Belum lama ini seorang pendeta di gereja saya mengundang kami untuk datang ke rumahnya untuk menghadiri acara perayaan ulang tahunnya.
Diantara banyaknya orang berikut dengan makanan-minuman yang melimpah dirumah beliau, perhatian saya justru jatuh pada berbagai benda yang koleksi oleh si bapak pendeta itu. Semua menarik untuk dilihat tapi yang membuat saya menahan napas adalah pajangan wayang golek.
Saya tidak tahu kenapa tapi dari dulu saya suka sekali dengan wayang golek. Kalau ada siaran pertunjukan wayang golek di tv pasti betah saya tontoni. Sayangnya saya belum pernah menonton pertunjukan wayang secara live. Wayangnya saja saya tidak punya. Kasihan banget ga sih? Hehe. Jadi pantaslah kalau melihat saya seperti tidak mau beranjak dari depan wayang-wayang itu. Dengan hati-hati saya menyentuhnya.
Aduh pak, boleh ga wayangnya buat saya satu? Ya, berhubung tidak mungkin juga wayangnya saya bawa pulang maka yang bisa saya lakukan adalah… jepret… jepret… saya potret saja deh… sampai saya ditertawakan serombongan ibu-ibu yang ada disitu dan melihat ulah saya itu.
Mungkin pikir mereka apa-apaan si Keke motretin wayang golek? Hehe. Ya, mereka ga tahu aja sih. Pertama, saya hobi motret. Kedua, saya demen wayang golek. Nah, klop kan.
Saya adalah orang yang tumbuh tanpa latar belakang budaya apa pun.
Padahal di Indonesia ada 360 suku.
Ayah saya berdarah Cina dari ayahnya dan Sunda dari ibunya yang pribumi sementara ibu saya berdarah Manado. Tapi dirumah tidak pernah mereka berbahasa daerah. Mereka tidak pernah dengan sengaja menanamkan suatu budaya tertentu kepada saya. Itu sebabnya saya tidak bisa berbahasa Sunda, Cina dan Manado.
Sudah begitu saya lahir di kota Jakarta yang merupakan tempat multi budaya, multi ras dan multi bangsa. Jadilah saya semakin tidak merasa menjadi bagian dari budaya tertentu.
Tapi lucunya jejak-jejak darah Sunda ada dalam diri saya. Tanpa dipengaruhi oleh ayah saya, saya menyukai wayang golek dan makanan tanah pasundan serta telinga saya rasanya nyaman mendengar bahasa Sunda walau tidak mengerti sepatah kata pun....
Tahun 1998 kami pindah ke kota Bogor. Biarpun sangat dekat dengan Jakarta tapi kota ini sudah masuk bagian Jawa Barat. Jadi bisa dikatakan saya kembali ke akar budaya leluhur dari pihak almarhumah nenek yang orang Sunda.
Kalau gitu, setelah tinggal di Bogor selama 14 tahun apa saya bisa berbahasa Sunda? Wah, ga tuh! Hehe.
___________________________________________________
Not long ago I was invited by a pastor in my church to his place to attend his birthday party.
Amidst the people and beverages, my attention was caught mostly by the stuff he collects. But I never expected to find some wayang golek, Sundanese puppet.
I don’t know why I have always like wayang golek. I would watch its show everytime it was shown on tv but I haven’t seen it perform live. I don’t even have any of wayang golek at home. So I was pretty surprised to find them at the pastor’s house. I stared at them in adoration. I carefully touched them with the tip of my finger.
Could I take one home? Well yeah, surely not so I just took a long look at those wayang golek and then got an idea. Yep, I took picture of them. A bunch of ladies couldn’t help not to laugh at me when they saw this.
They must be wondering what on earth I was doing. First, I like photography. Second, I adore wayang golek. Good combination, right?
I grew up having no particular cultural background.
Indonesia has 360 ethnic group.
My dad’s father was a Chinese who married an Indonesian. She was a Sundanese. My mom came from Manadonese ethnicity. But when they raised me, they didn’t instill in me their ethnicity cultural background.
All this combine with the fact that I was born and raised in Jakarta, the capital city of Indonesia.The city of multi ethnic, multi culture and even multi nationalism.
Funny thing is, the trace of my Sundanese in me appear in the form of me liking their food, culture and also the language though I don’t understand one word of it.
We moved to Bogor in 1998. Though the town is so close with Jakarta but it is in West Java region which means I somehow return to the land of my Sundanese root.
No comments:
Post a Comment