Saya tidak menulis tentang bagaimana rasanya menjadi seorang LGBT karena saya bukan satu dari mereka.
Ini juga bukan cerita tentang seorang LGBT karena saya tidak pernah punya hubungan dalam bentuk apa pun dengan mereka.
This is not a story about an LGBT either because I have never had any kind of relationship with them.
Kontak saya dengan mereka hanya sebatas sebagai penonton dari kejauhan.
My only contact with them is just as a spectactor from a far.
Saya punya beberapa teman lelaki yang gayanya.. mm.. agak 'melambai' tapi apa itu berarti mereka homo? Wah, ga tahu deh..
I have few male friends who are.. umm.. a bit 'girly' but it that means they are gay? Dunno..
Jadi saya cuma orang awam seperti kebanyakan orang lainnya.
So I am just a regular person just like most others.
Menulis tentang apa yang saya ketahui.
Writing about the things I know.
"Di negeri ini orang tidak bisa menjadi dirinya sendiri"
"One can't be oneself in this country"
Andre menatap saya setelah membaca draft postingan ini.
Andre stared at me after he read the draft of this post.
Saya sedang berhenti sebentar, berpikir-pikir tentang apa lagi yang harus saya tulis..
I was taking a break, thinking what I should write next..
Dan dia datang, membaca draft itu lalu memberikan komentar.
And he came, read the draft and commented it.
"Negeri ini tidak memberikan kebebasan pada orang-orangnya untuk menjadi diri mereka sendiri" dia melanjutkan "Agama dan adat timur memang baik tapi juga punya kelemahan, yaitu menjadi pembenaran sepihak dan juga pelanggaran hak asasi"
"This country gives no freedom to people to be themselves" he went on "Religion and eastern culture are good but they have weakness points such as they become one side justification and human rights violation as well"
Ya, dia benar.
Yes, he is right.
Saya memikirkan tentang komentar Andre. Di negeri ini kaum LGBT cenderung menyembunyikan diri mereka karena berbagai alasan tapi yang utama adalah karena takut dan malu. Masyarakat menolak mereka. Agama, yang mengajarkan kasih, mengecam mereka.
I thought about Andre's comment. In this country LGBT people tend to hide themselves for various reasons, most common are fear and shame. Society rejects them. Religion, which teach about love, condemn them.
Akibatnya mereka hidup di dua dunia, memakai dua identitas. Di satu sisi menampilkan diri normal sementara sisi yang lain adalah diri mereka sendiri, jauh tersembunyi dari mata kita.
It makes them living in two worlds, putting on two identities. In one side they appear as normal people while in other side is their true self, which hidden from our eyes.
Mereka membangun dunianya sendiri dimana mereka bisa tampil sebagai diri mereka sendiri. Dunia dimana mereka tidak akan dikecam, dihina dan diolok-olok.
They build their own world where they can appear as themselves. A world where they are not condemned, humiliated and mocked.
Salahkah mereka berbuat begitu?
Is it wrong for them to do that?
Tidak.
No.
Bukan rahasia lagi kalau manusia itu kejam terhadap sesamanya.
It is no secret that human is mean toward one another.
Jadi kalau kaum LGBT memisahkan diri dari kita, kita yang mendorong mereka untuk melakukan hal itu, kita menciptakan jurang pemisah antara mereka dengan kita.
So if LGBT people separate themselves with us, we push them to do that, we create a gap that separates them with us.
Jurang apakah yang memisahkan mereka dengan kita?
What gap separates them with us?
Superioritas
Superiority
Beberapa waktu lalu seorang teman facebook menuliskan status-status yang mengecam kaum LGBT.
Not so long ago a facebook friend wrote statuses condemning LGBT.
Awalnya saya tidak peduli karena saya toh tidak ada urusan dengan kaum LGBT.
At first I didn't care because I have nothing to do with LGBT people.
Tapi lama-lama gerah juga saya.
Eventually it bothered me.
