Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, April 28, 2016

Hello, Fear, Come on in..

“Oma!” anak lelaki kecil itu berlari masuk ke ruangan saya. Mukanya menggambarkan suatu ketakutan yang luar biasa. Suaranya terdengar begitu panik seakan dia baru saja melihat seekor singa yang terlepas dari kandang.

“Oma!” the little boy ran into my room. He looked terrified, it was shown clearly on his face. He sounded so panic as if he just saw a lion broke out of its cage.

Beberapa menit sebelumnya dia asyik bermain dan mengobrol dengan teman saya sehingga tidak menyadari omanya pergi ke ruangan lain.


Few minutes earlier he enjoyed playing and talking with my friend that he didn’t realize his grandmother went to other room.

“Dia memang penakut, Ke” kata omanya “Ga kayak kakaknya”

“Such a fainted heart, Keke” said his grandmother “Unlike his older brother”

Saya memperhatikan anak itu. Dia anak yang baik. Cerdas. Lucu. Tapi banyak takutnya. Takut ditinggal omanya. Dia bahkan takut digendong, entah karena takut jatuh atau takut ketinggian.

I looked at the boy. He is a good kid. Smart. Funny. But afraid of many things. He's afraid to be left by his grandmother. He is even afraid to be carried, whether it is because he is afraid of falling or afraid of height.

Saya menjadi guru taman kanak-kanak dari tahun 2005 sampai 2011. Saya tidak pernah menganggapnya sebagai pekerjaan. Itu adalah panggilan hati. Saya memang terlahir untuk menjadi guru. Saya mencintai setiap detiknya. Saya mencintai murid-murid saya, tidak peduli sebandel, sesulit, seaneh apa pun mereka.

I worked as kindergarten teacher from 2005 to 2011. I never see it as a job. It is a calling. I am born to be a teacher. I love every second of it. I love my students no matter how naughty, difficult, weird they are.

Ada satu permainan yang sering saya lakukan untuk mengenali murid-murid saya sekaligus untuk mendekatkan diri dengan mereka, menghibur mereka, mengajarkan mereka untuk tidak takut dan untuk mempercayai seseorang.

There is one game that I often used as a way to know my students, to also get close with them, to entertain them, to teach them not to have fear and to trust somebody.

Permainan itu sederhana dan tercipta tanpa sengaja.

It is a simple game and just came up unplanned.

Saya dan seorang anak berdiri berhadapan, kedua tangan saling berpegang erat lalu anak itu akan melompat setinggi mungkin untuk naik ke pinggang saya. Pada saat dia melompat, saya menarik tangannya untuk menaikkan dia dan kemudian menangkapnya hingga hasil akhirnya adalah dia berada aman dalam gendongan saya.

A child and I stood facing each other, both hands hold each other tightly and the child then jumps as high as he/she can to my hip. As the child jumps up, I pull his/her hands to lift him/her up and then catch him/her that the child ends up being safely carried by me.

Oh, mereka suka sekali dengan permainan ini. Mereka suka ketika melompat setinggi-tingginya, menangkap pinggang saya dengan kaki mereka lalu mengaitkan kaki di sana dan berakhir dengan berada dalam gendongan saya. Mereka suka sekali ketika saya menghadiahkan ciuman di pipi atau kening mereka sebelum menurunkan mereka dari gendongan saya.

www.123rf.com
Oh, they loved this game. They loved it when they jumped up as high as they could, caught my hip with their feet, wrapped the feet around it and ended up being carried by me. They loved it when I kissed them in the cheek or forehead before I put them down.

Awalnya saya hanya bermain dengan beberapa anak tapi kemudian murid-murid di kelas saya bergabung dan sebelum saya sadari, lebih dari lima belas anak menggabungkan diri. Hebatnya lagi, mereka berbaris rapi di depan saya... tidak ada yang dorong-dorongan, tidak ada yang sirik-sirikan, semua sabar menunggu giliran.. hehe..

At first I just played with few kids but then the students in my class joined in and before I realized it, more than fifteen kids were in it. More impressingly, they lined up infront of me.. nobody pushed each other, nobody envied at each other, everyone patiently waited for their turn.. lol..

Yang lebih penting adalah anak-anak ini tidak menyadari kalau lewat permainan itu mereka sedang belajar untuk menyingkirkan rasa takut dan untuk mempercayai seseorang.

Most important thing is while playing this game these children unawaredly learned to cast away their fear and to trust somebody.

Sebelum seorang anak melompat, saya memberitahunya bahwa saya memegang kedua tangannya erat-erat, saya tidak akan melepaskannya dan saya tidak akan membiarkannya jatuh.

Before a child jumped, I told him/her that I hold his/her hands tightly, I wouldn’t take their hands off mine and I wouldn’t let him/her fall.

Seorang anak yang pada dasarnya bukan penakut atau anak yang berhasil menyingkirkan rasa takutnya akan mudah melompat dan terasa ringan ketika saya menariknya.

