Apa yang ada di dalam darahmu tidak akan bisa ditiadakan. Bisa diingkari. Tapi tidak bisa dihilangkan. Itulah jejak yang ditinggalkan oleh nenek moyang di dalam diri kita masing-masing.
Orang tua saya adalah perpaduan unik antara budaya barat dan timur. Ibu saya dibesarkan dalam budaya Belanda. Ayah saya dalam budaya Cina. Sehingga saya pun ikut dipengaruhi oleh dua budaya tersebut selain tentunya budaya dari negeri tercinta ini, Indonesia.
Pergaulan saya pun bercampur baur dengan orang-orang Indonesia dari berbagai ragam daerah, lalu orang-orang keturunan Cina dan orang-orang asing. Bersama-sama mereka meninggalkan jejak warisan budayanya masing-masing di dalam diri saya.
Hari Senin, 6 Februari 2012 saya berkesempatan untuk menonton arak-arakan perayaan Cap Go Meh yang diadakan di Jl. Sukasari Bogor. Itu adalah yang pertama kalinya bagi saya.
“Kakek buyut kamu datang dari daratan Cina” ayah saya yang biasanya super duper senewen kalau saya mengatakan akan bepergian ke tempat yang jauh atau yang mengharuskan saya pulang malam kali ini memberi dukungan walaupun sebetulnya saya sudah menyiapkan sejuta alasan untuk berjaga-jaga kalau senewennya kumat “Sudah waktunya kamu tahu budaya moyang kita”.
Jadi berangkatlah saya penuh semangat menuju gereja pusat kami yang memang berlokasi di jalan Siliwangi yang merupakan terusan dari jalan Sukasari. Di sana saya lebih aman dan nyaman menonton pawai Cap Go Meh.
Nangkringlah saya di pagar depan gereja sejak jam 6 sore. Bersiap dengan kamera digital yang selalu setia menemani setiap kali saya ingin memotret.
Tentunya ada harga yang harus di bayar. Saya harus berjalan kaki dari BTM hingga ke Siliwangi karena jalanan sudah di tutup waktu saya tiba pada jam empat sore. Lalu harus menabahkan diri berdiri berjam-jam. Untungnya gereja menyediakan makanan-minuman sehingga sebelumnya saya sudah mengisi perut sekenyang-kenyangnya dan lari ke wc untuk pipis supaya aktivitas memotret dan menonton perayaan Cap Go Meh tidak akan terganggu dengan urusan-urusan perut lapar, haus atau kebelet pipis.
Bahkan angin gunung yang lumayan dingin dan bertiup cukup kencang pun tidak bisa melunturkan semangat saya. Pawai kendaraan berhias, pertunjukan liong dan barongsai dengan arak-arakan penari, pembawa lampion, berikut suara musik brang bring brongnya, lalu entah apa lagi yang berseliweran di sepanjang jalan itu betul-betul menghangatkan malam.
Saya sangat menikmati malam itu. Bukan hanya karena saya mendapat objek untuk menjadi sasaran jepretan kamera saya tapi juga karena saya melihat warisan budaya yang ditinggalkan moyang saya di negeri ini.
Sementara berjalan menuju tempat parkir mobil milik suami koster gereja kami yang akan membawa kami pulang pada jam 11 malam itu, saya berpikir tentang warisan budaya ini. Merenungkan tentang bagaimana warisan itu melekat di hati dan hidup keturunan selanjutnya.
Adakah kita sendiri juga meninggalkan jejak-jejak di dalam kehidupan orang-orang di sekitar kita? Atau di tempat di mana kita berada?
Saya hanya ingin diri saya menjadi seperti lilin yang menyala terang di dalam kegelapan. Itulah jejak warisan yang ingin dapat saya tinggalkan dalam diri orang-orang di sekitar saya terutama murid-murid saya.
Something that will stay within you eternally is what your ancestor left you. It is in your blood. You can deny its presence but you can never remove it off yourself.
My parents were raised in two different cultures. My mother is very much under influence of the Dutch while my father, whose father is a Chinese, understandably raised in Chinese culture.
People jammed the street since 4 pm |
“Your great grandfather, my grandfather, came from China” my ever over protected father supported my wish to go there after work to see the parade though it means I would stay probably until nearly midnight “It’s time for you to get to know your root”.
So off I went with high excitement to my central church that located exactly in that street. I would be so much safe and comfortable watching the parade from there.
I chose a strategic spot up on the church gate since 6 pm. Ready with my digital camera. Waited there for more than an hour with other church congregation and church employees and the mass that crowding the street.
There was a price I must pay for this of course. I had to walk probably 2 kilometers to get to the church because the street has been closed since 3 pm. Then I had to stand infront of church gate for more than an hour before the parade started at 7 pm. So very glad that church served snacks. I have stuffed myself with the snacks and drink plus had also went to the loo so I knew I wouldn’t be bothered by empty stomach or nature’s call in long hours.
Even the freezing mountain wind didn’t bother me at all. The parade, the colourful costumes, the dancer, the lanterns, the noisy music have warmed up the night.
I really had a great time. Not only because I could take lots of photos but because I had a chance to see what my ancestor has left in this country in the term of its cultural heritance.
As we walked to the place where my church’s cleaning lady’s husband parked his car I thought of Chinese legacy that is very much alive and preserved in this country. Passing from one generation to the next one. Its marks are so visible.
Have we left our marks in the life of the people around us? Or in the place where we are living now?