Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, October 29, 2015

27 Oct, National Blogger Day

Sudah lima tahun saya jadi penulis blog, kenapa kok ya baru dua hari lalu saya tahu kalau sejak 8 tahun lalu tanggal 27 Oktober telah ditetapkan sebagai Hari Blogger Nasional di Indonesia.

I have become blog writer for five years, howcome it was two days ago I learned 27th October has been set as National Blogger Day in Indonesia since 8 years ago.

Dari delapan tahun yang lalu, coy! Duileee, kemana aje lu, Ke?

Since eight years ago, man! Sigh, where were you all this time, Keke?

Tapi saya rasa masih banyak penulis blog yang belum tahu tentang Hari Nasional Blogger.

But I think there are many blog writers who don’t know about this National Blogger Day.

Saya mencoba googling untuk mencari info tentang sejarah penetapan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Nasional Blogger.


Pesta Blogger 2007

Menkominfo: 27 Oktober, Hari Blogger Nasional

Donny B.U., Ardhi Suryadhi - detikinet
Sabtu, 27/10/2007 17:31 WIB
Menkominfo: 27 Oktober, Hari Blogger NasionalPesta Blogger 2007 (ash/inet)

Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh tanpa basa-basi mendeklarasikan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Momentumnya dibuat seiring Pesta Blogger 2007. Hal itu dicetuskannya saat memberikan sambutan dalam Pesta Blogger 2007 (PB2007), sebuah acara gathering blogger nasional yang diadakan di Blitz Megaplex, Jakarta, Sabtu (27/10/2007). "Hari ini saya nyatakan sebagai Hari Blogger Nasional!" tukasnya disambut tepuk tangan meriah para penulis blog. "Momentumnya sangat tepat untuk mendeklarasikan hari ini sebagai hari blogger nasional. Sebelumnya hal ini belum direncanakan sama sekali," ujarnya kepada wartawan setelah memberi sambutan. Disinggung mengenai langkah selanjutnya dari deklarasi Hari Blogger Nasional dan apakah pemerintah akan membakukan sebuah kode etik bagi blogger, Nuh mengaku hal itu belum dipertimbangkan. "Ini masih awal, belum sampai sejauh itu untuk dipikirkan. Masih yang sederhana saja," tukasnya. Cetusan untuk menjadikan Hari Blogger Nasional muncul pada acara itu secara spontan. Diawali oleh Enda Nasution, Ketua Komite PB2007, dalam sambutannya. Menurut Nuh, blogger memiliki peran dalam hal edukasi dan memberdayakan masyarakat. Ia juga berharap blogger tidak 'malu-malu' atau takut dalam menulis blog. "Kami jamin tidak akan ada pembreidelan," ujarnya dalam acara PB2007. Enda, yang ditemui sewaktu makan siang, mengatakan deklarasi tersebut memang tidak direncanakan. Untuk ke depannya, Enda pun mengaku belum ada rencana spesifik. "Paling tidak sudah ada satu tanggal yang bisa dijadikan momentum. Nanti setiap komunitas atau individu blogger bisa membuat interprestasinya sendiri untuk memperingati hari ini," ia menjelaskan. PB2007 menghadirkan blogger dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Anging Mammiri dari Makassar, Go Ranah Minang dari Sumatera Barat, Loenpia.net dari Semarang, Komunitas Blog Jogja hingga blogger yang mewakili komunitas di Poso. Komunitas non-regional seperti Blogfam, id-Gmail, Multiply Indonesia, dan Muslim Blog juga ikut meramaikan acara ini. Keterangan Foto, ki-ka: Menkominfo M. Nuh, Dirjen Aplikasi Telematika Cahyana Ahmadjayadi, dan Ketua Komite PB2007 Enda Nasution. Fotografer: ash/inet. (Wicaksono Hidayat/wsh) courtesy: inet.detik.com

I tried googling the information about the history of appointing 27th October as National Blogger Day.

Saya pikir hebat juga sampai ada hari Hari Nasional Blogger mengingat penulis blog (blogger) berbeda dengan penulis buku atau penulis di media massa yang lebih eksis, lebih tenar, lebih hebat (apalagi kalau tulisannya sering muncul di media massa terkenal atau kalau bukunya terjual sekian ribu copy) dan bisa jadi lebih kaya.


I think it is awesome to have National Blogger Day since blog writer (blogger) is different with book writers or mass media writers who are more exist, more popular, exceptional (especially if their articles are oftenly appeared in well known mass media or if their books have sold for thousands of copies) and probably are also richer.