A child who is basically fearless or a child who could cast away his/her fear would easily made the jump and felt light when I pulled him/her up.

Tapi anak yang dibayangi oleh rasa takut akan jatuh melorot ke kaki saya dan badannya terasa berat sekali sampai saya tidak kuat untuk mengangkatnya, saya bahkan nyaris jatuh karena dalam ketakutannya dia menarik saya.

But a child who is overshadowed with fear would slip down to my feet and his/her body felt so heavy that I couldn’t pull him/her up, I was even nearly fell because in his/her fear, the child dragged me down with him/her.

Nah, saya memainkan permainan ini dengan anak lelaki itu dan dibutuhkan lompatan berkali-kali sebelum akhirnya dia berhasil. Itu pun mungkin cuma untuk lima detik karena dia ketakutan luar biasa.

So, I played this game with that boy and it took many jumps before he finally succeed. Even so, it lasted like just five seconds because he was so scared.

Jadi bukan karena dia tidak bisa melompat. Ketakutannya yang demikian besar itu yang membuat dia tidak bisa melompat dan ketakutan juga yang membuat dia tidak bisa menikmati kepuasaan serta kebahagiaan ketika akhirnya dia berhasil melompat ke pelukan saya.

So it is not because he can’t jump. His fear is so big, it makes him can’t jump and it is also fear that makes him can’t enjoy the satisfaction and happiness for his success to make the jump that earns him being carried by me.

Ketakutan melumpuhkan kita.

Fear paralyses us.

Ketakutan membutakan kita.

Fear blinds us.

Ketakutan menyesatkan kita.

Fear misleads us.

Ketakutan membuat kita tidak bisa berbahagia.

Fear leaves us unhappy.

*  *  *  *  *

Saya adalah orang dewasa yang tidak menyukai dunia orang dewasa.

I am an adult who dislike adult’s world.

Bagi saya, orang dewasa adalah mahluk-mahluk yang paling rumit dan paling tidak masuk akal.

To me, adults are the most complicated and unreasonable creatures.

Ketika saya berhenti dari taman kanak-kanak itu dan kembali ke dunia orang dewasa.. saya shock mendapati dunia orang dewasa yang rasanya seperti berenang dalam limbah kimia.

When I quitted my job from that kindergarten and got back to adult’s world, I was shocked to find it felt like swimming in toxic waste.

Begitu banyak ketakutan dalam dunia orang dewasa.

There are so many fears in adult’s world.

Takut mati, takut sakit, takut miskin, takut susah, takut kehilangan pekerjaan, takut dipecat, takut kalah, takut kesaing, takut ga kepake, takut tidak dihormati, takut tidak dikagumi, takut diremehkan, takut gagal, takut citra baiknya akan rusak, takut dibilang ga laku karena belum dapat pacar atau belum menikah, takut di cap mandul karena tidak punya anak, takut mobilnya hilang, takut rumahnya dirampok, takut kendaraan yang dinaikinya kecelakaan.. busettt, panjang banget ye? Saya masih bisa nambahin lho.. hehe.. tapi nanti kalian jadi takut ngebacanya.. wakakakak..
Fear of death, fear of being sick, fear of poverty, fear of losing a job, fear of being fired, fear of being casted off, fear of being a loser, fear of being disrespected, fear of not being admired, fear of being underestimated, fear of failure, fear of ruining the good image, fear to be told old bachelor for not having girl/boyfriend of for being single too long, fear of being called as barren for not having any child, fear to lose the car, fear to have the house robbed, fear of having an accident.. damn, whatta a long list.. I can add it.. haha.. but then, you might get some fear to read it.. lol..

Orang dewasa itu sebetulnya seringkali tidak beda dengan anak kecil.

Most of the time adults are actually have no difference with a child.

Bedanya adalah, mereka membuat banyak hal menjadi lebih rumit.

The difference is, they make lots of things more complicated.

Kerumitan yang kadang bisa membuat dunia menjadi lebih baik tapi lebih seringnya sih membuat banyak hal menjadi lebih buruk dari sebelumnya.

The complexity that sometimes make the world better but oftenly makes things a whole lot worse than it was before.

*  *  *  *  *

Ketakutan melumpuhkan kita.

Fear paralyses us.

Ketakutan membutakan kita.

Fear blinds us.

Ketakutan menyesatkan kita.

Fear misleads us.

Ketakutan membuat kita tidak bisa berbahagia.

Fear leaves us unhappy.

Satu contoh untuk direnungkan;

One example to be given a thought;

Takut tidak dihormati rekan sekerja, bawahan atau anggota keluarga membuat kita menampilkan diri sebagai seorang otoriter atau seorang pelaku bully karena kita berpikir dengan menekan orang lain terutama mereka yang posisinya lebih rendah dan lebih junior akan membuat mereka menaruh hormat pada kita.

Fear of being disrespected by fellow colleague or family member makes us appear ourselves as stern or a bully doer because we thought by pressing other people, especially those the inferior or the junior would make them respect us.

