Tema di hari ketiga ini tentang
film atau drama favorit yang ga bosen ditonton berkali-kali.
Walah, mak min Kumpulan Emak
Blogger rupanya pengen tau apa kita-kita para member KEB ini ngefans berat sama
film tertentu, yang biarpun sudah ditonton berkali-kali, tapi tetap ga ada
bosennya.
Btw mak min, ssttt, sini deh…
saya bisikin, gini, saya tipe orang yang bosenan. Buat urusan film, jarang ada
film yang bisa bikin saya mau nonton lebih dari dua kali. Kecuali kalau filmnya
bener-bener luar biasa.
Luar biasa apanya? Ya, bisa dalam
alur ceritanya, kelucuannya atau karena akting para pemerannya.
Saya harus putare otake nih, mak
min, nyari film apa yang kira-kira ga bakal bikin saya bosan walaupun sudah
lebih dari sekali saya tonton… daaaaann…. akhirnya saya menjatuhkan pilihan
pada film ini:
Three idiots.
Film ini saya masukkan dalam
kategori luarbiasa karena dia adalah film India pertama yang sanggup bikin saya
duduk manis menonton dari awal sampai akhir tanpa sekalipun mengalihkannya ke
film lain.
Bayangkan, saudara sekalian. Seorang
Keke yang paling anti sama film India bisa menonton sebuah film India dari awal
sampai akhir. Bisa tertawa sekaligus meneteskan air mata haru. Bisa jatuh hati
pada pemeran utamanya. Bisa tetap teringat pada adegan-adegan dalam film itu
bahkan setelah lewat bertahun-tahun sejak saya menontonnya.
Nah. Jadi apa kehebatan film ini
sih? Penasaran?
Satu, ada terjemahan Bahasa Inggris.
Paling kesel kan kalau nonton film asing yang tidak ada terjemahannya atau
tidak didubbing ke Bahasa Inggris. Wuh, berasa nonton film bisu.
Dua, ini film sederhana tapi
alurnya enak dan seimbang. Ada tentang masa awal sekolah, ketika masuk ke
lingkungan yang serba baru, berasa asing di sana, tidak kenal siapa-siapa,
ketemu sama orang-orang yang nyebelin, lalu tanpa sengaja menjalin pertemanan atas
dasar rasa senasib. Kemudian mengalir ke masa-masa mulai kuliah, ketemu dosen
yang nyebelin, harus ngerjain tugas yang aneh, bolos kuliah, tinggal di asrama,
liburan.
Nah, untuk poin kedua ini rasanya
semua orang yang pernah mengalami masa-masa sekolah atau kuliah pasti bisa merasakan
‘dejavu’ dan itu yang bikin film satu ini tidak terjebak dalam stereotype film
India yang biasanya cuma tentang cinta, cinta, cinta dan cinta.
Ketiga, kisah persahabatan tiga
mahasiswa yang masing-masing punya latar belakang berbeda tapi dipersatukan satu
kampus, satu kelas, satu rasa senasib dan satu kekesalan pada teman sekelas dan
pada seorang dosen diolah dengan sangat rapi serta memikat oleh penulis cerita
dan ditampilkan sedemikian cantik oleh sutradara dan diperankan dengan baik
sekali oleh para pemeran inti sehingga saya terhanyut sepenuhnya dalam cerita
itu tanpa mampu menolaknya.
Keempat, pesan moral yang
disampaikan lewat cerita film Three Idiots ini sebetulnya adalah mengenai
pribahasa lama yang berkata “Jangan menilai buku dari sampulnya.” Itu sudah
terjadi berkali-kali tapi manusia seringkali terlalu bebal hingga tidak
menyadari atau menolak untuk membuka mata hatinya sehingga terjebaklah dia
dalam keangkuhan yang sungguh tolol saat menjatuhkan penilaian dangkal secara
sepihak.
Kelima, ini adalah film India
yang paling paling amat sangat sedikit sekali menampilkan adegan menari-nari
sambil menyanyi atau menyanyi sambil memeluk pohon. Yaps, itulah alasan utama
kenapa saya jadi ogah nonton film India. Halah mak! Kagak tahan sama adegan nari-nari,
nyanyi-nyanyi dan nangis-nangis. Mosok toh, sedih nyanyi, marah nyanyi, kesal
nyanyi, mau pergi nyanyi, lagi masak juga nyanyi… lama-lama ga sabaran saya
nontoninnya. Mana bahasanya kagak ngerti. Wakakak banget kan?