Adanya Hari Nasional Blogger menunjukkan bahwa Indonesia menghargai dan mengakui keberadaan, peran dan pengaruh para penulis blog.

This National Blogger Day shows that Indonesia appreciate and recognize the existence, contribution and influence of blog .

Hal itu merupakan kejutan tapi juga menjadi kebanggaan untuk saya pribadi.

It really is a surprise but personally it makes me proud.

Karena umumnya penulis blog menulis bukan untuk tujuan komersil. Blogging menjadi penyaluran hobi.

Most blog writer writes not for commercial purpose. Blogging is just a hobby.

Saya, misalnya, mulai senang menulis sejak usia saya tujuh atau delapan tahun. Menulis di buku harian dengan tulisan tangan anak-anak yang masih berantakan dan tidak berurutan pula tanggalnya.


I, for instance, started to write when I was about seven or eight years old. I wrote in my diary with my child-messy handwriting and I didn’t make regular entry.

Kesukaan saya menulis itu berguna dalam pelajaran bahasa Indonesia, terutama dalam hal mengarang. Kemudian ternyata juga berguna ketika saya harus menyusun skripsi dan laporan kerja.

My interest in writing has become useful when I was in school, especially in Indonesian language class when the teacher gave essay writing task. Later it was also become useful when I worked on my thesis and when I had to write report at work.

Sayangnya ayah saya tidak setuju ketika setelah lulus SMA saya ingin kuliah di jurusan sastra. Ayah saya menyuruh saya masuk jurusan manajemen perbankan karena menurutnya jurusan sastra tidak memberikan banyak pilihan untuk berkarir dan jelas masa depannya kurang baik.

Too bad my father disagreed when I wanted to study literature after graduating from highschool. My father told me to take banking management as according to him, literature wouldn’t give much career option so the future would be bleak.

Hiks.. saya benci dengan angka-angka dan selama dua setengah tahun kuliah, saya harus jungkir balik berkutat dengan angka-angka yang memaksa saya harus belajar dua kali lipat lebih keras kalau tidak mau nilai-nilai saya jadi jeblok. Untung saja saya punya sekelompok teman sekelas yang pintar-pintar tapi semuanya baik serta dengan sukarela mau jadi tutor pribadi saya tanpa bayaran, sampai akhirnya saya dan mereka bisa jadi 12 mahasiswa pertama dari kelas kami yang lulus.

A moment of happiness with my supportive friends in college after the graduation announcement
Sigh.. I hate numbers and for two and a half years I had to juggle my way with numbers and thus had to work double hard if I didn’t want to flunk my grades. Luckily I had a bunch of classmates who were kind and supportive, willing to be my free private tutor, made me able to be among them, the first 12 graduated students from our class.

Itu tahun 1992.

That was in 1992.

Menulis tetap menjadi bagian dari kehidupan dan diri saya tapi medianya hanya sebatas pada diary. Saya tidak memiliki minat dan juga keberanian untuk mempublikasikan tulisan-tulisan saya.

Writing was still pretty much the part of my life and myself but it was only diary. I had no interest nor confident to publicize my writings.

Baru tahun 2010 saya menjadi penulis blog.

I became blog writer in 2010.

Ketika itu saya masih bekerja sebagai guru TK. Saya ingin ada satu media yang memungkinkan saya untuk melaporkan pada orang tua murid saya tentang kegiatan anak-anak mereka dalam kelas saya dan bagaimana perkembangan mereka.

At that time I worked as kindergarten teacher. I needed a media to enable me to show to the parents of my students of their children’s activities in my class and about their progress.

Orang tua murid saya sebagian besar jauh lebih muda dari saya dan itu membuat mereka rata-rata tidak gaptek.

the goofy me with few of my students' parents (2011)
Most of parents of my students are younger than me so they are pretty much updated with internet stuff.

a visit to kindergarten and had an unexpected reunion with moms of my former students (Oct 2015)
Tapi lima tahun lalu pengetahuan saya tentang blogging benar-benar nol. Saya belajar dengan langsung mencobanya.

But five years ago my knowledge in blogging was practically zero. I learned it by doing.

Jadi awalnya semua serba sederhana. Tampilan blog dan gaya menulis saya tidak sebagus sekarang.

So in the beginning everything was so simple. The blog appearance and my writing were not as good as they are now.

