My chosen theme for February was ‘Indonesian and…’because
I am an Indonesian who was born and raised, live and work in Indonesia. I am
not an expert about Indonesia so don’t assume I know everything about this
country. I am not an encyclopedia. If you want to know more about Indonesia,
you better browse on yahoo or google.. lol.
Yang saya tulis adalah hal-hal yang saya tahu, yang menarik
perhatian saya, hal-hal yang saya temui dalam keseharian kehidupan di sekitar
saya. Jadi saya tidak akan menulis tentang hal-hal yang memang sudah terkenal
atau di kenal, misalnya tentang Bali, kemacetan di kota-kota besar, terorisme
atau tempat-tempat nongkrong yang ada di Indonesia.
What I wrote was about the things I know, the ones that
captured my attention, the stuff on daily basis. I won’t write about well known
places such as Bali or common issues like traffic jam, terrorism or hang out
places in Indonesia.
Saya melihat ke sekitar saya.
I just looked
around.
Pada suatu hari kerongkongan saya terasa agak panas dan
perih, pertanda buruk, harus puasa dulu dari makan sambal selama 2-5 hari.
Sampai ngiler saya melihat teman-teman dengan enaknya makan dibubuhi oleh
sambal sementara makanan saya rasanya jadi kehilangan warna. Ketika sedang
mendongkol dan menyesali kerongkongan, merepet dalam hati karena harus berpisah
dengan cabe dan sambal, terciptalah tulisan ‘Indonesian
and Chilis’.
One day I
had sore throat.
Bad news. I had to stop eating chilis for 2-5 days. I literally drooled seeing
friends eating chilis, it looked so tasty while my own meals looked as if it
felt so flat. When I was feeling sorry for myself and grumbled over my sore
throat, idea came into my mind and voila…’Indonesian and Chilis’ became the first
of my ’Indonesian and…’ series.
Lalu pada suatu pagi di hari libur saya, bau sedap
bumbu-bumbu mampu menarik saya bangkit dari tempat tidur. Padahal saya tidak
akan bangun sebelum jam 8 pagi pada hari libur saya. Tapi pagi itu saya tidak
mampu melawan daya tarik harumnya bau bumbu dapur yang terbang memasuki kamar
saya. Di dapur, segenggam ketumbar sedang di sangrai oleh ayah saya. Di atas
meja tergeletak bawang merah, bawang putih, kemiri yang sudah di goreng dan
batang sereh. Bumbu-bumbu untuk membuat ayam goreng. Saya duduk memperhatikan
dengan hidung sibuk membaui aroma rempah-rempah itu. Dan jadilah tulisan ‘Indonesian and Spices’.
The good
smell of spices dragged me off my bed on that morning. I rarely get up before 8
am in my off day. But on that particular
day my dad was cooking and the smell of spices was so good that I couldn’t
resist it so I got up and went straight to the kitchen. There I saw my dad
fried a handful of coriander. Some shallot, garlic, fried candlenut and lemon
grass lied on the kitchen table. All the spices for fried chicken. I sat,
watching and sniffing the smell of those spices. That was how I came up with
the idea to write about ’Indonesian and
Spices’.
Seorang tukang bakso bermotor di sisi jalan yang saya lewati
entah mengapa membuat saya tersenyum sendiri ketika melintas di depan mata
bayangan Andre dengan nekad dan pedenya menaiki motor seorang tukang bakso.
Bahwa dia sudah lama terobsesi dengan para pedagang keliling memang tidak aneh
lagi bagi saya tapi saya tidak pernah menduga dia akan melakukan hal gila
seperti itu. Mungkin juga saya sedang kangen padanya hingga melihat tukang
bakso bermotor itu membuat ingatan saya kembali kepada peristiwa yang terjadi
beberapa tahun lalu. Tapi dari situlah muncul tulisan tentang ‘Indonesian and Vendors’.
’Indonesian
and Vendors’ written after I passed a meatball vendor riding on his motorcycle.
I smiled to myself when images from the past filled my memory. Images of Andre
riding on a meatball vendor’s motorcycle similar with that one. So he has been obsessed with vendors but I
never imagined that he would do such crazy stunt. Well, perhaps I was missing
him so the meatball vendor riding on a motorcycle reminded me when Andre
decided to borrow that meatball vendor’s motorcycle and gave it a ride.
