Kalimat pendek, “Ke, mas tidak bisa jemput pendeta. Mendadak harus antar orang. Gimana dong Ke?”, yang tertera dilayar telpon selular saya hari Minggu (8/7) jam 5 pagi itu sontak membuat mata ngantuk saya langsung jadi 1000 watt.
Waduh!
Sms itu dikirim malam sebelumnya. Waktunya tertera 21.30 WIB. Perkaranya semalam saya sudah tidur dari sekitar jam 7 karena badan berasa kurang fit.
Akibatnya saya baru membaca sms itu jam 5 pagi.
Pendetanya harus dijemput jam 7 pagi. Ibadah mulai jam 8 pagi.
Saya tahu perkara ini pada akhirnya pasti akan beres. Hanya saja saat itu saya tidak punya ide bagaimana cara mengatasinya. Jadi sambil berjalan keluar kamar, menjerang air untuk mandi, membawa handuk ke kamar mandi, mengambil tas ransel dan menyiapkan baju yang akan dipakai, saya berdoa singkat dalam hati, ‘Tuhan, tolong bantu cari jalan keluarnya’.
Lalu ide itu datang. Sms rekan saya yang tinggal di gereja. Tapi tidak ada jawaban. Telpon saya pun tidak diangkat. Wah, jangan-jangan dia belum bangun. Ini masih jam 5 dan kemarin dia baru kembali dari acara retreat yang pastinya melelahkan. Bisa-bisa dia baru bangun jam 7. Gawat. Gimana caranya bikin dia bangun ya?.
Otak saya berputar lagi.
Ide lain datang; Telpon rumah teman saya yang suaminya tidak dapat menjemput pendeta yang dijadwal harus berkhotbah pada hari Minggu itu. Rumahnya dekat dengan gereja jadi saya minta supaya dia datang ke gereja untuk membangunkan rekan saya itu.
Syukur sejuta syukur, suaminya yang langsung mengangkat telpon saya. Dia langsung pergi ke gereja, menemui satpam dan mereka membangunkan rekan saya.
Sekitar lima menit kemudian datang sms dari rekan saya, “semua sudah saya urus”. Saya tidak tahu apakah dia sendiri yang akan berangkat menjemput si pendeta dengan motornya atau dia menyuruh satpam tapi kalimatnya itu mampu menentramkan hati saya.
Jam 6.30 pagi saya sampai di gereja. Jam 7 pagi pendetanya tiba di gereja. Semuanya teratasi. Saya bersyukur buat bantuan Tuhan dan kerjasama suami teman saya, rekan saya dan juga satpam.
Siangnya, setelah semua orang pulang dan tinggal saya dengan rekan saya, kami bicara tentang insiden pagi tadi.
“Lucu juga ya” kata saya sambil merenungkan peristiwa itu “kemarin kamu bikin saya terpusing-pusing ngurusin supir buat jemput kalian dari acara retreat. Tadi pagi gantian saya yang bikin kamu terpusing-pusing ngurusin jemput pendeta”
Kami tertawa mengingat dua peristiwa yang terjadi berturutan itu.
“Tapi tahu ga kamu bahwa saya mengandalkan kamu dan kamu mengandalkan saya?” saya nyengir sambil menatapnya “kamu membutuhkan saya dan saya juga membutuhkan kamu”
Dia tersenyum “kita satu tubuh. Yang satu tidak bisa berfungsi tanpa adanya yang lain”
Ya. Dia benar.
Coba lihatlah tubuh kita. Semua yang menempel ditubuh ini mempunyai fungsi. Rambut, mata, leher, tangan, kaki. Bahkan bagian yang paling kecil pun punya kontribusi untuk kelancaran aktivitas tubuh. Tidak ada satu pun yang lebih penting dari pada yang lain. Semua sama pentingnya.
Kalau kita bisa benar-benar menyadarinya, hubungan kita dengan siapa pun sebetulnya tidak perlu diwarnai dengan acara sirik-sirikan karena merasa yang satu lebih hebat, penting, lebih tinggi atau lebih terhormat dari yang lainnya atau sebaliknya, saling menghina karena merasa diri ‘lebih’ dari yang lain.
Dalam pengalaman kerja saya yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, saya mendapati kenyataan bahwa model manusia yang bisa berprinsip seperti ini tidaklah banyak. Dari yang segelintir ini yang sangat saya ingat cuma ada dua;
Yang pertama adalah Uke. Dia jauh lebih senior dalam umur dan masa kerja di Indosat ketika saya, yang baru kelar kuliah tahun 1994, masuk dan bekerja sebagai karyawan magang selama setahun setengah. Dan saya melewatkan masa 3 bulan terakhir dari masa kerja saya di divisi customer service dimana Uke berdinas selama mungkin 15 tahun.
Tapi dari awal sampai akhir saya magang ditempatnya, dia tidak pernah bersikap atau mengeluarkan perkataan yang memperlihatkan senioritasnya, apalagi yang mengecilkan saya. Dia memperlakukan saya sebagai rekan kerja yang sejajar. Saya bukan hanya sangat menghargai sikapnya ini, saya menghormatinya lebih dari yang dia sendiri mungkin dapat bayangkan.
