Greetings dear readers / salam buat para pembaca
Wednesday, October 25, 2023
SI BLOGGER TANPA PENDUKUNG
INDIHE, NO MENYE MENYE, PLEASE
Tema di hari ketiga ini tentang
film atau drama favorit yang ga bosen ditonton berkali-kali.
Walah, mak min Kumpulan Emak
Blogger rupanya pengen tau apa kita-kita para member KEB ini ngefans berat sama
film tertentu, yang biarpun sudah ditonton berkali-kali, tapi tetap ga ada
bosennya.
Btw mak min, ssttt, sini deh…
saya bisikin, gini, saya tipe orang yang bosenan. Buat urusan film, jarang ada
film yang bisa bikin saya mau nonton lebih dari dua kali. Kecuali kalau filmnya
bener-bener luar biasa.
Luar biasa apanya? Ya, bisa dalam
alur ceritanya, kelucuannya atau karena akting para pemerannya.
Saya harus putare otake nih, mak
min, nyari film apa yang kira-kira ga bakal bikin saya bosan walaupun sudah
lebih dari sekali saya tonton… daaaaann…. akhirnya saya menjatuhkan pilihan
pada film ini:
Three idiots.
Film ini saya masukkan dalam
kategori luarbiasa karena dia adalah film India pertama yang sanggup bikin saya
duduk manis menonton dari awal sampai akhir tanpa sekalipun mengalihkannya ke
film lain.
Bayangkan, saudara sekalian. Seorang
Keke yang paling anti sama film India bisa menonton sebuah film India dari awal
sampai akhir. Bisa tertawa sekaligus meneteskan air mata haru. Bisa jatuh hati
pada pemeran utamanya. Bisa tetap teringat pada adegan-adegan dalam film itu
bahkan setelah lewat bertahun-tahun sejak saya menontonnya.
Nah. Jadi apa kehebatan film ini
sih? Penasaran?
Satu, ada terjemahan Bahasa Inggris.
Paling kesel kan kalau nonton film asing yang tidak ada terjemahannya atau
tidak didubbing ke Bahasa Inggris. Wuh, berasa nonton film bisu.
Dua, ini film sederhana tapi
alurnya enak dan seimbang. Ada tentang masa awal sekolah, ketika masuk ke
lingkungan yang serba baru, berasa asing di sana, tidak kenal siapa-siapa,
ketemu sama orang-orang yang nyebelin, lalu tanpa sengaja menjalin pertemanan atas
dasar rasa senasib. Kemudian mengalir ke masa-masa mulai kuliah, ketemu dosen
yang nyebelin, harus ngerjain tugas yang aneh, bolos kuliah, tinggal di asrama,
liburan.
Nah, untuk poin kedua ini rasanya
semua orang yang pernah mengalami masa-masa sekolah atau kuliah pasti bisa merasakan
‘dejavu’ dan itu yang bikin film satu ini tidak terjebak dalam stereotype film
India yang biasanya cuma tentang cinta, cinta, cinta dan cinta.
Ketiga, kisah persahabatan tiga
mahasiswa yang masing-masing punya latar belakang berbeda tapi dipersatukan satu
kampus, satu kelas, satu rasa senasib dan satu kekesalan pada teman sekelas dan
pada seorang dosen diolah dengan sangat rapi serta memikat oleh penulis cerita
dan ditampilkan sedemikian cantik oleh sutradara dan diperankan dengan baik
sekali oleh para pemeran inti sehingga saya terhanyut sepenuhnya dalam cerita
itu tanpa mampu menolaknya.
Keempat, pesan moral yang
disampaikan lewat cerita film Three Idiots ini sebetulnya adalah mengenai
pribahasa lama yang berkata “Jangan menilai buku dari sampulnya.” Itu sudah
terjadi berkali-kali tapi manusia seringkali terlalu bebal hingga tidak
menyadari atau menolak untuk membuka mata hatinya sehingga terjebaklah dia
dalam keangkuhan yang sungguh tolol saat menjatuhkan penilaian dangkal secara
sepihak.