Saya tidak berhenti belajar. Itu bagian yang paling menyenangkan dari blogging dan menulis. Tidak ada yang memberikan perintah dan tidak ada yang mengajari. Tidak ada syarat atau batasan. Semua terserah pada si blogger.

I never stop learning. That is the most fun part about blogging and writing. No one gives order and no one lectures you. No condition or limitance. Everything is left to the blogger.

Cocok dengan tipe kepribadian saya yang mencari kebebasan untuk berekspresi.

It fits my type of personality that always look for freedom to express myself.

Menulis dan mengajar adalah dua hal yang saya cintai tapi setahun berikutnya keadaan memaksa saya untuk melepaskan satu dari antaranya.

Writing and teaching are two things I love most but the next year something forced me to let go one of them.

Saya harus kembali kerja kantoran. Sama seperti ketika saya dipaksa untuk mengambil jurusan kuliah yang tidak sesuai dengan minat saya, kerja kantoran menyiksa lahir batin.

I had to go back to office work. It happens again when I was forced to major in something that is not in my interest, office work is a torture both physically and mentally.

Ketika saya menjadi guru, saya menjadi diri saya sendiri sepenuhnya, seluruh jiwa saya ada didalamnya.

When I become a teacher, I become myself completely, I have all my soul in it.

Ketika saya bekerja kantoran, saya tidak menyertakan hati dan jiwa saya didalamnya, saya lakukan itu karena saya memerlukan uang. Mereka mengatakan saya adalah anak berbakti pada orang tua tapi saya hanyalah pemain sandiwara terbaik, seorang pelacur yang menjual jiwanya demi kebutuhan ekonomi. 

When I become office worker, I exclude my heart and my soul, I do that for money. They said I am loving child, dedicate myself to my parents but I am nothing but a great actor, a whore who sold her soul for money. 

Menulis menjadi tempat dan saat dimana saya kembali menemukan hati dan jiwa saya, ketika saya bisa menanggalkan topeng kepura-puraan itu dan kembali menjadi diri saya seutuhnya.


Writing becomes a place and moment when I get back my heart and soul, when I can take off the mask and become myself.

Saya menulis hal-hal yang membuat saya bahagia, sedih, kesal, takut, cemas, marah. Saya memuji; saya memaki. Saya memberikan inspirasi; saya membuat orang prihatin.

I write about the things that make me happy, sad, upset, afraid, worry, angry. I make complimentary; I curse. I inspire; I make people concern.

Karena melalui tulisan-tulisan saya di blog ini, saya mengajak orang untuk masuk ke dalam pikiran saya, memahami jiwa saya dan melihat dunia saya melalui mata saya.

Because through my writings in this blog, I take people into the deepest mind of mine, to understand my soul and to see the world through my eyes.

Tulisan-tulisan ini memiliki napas karena saya menuliskannya dengan seluruh hati dan jiwa saya.

These writings have their breath because I write them with all my heart and my soul.

Menulis membuat saya merasa kembali hidup. 

Writing makes me feel alive again. 

Tekanan hidup dan manusia-manusianya ingin mengambil kehidupan itu dari saya tapi menulis mengembalikannya pada saya.

The pressure in life and people try to take life from me but writing has brought it back to me.

I love blogging. I love writing. I love to feel alive.

Happy National Day to all blog writer


Monday, October 26, 2015

How Are You?

“Hai Keke, apa kabar?”

“Hey Keke, how are you?”

Sapaan itu menyambut tibanya saya di rumah Andre hari Jumat lalu.

That greeting welcomed my arrival at Andre’s place last Friday.

Paginya Andre menaruh link film Narcopolis di wall facebook saya dan mengajak saya untuk datang ke rumahnya untuk menonton film itu.

In the morning Andre shared the movie Narcopolis link on my facebook wall and asked me to come to his place to see it.

Malamnya ketika dia menjemput saya, baru dia bilang kalau dia juga mengundang beberapa teman kami dan mereka sudah berkumpul dirumahnya.

When he picked me up in the evening he told me that he also asked few of our friends and they have gathered at his place.