"Ya, dia bisa mengecam LGBT karena dia bukan LGBT" pikir saya "Tapi coba kalau dia LGBT atau anaknya yang LGBT?.. Ha! Pasti bakal jadi lain ceritanya"
"Yeah, he can condemn LGBT because he is not one of them" I thought "How if he were or his child were an LGBT? Ha! That would make a different story"
Dalam kitab suci agama mana pun memang disebutkan LGBT tidak akan masuk surga tapi coba pikir begini, apa ada yang mau terlahir sebagai LBGT? Adakah seorang dari manusia yang sebelum lahir datang menemui Tuhan dan berkata "Tuhan, biarlah aku terlahir sebagai seorang LGBT"
Every religion's scripture mention LGBT have no place in heaven but think this, would anyone want to be born as LGBT? Is there any human before he/she was born, came to God and said "God, let me born as an LGBT"
Jadi adalah anugrah kalau kita terlahir bukan sebagai LGBT. Itu bukan sesuatu yang harus bikin kita merasa lebih tinggi, lebih mulia, lebih terhormat atau lebih benar dari mereka lalu kita bisa dengan leluasa menertawai, mengolok-olok, menghina dan mengecam mereka.
So it is a blessing if we are born not as an LGBT. It is not something that should make us feel higher, honorable, respectable or righteous than them that we can freely laugh, mock, degrade and condemn them.
Apa lagi yang memisahkan mereka dari kita?
What else separates them with us?
Takut
Fear
Siang itu entah bagaimana obrolan saya dan Vincent sampai ke cerita pengalaman kami masing-masing ketika tidak sengaja bertemu dengan LGBT.
My conversation with Vincent that afternoon has somehow shifted to our personal experience upon accidently met an LGBT.
Berceritalah Vincent ketika dia bertemu dengan seorang waria.
Vincent told his story when he met a transsexual.
Malam itu dia dan beberapa teman sedang dalam perjalanan pulang ketika mereka melihat seorang waria.
That night he and few of his friends were on their way home when they saw a transsexual.
"Beneran, kita ga ngapa-ngapain. Cuma ngeliatin aja soalnya keliatannya aneh banget. Dandanan dan bajunya perempuan tapi badannya segede badan kuli bangunan. Trus bulu kakinya itu lho.."
"I swear, we did nothing. We just stared at him because there was something about him that didn't feel right. I mean, the makeup and dress were all girly but the body is as big as a muscular construction worker. Not to mention the hair on his feet"
Saya tidak bisa menahan tawa karena dia punya cara bercerita yang membuat pendengarnya merasa seakan ikut hadir, ikut melihat dan ikut merasakan peristiwa itu.
I couldn't help myself not to laugh because he has a way of telling story that makes anyone who listens to it feels as if they were there, they saw and involved in whatever thing happened in the story.
"Rupanya dia berasa diliatin. Tiba-tiba dia nengok dan teriak 'hei!'.. trus langsung lari ngejar kita"
"Obviously he felt he was being stared at. He turned his head and yelled 'hey!'.. the next thing we knew is he was running toward us"
"Trus gimana?" tanya saya penasaran.
"What happened then?" I got curious.
"Ya, kaburlah kita semua" jawabnya dengan muka serius.
"All of us ran like hell" he answered with serious face.
Saya ngakak sampai sakit perut. Tidak bisa saya bayangkan Vincent yang badannya tinggi, besar dan kekar itu, yang beberapa waktu sebelumnya adu jotos dengan preman yang mau mencopet tasnya, yang hobinya memelihara ular, yang pernah digigit ular kobra dan binatang-binatang reptil lainnya.. bisa lari tunggang langgang dikejar seorang waria.
I laughed so hard it hurt my stomach. I just can't imagine how Vincent whose tall, big and muscular, who once had a real fight with a punk who wanted to steal his bag, whose hobby is collecting reptile, who was bitten by cobra and other reptiles.. made one hell of a run after a transsexual chased him.
"Kan kalian berlima" susah payah saya berusaha berhenti tertawa "Warianya cuma sendiri"
"There were five of you, all male" I hardly stopped laughing "Against one transsexual"
"Ga sempet mikir lagi sakit takutnya" jawab Vincent masih dengan muka serius.
"None of us thought that. We were too frightened" said Vincent still looked serious.
Saya kembali tertawa.
It just gave me another laugh.
Tapi kemudian saya berpikir. Kaum LGBT dan kita terpisah adalah karena takut. Mereka takut pada kita dan kita juga takut pada mereka.
