Ini Cap Go Meh ke empat yang saya tonton. Dari tahun ke
tahun pertunjukan dan arak-arakannya sih kurang lebih sama. Yang berbeda adalah
pengalaman saat menonton.
This was the
fourth Cap Go Meh that I watched. Every year the show basically is the same. The difference is the experience when watching it.
Tahun ini saya pergi nonton dengan mahasiswi yang sedang
magang di kantor saya. Hari Kamis, 5 Maret, kami berangkat jam 4 sore dari
kantor.
This year I
watched it with an intern at work. We left the office at 4 pm on Thursday,
March 5th.
Kalau tidak mau terjebak macet dan harus berjalan kaki,
sebaiknya sudah datang ke lokasi dari jam 2 siang atau paling telat jam 3 sore.
If you do
not wish to get stuck in the traffic and had to go on foot, you better be on
location at 2 pm or at least at 3 pm.
Dessy dan saya melanjutkan perjalanan kami ke Pasar Bogor
dengan berjalan kaki.
Dessy and I
went on foot to Bogor Market.
Ini beberapa foto-foto saya dari arak-arakan itu.
The festival participants started
their procession from there. We took photos while we were there.
Tapi baru sekali itu saya merasakan terjepit dalam kerumunan
massa sampai nyaris tidak bisa bergerak.
But it was
the first time I have got stuck in the crowd that I couldn’t move.
Sepatu kotor terinjak orang, kaki sakit karena berdiri
terlalu lama dan berjalan terlalu jauh serta pakaian dan badan yang baunya
mungkin sudah seribu satu macam adalah harga yang harus dibayar demi... demi... foto...
Dirty shoes
for having stepped by people, hurt feet for standing too long and taken a long
walk along with smell like hell are the price to pay for the sake of my photography passion.
Jam 9 malam kami berdua memutuskan untuk pulang. Aduh,
capeknyaaaa… lega betul waktu akhirnya bisa mandi, berganti pakaian dan
membaringkan diri di tempat tidur.
It was 9 pm
when we decided to get back. Man, we were so exhausted… it felt so good when I
could take a bath, wear clean clothes and laid down on bed.
“Saya lihat streamingnya, rame ya?” Andre menelpon saya.
“I watched
the online streaming, it was merry?” Andre called me.
Rame? Saya tertawa mengingat bagaimana saya terjepit massa
di depan Pasar Bogor.
My friend Dessy who came along with me |
“Kayaknya saya mulai berasa tua” saya menghela napas setelah
secara singkat menceritakan pengalaman saya selama menonton arak-arakan Cap Go
Meh.
“I think I feel
I am getting old” I sighed after I told him my experience watching Cap Go Meh
procession.
Dia tertawa. “Kamu tetap Keke yang selalu punya banyak
keinginan. Umur tidak akan pernah bisa menghentikan langkah kamu kalau kamu
sudah membulatkan tekad untuk melakukan sesuatu”
He laughed.
“You will remain as Keke who has many wishes. Age will never able to stop you
whenever you set your goal”
Dia benar. Mungkin itu juga satu alasan kenapa saya selalu
ingin nonton arak-arakan Cap Go Meh. Karena ada hal-hal dalam festival ini yang
memiliki kesamaan dengan kehidupan saya.
He is right.
Maybe it is one of the reasons why I always want to watch Cap Go Meh
procession. Because something of this festival share a similarity with my life.
Perayaan Cap Go Meh di Indonesia merupakan akulturasi kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan lokal. Pawai budaya saat Cap Go Meh, menurutnya dikenal dengan sebutan toa pe kong. “Diperkirakan, ritual gotong toa pe kong mulai digelar sekitar abad ke-17. Kala itu di Indonesia sudah banyak menetap masyarakat Tionghoa dari daratan China. Namun, di Jakarta sepertinya baru dimulai pada pertengahan abad ke-18,”tuturnya. Keterangan itu berdasarkan fakta sejarah dalam buku Tradisi dan Kultur Budaya Tionghoa yang ditulis Yoest MSH. (www.boozemagazine.com/tradisi-cap-go-meh-di-indonesia/)
Cap Go Meh adalah bagian dari satu etnis di Indonesia yang keberadaannya penuh dengan jatuh bangun. Tapi dia tidak pernah hilang. Dan kini keberadaannya di negeri ini dianggap sebagai bagian dari
kekayaan budaya yang harus dilestarikan.
Cap Go Meh
is part of one of the ethnic group in Indonesia which existence filled with ups and downs . But it is never gone. Now its existence in this country is considered as part of the
culture that should be preserved.
Kehidupan saya seperti itu. Untuk beberapa waktu lamanya
kesusahan seperti menenggelamkan saya. Tapi saya bertahan dan saya telah
kembali berdiri tegak. Bahkan kini saya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
It speaks
about my life. For some period of time hardship seemed to sink me. But I
survived and I have stand tall again. I have even become better now.
Cap Go Meh bicara tentang keteguhan hati, kesabaran dan ketulusan
ketika ditindas dan ketika dipuja.
Cap Go Meh
speaks of perseverance, patience and sincerity when being oppressed and when
being adored.
No comments:
Post a Comment