Oh ya, mereka akan menghormati kita dengan kehormatan palsu dan dengan begitu banyak kebencian serta sakit hati.

Oh yes, they respect us but the fake respect and with lots of hatred and heartache.

Apakah hal itu bisa kita anggap sebagai suatu kebahagiaan? Suatu prestasi?

Would we take it as happiness? As an achievement?

Adakah hal yang bisa kita banggakan dari hal tersebut?
Anything we could be proud out of it?

Lalu ketika kita mati dan berhadapan dengan Tuhan, sanggupkah kita berdiri dihadapanNya dan melihat bagaimana Dia menunjukkan perilaku kita terhadap mereka yang lebih inferior and junior itu?

When we died and found ourselves stand face to face with God, could we stand infront of Him and see how He showed our behavior toward those inferiors and juniors?

*  *  *  *  *

Hampir lima tahun saya berada di dunia beraura keagamaan.

I have been involved in this religious afffairs for nearly five years.

Saya melihat begitu banyak sikap, kebiasaan dan pola pikir manusia-manusia disekitar saya sebagai hasil dari ketakutan yang mereka simpan dalam jiwanya.

I have seen so many attitudes, habits and mindsets of the people around me that are the outcome of fears kept in their souls.

Ketakutan melumpuhkan kita.

Fear paralyses us.

Ketakutan membutakan kita.

Fear blinds us.

Ketakutan menyesatkan kita.

Fear misleads us.

Ketakutan membuat kita tidak bisa berbahagia.

Fear leaves us unhappy.

Yang menyedihkan adalah, mereka orang-orang yang lebih tua dari saya, memiliki lebih banyak pengalaman dibandingkan saya dan sekian puluh tahun menghabiskan waktu bersama Tuhan.. tapi sikap, perilaku, perkataan dan pola pikirnya menunjukkan bahwa mereka..

The sad thing is, they are older than me, more experienced than me and have spent decades with God.. but their attitude, behavior, words and mindset show that they..

Terpenjara dan terbelenggu oleh ketakutan.

Imprisoned and chained by fear.

Saya melihat bagaimana ketakutan itu membuat mereka tidak bisa melihat dan menghargai hal-hal baik dalam diri orang lain karena mereka terlalu berkonsentrasi untuk menjaga supaya orang itu berkelakuan benar, bersikap benar, berkata-kata benar, bekerja dengan benar, hidup dengan benar, beribadah dengan benar demi menjaga citra yang baik dan mendapat hasil kerja yang sempurna.

I saw how that fear has made them fail to see and appreciate the good things in others because they are too focus on keeping others to behave correctly, to act correctly, to speak correctly, to work well, to live well, to worship properly for the sake of good image and to get the perfect work outcome.

*  *  *  *  *

Saya tidak sedang menghakimi siapa pun.

I am not judging anyone.

Saya sendiri bukanlah manusia super sempurna.

I myself am not a super perfect human.

Tuhan memperbaiki saya selangkah demi selangkah tapi selain itu ada banyak sekali hal yang Dia buka kepada saya.

God fixes me one step at a time but apart from that He also revealed so many things to me.

Itulah inti dari setiap postingan saya di sepanjang bulan April ini.

That is the point in each of my post in this April.

Wednesday, April 27, 2016

Fair Play

Buat sebagian besar orang istilah Fair Play lebih dikenal dalam urusan pertandingan olahraga.

For most of us Fair Play is known as a term related to sport match.

Tapi sebetulnya Fair Play dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

But actually Fair Play can be applied in life on daily basis.

*  *  *  *  *

Beberapa waktu yang lalu seorang senior saya mengatakan ada penilaian pada karyawan dan mengenai saya.. mm.. yang diberitahukan kepada saya hanyalah yang negatif.

A little while ago a senior informed me that there was employee evalutatio and when it came to me.. mm.. only the negative outcome that was revealed to me.

Seharusnya saya tidak heran karena memang begitulah cara yang diterapkan ditempat ini.

It shouldn’t surprise me since it is how it works in this place.

Tapi tak urung spontan terlontar juga dari mulut saya “Ga adil dong, masa cuma yang negatifnya aja”

www.123rf.com
Still I couldn’t help not to spontaneously exclaimed “It’s not fair, howcome it is just the negative one”

Beliau tidak bisa menjawab, hanya mengatakan sesuatu yang kedengarannya seperti; hal itu bisa jadi masukan supaya saya bisa menjadi manusia yang lebih baik.

He couldn’t answer it. He could just come up with something that sounded like; it would be a good feed back for me so I could make myself a better person.

Ah, harusnya hal itu tidak perlu bikin saya heran.

Ah, it shouldn’t surprise me.

Saya mendengarkannya bicara. Mempelajari apa yang tidak terucap dan akhirnya saya mengerti. Ini adalah omongan yang disampaikan satu atau dua orang mengenai hal-hal yang pernah terjadi dimasa lalu. Barang basi yang dibawa kembali ke permukaan. Oh la la.. bikin saya kepingin ngakak. Susah payah saya harus memasang muka serius.