But it got me thinking. LGBT and us are separating each other out of fear. They fear us and we fear them.
Mereka takut dianggap berbeda, takut menghadapi kecaman, olok-olok dan penghinaan kita sementara kita takut pada segala sesuatu yang berbeda dan mereka berbeda dari kita.
They are afraid to be seen different, scared to face our condemnation, mockery and humiliation while we are afraid of anything that is different and they are different than us.
Pemisahan berikutnya..
Next gap..
Daerah yang asing
Foreign area
Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak memiliki kontak dengan kaum LGBT.
I am one of many who have no contact with LGBT people.
Jadi dari mana saya bisa tahu diri mereka sebagai manusia?
So how can I know them as human being?
Bagaimana saya bisa tahu apa yang ada dalam pikiran dan perasaan mereka?
How can I tell what is in their mind and heart?
Beberapa waktu lalu saya menonton film berjudul "About Ray"
Some time ago I watched a movie "About Ray"
Ray adalah Ramona.
Ray is Ramona.
Dia lebih dari sekedar perempuan tomboy. Dia memutuskan untuk menjalani operasi ganti kelamin untuk menjadi seorang laki-laki.
She is not just a tomboy. She has decided to have a transgender surgery to become a male.
Konflik pun dimulai.
It created a conflict.
Ray terhitung beruntung tidak dibuang oleh keluarganya tapi berapa banyak LGBT yang tidak diakui lagi oleh keluarganya?
Ray is quite lucky her family does not dump her but how many LGBT are no longer considered a family member by their family?
Kita membiarkan ego, ketakutan dan banyak hal lainnya untuk memisahkan diri kita dengan manusia lain.
We allow ego, fear and many other things to separate us with other human being.
Kita menaburkan benih curiga dan kebencian.
We sow suspicion and hatred seeds.
Ketika seharusnya kita menabur benih kasih.
When we should sow love seed.
Kita belajar untuk menolak ketika seharusnya kita saling menerima.
We learn to reject when we should accepting one another.
I am not writing
about how it feels to be an LBGT as I am not one of them.
Ini juga bukan cerita tentang seorang LGBT karena saya tidak pernah punya hubungan dalam bentuk apa pun dengan mereka.
This is not a story about an LGBT either because I have never had any kind of relationship with them.
Kontak saya dengan mereka hanya sebatas sebagai penonton dari kejauhan.
My only contact with them is just as a spectactor from a far.
Saya punya beberapa teman lelaki yang gayanya.. mm.. agak 'melambai' tapi apa itu berarti mereka homo? Wah, ga tahu deh..
I have few male friends who are.. umm.. a bit 'girly' but it that means they are gay? Dunno..
Jadi saya cuma orang awam seperti kebanyakan orang lainnya.
So I am just a regular person just like most others.
Menulis tentang apa yang saya ketahui.
Writing about the things I know.
* * * * *
"Di negeri ini orang tidak bisa menjadi dirinya sendiri"
"One can't be oneself in this country"
Andre menatap saya setelah membaca draft postingan ini.
Andre stared at me after he read the draft of this post.
Saya sedang berhenti sebentar, berpikir-pikir tentang apa lagi yang harus saya tulis..
I was taking a break, thinking what I should write next..
Dan dia datang, membaca draft itu lalu memberikan komentar.
And he came, read the draft and commented it.
"Negeri ini tidak memberikan kebebasan pada orang-orangnya untuk menjadi diri mereka sendiri" dia melanjutkan "Agama dan adat timur memang baik tapi juga punya kelemahan, yaitu menjadi pembenaran sepihak dan juga pelanggaran hak asasi"
"This country gives no freedom to people to be themselves" he went on "Religion and eastern culture are good but they have weakness points such as they become one side justification and human rights violation as well"
Ya, dia benar.
Yes, he is right.
* * * * *
Saya memikirkan tentang komentar Andre. Di negeri ini kaum LGBT cenderung menyembunyikan diri mereka karena berbagai alasan tapi yang utama adalah karena takut dan malu. Masyarakat menolak mereka. Agama, yang mengajarkan kasih, mengecam mereka.
