Anda pasti setuju bahwa mencari musuh lebih mudah dari pada memiliki hubungan baik dengan setiap orang yang kita temui karena tanpa angin dan hujan kita bisa mendapati diri kita menjadi sasaran ketidaksukaan orang lain atau sebaliknya dengan segala alasan masuk akal atau tidak, diri kita-lah yang mengambil sikap tidak simpatik terhadap orang.
Jadi memang membenci lebih mudah dilakukan dari pada mengasihi.
Lalu apa yang terjadi ketika kita mampu memiliki hubungan baik dengan orang lain? Saya akan mengatakan bahwa saya akan menjaga hubungan baik itu, saya menghargainya, saya menyukainya dan mensyukurinya.
Tapi belum tentu pula hubungan baik itu memberikan pengaruh yang baik kepada diri kita atau kepada hubungan kita dengan orang lain.
Ibu saya pernah bercerita bagaimana mantan rekan kerjanya pernah mengatainya ‘ular berkepala dua’ karena ibu saya tetap berteman baik dengan orang yang kebetulan tidak disukai (baca: dimusuhi) oleh rekan kerjanya itu.
“Kamu pikir saya harus menganggap teman kepada orang yang kamu anggap teman dan memusuhi setiap orang yang kamu musuhi?” labrak ibu saya kepada rekan kerjanya itu.
Prinsip ibu saya itu menurun kepada saya. Dalam perjalanan hidup saya, tidak terhindarkan untuk tidak sebal atau bentrok dengan orang lain. Tapi saya selalu menjaga bahwa saya tidak akan menyeret-nyeret orang lain untuk memusuhi orang yang saya musuhi. Itu urusan saya. Itu adalah antara saya dengan ybs.
Jadi jangan heran kalau melihat saya bisa bersikap antipati terhadap seseorang tapi tetap berhubungan baik dengan anak, kerabat atau teman dari orang tsb.
Namun banyak kali orang tidak bertindak dan berprinsip seperti itu. Naluri manusia adalah mencari dukungan orang lain terhadap dirinya, tindakannya, kelakuannya.
'Musuhku adalah musuhmu, temanku adalah temanmu’ adalah prinsip yang dianut oleh orang-orang seperti ini.
Kalau anda mengikuti tulisan-tulisan saya di blog ini maka anda akan tahu bagaimana segala kelakuan dan sifat dari kepsek di taman kanak-kanak tempat saya bekerja dulu. Beliau bukanlah orang yang jahat tapi hal-hal dalam alam pikiran dan kepribadiannya membuatnya mendukakan hati orang-orang yang terdekat dengannya yaitu kami-kami yang bekerja dengannya.
Namun bagaikan dua sisi mata uang, tidaklah demikian dirinya terhadap tetangga-tetangganya. Bagi mereka, beliau pastilah sosok yang baik sampai seorang tetangga yang rumahnya persis didepan taman kanak-kanak bersikap sangat mendukung dan sangat setia kepadanya hinggakan menyediakan diri (entah diminta atau tidak) untuk diam-diam mengawasi saya, wali kelas TK B, Evelyn, Yohana dan teteh.
Evelyn & Keke |
Dan entah ide gila dari mana yang masuk ke kepala kepsek sehingga beliau mengatakan bahwa musibah itu terjadi gara-gara kami bercekakakan tidak karuan disekolah pada siang hari itu.
Nah lu!
Tapi sejak itu pula kami tahu kami dimata-matai karena tidak seorang pun dari kami yang akan pernah bercerita kepada beliau bagaimana kami bisa sebebas-bebasnya bersukacita setiap kali beliau tidak berada disekolah.
Sejak itu pula setiap kali kepsek tidak ada disekolah, kami menjaga sikap supaya jangan terdengar terlalu rame. Kami tertawa dan bercanda sembunyi-sembunyi. Walaupun sebetulnya ada urusan apa kok kami tidak boleh tertawa dan bercanda. Itu toh kami lakukan sebebas-bebasnya setelah jam sekolah usai dan masing-masing kami berada didalam kelas sembari memeriksa pekerjaan murid-murid atau mempersiapkan materi untuk mengajar besok, sementara teteh juga sibuk dengan tugas bersih-bersih.
Kalau tiba-tiba tetangga depan itu bertandang maka segala pembicaraan yang bersifat sensitif segera dihentikan. Tidak ada lagi yang bercanda. Semua berlagak sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Sejak itu pula rasa antipati dan curiga muncul dihati kami terhadap tetangga depan itu.