I listened to him. Trying to grasp the hidden meaning and finally I got it. This was what one or two people told him about things in the past. The corpses that brought back to the surface. Oh la la.. I almost burst out my laugh. Hardly put on a serious face.

Kalau ini merupakan suatu penilaian maka ini adalah penilaian yang paling menggelikan karena yang disampaikan ke saya hanya yang negatifnya. Kemana yang positif? Apakah sama sekali tidak ada kebaikan dan kelebihan dalam diri saya? Ok deh, mengharapkan pujian mungkin terlalu muluk tapi kenapa mereka begitu sulit untuk mengakui bahwa dalam diri saya ada hal-hal baik? Lalu bagaimana dengan pekerjaan yang saya kerjakan dengan baik? Apa semua itu tidak masuk hitungan?

If this is an evaluation then it’s the most ridiculous one because why is it I was only told about the negatives? Where is the positive? Is there nothing good in me, nothing at all? Ok so it would be too much to expect praise from them but why is it so hard for them to admit that there are good things in me? How about the work I did well? Don’t they count?

Ah, harusnya hal itu tidak perlu bikin saya heran.

Ah, it shouldn’t surprise me.

Karena memang seperti itulah mereka.

Because that’s the way they are.

*  *  *  *  *

Manusia mana pun, besar atau kecil, tua dan muda, presiden atau babu.. kalau telinganya lebih banyak mendengar hal-hal negatif tentang dirinya dan jarang bahkan hampir tidak pernah mendengar hal-hal positif mengenai dirinya, kira-kira bagaimana efeknya?.. ha, googling deh sana, ada begitu banyak artikel mengenai topik ini.


Any human, big or small, old and young, president or maid.. if negative stuff are mostly what he/she hears and rarely even almost no positive things about him/her, what impact shall bring on him/her?.. well, do some googling, there are many articles on this topic.

Fair play harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Fair play should be applied on daily basis.

*  *  *  *  *

Seorang sahabat datang menemui saya dan diantara begitu banyak hal yang kami obrolkan, ada satu pengalaman yang bikin kami berdua tertawa tapi juga terheran-heran karena mirip sekali.

A bestfriend of mine came to see me and of all the things we talked there was one experience that made us laughed but amazed at the same because it was quite similar.

Dia seorang guru dan dia bercerita tentang evaluasi yang sedang dilakukan di sekolah tempatnya mengajar.

She is a teacher and she told me about an evaluation held in the school where she works.

Lalu pada suatu hari datanglah seorang penilik ke kelasnya untuk menilai bagaimana performasinya saat sedang mengajar.

So one day a supervisor came to her class to evaluate her performancy as a teacher teaching in class.

“Hari ini baru gue terima hasil penilaiannya, Ke” katanya emosi “Elu tahu ga, disitu ditulis gue ga pake alat peraga padahal hari itu gue khusus bawa sekantong plastik gede kain dan pernak pernik yang berkaitan sama tema pelajaran. Mending kali kalau ditulisnya alat peraga gue kurang banyak atau gue kurang maksimal pake alat peraganya. Ini ditulisnya gue kagak pake alat peraga, titik”

“I received the evaluation report today, Keke” she said, emotionally “You know what, it is written there that I didn’t use any visual display where infact I specially brought a big plastic bag of cloth and other paraphernalia related to that day’s teaching theme. It would be make sense if it was written that the ones I brought was not enough to be made as visual display or I didn’t use them at max. It is written there that I didn’t bring any visual display, period”

“Sinting!” rutuk saya. Spontan. Sebal.

“Insane!” I swore. Spontaneously. Pissed.

“Nah, elu aja bisa ngomong gitu” dia tertawa. Geli, getir dan ironi “Sudah gitu, Ke, kagak ditulis performansi gue waktu ngajar baik atau nggak. Kalau memang ada standar penilaian, ya harusnya dicantumin dong”

“Tell me about it” she laughed. Tickled, bittered and irony “What’s more, Keke, there is nothing written about my teaching performancy. I have no idea if it is good or not. If there is evalution standard then it should be mentioned in there”

Saya geleng-geleng kepala. Prihatin.

I shook my head. Concerned.

Kami berdua bersahabat karena Tuhan yang mempersatukan kami. Dia bukan orang yang mudah untuk bisa menemukan sahabat, dia menutup diri walau punya pergaulan luas dan orangnya ramah. Ada miripnya dengan saya.

We became bestfriends because God brought us together. She is not the type who easily finds a bestfriend, she is a reserved person though she mingles with anyone and she is a friendly person. Similar to myself.

Kami berbagi pikiran, isi hati, rahasia. Kami saling menguatkan, mendukung dan mendoakan.

We share thoughts, things in our hearts, secrets. We strengthen, support and pray for each other.

Lucunya hari itu kami mengalami hal yang sama.

Funny thing is we had same experience on that day.

Saya menceritakan padanya tentang hal yang saya tulis diatas.