I thought about Andre's comment. In this country LGBT people tend to hide themselves for various reasons, most common are fear and shame. Society rejects them. Religion, which teach about love, condemn them.
Akibatnya mereka hidup di dua dunia, memakai dua identitas. Di satu sisi menampilkan diri normal sementara sisi yang lain adalah diri mereka sendiri, jauh tersembunyi dari mata kita.
It makes them living in two worlds, putting on two identities. In one side they appear as normal people while in other side is their true self, which hidden from our eyes.
Mereka membangun dunianya sendiri dimana mereka bisa tampil sebagai diri mereka sendiri. Dunia dimana mereka tidak akan dikecam, dihina dan diolok-olok.
They build their own world where they can appear as themselves. A world where they are not condemned, humiliated and mocked.
Salahkah mereka berbuat begitu?
Is it wrong for them to do that?
Tidak.
No.
Bukan rahasia lagi kalau manusia itu kejam terhadap sesamanya.
It is no secret that human is mean toward one another.
Jadi kalau kaum LGBT memisahkan diri dari kita, kita yang mendorong mereka untuk melakukan hal itu, kita menciptakan jurang pemisah antara mereka dengan kita.
So if LGBT people separate themselves with us, we push them to do that, we create a gap that separates them with us.
* * * * *
Jurang apakah yang memisahkan mereka dengan kita?
What gap separates them with us?
Superioritas
Superiority
Beberapa waktu lalu seorang teman facebook menuliskan status-status yang mengecam kaum LGBT.
Not so long ago a facebook friend wrote statuses condemning LGBT.
Awalnya saya tidak peduli karena saya toh tidak ada urusan dengan kaum LGBT.
At first I didn't care because I have nothing to do with LGBT people.
Tapi lama-lama gerah juga saya.
Eventually it bothered me.
"Ya, dia bisa mengecam LGBT karena dia bukan LGBT" pikir saya "Tapi coba kalau dia LGBT atau anaknya yang LGBT?.. Ha! Pasti bakal jadi lain ceritanya"
http://blog.nohatespeechmovement.org |
"Yeah, he can condemn LGBT because he is not one of them" I thought "How if he were or his child were an LGBT? Ha! That would make a different story"
Dalam kitab suci agama mana pun memang disebutkan LGBT tidak akan masuk surga tapi coba pikir begini, apa ada yang mau terlahir sebagai LBGT? Adakah seorang dari manusia yang sebelum lahir datang menemui Tuhan dan berkata "Tuhan, biarlah aku terlahir sebagai seorang LGBT"
Every religion's scripture mention LGBT have no place in heaven but think this, would anyone want to be born as LGBT? Is there any human before he/she was born, came to God and said "God, let me born as an LGBT"
Jadi adalah anugrah kalau kita terlahir bukan sebagai LGBT. Itu bukan sesuatu yang harus bikin kita merasa lebih tinggi, lebih mulia, lebih terhormat atau lebih benar dari mereka lalu kita bisa dengan leluasa menertawai, mengolok-olok, menghina dan mengecam mereka.
So it is a blessing if we are born not as an LGBT. It is not something that should make us feel higher, honorable, respectable or righteous than them that we can freely laugh, mock, degrade and condemn them.
* * * * *
Apa lagi yang memisahkan mereka dari kita?
What else separates them with us?
Takut
Fear
Siang itu entah bagaimana obrolan saya dan Vincent sampai ke cerita pengalaman kami masing-masing ketika tidak sengaja bertemu dengan LGBT.
My conversation with Vincent that afternoon has somehow shifted to our personal experience upon accidently met an LGBT.
Berceritalah Vincent ketika dia bertemu dengan seorang waria.
Vincent told his story when he met a transsexual.
Malam itu dia dan beberapa teman sedang dalam perjalanan pulang ketika mereka melihat seorang waria.
That night he and few of his friends were on their way home when they saw a transsexual.
"Beneran, kita ga ngapa-ngapain. Cuma ngeliatin aja soalnya keliatannya aneh banget. Dandanan dan bajunya perempuan tapi badannya segede badan kuli bangunan. Trus bulu kakinya itu lho.."