“Kejutan” dia nyengir ketika melihat alis mata saya terangkat tinggi “Dan itu juga tidak direncanakan. Ada yang nanya soal link film yang saya taruh di wall facebook kamu. Jadi deh pada saling telpon dan rupanya mereka sepakat buat ikutan nonton bareng kita”

“Surprise” he grinned when he saw I lifted my eyebrows high “It was so unplanned too. Somebody asked about the link of the movie that I posted on your facebook wall. So one phone call after another and they decided to join our movie night”

Saya tertawa “Yah, lebih seru nonton rame-rame”

I laughed “Yeah, the more the merrier”

Dan alangkah menyenangkannya bertemu dengan mereka lagi karena kami semua tidak tinggal satu kota dan karenanya tidak bisa bertemu setiap saat. Tapi ketika mendengar mereka menyapa saya ‘apa kabar?’, sapaan yang menyejukkan hati.

It was so great to see them again. But when I heard them greeted me ‘how are you?’ it soothed my heart.

Apa kabar?

How are you?

Pertanyaan sederhana.

Simple question.

Saking sederhananya kadang jadi seperti tidak ada artinya dan seringkali menjadi pertanyaan basa-basi.

So simple that sometimes it holds no significant meaning and quite often becomes nothing but a chit chat question.

Tapi justru pertanyaan itulah yang ingin saya dengar dari orang tua saya.

funpulp.com
But that is exactly the question I want to hear from my parents.

Gimana kabar kamu hari ini?

How are things with you today?

Jalanan macet tadi pagi. Kalau pagi tidak ada pilihan, mau berangkat lebih pagi atau siangan sama saja macetnya. Tapi kalau pulang lebih enak di atas jam lima sore. Macetnya tidak terlalu parah dan udaranya lebih sejuk.

There was traffic jam in the morning. There’s not much of an option when it’s morning time, it’s useless to leave early as the traffic is just the same. It is nicer to go back home after five in the afternoon. The road is less jammed and the weather is cooler too.

Gimana kerjaan hari ini?

How’s work today?

Akhir-akhir ini rasanya saya baru benar-benar bisa fokus pada pekerjaan setelah jam satu siang. Kalau pagi rasanya susah banget konsentrasi. Padahal kantor sunyi sepi jadi seharusnya bikin saya lebih bisa fokus ke kerjaan tapi yah mungkin justru karena sunyi sepi jadi rasanya tidak semangat buat kerja. Dulu selama setahun ada Dessy yang bawel dan lucu yang menemani saya di kantor. Entah dia menyebalkan atau menyenangkan, dia menjadi teman saya selama setahun. Lalu bulan Mei lalu masa kerja prakteknya berakhir dan dia kembali ke kampusnya. Saya tidak pernah mengatakan pada siapa pun kalau saya sebetulnya merasa kehilangan dan kesepian setelah dia tidak ada lagi di kantor saya. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan dia.


Lately I can really focus on my work after one in the afternoon. It is hard to consentrate in the morning. Funny to think that my office is so quiet so it should make me able to focus on my work but yeah, perhaps the quietness has made me lost my mood to work. There was the noisy and funny Dessy who kept me company in the office. Either she was fun or annoying, she had become my friend for a year. May came and that was the end of her apprenticeship in my office and she returned to her campuss. I never told anyone I actually feel a great loss and have been feeling lonely after she left. No one can replace her.

Apa kamu baik-baik aja?

Are things okay with you?

Saya bosan dengan segalanya. Saya seorang yang selalu ingin bergerak tapi hidup dan karir saya seperti jalan di tempat. Saya jengkel, saya tidak sabaran dan saya mulai lagi mempertanyakan apa saya berada di tempat yang tepat? Dulu ketika saya bekerja sebagai guru, saya benar-benar merasakan diri saya berguna dan saya menemukan panggilan jiwa saya serta jati diri yang saya cari begitu lama. Sekarang saya merasa hati saya kosong dan kegelisahan yang dulu saya rasakan sebelum saya menemukan panggilan diri saya kembali, mendesak dan membakar di dalam diri saya.

I am bored with everything. I am a mobile person but my life and career are stuck in one place. I am upset, I feel impatient and I start to question myself again whether I am in the right place? When I worked as teacher I felt I was useful for something and I found my call along with my long sought real identity. Now I feel emptiness in my heart and the old restlessness that I felt before I found my call has returned, urging and burnt in me.

Apa ada hal menarik yang terjadi?

Is there anything exciting happened in your life?

Oh ya, ada! Empat bulan lalu saya jatuh cinta pada seseorang dan demi dia, saya rela memutuskan hubungan delapan tahun saya dengan Andre. Saya tahu itu keputusan yang benar. Saya tidak menyesalinya biar pun banyak yang mengatakan saya gila dan saya harus berhadapan dengan ketidaksetujuan orang tua saya. Dia seorang laki-laki yang baik dan dia membuat saya bahagia.