Belum lama ini saya berbelanja di Pasar Anyar, Bogor. Sengaja
saya berjalan kaki. Cuaca sedang bagus, selain itu saya pikir saya perlu
latihan berjalan karena otot-otot di lutut saya akhir-akhir ini sedang tidak
baik dan saya juga ingin melihat-lihat para pedagang kaki lima karena ada
beberapa benda yang ingin saya beli, jenis benda yang di jual di pedagang
semacam itu.
Not so long
a go I went to Anyar market in Bogor. I walked there because the weather was
good and I thought my stiff muscles needed some exercise. Beside, walking gave
me a chance to have a closer look on the street vendors. I wanted to buy
something that only sell by those kind of vendor.
So, jadilah di sore hari yang sejuk itu saya berjalan kaki
lumayan jauh menuju Pasar Anyar. Biar pun dengan sedikit terpincang-pincang dan
beberapa kali saya menggigit bibir menahan rasa ngilu (apalagi ketika naik
turun tangga di dalam pasar) serta hujan gerimis yang kemudian turun disertai
angin kencang yang lumayan dingin tidak mampu merontokkan semangat serta tekad
saya. Untungnya pemandangan sepanjang jalan mampu mengalihkan perhatian saya
dari rasa sakit di lutut.
So on that
cool afternoon I took a long walk to Anyar market. The pain on joints, the
chilling wind and even drizzle didn’t deter me. I refused to be defeated though
I walked in pain and sometimes couldn’t help myself not to greet my teeth when
I went up and down the stairs inside
that market. I am glad the view along the way to the market or inside of
it could distract my attention of the pain in my kneecap joints.
Melewati rel kereta api, saya berhenti sejenak untuk membeli
tambalan panci dari seorang pedagang kaki lima yang menjual mulai dari paku
payung sampai mungkin korek kuping. Saat itu kereta api lewat. Wah, kereta itu
tampak jadi semakin besar dan menakutkan karena jaraknya dengan tempat saya
berdiri di sisi pedagang itu mungkin hanya sekitar satu meter. Tapi saya
perhatikan kok si abang dan beberapa pedagang lain disekitarnya bisa cuek-cuek
saja seakan yang lewat hanyalah sebuah sepeda sementara saya sedang berdiri
dengan berbagai macam perasaan mulai dari ngeri sampai kagum.
I stopped by at a street vendor near railway to buy some tin paper to patch the hole in my tin pan. It was when a train passed by. Dear goodness, I thought in amazement and fear upon seeing the train looked so big. Well, I was only about a meter away from it. Then I noticed the street vendor guy and other vendors looked as if it were just a bicycle that passed by.
Kemudian pengalaman lain lagi saya temui di dalam pasar.
Suasana khas di dalam pasar tradisional. Agak remang-remang di beberapa tempat,
pengap, panasnya membuat saya bertanya-tanya apa saya sedang berada di dalam
pasar atau dalam ruang sauna, namun keramahan-teguran penuh harap dari pemilik
kios bahwa saya akan berhenti untuk membeli barang dagangannya-muka lelah tapi
tetap ceria menggambarkan suatu sisi kehidupan orang Indonesia yang tidak akan
ditemui di mall atau pasar swalayan.
Another
neat experience came when I was inside the market. It was a typical Indonesian
traditional market. Dim in some places, no plenty of fresh air, freakingly hot
as if it were in a sauna but the friendliness-full of hope greetings by the
merchants, tired faces but never lost their spirits fully describe one side of
the life in Indonesia that you don’t find in malls or supermarkets.
Malam itu jam di kamar menunjukkan waktu hampir pukul satu
dini hari ketika saya pergi tidur setelah merampungkan tulisan ‘Indonesian and Traditional Market’.
It was
nearly passed midnight when I went to bed after completing my blog post under
the title of ’Indonesian and Traditional
Market’.
Percakapan antara saya dalam tulisan saya berikutnya yang
berjudul ‘Indonesian and Tardiness’ memang betul-betul terjadi.
Bahwa orang Indonesia itu terkenal dengan ‘jam karet’ sudah bukan hal baru. Tidak
semua orang Indonesia seperti itu tapi sayangnya kebiasaan demikian masih
eksis. Selalu jadi bahan jengkel dan juga memalukan, apalagi kalau kita sedang
mengikuti suatu acara berskala nasional atau internasional. Namun saya melihat
bahwa kebiasaan ngaret ini ada hubungannya dengan didikan yang kita terima dari
masa kecil. Namun pada beberapa kasus, orang yang terdidik dan terlatih untuk
tepat waktu ternyata bisa mematahkan dan keluar dari kebiasaan tersebut.
