Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, January 26, 2012

Les (Bagian Kedua) / Tutoring (Part Two)

Tepok-tepok jidat / Scratching Forehead

“Bu Keke, makasih ya sudah ngajarin Dite. Nilai bahasa Inggrisnya 96 di raport”

Wow. Luar biasa. Saya juga tidak menduga kemajuan murid les saya yang satu ini akan demikian pesat. Sebelumnya nilai ulangan hariannya berkisar antara 5 sampai 6. Nilai-nilai itu meningkat setelah dileskan kepada saya hingga akhirnya rata-rata menjadi 9.

Bangga. Lega. Gembira. Jauh melebihi dari nilai materi yang saya dapatkan dari pekerjaan mengajar. Ini sisi yang menyenangkan sebagai guru. Membuat saya mencintainya.

Tapi di sisi lain ada juga hal-hal yang membuat saya menepok-nepok jidat, menggaruk-garuk kepala sampai mengelus dada menghadapi anak-anak didik saya. Yang saya ceritakan di sini adalah sebagian tentang ulah anak-anak les saya.

Karir saya sebagai guru sebetulnya bermula dari mengajar les. Justru dari situlah saya berkeinginan untuk menjadi guru. Lucunya setelah 6 tahun bekerja sebagai guru beneran di sebuah TK, saya berhenti tapi tetap mengajar les.

Usia murid saya berkisar antara 5 sampai 15 tahun. Semakin besar tentu makin enak karena nalar mereka sudah jalan. Tapi bukan berarti yang kecil-kecil itu menyulitkan. Semakin muda usianya justru rasanya semakin menarik karena mereka masih lugu & sekali hati mereka sudah terpaut pada gurunya, semakin mudah bagi mereka untuk menerima ajaran atau bentukan yang diberikan oleh sang guru tersebut.

Tapi yang kecil-kecil ini juga yang sering membuat saya tertawa geli atau sebaliknya sampai tepok-tepok jidat, garuk-garuk kepala & elus-elus dada saking gemas, heran atau kesal menghadapi berbagai ulah atau kendala dalam belajar mereka.

Ada anak les yang memperlakukan les seperti pergi ke dokter. Dalam artian dia mulai rajin datang kalau nilainya mulai jeblok, kalau mau ada ulangan atau kalau ada PR.


Padahal yang namanya belajar harusnya tidak bersifat ‘musiman’. Seorang yang berhasil adalah seorang yang tekun. Tidak hanya pintar. Perlu lebih dari sekedar bakat. Ketekunan membawa keberhasilan.

Anak les lain memandang les seperti pergi ke tukang jagal. Anak ini butuh pelajaran tambahan tapi repotnya dia tidak ingin belajar. Anak model begini membutuhkan lebih dari sekedar guru les. Dia membutuhkan guru yang bisa merangkap sebagai psikolog. Menghadapi murid seperti ini adalah tantangan tapi sejujurnya juga melelahkan secara emosional. Saya jarang menyerah dan saya bersyukur saya tidak sering-sering menyerah saat harus menangani murid les model begini. Tapi kalau boleh memilih, saya lebih suka tidak harus menemui anak didik seperti ini.

Tipe berikutnya yang bisa membuat saya tepok-tepok jidat, garuk-garuk kepala dan elus-elus dada adalah yang berpikir bisa bertindak seenaknya saat les sedang berlangsung. Kasus-kasus seperti ini biasanya terjadi bila saya mengajar di rumah anak ybs. Tapi pernah juga ada yang bertingkah di tempat les umum (bukan dirumahnya atau di rumah saya) karena tempat les itu adalah milik orangtuanya.

Pada waktu itu saya tidak peduli apakah tempat les itu milik nenek moyangnya atau bukan ataukah saya akan di pecat sebagai guru les di tempat itu pada waktu saya bersikukuh mempertahankan aturan main yang berlaku di dalam kelas yang sedang saya ajar. Untunglah emak dari anak itu berpihak kepada saya. 

Anak lain berpikir dia bisa datang kapan saja yang dia mau sekalipun dari awal sudah sama-sama sepakat tentang jam lesnya. Ini merepotkan kalau tempat lesnya tidak menyediakan ruang terpisah untuk yang sedang menunggu dengan yang sedang belajar. Sedangkan konsentrasi anak usia TK dan SD masih mudah sekali untuk teralih. Kalau sudah begini guru harus bisa mengendalikan sikon dalam kelasnya dan juga sikon di luar kelas. Bukan perkara mudah, bro. Tidak jarang nada suara saya bisa naik sampai 2 oktaf jadinya. Hehe.