Kelima, ini adalah film India
yang paling paling amat sangat sedikit sekali menampilkan adegan menari-nari
sambil menyanyi atau menyanyi sambil memeluk pohon. Yaps, itulah alasan utama
kenapa saya jadi ogah nonton film India. Halah mak! Kagak tahan sama adegan nari-nari,
nyanyi-nyanyi dan nangis-nangis. Mosok toh, sedih nyanyi, marah nyanyi, kesal
nyanyi, mau pergi nyanyi, lagi masak juga nyanyi… lama-lama ga sabaran saya
nontoninnya. Mana bahasanya kagak ngerti. Wakakak banget kan?
Keenam, humor humor humor. I
mean, hidup sehari-hari sudah penuh dengan segala keruwetan, tantangan,
kesedihan dan segala macam hal yang bikin kita sutres, trus, kita pulang dan
ingin melegakan hati, mengurai segala benang kusut yang ada di pikiran,
melupakan sejenak segala kesengsaraan dan … nonton film atau sinetron yang
isinya …. Nangiiiiiiiis mulu, jejeritan marah kayak dedemit kurang sajen. Ya ampun.
Yang ada sih, bukannya jadi lega hati, malah bikin tambah rusuh.
Nah, Three Idiots memasukkan
banyak sekali unsur kelucuan tanpa membuat orang merasa harus terpaksa tertawa.
Adegan-adegan konyolnya pun benar-benar kelihatan alami tanpa dibuat-buat. Misalnya,
ketika dua sahabat ini sedang dikejar-kejar oleh tokoh antagonis dan seorang di
antara mereka menemukan ide untuk mengambil kendi berisi abu almarhum ayah dari
si tokoh antagonis. Tentu ini membuat penonton heran. Di tengah-tengah adegan
kejar-kejaran kok bisa-bisanya dia menyambar guci berisi abu almarhum ayah si
tokoh antagonis itu? Buat apa? Bahkan tadinya saya tidak tahu kalau guci itu
berisi abu jenasah. Semua baru menjadi jelas ketika dua tokoh utama itu
terpepet di dalam kamar mandi. Tidak bisa kemana-mana. Saat itu baru jelaslah bagaimana
abu jenasah bisa menyelamatkan seseorang. Kok bisa? Ya, si tokoh utama yang
menyambar guci tadi membuka tutup kloset dan mengancam si tokoh antagonis bahwa
dia akan membuang abu almarhum ayahnya ke dalam kloset kalau si tokoh antagonis
itu nekad juga menghajar mereka.
Saya ngakak sejadi-jadinya. Kocak
pol. Dan ini hanya satu dari sekian banyak kelucuan lainnya yang dihadirkan
dalam film Three Idiots yang mampu membuat saya terpaku dan kemudian jadi
terkesan. Selamanya.
Ketujuh, tokoh perempuan itu
bukan yang utama. Nah, ini yang penting. Film sering menganggap kehadiran
perempuan bisa dipakai untuk menjadi faktor penjual demi menarik penonton atau
menaikkan rating. Tapi di film ini, tokohnya semua adalah laki-laki karena
ceritanya memang tentang persahabatan tiga orang mahasiswa laki-laki, kehidupan
di asrama pria dan konfliknya pun adalah dengan dosen berjenis kelamin
laki-laki. Tapi semua itu tidak bikin film jadi terasa kering kerontang karena
minus kehadiran perempuan cantik nan bohay yang bersikap jinak-jinak merpati. Tidak.
Filmnya tetap menarik dari awal sampai akhir.
Delapan, kehidupan dan
persahabatan para lelaki ini akhirnya memang menerima kehadiran seorang
perempuan cantik tapi tidak terkesan jadi seperti kisah romantika picisan. Tokoh
perempuan ini cantik tapi punya karakter dan terasa pas diselipkan dalam cerita
dan menjadi bagian dari kehidupan serta klimaks film. Tidak bikin jadi eneg. Tetap
menarik tanpa dipaksakan.
Sembilan, kemaskulinan lelaki
tidak ditampilkan lewat tubuh berotot, badan tinggi atau kemampuan fisiknya. Tidak
juga lewat segala kegiatan kaum laki-laki seperti ajang baku hantam atau
kebut-kebutan. Tapi tidak lantas berarti pemerannya jadi seperti Lucinta Luna. Ya,
nggaklah. Kemachoan mereka tetap terlihat nyata lewat sikap dan kepribadiannya,
… buat saya, seorang lelaki itu tampak amat sangat menarik dari dua hal itu.
