Gara-gara menulis blog bertemakan teman, saya jadi kepikiran soal teman. Ada banyak teman tapi sedikit sahabat.
Yah, yang namanya teman pastilah idealnya tidak pilih-pilih.
Saya berteman dengan siapa saja. Dari kelas atas sampai yang golongan terbawah. Sikap saya pun tidak membedakan.
Kepada yang konglomerat dan yang kulomelarat, sikap saya sama dalam artian; sama ramahnya atau bisa sama juteknya.. hehe.
Entah itu yang ningrat atau yang rakyat jelata, saya tidak menilai dari kulit luarnya. Toh kalau kita kentut, baunya sama saja. Tul kan?. Ya, mungkin kentut yang ningrat berbau steak, sementara yang rakyat jelata berbau jengkol. Beda-beda tipislah.. Hehe.. Lagian kalau mati pun nantinya semua jadi mayat yang membusuk dalam tanah. Jadi apa yang membuat masing-masing kita bisa menilai diri lebih tinggi dari orang lain?
Jaman masih sekolah dulu saya mungkin tergolong mahluk ajaib. Teman saya bisa di hitung dengan jari. Sahabat? Wah, lebih sedikit lagi tuh.
“Kuper lu” mungkin itu kata anda.
“Asosial” ejek kepsek di sekolah tempat saya mengajar dulu.
Terserahlah apa kata orang. Saya tidak mau repot-repot membela diri atau berdebat kusir. Saya hanya jadi kepikiran soal teman dan sahabat gara-gara materi yang saya tulis di blog saya 2 hari lalu. Trus kepikiran buat mendedikasikan isi blog ini buat orang-orang yang pernah jadi teman dan sahabat saya.
Sebagai anak-anak dan kemudian remaja, saya berjalan di bawah bayang-bayang teman-teman sebaya yang ceritanya pada waktu itu meningkat dari status teman menjadi sahabat.
Virta - 1984 |
Lalu di kelas 1 dan 2 SMP datanglah Miranti. Sama-sama anak tunggal. Bedanya dia tunggal murni dari lahir sementara saya tunggal kepaksa karena satu persatu adik-adik saya di ambil Tuhan dalam usia balita.
Karena 10 tahun sempat merasakan punya adik membuat saya punya bawaan bisa mengalah. Tapi Miranti.. di pikir-pikir dulu kok saya bisa tahan betul menghadapi dia… hehe. Galaknya, kepala batunya… alamakjan! Mengingatkan saya pada seekor banteng. Saya betul-betul semakin menjadi bayangan di samping dia. Hehe.
Vera & Sari - 1986 |
Dilema itu diakhiri dengan lulusnya kami. Adios Miranti. Sayonara Vera. Tidak seorang pun dari mereka yang masuk ke SMA yang sama dengan saya. Sukur… (Hehe. Jahat betul ya saya). Sekolah baru. Lingkungan baru. Teman-teman baru. Seragam baru. Lembaran-lembaran baru tentunya dong.
Kelas 1 SMA sahabat-sahabat baik saya ada 2; Dewi dan Asih. Saya pikir dalam sejarah persahabatan saya di masa sekolah, mereka itulah yang paling normal. Dua-duanya sama-sama pintar tapi sangat bersahaja. Dewi bahkan aktif di kegiatan Paskibra sekolah kami. Sayangnya di kelas 2 kami harus berpisah kelas karena masing-masing masuk jurusan berbeda. Pada tahun 1988 itu pembagian kelas menurut jurusan A1 (Fisika), A2 (Biologi) dan A3 (Ekonomi/Sastra).
Jadi sejak kelas 2 SMA saya bertemu dengan Fina yang mungkin lebih tepat dijuluki Xena berhubung badannya tinggi (178 cm). Rada kebule-bulean hasil karya DNA kakek moyangnya yang asli Belanda.
Fina, 1988 |
Satu ciri khas dari mantan sahabat-sahabat saya itu adalah mereka berada 1000 langkah di depan saya. Semuanya lebih pintar dan lebih garang dari saya. Hehe.