Apakah semuanya ini membuat saya kapok bekerja sebagai guru? Tidak. Dengan mengajar, bersama-sama dengan anak-anak itu, mengikuti perkembangan mereka… semuanya itu membuat saya merasa hidup saya berarti.

Sekarang ini mengajar memang bukanlah pekerjaan utama saya sejak saya berhenti bekerja sebagai guru TK karena sejak bulan Juli 2011saya bekerja sebagai tenaga tata usaha di gereja saya. Tapi hati dan jiwa saya sepenuhnya ada pada bidang pendidikan.
___________________________________________________________

“Thank you for tutor English to my son. He gets 96 grade on his raport book” said Dite’s mother to me.

It was a surprise to me as well because his average English grades were 50 to 60 before he took my tutoring. 

Glad. Proud. Happy. That is how I feel. Nothing can be compared to those feelings. There are lots of immaterial values and pride in teaching. It is exactly what makes me love teaching.

But in other side there are things about teaching that can make me patted my forehead, scratch my head and sigh a deep breathe. These are the things in my experience in tutoring which have made me left in puzzleness or despair.

My teaching career has actually started from tutoring. Funny thing is I resigned from the kindergarten where I worked for six years as a teacher but I still do tutoring.

The age of my students range from 5 to 15 years old. I enjoy teaching the older kids because it is easier to reason with them but I still take pleasure on teaching the youngsters though they bring more challenges but their innocence makes them easy to absorb the things given to them from me as their teacher. Especially if they are look up to me.

But the it is also the young ones who oftenly make me laugh or left in puzzleness or despair when faced with their colorful behavior or learning obstacle.

There is a kid who sees tutoring like going to a doctor. It means he comes to his tutoring when he flunks his grades, when he has homework or is going to have a test in school.

The facts shows that it takes more than a genius brain or talents to get success. It takes lots of persistence, practice, hardwork and commitment.

Another kid sees tutoring like going to the butcher to be slaughtered. Kids like these need help with their academical problems. The problem is they don’t like the learning part. They don’t see why they should study. They need a teacher or a tutor who can act as a psychologist as well. I welcome the challenges but the truth is it puts me in emotional ride when I deal with them. I rarely give up on my students and I am glad I don’t have many students with special needs but if I had the freedom to choose, I definitely wouldn’t choose to deal with them.

The next type that can make me patted my forehead in frustration is the kids who think they can do whatever they want during the tutoring. This happens when the tutoring takes place at that kid’s house or once it was at a tutoring place which happens to be owned by the kid’s parents.

At that time I really didn’t care if the place owned by the kid’s forefathers or it might caused me loosing my job as tutor there when I refused to accept such a misbehavior the kid shown me. Glad to know that the kid’s mother stood on my side.

Some kids in the meantime think that they can come anytime they want though their tutoring hour has been set up. This makes them have to wait in the same room where another tutoring is being held because not every house has a separate room that can be used as a place to hold the tutoring. Not an easy thing to maintain order in the kids I am tutored and the other kids who come too early of their tutoring hour. It could make me raised my voice 2 pitched high.

So would it all make me given up teaching? Never. Teaching and being with kids make me find the purpose of my life.

Teaching is not my primary job since I resigned from the kindergarten to work in my church in July 2011 but in my heart and my soul I know I never really leave it.

Les (Bagian Pertama) / Tutoring (Part One)

Ogah ah atau Ayuk ah? / Torture or Fun?

Kalau ada angket yang menanyakan siapa yang tidak pernah mengikuti pelajaran tambahan di dalam atau di luar sekolah maka saya kira 95% responden akan menjawab pernah.

Itu bagian dari masa sekolah. Bahkan mungkin sepanjang masa sekolah seorang anak  tidak pernah terlepas dari pelajaran tambahan. Dari TK sampai lulus SMA atau malah mungkin sampai menjadi sarjana pun, yang namanya remedial, les atau bimbel membuntuti pelajar-pelajar yang ada di seluruh dunia.

