype.
I have learned the fact that people addressing their upsetness,
critics or objection with no hesitation to me. They don’t do so to those who
have higher position than me. Some people even think they can treat me like a
sandsack that they can punch upon when they feel stress. And I was made as if I
had no right to defend myself and stand on my innocence. Yes, so I occassionaly
received an apology but the same thing is bound to happen again.
Somehow my friend and the people in this place seem don’t
realize this.
So after he left, I stomped my feet on the floor as I walked
around my room and punched the wall hard. It is what I would do to let out my
anger and frustration.
I helplessly saw my stone characters came to the surface. I
had no control of it so I walked around in my room, grumbling, swearing,
cursing and tried in vain to cool myself down.
I haven’t completely overcome the upsetness when he returned
at noon.
But after heard me talked about how I felt and of my point
of view, he sincerely and spontaneously apologized, gave me a candy as he said
he was sorry with his comical style that I have known so well.
I bowed my head down as tears just filled my eyes. Afraid
that he would see them. I tried to get rid those tears without wiped them off
or he would know I was crying. How embarrassing it would be, right?.
All the anger and upsetnes were gone. His gentleness has
melted my heart. Though his way was silly but he just got a way to knock the
stone into pieces. I cried because I was touched by his gentleness and patience.
I hardly believe to see the stone does not destroy the
paper. On the contrary, it is the paper with all of its vulnerability wraps the
stone and softened it.
Less than five minutes later we have joked around, teased
each other, laughed merrily and had a conversation as we like to do on daily
basis. No signs of anger left in my heart and mind.
I am still amazed to see how paper has knocked out the stone.