Lalu di kampus saya bertemu dengan Santi. Agaknya umur bertambah membuat kepribadian dan kemampuan akademik saya menjadi lebih berkembang dan sudah mulai kokoh jadi sekali itu Santi yang mengintili saya. Hehe. Jadi bukan lagi seperti jaman SD, SMP dan SMA ketika saya berjalan di bawah bayang-bayang sahabat-sahabat saya, tenggelam di bawah kebesaran nama, prestasi atau kehebatan mereka.
Kemudian saya masuk dalam dunia kerja dan saya lebih banyak dikelilingi oleh orang-orang yang lebih tua. Saya mendapati bahwa berteman, bersahabat dan bekerja dengan orang-orang yang lebih tua ternyata menimbulkan rasa tentram, nyaman dan aman sehingga sampai sekarang pun saya lebih suka bekerja di antara atau dengan mereka yang umurnya lebih senior.
Tahun 2005 tiba-tiba saja terjadi perubahan pada alur perjalanan hidup saya. Bagaikan orang banting setir, tiba-tiba saja saya mendarat di dunia pendidikan. Tidak main-main. Dunia pendidikan Taman Kanak-Kanak.
Dari berteman dan bersahabat dengan orang-orang sebaya, meningkat dengan orang-orang yang lebih tua. Trus, dari tahun 2005 itu saya dikerubuti anak-anak dari umur 3 sampai 6 tahun. Waduh!
Tapi kalau ada persahabatan yang paling tulus, paling murni, paling indah, paling unik, paling sejati, maka saya dapat katakan bahwa itulah pertemanan dan persahabatan dengan nilai tertinggi yang bisa saya dapatkan di dunia ini.
Yang unik adalah pada kasus seorang murid saya, Niko. Saya kemudian bersahabat juga dengan Ogut, mamanya. Kemudian sejak Juli 2011, saya bersahabat juga dengan ibu Martha yang juga bekerja di gereja yang sama di mana saya bekerja dan Martha adalah neneknya Niko. Nah, jadi saya bersahabat mulai dari anaknya, emaknya sampai ke neneknya. Hehe.
6 tahun terbiasa dalam kemurnian dan ketulusan itu membuat saya lupa bagaimana rasanya hidup di dunia orang dewasa. Saya gamang, saya takut, saya sempat depresi ketika saya memulai kerja di dunia orang dewasa.
Dari sekian ratus orang yang berdatangan ke gereja ini atau beberapa yang keterlibatannya tidak terbatas hanya dengan datang setiap hari Minggu ternyata ada yang mampu masuk dan menempati tempat istimewa di hati saya. Mereka itulah yang saya anggap sebagai sahabat walaupun jelas jenis persahabatan kami berbeda dengan jaman sekolah dulu di mana harus selalu bersama-sama, sampai seperti tidak punya kepribadian lagi.
Kelebihannya menjadi orang dewasa adalah saya kini bisa mempunyai teman atau sahabat tanpa harus berjalan di bawah bayang-bayang mereka. Bahwa saya tetap bisa menjadi diri saya sendiri. Memiliki pemikiran, pilihan, kemauan dan keputusan sendiri. Bahkan juga kehidupan sendiri. Kemandirian yang masih absolut.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing tetaplah saya wajib berterimakasih pada mantan sahabat-sahabat saya dan juga teman-teman saya yang disadari atau tidak telah memberikan kontribusi dalam pembentukan diri saya saat ini.
Saya sudah kehilangan kontak dengan sebagian besar dari mereka. Sejujurnya saya tidak berminat untuk mencari mereka lagi karena belum tentu yang dulu cocok bisa cocok pula di masa sekarang.
Masing-masing kita tidak akan pernah kekurangan stok teman. Orang-orang lama boleh saja berlalu tapi yang baru akan selalu berdatangan. Jadi jangan terlalu menangisi yang terhilang di masa lalu karena yang ada di depan mata bisa jadi adalah berlian. Dari sekian banyak teman nantinya secara alami akan terseleksi siapa yang benar-benar sahabat.