I told her about the things I wrote above.

“Itu sih omongan beberapa orang” katanya “Bukan penilaian secara global. Yang namanya penilaian itu harus adil, jujur dan transparan”

“That is personal opinion from few people” she said “Not a global evaluation. When it comes to evaluation, it should be fair, honest and transparent”

Kami berdua sama-sama mendapatkan penilaian yang tidak adil, tidak jujur dan tidak transparan.

We both got unfair, dishonest and untransparent evaluation.

Raport sekolah adalah contoh penilaian yang adil, jujur dan transparan. Kalau nilai ujian memang bagus, ya angkanya terlihat jelas memang bagus. Kalau jelek, ya yang tertulis juga jelek. Standar penilaiannya pun dicantumkan.

School report is an example of a fair, honest and transparent evaluation. If the exam grades are good, it is shown that way. If not, then it is also there for anyone to see. Evaluation standard is also written in there.

Saya pernah enam tahun bekerja sebagai guru taman kanak-kanak. Dalam setahun dua kali saya mengisi raport dan itu bukan cuma mencantumkan angka atau huruf A, B, C dalam kolom penilaian karena ada kolom yang khusus disediakan untuk catatan tentang seorang murid dilihat dari kemampuan motorik, kinestetik, bahasa, seni, kepribadian, sifatnya.


 I once worked as kindergarten teacher for six years. I filled student report card twice a year and it was not just writing down numbers or A, B, C on the grades column because there is a special column for notes about student’s motoric, kinesthetic, language, art, personality, character performancies.

Jadi segala kelemahan dan kelebihannya tercatat. Adil.

So all the good and the bad were recorded. It’s fair.

Soalnya kalau yang dicantumkan cuma yang baik-baik saja, orang akan menjadi berpuas diri tanpa mengetahui bahwa dalam dirinya ada hal-hal jelek yang perlu diperbaiki.

The thing is if it were just the good ones in it, people would have this satisfaction without knowing that there are bad things needed to be fixed.

Tapi kalau yang dikibarkan hanya yang jelek-jelek saja, itu bisa mematahkan semangat orang. Jangan berasumsi bahwa keadaan mental setiap orang itu sama. Ada yang tahan banting tapi ada yang rapuh. Yang bermental baja saja masih membutuhkan pujian, pengakuan, dorongan semangat..

But if the bad are the only ones put on the spotlight, it could break one’s spirit. Don’t assume everyone has same mental condition. Even the toughest one still needs praise, recognition, support..

*  *  *  *  *

Beberapa bulan lalu seorang teman mengundurkan diri. Itu adalah klimaks dari suatu permainan yang tidak adil.

Few months ago a friend resigned. It was the climax of an unfair game.

Dia merasa diperlakukan dengan tidak adil ditempat kerjanya.

He felt he was treated unfairly in his work place.

Sebaliknya dari bersikap sabar, menerimanya dengan iman dan membawa perkara itu pada Tuhan, dia memutuskan untuk bertindak dengan bangkit melawan dengan kekuatan serta caranya sendiri.

At the time where he should be patient, accepted it with faith and brought it to God, he decided to matters on his own hand so he fought back using his own power and ways.

Saya mulai terusik ketika mengetahui dia menyerang orang-orang yang telah berbaik dan bersabar hati menghadapi serta menerimanya.

It annoyed me upon knowing he attacked people who have shown kindness to him and have patiently accepted him the way he is.

Saya menganggap hal itu sebagai suatu ketidakadilan.

I took it as an unfairness.

Tapi yang lebih menyedihkan adalah melihat bagaimana ketidakadilan menghasilkan  pertandingan yang tidak adil.

But the saddest thing is to see how that unfairness has created an unfair game.

Lalu apakah hasil dari suatu ketidakadilan selain membawa kemarahan dan sakit hati dari banyak orang termasuk akhirnya dirinya juga.

So what is the outcome of unfairness than bringing anger and heartache for many people including he himself at the end.

Adakah yang diuntungkan?

Is there any benefit out of it?

Tidak ada. Semua menderita kerugian.

None. Everyone suffered a loss.

Adakah yang menang? Mungkin beberapa orang mengira pihaknya menang tapi buat saya sebetulnya tidak seorang pun menang.

Was there any winner? Maybe some people thought their side won it but to me no one won it.

*  *  *  *  *

Hari Minggu kemarin semua berjalan baik. Tidak ada kesalahan. Adakah pujian? Adakah pengakuan tentang hal itu? Adakah penghargaan?

Last Sunday things went well. No errors. Was there any praise? Any recognition to it? Appreciation?

Tidak ada.

Nil.

Ah, harusnya hal itu tidak perlu bikin saya heran.

Ah, it shouldn’t surprise me.

Karena memang seperti itulah mereka.

Because that’s the way they are.

Saya berusaha melakukan pekerjaan saya dengan baik. Saya tidak peduli apakah mereka melihatnya atau tidak, mau memuji atau tidak, mau mengakuinya atau tidak.

www.azquotes.com
I try to do my job the best I can. I don’t give a damn whether they see it or not, whether they give me praise or not, whether they recognize it or not.


