Tepok-tepok jidat / Scratching Forehead
“Bu Keke, makasih ya sudah ngajarin Dite. Nilai bahasa Inggrisnya 96 di raport”
Wow. Luar biasa. Saya juga tidak menduga kemajuan murid les saya yang satu ini akan demikian pesat. Sebelumnya nilai ulangan hariannya berkisar antara 5 sampai 6. Nilai-nilai itu meningkat setelah dileskan kepada saya hingga akhirnya rata-rata menjadi 9.
Bangga. Lega. Gembira. Jauh melebihi dari nilai materi yang saya dapatkan dari pekerjaan mengajar. Ini sisi yang menyenangkan sebagai guru. Membuat saya mencintainya.
Tapi di sisi lain ada juga hal-hal yang membuat saya menepok-nepok jidat, menggaruk-garuk kepala sampai mengelus dada menghadapi anak-anak didik saya. Yang saya ceritakan di sini adalah sebagian tentang ulah anak-anak les saya.
Karir saya sebagai guru sebetulnya bermula dari mengajar les. Justru dari situlah saya berkeinginan untuk menjadi guru. Lucunya setelah 6 tahun bekerja sebagai guru beneran di sebuah TK, saya berhenti tapi tetap mengajar les.
Usia murid saya berkisar antara 5 sampai 15 tahun. Semakin besar tentu makin enak karena nalar mereka sudah jalan. Tapi bukan berarti yang kecil-kecil itu menyulitkan. Semakin muda usianya justru rasanya semakin menarik karena mereka masih lugu & sekali hati mereka sudah terpaut pada gurunya, semakin mudah bagi mereka untuk menerima ajaran atau bentukan yang diberikan oleh sang guru tersebut.
Tapi yang kecil-kecil ini juga yang sering membuat saya tertawa geli atau sebaliknya sampai tepok-tepok jidat, garuk-garuk kepala & elus-elus dada saking gemas, heran atau kesal menghadapi berbagai ulah atau kendala dalam belajar mereka.
Ada anak les yang memperlakukan les seperti pergi ke dokter. Dalam artian dia mulai rajin datang kalau nilainya mulai jeblok, kalau mau ada ulangan atau kalau ada PR.
Padahal yang namanya belajar harusnya tidak bersifat ‘musiman’. Seorang yang berhasil adalah seorang yang tekun. Tidak hanya pintar. Perlu lebih dari sekedar bakat. Ketekunan membawa keberhasilan.
Anak les lain memandang les seperti pergi ke tukang jagal. Anak ini butuh pelajaran tambahan tapi repotnya dia tidak ingin belajar. Anak model begini membutuhkan lebih dari sekedar guru les. Dia membutuhkan guru yang bisa merangkap sebagai psikolog. Menghadapi murid seperti ini adalah tantangan tapi sejujurnya juga melelahkan secara emosional. Saya jarang menyerah dan saya bersyukur saya tidak sering-sering menyerah saat harus menangani murid les model begini. Tapi kalau boleh memilih, saya lebih suka tidak harus menemui anak didik seperti ini.
Tipe berikutnya yang bisa membuat saya tepok-tepok jidat, garuk-garuk kepala dan elus-elus dada adalah yang berpikir bisa bertindak seenaknya saat les sedang berlangsung. Kasus-kasus seperti ini biasanya terjadi bila saya mengajar di rumah anak ybs. Tapi pernah juga ada yang bertingkah di tempat les umum (bukan dirumahnya atau di rumah saya) karena tempat les itu adalah milik orangtuanya.
Pada waktu itu saya tidak peduli apakah tempat les itu milik nenek moyangnya atau bukan ataukah saya akan di pecat sebagai guru les di tempat itu pada waktu saya bersikukuh mempertahankan aturan main yang berlaku di dalam kelas yang sedang saya ajar. Untunglah emak dari anak itu berpihak kepada saya.
Anak lain berpikir dia bisa datang kapan saja yang dia mau sekalipun dari awal sudah sama-sama sepakat tentang jam lesnya. Ini merepotkan kalau tempat lesnya tidak menyediakan ruang terpisah untuk yang sedang menunggu dengan yang sedang belajar. Sedangkan konsentrasi anak usia TK dan SD masih mudah sekali untuk teralih. Kalau sudah begini guru harus bisa mengendalikan sikon dalam kelasnya dan juga sikon di luar kelas. Bukan perkara mudah, bro. Tidak jarang nada suara saya bisa naik sampai 2 oktaf jadinya. Hehe.
Apakah semuanya ini membuat saya kapok bekerja sebagai guru? Tidak. Dengan mengajar, bersama-sama dengan anak-anak itu, mengikuti perkembangan mereka… semuanya itu membuat saya merasa hidup saya berarti.
Sekarang ini mengajar memang bukanlah pekerjaan utama saya sejak saya berhenti bekerja sebagai guru TK karena sejak bulan Juli 2011saya bekerja sebagai tenaga tata usaha di gereja saya. Tapi hati dan jiwa saya sepenuhnya ada pada bidang pendidikan.
___________________________________________________________
“Thank you for tutor English to my son. He gets 96 grade on his raport book” said Dite’s mother to me.
It was a surprise to me as well because his average English grades were 50 to 60 before he took my tutoring.
Glad. Proud. Happy. That is how I feel. Nothing can be compared to those feelings. There are lots of immaterial values and pride in teaching. It is exactly what makes me love teaching.
But in other side there are things about teaching that can make me patted my forehead, scratch my head and sigh a deep breathe. These are the things in my experience in tutoring which have made me left in puzzleness or despair.
My teaching career has actually started from tutoring. Funny thing is I resigned from the kindergarten where I worked for six years as a teacher but I still do tutoring.
The age of my students range from 5 to 15 years old. I enjoy teaching the older kids because it is easier to reason with them but I still take pleasure on teaching the youngsters though they bring more challenges but their innocence makes them easy to absorb the things given to them from me as their teacher. Especially if they are look up to me.
But the it is also the young ones who oftenly make me laugh or left in puzzleness or despair when faced with their colorful behavior or learning obstacle.
There is a kid who sees tutoring like going to a doctor. It means he comes to his tutoring when he flunks his grades, when he has homework or is going to have a test in school.
The facts shows that it takes more than a genius brain or talents to get success. It takes lots of persistence, practice, hardwork and commitment.
Another kid sees tutoring like going to the butcher to be slaughtered. Kids like these need help with their academical problems. The problem is they don’t like the learning part. They don’t see why they should study. They need a teacher or a tutor who can act as a psychologist as well. I welcome the challenges but the truth is it puts me in emotional ride when I deal with them. I rarely give up on my students and I am glad I don’t have many students with special needs but if I had the freedom to choose, I definitely wouldn’t choose to deal with them.
The next type that can make me patted my forehead in frustration is the kids who think they can do whatever they want during the tutoring. This happens when the tutoring takes place at that kid’s house or once it was at a tutoring place which happens to be owned by the kid’s parents.
At that time I really didn’t care if the place owned by the kid’s forefathers or it might caused me loosing my job as tutor there when I refused to accept such a misbehavior the kid shown me. Glad to know that the kid’s mother stood on my side.
Some kids in the meantime think that they can come anytime they want though their tutoring hour has been set up. This makes them have to wait in the same room where another tutoring is being held because not every house has a separate room that can be used as a place to hold the tutoring. Not an easy thing to maintain order in the kids I am tutored and the other kids who come too early of their tutoring hour. It could make me raised my voice 2 pitched high.
So would it all make me given up teaching? Never. Teaching and being with kids make me find the purpose of my life.