___________________________________________________________
I wrote about friendship in my previous blog posting and eversince that the subject stays in my mind. Well, there are many friends and only few bestfriends.
We ought not be picky on making friends.
I make friends with everybody. From the upper class to the grass level. I don’t treat them differently.
My attitude is the same toward the haves and the less fortunate. It means I can be as same as nice or as nasty to them. ☻
It has never been skin deep judgement toward the blue blood or the commoner. After all everytime we fart it smells the same, right? Lol. Well, probably the blue blood’s fart smells like steak while the commoner smells like dead fish but what so different? It is all smell like shit, isn’t it? Besides, we all will end up rotten inside the grave so what gives each of us the right to feel higher than others?
Back to the school days I was a freak who had less friends and even lesser bestfriends.
“Totally freak” you would say.
“An anti social creature” mocked the headmaster of the school where I used to work.
What a heck. Why bother of what people say about me? I won’t waste my time to even explain or give excuses. The friendship topic has been on my mind eversince I wrote my last blog and I thought I would write this one dedicated to all the people who used to be my friends and BF in my past.
Evi - 1984 |
For 2 years in junior highschool my bestfriend was Miranti. We had one thing in common. We have no siblings. The difference is she has been born into that kind of situation while I was forced to be an only child after losing my 2 younger sisters.
Having the precious 10 years as the older sister making me less selfish. But not to Miranti. She reminded me to a bull. So strong willed and stubborn. I am amazed that I could stand to have her as a BF. I was really a shadow next to her.
We were put in different class in our senior year in junior highschool. So I met beautiful but less smart Vera. She was definitely gentlier in character in comparation with Miranti. The only stain about her is every man from our teacher to pedicab driver became flirtious to her and it didn’t upset her. She knew she was beautiful and she was flirty. Gosh. I couldn’t tell which one better; Miranti or Vera.
Highschool separated me from both of them. Adios Miranti. Sayonara Vera. They went to different schools to my relief. I was in new school. New environment. New uniform. New friends. New start.
Circled : Keke & Dewi, 1987 |
Dewi and Asih were my bestfriends in my first year in highschool. I consider them to be the normal people whom I made friends with. Both were smart, diligent and very much involved in school extracurricular activities. Unfortunately we had to enter different class in our second and third year because in 1988 it was divided in 3 types of class; one is called A1 or Chemistry class, the next is called A2 or Biology class and the last is called A3 or Economy / Literature class.
And it was how I met Vina or I should call her Xena because she was so tall and big for Asian as the result of her late Dutch grandfather’s DNA.
But it was her physical appearance that made her popular in school. She was asked to become member of this and that organization or committee in school. I felt like a frog near her. Just a sidekick.
So they were all had one in common; they seemed to have walked 1000 steps ahead of me. It looked like they were already made themselves somebody and outshoned me.
Santi, 1990 |
Off college and I found myself plunged into working people world where I was surrounded mostly by older people. I have ever since experience the benefit working with older people. They can give me the feelings of security. I feel comfortable and safe around them.
In 2005 I made a surprising turn in my career when I got a job as kindergarten teacher. My friends were little ones aged 3 to 6 years old. You could not imagine how it felt at first.
But it is the most sincere and wonderful friendship I have ever had!
With Nico's mom |
However, being kindergarten teacher for 6 years have made me forgot how it felt to work among adults. It is why I got off balanced, scared and even depressed in my first months working in this church.
But among the people who come or involve in church activities there are nice ones whom found their way to get special places in my heart.
The thing about being an adult is the ability to be on your own and no longer walk under other people’s shadow. You are entitled to have your own minds and can stand your ground.
But I need to appreciate all my former friends for being my friends and to be able to deal with me as they knew how I was in our time. They had their contribution of shaping me into a person I am today.
I have lost contact with most of them to which I honestly feel glad because I am not sure they could be fit to be my friends now. That was then, this is now.
No comments:
Post a Comment