Gimana mak min? Sudah nonton filmnya?
Sunday, October 22, 2023
BLOGGER PENYENDIRI
Tema di hari kedua bener-bener bikin jadi malu sendiri.
Punya banyak teman di komunitas blog?
Ada sih, tapi cuma segelintir. Saking dikitnya bisa dihitung
pakai satu tangan. Hiks. Kebayang kan sebegitu dikitnya. Lha kok bisa?
Karena saya blogger penyendiri. Bukan dalam artian anti
sosial yaaa, karena dalam keseharian saya menjalin kontak dengan banyak orang di
tempat kerja. Muka dan nama saya dikenal oleh banyak orang tidak hanya di tempat
saya bekerja, tapi juga di cabang dari kantor ini. Lalu ada banyak mantan murid
saya ditambah dengan orang tua dan keluarga mereka. Lalu tetangga-tetangga saya
juga kenal dengan saya.
Tapi kalau ditanya berapa banyak teman yang saya miliki?
Nah. Itu pertanyaan yang agak sulit dijawab. Pertama, karena
saya belum pernah mengadakan sensus untuk mengetahui berapa banyak teman yang
saya miliki. Kedua, karena hubungan pertemanan itu kadang bisa berat sebelah
dalam artian seseorang yang saya anggap teman belum tentu menganggap saya sebagai
temannya juga. Ketiga, karena saya seorang penyendiri. Keempat, karena saya
lebih banyak bergaul dengan komunitas penulis.
Mari saya bahas satu persatu.
BERAPA JUMLAH TEMAN YANG DIMILIKI OLEH SESEORANG?
Seorang yang punya sifat tertutup (introvert), pemalu atau
penyendiri bisa lebih cepat memberikan jawaban ketika pertanyaan di atas ini
diajukan kepadanya. Kenapa? Karena dia menarik diri dari pergaulan atau
membatasi pergaulannya maka dia hafal betul berapa banyak teman yang dimilikinya.
Tapi kalau pertanyaan itu diajukan kepada seorang extrovert
atau seorang public figure, tentu jari-jari pada kedua belah tangan dan kakinya
tidak akan cukup untuk dipakai menghitung berapa jumlah teman yang dimilikinya
karena jumlahnya tidak terhingga.
Ketika saya membaca tema hari kedua dari Blog Challenge
Kelompok Emak Blogger ini, mau tak mau saya terpaksa nyengir kuda.
Punya banyak teman di komunitas blog?
Kok ya kayak sedang melakukan survei untuk mengetahui di
komunitas Emak Blogger ini apakah anggotanya saling berteman? Kalau iya,
masing-masing punya teman berapa banyak? Lalu ujung-ujungnya bisa dijadikan
pertanyaan, kalau di komunitas ini ada ratusan atau mungkin sudah ribuan
anggota, kok kenapa masing-masing anggota tidak saling berteman atau kalaupun
berteman lewat komunitas ini, kenapa temannya dikit amat?
Kalau tema hari kedua ini dimaksudkan bukan cuma untuk
membuat statistik angka pertemanan yang dimiliki oleh setiap anggotanya, tapi juga
untuk berupaya mencari cara agar para anggota yang tidak saling kenal atau untuk
mereka yang tidak mendapatkan teman dalam komunitas Emak Blogger ini bisa
menjadi saling kenal dan kemudian menjalin pertemanan, wah, saya acungin jempol
karena ini adalah hal yang sangat baik.
AKULAH TEMANMU DAN KAU TEMANKU
Dulu waktu saya masih jadi guru Taman Kanak-Kanak, ada satu
lagu yang diawali oleh kalimat tersebut. Kata-katanya sederhana tapi cukup
mengena. Bahwa pertemanan itu harus berjalan dua arah. Tidak mungkin hanya satu
arah karena tentunya aneh kalau saya menganggap seseorang sebagai teman tapi
orang itu tidak menganggap saya sebagai temannya.
Apakah ini hal yang aneh? Tidak. Hal ini sangat sering terjadi.