Dan kami menciptakan kode. Bila salah seorang dari kami melihatnya masuk ke sekolah atau berdiri didepan gerbang sekolah maka dia harus segera memperingatkan yang lainnya dengan berkata “CCTV”, merujuk pada sebutan untuk kamera pengawas, sehingga kami yang berada didalam ruang kelas mengetahui akan kehadiran tetangga ini.
Saya ingat bagaimana saya pernah lari terbirit-birit kembali ke kelas saya melalui celah kecil yang menghubungkan kelas saya dengan kelas TK B. Buru-buru duduk. Menaruh tumpukan buku murid-murid saya dimeja saya dan pura-pura sedang memeriksanya. Evelyn yang ada didalam ruangan itu sampai terbatuk-batuk menahan tawa melihat kelakuan saya. Dan setelah ‘CCTV’ pergi barulah kami semua tertawa mengingat kehebohan yang terjadi beberapa menit lalu.
teteh & wali kelas TK B. Celah dibelakang wali kelas TK B menghubungkan kelas A & B / The passage behind the lady in the right of this photo connects the two classrooms |
____________________________________________________________
I’d say it is easier to find enemy than to make friends. Evidence shows that we could find ourselves as the object of hate or it is us who show hostile attitude toward people.
So it is easy to hate than to love people, right?
What happens when we can have good relationship with people? I’d say I appreciate it, treasure it, keep it, be glad for it and thankfull.
But good relationship sometimes don’t give good impact on our relationship with other people.
My mom once told me about one of her colleague who spoke of her as a ‘two heads snake’ because my mom kept her good relationship with the person whom this colleague dislike.
“Do you think I must make friends only with those who you’re friended with and get rid all the people whom you dislike?” yelled my mom at her colleague.
My mom’s principle is instilled in me.
Yes, it is almost impossible not to dislike people but I when I do have it, I keep that feeling only toward the person and do not apply it to his or her family, relatives or friends. And I certainly won’t drag people to like the people I like and hate the ones I dislike.
Not everybody has that kind of principle of course. It is our nature to find people support us. We need people’s support, justification and approval for our behavior or thoughts.
“Your enemy is my enemy. Your friend is my friend” therefore has become most people’s principle.
If you have read my blog from the start then you know how headmaster of the kindergarten where I worked behaved and how her personality is like. Don’t give me wrong. She is not a complete ass. But the things in her characters hurt people who happen to be in her close circle which were us who work with her everyday.
But she is like the two sides in a coin. Because the side she shows toward her neighbors are pretty much contrast with the one she shows us. For the neighbors she must be impressively wonderful person judging from one of them who spied on us (we don’t know if she did it willingly or under request from headmaster).
This lady’s house is facing the kindergarten but we didn’t know that she spied on us. Until one day headmaster fell off and sprained her ankle on the train station. I still don’t know what got into her mind when she said the accident happened at the same time when we were laughing loudly and merrily in school.
Yohana, Evelyn, another teacher, myself and the cleaning lady looked at each other with puzzleness on our faces. We would never tell headmaster about what we did in school when she wasn’t there. And we knew none of us would betray this code of silence.
Yohana with our other colleague |
So how did she know?
That was how we discovered that we were being spied by the lady whose house is facing the kindergarten. We never had the slightest idea that she would have done such thing.
But from that day on, we agreed to be on guard.
When we joke around, we carefully kept our laughs down. Though we think it is absurd for us to do that because we did all the laughing inside the kindergarten, in the classroom to be precise. And we did that after school hour, as we were checking our students papers or preparing for tomorrow’s teaching material. The cleaning lady herself was doing her part of the job; cleaned the classrooms and the yard.
So when the spying lady came, we would stop joking and talking, pretended that we were busy.
From that moment we felt the sentiment and suspicion toward her.
And we came up with a code ‘CCTV’. When one of us saw her near or entered kindergarten, warning wishper of ‘CCTV’ soon be heard.
I remember how I frantically ran back to my classroom when I heard that wishper. I wasn’t in my classroom. I was talking and joking with other teacher in her classroom when we heard that wishper.
I slipped myself through the tiny passage that connects our classrooms and nearly tripped myself as I sat in my seat, put my students books on the desk and pretended I was busy looking through those books.
Evelyn who was in the room, coughed as she tried to hold her laughs after seeing the whole thing.
Only after ‘CCTV’ left that we could laugh it out. Quietly, of course.
No comments:
Post a Comment