Thursday, April 21, 2016

Good Job!

Bagus sekali!

Good job!

Pernah dengar seorang ibu mengatakan kalimat itu pada anaknya ketika si anak melakukan sesuatu yang baik?

Have you heard a mother said that to her child when the child did something good?

Atau mungkin seorang guru yang mengatakan kalimat itu pada muridnya yang akhirnya berhasil melakukan sesuatu dengan benar.

image: www.123rf.com
Or maybe a teacher says that to a student who finally could do something right.

Seorang pelatih bertepuk tangan sambil menyerukan kata-kata itu pada tim yang dilatihnya sebagai apresiasi untuk kerja keras tim dalam berlatih.

A coach claps his hands as he exclaims those words to his team who have work hard in their training.

*  *  *  *  *

Bagus sekali!

Good job!

Itu adalah pujian, penghargaan dan pengakuan terhadap hal baik yang dilakukan oleh seseorang.

It is a praise, an appreciation and an acknowledgement to good thing done by somebody.

Ingatkah saat kita mengatakan Good job! pada anak kita ketika dia dengan tertatih-tatih berjalan menghampiri kita.

Remember when we said Good job!  to our child when he or she stumbled his or her way to walk toward us.

Ingatkah saat kita mengatakan Good job! padanya sewaktu dia berhasil menuliskan huruf a walaupun bentuknya masih mencang-mencong.

image: www.123rf.com
Remember when we said Good job!  to the kid when he or she wrote the letter a though it looked more like a scribble.

Ingatkah saat kita mengatakan Good job!  padanya ketika kita melihat kamar tidurnya telah dibersihkannya dengan rapi.

Remember when we said Good job!  to him or her for tidying his or her room neatly.

Sekecil apa pun pencapaian yang berhasil diraih oleh anak kita, kita mengatakan Good job! 

We said Good job!   to any achievement our child have achieved no matter how insignificant it was.

Saya punya pertanyaan, Kenapa kita mengatakan Good job!  pada anak kita?

I want to ask something, Why do we say Good job! to our child?

*  *  *  *  *

“Bu Keke” anak lelaki kecil itu masuk ke ruangan saya sambil membawa selembar kertas.

“Miss Keke” the little boy entered my room bringing with him a sheet of paper.

Diserahkannya kertas itu ke saya.

He handed me that paper.

Saya mengenalinya sebagai fotocopy lagu yang setiap hari Minggu saya letakkan di atas mimbar.

I recognized it as copy of song that I put on the pulpit every Sunday.

Omanya yang sedang bersih-bersih pasti memintanya untuk menyerahkan kertas itu ke saya karena dia tahu saya akan menyimpannya kembali dalam file saya.

His grandmother who was doing some cleaning must has asked him to give the paper to me since she knew I am keeping a file of those copies.

Good job! “ kata saya “Terima kasih ya, sayang”

Good job!” I said to him “Thank you, dear”

Senyumnya melebar, matanya bersinar dan ruangan saya yang kosong serta sepi itu langsung terasa hangat.

His smile widened, his eyes beamed brightly and my empty quiet room felt warm.

Hanya selembar kertas. Benda yang tidak ada artinya. Tidak bernilai tinggi.

It was just a sheet of paper. Insignificant thing. Not precious either.

Bukan kertasnya yang membuat dia tersenyum lebar dan matanya bersinar cerah.

It was not the paper that made him smiled broadly and his eyes shone brightly.

Bukan kertasnya yang membuat ruangan saya langsung terasa seperti diterangi oleh sinar matahari yang hangat dan indah.

It was not the paper that made as if a beautiful and warm sunshine shone in my room.

Bukan kertasnya yang membuat saya merasa kebahagiaan dalam hati.

It was not the paper that made me felt happiness in my heart.

Jadi, bolehkah saya kembali bertanya, Kenapa kita harus memberikan pujian, penghargaan dan pengakuan terhadap hal baik yang dilakukan oleh seseorang?

www.quotesgram.com
 So, may I ask this again, Why do we need to give praise, appreciation and recognition to good thing done by somebody?

*  *  *  *  *

“Kamu jangan rubah kalau saya tidak kasih kabar” demikian tulis seseorang dalam pesan whatsappnya “Seperti tanggal .. itu. Jadi pertanyaan …”

“Don’t make any change without any information from me” wrote somebody on his whatsapp messange “Like the one on.. It raised question from the ..”

Bah!, pikir saya. Dongkol. Lu kate gue sengaja bikin salah? Itu kan sama aja kayak ngegantung leher sendiri.

Wtf! I thought. Pissed. Do you think I deliberately made a mistake? It would be like hanging my own neck.