Dua orang atau lebih yang sering menghabiskan waktu bersama dan melakukan
banyak hal bersama hingga di mata orang luar mereka akan terlihat sebagai
sekelompok orang yang saling berteman belum tentu benar mereka adalah teman.
Kebersamaan dan kesamaan minat tidak menjadi jaminan yang membuat
dua orang atau beberapa orang dalam suatu kelompok atau komunitas yang sama menjadi
teman.
Teman adalah urusan hati. Ketika kita merasakan ikatan batin
dengan seseorang atau beberapa orang dan mereka merasakan hal yang sama untuk
kita, maka itu adalah dasar dan ikatan pertemanan. Tanpa itu pertemanan hanyalah
sebatas bibir dan setipis kulit.
Saya tidak menganggap diri saya sebagai seorang introvert
tapi saya lebih suka sendiri. Dalam dunia blogging pun demikian. Saya tidak
menutup diri tapi saya tipe yang menuliskan apa yang saya sukai dan kemudian
melemparkannya kepada dunia dan tidak terlalu merasa harus menjalin hubungan
dengan sesama blogger atau dengan pembaca blog saya.
KOMUNITASMU, KOMUNITASKU, KOMUNITAS KITA?
Saya termasuk dalam mereka yang memperlakukan komunitas
seperti sendok dan garpu ketika akan makan. Karena walaupun saya punya makanan
lengkap yang enak-enak tapi tanpa sendok dan garpu, atau setidaknya sendok, proses
makan tentu menjadi sedikit terhalang atau malah bisa menjadi tidak nyaman. Makan
dengan tangan tentu bisa dilakukan tapi tidak bisa dilakukan di setiap tempat
dan di setiap momen.
Jadi sebagai blogger, saya punya pengalaman atau pemikiran
yang saya tuangkan menjadi satu bentuk tulisan dan tulisan tersebut saya jadikan
satu postingan di dalam blog saya. Lalu, apakah selesai sampai di situ saja? Tentu
saja tidak. Saya memerlukan ‘sendok dan garpu’ agar makanan yang saya makan
bisa masuk ke dalam perut saya. Nah, dalam upaya agar pengalaman atau pemikiran
dalam postingan itu bisa sampai ke pembaca, saya memerlukan satu media dan komunitas
blogger adalah alat atau media tersebut.
Sama seperti saya menghargai fungsi ‘sendok dan garpu’, saya
juga menghargai dan berterima kasih kepada setiap komunitas blogger yang saya
ikuti. Mereka adalah alat yang saya pakai agar setiap postingan saya bisa
sampai ke tujuannya, yaitu kepada pembaca.
Apakah saya harus berteman dengan setiap anggota dalam
komunitas itu? Tentu saja tidak. Saya ramah dan membuka diri tapi saya tetap seorang
blogger penyendiri. Apakah saya menjadi terlihat aneh di mata komunitas atau di
mata anda sebagai pembaca blog? Entahlah. Tiap orang punya penilaiannya
sendiri.
* * *
Punya banyak teman di komunitas blog?
Itu adalah pertanyaan pertama di tema hari kedua. Saya sudah
menuliskan alasan dan pendapat saya mengenai hal tersebut jadi marilah melompat
ke pertanyaan berikutnya.
(Kalau memang punya banyak teman di komunitas blog)
mengapa akrab dengan teman tersebut?
Kalau saya bertanya kepada kamu “Hei, kamu punya banyak
teman di sekolah atau di tempat kerja?” dan jawabanmu adalah iya.
Saya akan mengajukan pertanyaan kedua, “Kenapa kamu bisa
jadi akrab dengan mereka?” Kira-kira apa jawabanmu?
Saya sudah menuliskan sebelumnya bahwa teman adalah urusan
batin. Minat dan kegiatan bersama belum tentu bisa menjadikan seseorang sebagai
teman atau menjadikan dirimu sebagai seorang yang dianggapnya teman.
Kalau ada yang bertanya kepada saya, apa yang bisa membuat
saya menjadi akrab dengan seseorang? Tanpa ragu saya akan menjawab, karena
orang itu memiliki hati yang tulus kepada saya. Dia tidak bersikap seperti
seorang teman tapi di belakang saya dia menusuk punggung saya. Kepercayaan dan
ketulusan sangat penting untuk saya.