Keenam, humor humor humor. I
mean, hidup sehari-hari sudah penuh dengan segala keruwetan, tantangan,
kesedihan dan segala macam hal yang bikin kita sutres, trus, kita pulang dan
ingin melegakan hati, mengurai segala benang kusut yang ada di pikiran,
melupakan sejenak segala kesengsaraan dan … nonton film atau sinetron yang
isinya …. Nangiiiiiiiis mulu, jejeritan marah kayak dedemit kurang sajen. Ya ampun.
Yang ada sih, bukannya jadi lega hati, malah bikin tambah rusuh.
Nah, Three Idiots memasukkan
banyak sekali unsur kelucuan tanpa membuat orang merasa harus terpaksa tertawa.
Adegan-adegan konyolnya pun benar-benar kelihatan alami tanpa dibuat-buat. Misalnya,
ketika dua sahabat ini sedang dikejar-kejar oleh tokoh antagonis dan seorang di
antara mereka menemukan ide untuk mengambil kendi berisi abu almarhum ayah dari
si tokoh antagonis. Tentu ini membuat penonton heran. Di tengah-tengah adegan
kejar-kejaran kok bisa-bisanya dia menyambar guci berisi abu almarhum ayah si
tokoh antagonis itu? Buat apa? Bahkan tadinya saya tidak tahu kalau guci itu
berisi abu jenasah. Semua baru menjadi jelas ketika dua tokoh utama itu
terpepet di dalam kamar mandi. Tidak bisa kemana-mana. Saat itu baru jelaslah bagaimana
abu jenasah bisa menyelamatkan seseorang. Kok bisa? Ya, si tokoh utama yang
menyambar guci tadi membuka tutup kloset dan mengancam si tokoh antagonis bahwa
dia akan membuang abu almarhum ayahnya ke dalam kloset kalau si tokoh antagonis
itu nekad juga menghajar mereka.
Saya ngakak sejadi-jadinya. Kocak
pol. Dan ini hanya satu dari sekian banyak kelucuan lainnya yang dihadirkan
dalam film Three Idiots yang mampu membuat saya terpaku dan kemudian jadi
terkesan. Selamanya.
Ketujuh, tokoh perempuan itu
bukan yang utama. Nah, ini yang penting. Film sering menganggap kehadiran
perempuan bisa dipakai untuk menjadi faktor penjual demi menarik penonton atau
menaikkan rating. Tapi di film ini, tokohnya semua adalah laki-laki karena
ceritanya memang tentang persahabatan tiga orang mahasiswa laki-laki, kehidupan
di asrama pria dan konfliknya pun adalah dengan dosen berjenis kelamin
laki-laki. Tapi semua itu tidak bikin film jadi terasa kering kerontang karena
minus kehadiran perempuan cantik nan bohay yang bersikap jinak-jinak merpati. Tidak.
Filmnya tetap menarik dari awal sampai akhir.
Delapan, kehidupan dan
persahabatan para lelaki ini akhirnya memang menerima kehadiran seorang
perempuan cantik tapi tidak terkesan jadi seperti kisah romantika picisan. Tokoh
perempuan ini cantik tapi punya karakter dan terasa pas diselipkan dalam cerita
dan menjadi bagian dari kehidupan serta klimaks film. Tidak bikin jadi eneg. Tetap
menarik tanpa dipaksakan.
Sembilan, kemaskulinan lelaki
tidak ditampilkan lewat tubuh berotot, badan tinggi atau kemampuan fisiknya. Tidak
juga lewat segala kegiatan kaum laki-laki seperti ajang baku hantam atau
kebut-kebutan. Tapi tidak lantas berarti pemerannya jadi seperti Lucinta Luna. Ya,
nggaklah. Kemachoan mereka tetap terlihat nyata lewat sikap dan kepribadiannya,
… buat saya, seorang lelaki itu tampak amat sangat menarik dari dua hal itu.
Gimana mak min? Sudah nonton filmnya?
No comments:
Post a Comment