Dengan kesal saya membalas pesannya itu; “Oh maaf, itu kesalahan saya. Benar-benar tidak disengaja. Tolong dijelaskan kepada .. dan sampaikan permohonan maaf saya juga. Terima kasih”

Still pissed I replied his message; “Oh I apologize, it was my mistake. A real unintentional one. Please explain that to .. and please send my apology to them. Thank you”

Oleh karena beberapa kesalahan yang saya lakukan di masa lalu, oleh karena hal-hal dalam kepribadian saya, oleh karena saya berani tampil sebagai diri saya sendiri, oleh karena saya berbeda.. semua itu membuat citra diri saya bernoda di mata beberapa orang.

By some mistakes I did in the past, by some things in my personality, by the fact that I am not reluctant to be myself, that I am different.. I know my image is stained in some people’s eyes.

Tahu ga? Saya tidak peduli.

Know what? I don’t give a damn.

Saya tidak peduli apakah mereka memuji, menghargai atau mengakui hal-hal baik dalam diri saya.

I don’t give a damn whether they praise, appreciate or recognize the good things in me.

Buat apa saya peduli? Toh, selama hampir lima tahun ini fokus perhatian mereka lebih tertuju pada segala yang tidak baik yang ada dalam diri saya.

Why should I give a damn anyway? After all, for almost five years they have put their attention more on the bad sides in me.

*  *  *  *  *

Kapan kita berhenti menghargai sesama kita?

When do we stop appreciating our fellow human being?

Pertanyaan ini mengisi pikiran saya selama berhari-hari setelah saya sakit dan melihat bagaimana sikap orang-orang disekitar saya terhadap diri saya.

This question was in my mind for days after I got sick and seeing how people around me treated me.

Tiga minggu saya sakit lumayan parah. Setelah sembuh badan saya memerlukan waktu lebih dari tiga minggu untuk memulihkan dirinya.

I was sick pretty bad for three weeks. After I got healed it took more than three weeks for my body to recover.

Dalam kurun waktu itu saya hanya tidak masuk selama enam hari. Itu juga tidak sekaligus enam hari. Sekali tidak masuk tiga hari. Dua kali tidak masuk kan jadi total enam hari.

During those period I was off work for just six days. It was not all six days in a row. Each time I was off work it consisted of three days. Twice makes total of six days.

Jadi sebagian besarnya saya tetap masuk kerja dan itu betul-betul meminta perjuangan fisik, mental, emosi dan terutama iman.

So I came to work most of those time and it really required physical, mental, emotion and most of all faith strength.

Jangan salah paham, ini bukan berarti saya kepingin mendapat sertifikat penghargaan atau piala untuk semua itu.

Don’t take it wrong, this does not mean I want an appreciation certificate or a trophy for all those things.

Saya menuliskan semua ini karena saya melihat dan mengalami sendiri bagaimana manusia begitu cepat menemukan kesalahan seseorang dan lambat untuk memberikan penghargaan.


I write this down because I saw and experienced it myself how people are so fast in finding somebody’s mistake and slow in giving appreciation.

Apakah orang-orang di kantor tidak tahu saya sakit? Mereka tahu kok. Saya memberitahu mereka setiap kali saya tidak masuk.

Did the people in the office have no idea that I was sick? They knew. I let them knew everytime I couldn’t come to work because I was sick.

Hal yang menyedihkan adalah saya bisa menghitung dengan jari tangan saya berapa orang yang peduli dan mereka itu adalah orang-orang yang terdekat dengan saya.

The sad thing is I can count with my fingers the number of people who cared and those are the ones who close to me.

Lha, lantas yang lainnya kemana?

Where the hell are the others?

Yang lain.. wah, hahaha banget deh.. contohnya orang yang mengirimkan pesan whatsapp itu. Dia tahu saya sakit tapi tidak terlintas dipikirannya bahwa kesalahan yang saya perbuat itu kemungkinan disebabkan karena badan saya yang lagi sakit bikin pikiran saya error dan konsentrasi saya kacau.

The others.. well, so very hahaha.. take the guy who sent that whatsapp message. He knew I was sick but it didn’t cross his mind that the error was probably caused by my sick body which made my mind didn’t work well and screwed my concentration.

Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani pun saya bisa bikin salah. Lha apalagi kalau saya dalam keadaan sakit dan harus seret badan yang sakit itu ke kantor buat kerja.

I can make mistake when I am physicaly and mentally healthy. What would it happen when I was sick and had to drag that sick body to work.

Disini terlihat jelas bagaimana orang tidak menghargai sesamanya.

It shows clearly how people don’t have any appreciation toward their fellow human beings.

*  *  *  *  *

Saya pernah bekerja enam tahun sebagai guru TK dan sampai sekarang pun saya tetap mengajar walau cuma sebagai guru les.

I worked for six years as kindergarten teacher and I am still teach though just as a tutor.

Saya tidak memiliki ijasah guru dan saya juga bukan psikolog tapi pengalaman saya sebagai guru selama sebelas tahun menunjukkan bahwa keseimbangan dalam pemberian teguran dengan pujian memberikan keseimbangan dalam jiwa seseorang.