Thursday, October 19, 2023
MATI OGAH, HIDUP MEGAP-MEGAP
Begitulah nasib sedih blog tersayang ini. Judulnya mati suri. Mati ogah tapi hidupnya bagai megap-megap menarik napas. Hiks, sedih.
Padahal ketika dulu saya memulainya pada bulan Oktober 2010,
saya memulainya dengan penuh semangat. Di jaman ketika internet tidak secanggih,
sekuat, secepat dan semudah sekarang, justru saya lebih rajin dan lebih
berkomitmen untuk memasukkan postingan ke blog ini. Kalau dilihat dari
statistiknya, dalam setahun saya bisa menulis puluhan dan bahkan sampai ratusan
postingan. Itu terjadi dari tahun 2010 sampai tahun 2017. Lalu mulai dari tahun
2018 sampai ke tahun ini, postingan berkurang drastis menjadi hanya belasan
saja.
Kenapa bisa jadi begitu? Saya juga tidak tahu. Lupa apa yang
awalnya bikin semangat ngeblog jadi turun demikian drastis. Dari yang hampir
setiap hari ngeposting, turun menjadi sebulan sekali saja postingnya. Lalu pelan-pelan
makin berkurang hingga akhirnya hanya posting setiap beberapa bulan sekali. Yang
paling parah adalah tahun ini. Dari bulan Januari sampai Oktober 2023 ini, saya
hanya menghasilkan satu postingan.
Kalau bukan karena sedang mengikuti Blog Challenge yang
diadakan oleh Kumpulan Emak Blogger, saya yakin tahun 2023 ini akan berlalu
tanpa saya tergerak untuk membuat postingan baru dan hanya pasrah membiarkan
satu postingan saja yang bertengger menghiasi daftar postingan saya di tahun
2023.
Ok, ok. Saya bersalah penuh dibalik absennya saya dalam
dunia berbloggingan. Saya tidak bermaksud untuk mencari sejuta alasan
pembenaran diri. Postingan perdana di Blog
Challenge ini bukanlah untuk menyodori pembaca dengan cerita melankolik demi
membuat semua akan menunduk takzim dalam hening sambil berkata “Ya, kami
mengerti.”
Saya juga tidak akan bersembunyi di balik seribu satu kambing
hitam yang kebingungan ketika diseret naik ke atas podium dan menerima banner
bertuliskan “Salahkan mereka saja, sayang.”
Tidak! Tidak! Tidak!
Mari, saya akan mereview balik ke tahun-tahun ketika saya
masih amat sangat produktif menjadi blogger karena segala sesuatu itu pasti ada
awalnya dan bagi saya tahun 2010 itu dimulai dengan keinginan memasukkan
kegiatan kelas saya ke dalam blog yang kemudian saya share ke Facebook.
Tahun 2005-2011 saya mengajar di sebuah taman kanak-kanak
kecil di daerah Ciomas, Bogor. Dari yang hanya sebagai asisten guru sampai
akhirnya menjadi wali kelas playgroup dan wali kelas TK A. Bukan cuma itu saja,
saya juga mengajar kelas Bahasa Inggris di TK B.
Nah, sejak hari pertama saya bekerja di taman kanak-kanak
itu, saya melihat bahwa orang tua murid selalu ingin tahu mengenai pelajaran
dan kegiatan apa saja yang diajarkan di kelas anak mereka. Tidaklah mudah untuk
mendapatkan informasi itu dengan menanyakan kepada anak berusia tiga, empat
atau lima tahun karena kemampuan logika, minat serta daya ingat setiap anak
berbeda.
Seorang anak yang suka pada pelajaran menggambar tentu lebih
bisa mengingat apa saja yang diajarkan oleh gurunya di kelas menggambar, jadi umumnya
dia akan bisa menjawab ketika ditanya mengenai gambar, bentuk atau warna yang diajarkan
oleh bapak atau ibu gurunya. Beberapa anak bahkan bisa sampai menjabarkan secara
rinci mengenai bentuk atau gradasi warna yang dipelajarinya.