Orang kedua adalah mantan boss saya. Tahun 1997 saya mendapat pekerjaan di perusahaan yang baru dibuka. Cabang dari Singapura tapi yang dikirim untuk membawahi kantor itu adalah utusan dari kantor pusat di Jepang.
Mr. Nishimura adalah orang asing pertama yang menjadi atasan saya. Mengingat citra umum tentang orang Jepang, wajarlah bila saya agak ngeri membayangkan punya atasan orang Jepang.
Tapi selama hampir 2 tahun berikutnya kami bisa bekerja sama dengan amat sangat baik.
Ternyata beliau sama seperti Uke. Tipe manusia langka yang tidak memandang dirinya ‘lebih’ dari yang lain. Dia mengetahui bahwa dia membutuhkan saya sama seperti saya membutuhkan dirinya dan kantor kami sangat membutuhkan kami berdua jadi sikap kami berdua benar-benar atas dasar saling menghormati dan menghargai satu dengan lainnya.
Bagaimana dengan sekarang? Ya, ada beberapa orang yang punya prinsip dan sikap seperti itu.
Tapi pastinya melalui pengalaman hidup dan lewat manusia-manusia yang saya temui, saya belajar untuk hidup dengan prinsip dan sikap bahwa kita semua adalah satu tubuh.
______________________________________________
The screen of my cellphone showed short line from my friend’s text that said “My husband can’t meet the pastor on the meeting point. He needs to pick up somebody. What should we do?” and it opened up my sleepy eyes widely.
Great!
The text was sent the night before. It showed 9.30 pm. The problem is I have already gone to bed since 7 pm.
So I found it at 5 am!
The pastor had to be picked up from the meeting point at 7 am. The service starts at 8 am.
I knew there would be way out for this situation. Only that I had no idea what to do so as I stepped out of my room, getting ready to take a bath and preparing the things to go to work, I said a little quick prayer in my mind, ‘please, God, help me find way out to solve this situation’.
Then it came to me, call my colleague who stays in the church. I texted him. But he didn’t return it nor my call. I didn’t think he has got up this early. He just got back from a an exhausting retreat yesterday. How if he got up at 7 am?. Oh no! What should I do to wake him up?.
My mind spun fast.
An idea came to me; call my friend’s husband who couldn’t meet the pastor. Their house is near the church. I could ask him to go to the church, met the security and together they could wake my colleague.
Thank God the husband answered my call and he did what I asked him to do.
A text came five minutes later “I have taken care this”. It was from my colleague. I didn’t know if it meant he himself would go to the meeting point riding on his motorcycle or he sent the security there but he sure calmed me down.
I got at the church at 6.30 am. The pastor arrived at 7 am. The situation was solved. I thanked and appreciated for everyone’s participation on helping solving this situation.
In the afternoon, after everyone has left the church, my colleague and I recalled this morning’s incident.
“It’s kind a funny, you know” I thought it over “yesterday you brought me headache over sending the driver to pick you guys up from the retreat. This morning I brought you headache to pick up the pastor”.
He asked me to send the driver picking them from the retreat at 1.30 pm. The driver was helping setting the sound system in other church and letting me know at 12.30 pm that the work was far from done and no one could predict what time would it done. It gave me quite a headache.
We both laughed as we recalled these two incidents.
“But do you realize that I am counting on you as well as you are counting on me?” I grinned at him “I need you as much you need me”
He smiled softly “we are one body. One can’t function without the other”.
Yes. He is right.
Just look at our body. It has hair, eyes, neck, arms, legs. Even the smallest part has its own part to make the body can function well. None is more important than the others. Every part of it is important.
Now if we can really realize it, we wouldn’t have to poison our relationship with others with jealous over thinking other people have all the luck but ourselves nor would we ascend ourselves over others.
In my working experience moving from one work place to another, I have met few who lived their life based on this principle. The first among the few people is Uke.
She was much my senior in age and work experience. I was a fresh college graduate in 1994 when I was an apprentice employee at PT. Indosat while Uke seemed like had spent about 15 years in customer service division. I was place in her division for 3 months before I resigned from the company.
Never once did she behave or speak to show off her seniority or my juniority. She treated me equally. To which not only I appreciated it but I respected her more than she could have imagined.
The second person is my former boss, Mr. Nishimura, who was appointed by the head office in Japan to lead the office that was set up by their Singapore branch office. So it was a new office when I was hired in 1997.
I had never had a foreigner boss before and to have heard about Japanese people made me quite nervous to think I would have a Japanese boss.
But we spent nearly 2 years working very well together.
He was actually the kind of person like Uke was. A rare type of people who don’t think themselves superior than others. He knew that he needed me as much as I needed him and that our office needed both of us. It was what made us worked under mutual respect and appreciation toward each other.
Now how about in my present work place? Well, there are few people who have that kind of thinking.
No comments:
Post a Comment