Saya mengalaminya. Les matematika dan kemudian fisika. Tidak banyak dibandingkan oleh anak-anak tertentu yang masih harus menambahinya dengan les bahasa Inggris, les membaca atau nyaris keseluruhan matapelajaran di sekolah dalam satu paket bimbel.

Biar pun tidak banyak tapi saya tidak pernah menyukainya. Jauh dari menikmatinya. Saya baru bisa menghela napas lega setelah saya lulus SMA. Terbebaslah saya dari seragam dan juga dari pelajaran tertentu yang membuat (baca : memaksa) saya harus mengikuti pelajaran tambahan alias les.

Siapa kira sekian belas tahun kemudian saya yang menjadi guru les!. Kebayang tidak sih kalau karier saya sebagai guru di mulai sebagai guru les di tahun 2005. Tapi justru dari situ itulah saya menyadari kalau saya memiliki bakat dan minat dalam bidang pendidikan.

Apa kata guru-guru les saya ya? Hehe.

Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan anak-anak les saya kalau mereka datang dengan bahasa tubuh yang menyiratkan ‘menyeret kaki’ atau dengan muka cemberut, sikap ogah-ogahan atau lebih tertarik untuk memperhatikan segala hal yang ada di dalam ruangan kecuali pada pelajaran yang di-les-kan.

Sekian belas tahun yang lalu saya juga seperti itu.

Les adalah kewajiban. Kebutuhan tapi juga siksaan.

Mengingat sebagian besar pelajar memandang les seperti itu membuat saya sejak awal ingin membuat les yang saya berikan berbeda. Biarpun judulnya masih belajar tapi suasananya saya buat sesantai mungkin.

Les yang mengambil tempat di rumah saya lebih membebaskan saya untuk bisa mengatur kondisinya tidak formal. Nyaris sangat santai.

Kami belajar di ruang tamu sambil duduk di lantai beralas dudukan sofa.

Nah, tidak jarang anak les saya ada yang berbaring di atas dudukan sofa itu pada saat sedang mencari jawaban soal atau saat saya sedang menulis soal di bukunya atau sekedar untuk meluruskan punggung yang terasa pegal.

Marahkah saya dengan sikap seperti itu? Tidak. Tapi tidak berarti saya menjadi serba longgar. Mereka boleh berbaring sejenak saja. Jangan kelamaan dong. Nanti keterusan jadi tidur. Hehe.

Sambil belajar pun kami bisa menyelinginya dengan mengobrol, bernyanyi dan juga bercanda.

Saya mendorong mereka untuk membuat apa yang saya juluki ‘Jembatan Keledai’ untuk membantu mengingat pelajaran. Jadilah kami menciptakan singkatan aneh-aneh untuk mengingat kata-kata dalam bahasa inggris atau untuk mengingat rumus-rumus. Misalnya saja untuk kata Three (tiga) terciptalah singkatan T(Turun), H (Hujan), REE (hoREE).

Oh belum lagi dengan kehadiran si doggie yang hilir mudik di dalam ruangan. Mengendas-endus sana sini. Kadang dia menyundul punggung saya kalau melihat saya tidak memperhatikannya. Di saat lain dia duduk di sisi seorang anak les seperti pengawas yang mengawasi anak-anak itu belajar. Bukan pemandangan aneh kalau melihat saya atau seorang anak les memeluk anjing lucu ini di tengah-tengah acara les. Malah seorang anak les saya pernah sebelah tangannya menulis, sebelah tangan lagi mengelus-elus doggie.

Santai tapi serius. Yang penting semua enjoy. 

Berhasilkah metode les seperti ini?. Ya. Anak-anak itu betah. Senang untuk datang. Dan satu jam lewat tanpa menjadi siksaan bagi yang mengajar dan bagi yang belajar.

Lalu bagaimana hasil dari les itu kepada nilai-nilai mereka di sekolah? Saya tidak mau sesumbar. Yang saya katakan adalah bahwa terjadi kemajuan pada kemampuan akademis mereka untuk pelajaran les yang saya berikan.

Dan kemajuan itu sangat nyata.

Sudah banyak anak yang awalnya datang dengan kemampuan membaca yang sangat memprihatinkan atau nilai pelajaran bahasa Inggris di sekolahnya jeblok mengalami kemajuan dalam waktu 1-2 bulan saja.