Tapi bagaimana dengan anak yang tidak menyukai pelajaran
menggambar? Selain tentu saja hasil pekerjaan menggambar atau mewarnainya tidak
sebagus atau serapi hasil pekerjaan temannya yang senang menggambar, anak tipe
ini tidak mampu mengingat apa yang tadi dipelajarinya dalam kelas menggambar. Ketika
ditanya, jawabannya antara “Lupa” atau hanya mengangkat bahu, membuat orang tuanya
penasaran, kesal atau bingung.
Bertanya pada guru tentu membutuhkan perjuangan tersendiri
karena waktu yang serba terbatas. Guru tidak bisa mengobrol selama jam kerja, hampir
tidak punya jam istirahat hingga tentu tidak bisa berharap bisa bebas mengobrol
bahkan di jam istirahatnya dan di jam pulang, orang tua yang sering tidak punya
banyak waktu untuk nongkrong dulu di sekolah untuk bicara dengan guru anaknya. Seandainya
pun waktunya ada, dari pengalaman saya, tetap sulit untuk bisa mendapatkan fokus
dan perhatian penuh dari si guru yang harus mengawasi murid-muridnya di jemput
oleh penjemputnya masing-masing, yang belum dijemput, yang belum selesai
mengerjakan tugas dan segala macam hal lainnya yang perlu diperhatikannya.
Sekolah punya kurikulum. Guru menerapkannya dalam bentuk
program belajar dan program kegiatan. Tapi orang tua belum tentu tahu dan
mengerti apa saja kurikulum itu serta apa saja program belajar dan kegiatan
yang dibuat oleh guru. Jadi setiap tahun ajaran sebetulnya orang tua itu
seperti sedang berjalan meraba-raba dalam kegelapan, berusaha untuk mengerti
dari buku pelajaran dan tugas-tugas yang diberikan kepada anak-anak mereka.
Saya berpikir untuk menuliskan apa saja sih yang saya
ajarkan dan kegiatan apa saja yang saya berikan di dalam kelas. Tidak dalam
bentuk laporan tapi dalam bentuk postingan blog. Jadi orang tua yang ingin tahu
bisa membacanya dalam blog saya.
Kemudian pertengahan tahun 2011 saya terpaksa harus berhenti
dan berganti profesi. Tidak lagi sebagai guru di sekolah. Saya menjadi karyawan
biasa. Saya mulai agak kehilangan sumber untuk dijadikan postingan. Karena itu
saya mulai menulis campur aduk dari hal-hal kecil sampai sengaja jadi agak
rajin traveling supaya bisa ada bahan untuk dijadikan tulisan.
Awal tahun 2017 ibu saya meninggal. Itu pukulan berat untuk
saya karena walaupun almarhumah sudah lanjut usianya dan kondisi kesehatannya
memang sudah menurun tapi saya tidak pernah membayangkannya untuk pergi demikian
cepat. Saya selalu mempercayai bahwa mama akan bertahan hidup lebih lama lagi. Kepergiannya
merupakan pukulan bagi saya dan almarhum ayah saya.
Saya perhatikan tahun 2017 adalah awal postingan blog saya
mulai menurun. Saya seperti mulai kehilangan motivasi untuk menulis.
Tahun-tahun selanjutnya adalah perpaduan dari berbagai hal. Ayah
saya bertambah usia dan berkurang dalam hal kemampuan fisik serta kesehatannya.
Lalu saya yang harus mengurusi bukan hanya papa tapi juga pekerjaan rumah
tangga selain pekerjaan kantor yang makin lama makin banyak. Kemudian saya mengalihkan
fokus saya dari sebagai penulis blog menjadi penulis buku. Saya rajin ikut
kelas-kelas menulis dan menghasilkan beberapa buku antologi. Semua ini membuat
saya makin malas untuk menulis di blog, di samping beberapa alasan pribadi lainnya
yang ikut menambah kemalasan itu; rencana saya untuk menikah dan puncaknya
adalah ketika ayah saya sakit lalu meninggal beberapa bulan lalu membuat saya
tiba-tiba harus hidup sendiri, harus mengurusi rumah sendiri, menghadapi banyak
rencana yang harus dimodifikasi dan menyembuhkan diri dari depresi.