’Indonesian and Tardiness’ was written based on true conversation between me and that lady. But I used it as my way to express concern toward Indonesian well known of unability to be punctual. It is annoying and embarrassing when a big event or international event had to delay its opening time because some invited guests came late. And I see the connection of this habit to childhood disciplining. But in some rare case, those who have been taught to be punctual could develop the opposite habit after they grow up.
Kasus bayi yang meninggal setelah di tolak oleh 8 rumah
sakit kembali mengangkat kenyataan pahit bahwa di Indonesia akses untuk
mendapat pengobatan tidak terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Saya memiliki
pengalaman dalam hal ini dan bahkan masih berhadapan dengan kenyataan itu pada
saat ini. Dan saya berpikir bahwa di Indonesia, yang namanya kemewahan bukanlah
rumah, mobil atau pakaian. Pengobatan dan pendidikan adalah dua kemewahan di
negeri ini. ‘Indonesian and
Luxuriousness’ adalah bentuk keprihatinan, kepedihan dan kenyataan yang
dihadapi oleh saya serta sebagian besar rakyat Indonesia.
A sick baby died
after 8 hospitals refused to care for it has become another reminder of the
dark truth about Indonesian health system that does not reach all level of Indonesian society. I had the
experience and still facing that painful fact. So I thought health service and
education are two luxurious things in Indonesia. ’Indonesian and Luxuriousness’ was my way to express concern, pity
and reality that I and most of Indonesian have to live with.
Ide ‘Indonesian and
English’ muncul tepat ditengah-tengah pelajaran bahasa Inggris yang sedang
berlangsung di rumah saya sore menjelang maghrib. Saya sudah mengajar les
bahasa Inggris dari tahun 2005. Karir saya sebagai guru les lebih panjang dari
masa kerja saya sebagai guru taman kanak-kanak. Bahkan pernah ada masa dimana
penghasilan saya mengajar les bisa dua kali lipat penghasilan saya dari
mengajar di sekolah.
’Indonesian and English’ came to me right at the time I was
giving tutoring in my house that late afternoon. I became English tutor since
2005 and it is longer than my teaching years in school. There was even time
when my fees from tutoring doubled my teaching salary.
Dan dari sekian puluh murid les saya, yang tersisa kini
hanya 3 bersaudara Joan-Dite-Dio. Bukan karena saya tidak laku lagi sebagai
guru les. Permintaan tetap berdatangan. Tapi saya tolak. Bukan karena saya
tidak mau, tidak berminat atau tidak butuh duitnya tapi karena saya bekerja
full time dan kondisi fisik saya menurun sejak bulan September 2012. Jadi ya,
sudahlah, dari pada badan babak belur karena memaksa kerja melebihi
kemampuannya, hanya 3 bersaudara itu yang masih tetap saya pertahankan.
But now I tutor English to just 3 kids. Joan and her brothers, Dite and Dio. I have refused many kids because I work full time now and my physical condition is as good as before since September 2012. So I don’t want to work myself hard.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa saya tidak bisa lepas dari
bahasa Inggris sejak pertama kali saya mempelajarinya di usia 13 tahun (1984).
Itu adalah bahasa asing pertama yang saya pelajari dan saya langsung terpaut
dengannya walau di waktu-waktu berikutnya saya sempat mempelajari bahasa Jerman
dan bahasa Jepang. Kecintaan saya tetap pada bahasa Inggris.
However, I
can’t be separated from English since the first time I learned it when I was 13
in 1984. That was my first foreign language and I just love it though in later
time I also learned German and Japanese. I just stuck with English.
Bahasa itu telah menjadi jembatan penghubung saya dengan
banyak orang asing yang terdiri dari teman-teman korespondensi saya,
rekan-rekan kerja, atasan, mantan pacar dan pacar. Bahasa Inggris tidak hanya
membuat saya mampu berkomunikasi dengan orang-orang asing itu tapi juga memampukan
saya menyerap berbagai berita, ilmu dan keindahan dalam seni melalui berbagai media.