Oh yes, there is! Four months ago I fell in love with somebody and for him, I broke my eight years relationship with Andre. I knew it was the right decision. I never regret it eventhough many said I have lost my sanity and I have to deal with my parents disapproval. He is a good man and he makes me happy.

                                       *  *  *  *  *

Orang tua saya tidak menanyakan hal-hal di atas. Kalau pun saya sedang bicara kepada mereka tentang hal-hal yang terjadi di kantor atau hal lainnya, pembicaraan saya bisa terpotong begitu saja karena tiba-tiba seorang dari mereka ingin makan atau merasa tidak sehat atau teringat harus melakukan sesuatu.

My parents don’t ask those things. Even when I was telling them about the things in the office or other things, it can be abruptly stopped when one of them wanted to have dinner or feeling unwell or remembered to do things.

Saya pun harus menghentikan apa pun yang sedang saya bicarakan dan tidak lagi berharap ada yang ingat untuk menyambung pembicaraan itu.

I had to stop whatever I was talking and not hoping any of them remember to continue the conversation.

Ya, saya harus mengerti bahwa kepentingan saya dan kebutuhan saya harus dikalahkan dengan kepentingan serta kebutuhan mereka.

Yes, I have to understand that my interest and my needs have to come before theirs.

Tapi semakin lama saya semakin tidak bisa menerimanya. Saya bekerja menanggung mereka juga. Saya banyak mengalah dan berkorban untuk mereka. Dan ketika saya sedang bicara, saya bahkan harus mengalah dan menerima sikon yang membuat mereka tidak bisa mendengar saya.

But I just can’t accept it anymore. I work to support them too. I have made many sacrifices for them. And when I was talking, I have to accept the situation and condition that make them unable to listen to me.

Pada akhirnya saya kehilangan selera untuk bicara pada mereka.

Eventually I lost all my mood to talk to them.

Akhir-akhir ini saya merasa kesepian.

I have been feeling lonely lately.

Saya menjalani sebagian besar umur saya sebagai anak tunggal. Saya terbiasa sendiri. Saya tidak takut sendiri. Saya terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Tapi baru sekali ini saya merasa sendiri.

I have lived most of my life as an only child. I am used to on my own. I am not afraid to be on my own. But I have never felt so alone.

Ketika Jumat lalu Andre mengundang saya untuk nonton film itu dirumahnya, saya langsung mengiyakan tanpa memberitahu atau meminta ijin pada pacar saya dan orang tua saya.

When Andre invited me to watch the movie at his place last Friday, I took it right away without telling it or asked for permission to my boyfriend or my parents.

Saya tidak ingin berada di rumah. Saya kesepian di rumah.

I didn’t want to stay at home. I felt lonely at home.

Jam enam sore ketika saya berangkat untuk menemui Andre, pacar saya mungkin saat itu baru sampai tempat kostnya atau malah mungkin masih di kantor. Saya tidak bisa menemui pacar saya di tempat kostnya. Saya tidak bisa menginap disana kapan pun saya mau. Kalau bisa memilih, tentu saja saya lebih suka berada dengannya.

My boyfriend was probably just got at his place or probably was still in his office when I left to meet Andre at six in the evening. I can’t meet my boyfriend at his rented place. I can’t stay there anytime I want. If I could choose, I’d rather be with him.

Saya bisa saja menelpon pacar saya tapi saat itu yang saya inginkan dan yang saya butuhkan adalah tidak hanya bicara dengannya di telpon. Saya tidak kepingin berada di rumah, saya ingin berada di antara orang-orang yang responsif kepada saya. Tapi karena kondisi tidak memungkinkan untuk saya berada dengan pacar saya, jadi saya mencari alternatif lain.

I could call my boyfriend but at that time what I wanted and needed was not just talk to him on the phone. I didn't want to stay at home, I wanted to be among people who are responsive to me. But since it was not possible for me to be with my boyfriend, I had to look for other alternative.

Karena itu ketika Andre menawari saya untuk nonton film dirumahnya, tanpa pikir panjang saya langsung menerima ajakannya dan saya gembira ketika mengetahui teman-teman kami juga berada di sana. Menyenangkan untuk mendengar mereka bicara dan betapa membahagiakannya ketika mereka mendengar saya bicara, memperhatikan apa yang saya katakan, mengingat serta meresponinya.