I don’t have any teaching degree and I am not a psychologist either but eleven years experience as teacher shows how balancing reprimand with praise balances someone’s psyche.  

Kalau saya bisa mengkritik satu titik kecil dari kesalahan atau kelemahan murid saya, itu berarti saya harus menyeimbangkannya dengan menghargai setitik kecil hal baik yang ada dalam diri murid tersebut.

If I can criticize one tiny dot of an error or flaws in my student then it means I have to make it balance by appreciate one tiny good thing in him or her.

Kalau saya bisa dengan cepat memproklamirkan kesalahan yang diperbuat oleh murid saya maka saya harus bisa dengan cepat mengakui hal-hal baik yang telah diperbuat atau dicapainya.

If I can quickly announce any errors made by my student then it means I have to be quick in recognizing the good things he or she has done or achieved.

*  *  *  *  *

Apa dampaknya bagi seseorang ketika dia berada dilingkungan dimana orang lambat memberikan pujian, penghargaan dan pengakuan atas hal-hal baik dalam dirinya, hal-hal baik yang dikerjakan atau yang dicapainya tapi cepat dalam menemukan kesalahan dan kelemahannya.

What does the impact on somebody when he or she is in an evinronment where people are slow in giving praise, appreciation and recognition on the good things in him or her and the good things he or she does or have achieved but quick in finding his or her mistakes or weakness.

Mau tahu seperti apa rasanya? Cobalah minta seseorang selama satu hari untuk membuntutimu dan melakukan hal itu ke kamu.

Want to know how it feels? Ask somebody to spend a day following you around and do those things to you.

Kemudian evaluasi bagaimana perasaanmu. Apakah hal itu bikin kamu kesal? Marah? Gelisah? Senewen? Jadi takut atau ragu berbuat apa pun karena takut disalahin? Akhirnya memilih untuk jadi pasif? Atau kamu jadi agresif? Bersikap defensif?

After that have your feelings evaluated. Did it upset you? Made you angry? Felt uneasy? Nervous? Became afraid or losing confident to do anything for fearing to be blamed? Eventually decided to be passive? Or it made you aggressive? Acted defensively?

Nah, bagaimana seseorang dapat maju kalau dia dibayangi oleh perasaan seperti itu?

So, how can a person make progress with those feeling hanging over him or her?

Bagaimana seseorang dapat menjadi produktif kalau dia dihantui oleh perasaan demikian?

How can anybody be productive if that person is haunted by those feelings?

5 Reasons Why You Should Give Compliments

compliment-quote-is-verbal-sunshine-robert-orben
“Too often we underestimate the power of a touch, a smile, a kind word, a listening ear, an honest compliment, or the smallest act of caring, all of which have the potential to turn a life around.”
― Leo Buscaglia
Giving compliments is one of the most important elements of social life. It can sometimes make things happen like a magic. Compliment indicates that that the effort someone made is being noticed and praised. We must develop the habit of noticing as well as appreciating the good developments around us. Giving a true and honest compliment is a sure shot way to lift up your surroundings. Here are 5 reasons why you should compliment someone:

1. It Motivates:

Complimenting someone gives an indication that he/she is being admired. It gives motivation to the person to do something much better than before. If you praise the food your mother made, she would be happy and would make it for you again with additional love. If you praise your colleague or your workers for their hard work, they will be motivated to work even harder.

2. It Creates Positivity:

Focusing on the good and then expressing it delivers a positive effect on that person as well as on you. Your outlook turns optimistic. Compliment is a cost-free, effort-free small thing that can bring about highly positive changes in our surroundings.

3. It Spreads Love:

Complimenting your closed ones creates love. Imagine if your wife never complemented you for your smartness, wisdom, strength or hard work or if your husband never complemented you for your cooking, beauty, looks or house-work. Life would be so dull if there had been no appreciation or praise. Compliment is an essential part of any relationship. It makes the bond stronger and makes you more loveable in the eyes of others.

4. It Boosts Self Esteem:

Giving a compliment can sometimes be challenging. You can compliment someone if you feel good. It does not require any physical effort to praise someone’s skill or appearance but this little thing can build up your self esteem and you will start feeling great about yourself too. This is because once your views about others become positive you will feel confident of yourself too.

5. It Breaks Ego:

You had an argument with your friend and the discussion ended with bad feelings in your heart. You want to rebuild the same bond of friendship but your arrogance does not let you do so. Just try giving a genuine compliment to him/her with sincerity and you will find your bad ego vanish like a vapor before the sun.
You will get many chances to compliment. Don’t miss the opportunity to do wonders for someone. (editorial: www.liftupideas.com)
*  *  *  *  *

Bagaimana perasaan saya?

How do I feel?

Seperti gelas yang diisi air dan air itu sudah mendekati bibir gelas.

image: www.123rf.com 
Like a glass filled with water and it is almost reach the top of the glass.

Ketika air itu melewati bibir gelas.. yah, kita tunggu saja apa yang akan terjadi..

When the water reaches the top of the glass.. well, let's see what will happen..