The same
language has become a bridge to connect me with many foreigners from my
correspondence friends, colleagues, superiors, former and present boyfriend. It
is also allowing me to get many kinds of information from many sources.
Saya adalah jenis orang otodidak. Tapi ketika satu hari
nanti saya punya uang lebih dari cukup untuk bisa melanjutkan pendidikan, maka
Sastra Inggris adalah salah satu bidang studi yang menjadi pertimbangan untuk
saya pilih selain Pendidikan Guru, Psikologi dan Programer Komputer dan
Fotografi. Yah, selama nafas masih di kandung badan dan duit ada, segalanya
bisa saja dilakukan.. hehe.
I am a self
taught person but when I have plenty of money to afford myself to go back to
college, English will be among my choices of major beside Education, Psychology,
Computer Programming and photography. Well, anything is possible as long as I
am still breathing.. lol..
Orang Indonesia adalah orang-orang yang terhitung ketat
dalam beragama tapi bisa-bisanya dalam saat yang bersamaan masih percaya dengan
segala hal yang tidak masuk akal, masih dipengaruhi oleh segala macam
kepercayaan bersifat takhyul, bahkan masih mempraktekkan segala hal berbau
mistis yang tidak masuk akal. Ampun dah!.. hare
gene.. ketakutan pada dunia gaib
masih mampu mengalahkan bukan hanya logika tapi juga segala dalil agama. Maksud
saya, ketika ketakutan pada setan mengalahkan kepercayaan pada kekuatan dalam
hal keagamaan.. nah, itu yang saya sebut ‘Freaky’
(nakutin). Dan salah satu ketakutan pada setan itu menyangkut tentang
kepercayaan bahwa setiap malam Jumat atau Kamis malam adalah saat yang angker
karena pada waktu itu semua setan di neraka sedang jalan-jalan di bumi. ‘Indonesian and Freaky Thursday Night’.
Indonesian
are considered to be religious people. But at the same time they still
believing in superstition stuff. Now when the fear for supernatural things
overcome religious faith, now that is what I called freaky. I mean, come on,
how the fear of ghost became greater than the faith to God. So the old belief
that Thursday night is the time when all ghost from hell haunting the earth
made me wrote ’Indonesian and Freaky Thursday
Night’.
Jaman yang semakin sulit membuat kreativitas manusia muncul.
Banyak hal diciptakan orang untuk menjadi cara mencari uang. Tapi banyak juga
hal diciptakan untuk bisa mendapatkan uang tanpa mempertimbangkan keselamatan
nyawa atau kesehatan orang lain. Itulah inti isi tentang ‘Indonesian and Hazardous Food and Drink’.
Hardship
has brought the creativity in some Indonesian people. They came up with ideas
to make money, to get more money and to earn more profit. But in doing so some
of them have removed real ingredients from the food and drink they are making
and selling only to be changed with hazardous stuff that are not supposed to
use for making food or drink. ’Indonesian
and Hazardous Food and Drink’ is a reality and also a warning so people can
be more cautious when they buy food or drink in Indonesia.
Sebetulnya masih banyak hal yang bisa saya jadikan tulisan
di bawah topik ‘Indonesian and …’ tapi saya pikir waktu satu bulan
adalah batas maksimal untuk membuat suatu tulisan berdasarkan topik tertentu.
Bagaikan warna, di dunia ini ada begitu banyak hal yang bisa dijadikan bahan
tulisan.
There are
interesting stuff to be written under the theme of ’Indonesian
and..’ but I thought I would only use that theme for a month or otherwise I
would make myself or the reader bored. Like colours, this world contains plenty
things that can be used as writing material.
Apa yang akan saya tulis di bulan Maret ini? Belum tahu. Ide
seringkali munculnya tiba-tiba.
What will I
write in March? Don’t know yet. Ideas can just popped out in the unexpected
time and place.
Menulis bisa diibaratkan seperti melihat berbagai warna.
Mengagumi warna-warna itu. Memilih warna kesukaan. Melakukan percobaan dengan
mencampur warna-warna itu. Menggoreskan satu warna atau beberapa warna di atas
kertas dan melihat sebuah gambar menjadi lebih menarik dengan adanya kehadiran
warna-warna tersebut.
Writing is like
seeing colours. Admiring them. Choosing favourite ones. Experimenting by mixing
them. Scratching one or few of them on paper. And a drawing certainly is more
interesting to see because there are many colours on it.
No comments:
Post a Comment