"I swear, we did nothing. We just stared at him because there was something about him that didn't feel right. I mean, the makeup and dress were all girly but the body is as big as a muscular construction worker. Not to mention the hair on his feet"
Saya tidak bisa menahan tawa karena dia punya cara bercerita yang membuat pendengarnya merasa seakan ikut hadir, ikut melihat dan ikut merasakan peristiwa itu.
I couldn't help myself not to laugh because he has a way of telling story that makes anyone who listens to it feels as if they were there, they saw and involved in whatever thing happened in the story.
"Rupanya dia berasa diliatin. Tiba-tiba dia nengok dan teriak 'hei!'.. trus langsung lari ngejar kita"
"Obviously he felt he was being stared at. He turned his head and yelled 'hey!'.. the next thing we knew is he was running toward us"
"Trus gimana?" tanya saya penasaran.
"What happened then?" I got curious.
"Ya, kaburlah kita semua" jawabnya dengan muka serius.
"All of us ran like hell" he answered with serious face.
Saya ngakak sampai sakit perut. Tidak bisa saya bayangkan Vincent yang badannya tinggi, besar dan kekar itu, yang beberapa waktu sebelumnya adu jotos dengan preman yang mau mencopet tasnya, yang hobinya memelihara ular, yang pernah digigit ular kobra dan binatang-binatang reptil lainnya.. bisa lari tunggang langgang dikejar seorang waria.
I laughed so hard it hurt my stomach. I just can't imagine how Vincent whose tall, big and muscular, who once had a real fight with a punk who wanted to steal his bag, whose hobby is collecting reptile, who was bitten by cobra and other reptiles.. made one hell of a run after a transsexual chased him.
"Kan kalian berlima" susah payah saya berusaha berhenti tertawa "Warianya cuma sendiri"
"There were five of you, all male" I hardly stopped laughing "Against one transsexual"
"Ga sempet mikir lagi sakit takutnya" jawab Vincent masih dengan muka serius.
"None of us thought that. We were too frightened" said Vincent still looked serious.
Saya kembali tertawa.
It just gave me another laugh.
Tapi kemudian saya berpikir. Kaum LGBT dan kita terpisah adalah karena takut. Mereka takut pada kita dan kita juga takut pada mereka.
But it got me thinking. LGBT and us are separating each other out of fear. They fear us and we fear them.
Mereka takut dianggap berbeda, takut menghadapi kecaman, olok-olok dan penghinaan kita sementara kita takut pada segala sesuatu yang berbeda dan mereka berbeda dari kita.
They are afraid to be seen different, scared to face our condemnation, mockery and humiliation while we are afraid of anything that is different and they are different than us.
* * * * *
Pemisahan berikutnya..
Next gap..
Daerah yang asing
Foreign area
Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak memiliki kontak dengan kaum LGBT.
I am one of many who have no contact with LGBT people.
Jadi dari mana saya bisa tahu diri mereka sebagai manusia?
So how can I know them as human being?
Bagaimana saya bisa tahu apa yang ada dalam pikiran dan perasaan mereka?
How can I tell what is in their mind and heart?
Beberapa waktu lalu saya menonton film berjudul "About Ray"
Some time ago I watched a movie "About Ray"
Ray adalah Ramona.
Ray is Ramona.
Dia lebih dari sekedar perempuan tomboy. Dia memutuskan untuk menjalani operasi ganti kelamin untuk menjadi seorang laki-laki.
She is not just a tomboy. She has decided to have a transgender surgery to become a male.
Konflik pun dimulai.
It created a conflict.
Ray terhitung beruntung tidak dibuang oleh keluarganya tapi berapa banyak LGBT yang tidak diakui lagi oleh keluarganya?
Ray is quite lucky her family does not dump her but how many LGBT are no longer considered a family member by their family?
* * * * *
Kita membiarkan ego, ketakutan dan banyak hal lainnya untuk memisahkan diri kita dengan manusia lain.
We allow ego, fear and many other things to separate us with other human being.
Kita menaburkan benih curiga dan kebencian.
We sow suspicion and hatred seeds.
Ketika seharusnya kita menabur benih kasih.
When we should sow love seed.
Kita belajar untuk menolak ketika seharusnya kita saling menerima.
We learn to reject when we should accepting one another.
No comments:
Post a Comment