Ini bukan promosi. Ini testimoni bahwa kita bisa membuat sikon dan cara mengajar sedemikian rupa sehingga proses belajar menjadi sesuatu yang tidak menyiksa bagi si guru dan si murid. Dan segala sesuatu yang kita kerjakan dengan hati yang gembira tentu akan membawa hasil lebih baik.

Saya sendiri bersyukur bahwa Tuhan memberikan kepada saya bakat dan kemampuan untuk mengajar. Mungkin saja metode mengajar saya di mata orang tampak menabrak norma-norma tertentu tapi hasilnya memberikan keberhasilan.

Tentu saja ada saat-saat di mana saya pun pernah merasa putus asa menghadapi anak didik saya. Bingung dan tidak sabar. Itu sebabnya saya tidak pernah lepas dari doa. Saya tidak berani mengandalkan kemampuan diri sendiri.

Ketika anak-anak itu mengalami kemajuan, saya merasa tidak ada satu hal apa pun yang ada di dunia ini yang bisa menyaingi rasa gembira, bersyukur dan bangga saya pada mereka.

Saya sendiri tidak pernah mengalami kemajuan menonjol dalam matematika bahkan juga setelah saya rajin mengikuti les. Yah, saya harap mantan guru-guru les matematika saya tidak mengurut dada karenanya. Hehe.

Dan mudah-mudahan mereka bisa tetap gembira, bersyukur serta bangga sekalipun dari dulu sampai sekarang saya masih amburadul kalau berhadapan dengan soal-soal berhitung. Hehe.
______________________________________________________________



If there was a questioner about tutoring I believe 95% of the respondent would answer that once in their lifetime they had the experience of taking tutoring.

Or probably it has been going on since the day they enter elementary school to the day they graduate from college or university. Maybe it has even started from kindergarten.

Students worldwide have to endure it. So was I. Never liked it. Far from enjoying it. I sighed my relief when I graduated highschool. No more uniforms. Goodbye to tutoring.

So who would have the idea that nearly two decades later I had an odd start in teaching by becoming a tutor in 2005? But from there I discovered that I have the talent and interest in teaching.

I wonder what my ex-tutors would say about this..

I can’t blame my students when I see them come for their tutoring with that agony look on their faces or their body language show as if they have to drag themselves to come or if they give attention to everything in the room except their lesson.

I was one of them many years ago…

Tutoring is compulsory. A need that tortures.

Knowing that it is how most students perceive tutoring makes me decide to put it in a different wrap. It should be interesting though the main thing is about learning.

The tutoring held at my house is so informal that it relaxes everyone. We sit on the sofa cushion that we put on the floor. Sometimes a kid would lie down on that cushion when he / she was trying to figure out the answer for the quizs I gave him / her. Or when I was writing questions on their books. Or simply just to relaxed the stiff back.

Would that upset me? Certainly not. But it doesn’t mean I’d become permissive either. They are allowed to lie down for a minute or two. Or otherwise they might have fallen asleep, right? Lol.

It is not a rare view to see us chat, joke or sing. 

I also encourage them to create what I dubbed ‘mnemonics’, a way to make memorizing task easy by creating funny or weird hints.

Oh, not to mention my dog wandering around the room. Sniffing around. Sometimes it sits at the head of the table, staring at the kids like a supervisor or in other time it pushed its head to my back. It is not strange to find me or one of the kids stop for awhile to give it a hug. Once I even saw one of kid worked on his lesson with his other hand wrapped around doggie’s neck.

Relax but able to stay focus. The most important thing is everyone have fun & enjoy the session.

Does this method work? Yes, indeed. The kids enjoy their tutoring time. They come in good mood. An hour of tutoring does not become a torture both for the kids & me.

And how this does to their grades in school? Significant improvement shows in one or two months. I don’t have to boast anything about it. Lol. No, this is not self advertisement either.

I just want to share you the truth that we can achieve more when we do our works with light heart. When it is applied in teaching you will be amazed to see how students make progress on their grades and attitude toward learning.

I am happy that God has given me gift in teaching. Though my teaching method may looks different in other people’s eyes but it has given positive outcome.

There were times of course when I felt in despair dealing with my students. It is why I depend not on my own ability or gift. I can never succeed if I rely on them. I have to rely on God above all else.

So when my students make achievements I feel a tremendous happiness, relief and praise both to God and them. I myself never make any significant achievement in math even after taking tutorings. Let's just hope my math teachers and tutors would still feel happy and praise God for me. ;)