That is why when Andre invited me to watch the movie at his place, I said yes right away and I was happy to know that our friends were there too. It was such a pleasure to hear them talking and what a joy it was to me when they listened to me, paid attention to what I said, to remember the things I said and responded.

Rasa sendiri dan kesepian itu hilang.

The feelings being alone and that loneliness were gone.

Setelah semuanya pulang, Andre dan saya membereskan ruangan, mencuci piring dan gelas. 

Andre and I cleaned the room and washed the dishes after everyone left. 

“Vodka atau eskrim?” Andre membuka kulkas.

“Vodka or ice cream?” Andre opened the fridge.

"Sudah malam, saya harus pulang" saya tertawa "Dan kamu harus antarkan saya pulang, jadi tidak ada vodka malam ini"

"It is late, I have to go home" I laughed "And you have to drive me home, so no vodka tonight"

Dia tertawa dan mengambil dua mangkok dari lemari serta eskrim dari kulkas.

He laughed and took two bowls from the cupboard and ice cream from the fridge.

“Mari bersulang untuk malam ini”

“Let’s make a toast for tonight”

“Cheers” saya tersenyum.

“Cheers” I smiled.

“So, gimana kabarnya kamu?” Andre menatap saya "Saya kangen ngobrol sama kamu.

“So, how are things with you?” Andre stared at me "I miss talking with you.

Saya terpana menatapnya.

I stared at him with disbelief.

“Kenapa?” dia menatap saya dengan tatapan menyelidik “Semua baik-baik saja? Mau cerita ke saya apa pun yang ada dalam kepalamu itu?”

“What?” he gave me an intense look “Is everything okay with you? Wanna share whatever you have in your mind with me?”

Dan jadi kami bicara tentang berbagai macam hal.

And so we talked about many things.

“Terima kasih” saya tersenyum sesaat sebelum kami meninggalkan rumahnya “Untuk menanyakan kabar saya dan untuk mendengarkan saya”

“Thank you” I smiled a moment before we left his place “To ask how I was doing and to listen to me”

“Sama-sama” dia menepuk pipi saya “Kalau kamu ingin bicara, kamu tahu kamu bisa bicara ke saya”

“You’re welcome” he patted my cheek “If you want to talk, you know you can come to me”

*  *  *  *  *

Jadi, bagaimana kabarmu hari ini, teman?

So how are you today, my friend?

Wednesday, October 21, 2015

K.I.S.S.


Hari Minggu kemarin saya sebenarnya ada menumpuk sedikit rasa kesal pada pacar saya karena beberapa sms dan pesan whatsapp saya tidak dibalasnya.

Last Sunday I have actually kept a bit of upsetness on my boyfriend because he didn’t reply few of my text and whatsapp messages.

“Heran, apa susahnya sih kasih balasan pendek” gerutu saya dalam hati “Kan ga ngabisin waktu sampai semenit cuma buat ngetik ‘tq, say’ atau ‘iya, say’ atau kalau itu juga masih kepanjangan, ya taruh aja emoticon jempol atau ciuman”

“Geez, what’s so hard to send me short reply” I grumbled quietly “It wouldn’t take a minute to type ‘thanks, hun’ or ‘yes, hun’ or if it’s still too long, just put emoticon sign of thumb or kiss”

Sudah empat bulan kami pacaran dan selama itu saya belajar mengenali sifat dan kebiasaannya. Kami punya beberapa kesamaan dan segudang perbedaan.

We have been together for four months and during that time I learned about his character and habit. We have few things in common and tons of differences.

Dalam hal merespon sms atau pesan-pesan yang masuk, sesibuk apa pun saya, saya berusaha selalu membalas walaupun singkat seperti ‘Ok’ atau ‘Tq’ atau ‘sama2’

When it comes to responding text or incoming messages, no matter how busy I am, I try to always give respond though it’s only short ones such ‘Ok’ or ‘Thanks’ or ‘ur welcome’.

Nah, pacar saya tidak seperti itu. Sibuk atau tidak sibuk, tidak terlalu terpikir olehnya untuk memberikan respon pendek untuk pesan-pesan yang diterimanya.

Now, my boyfriend doesn’t think that way. Whether he is busy or not, it doesn’t cross his mind to give short respond to the messages he received.

Saya pernah menegurnya sekali “dibalas dong, sayang, pendek juga tidak apa-apa. Supaya juga orang yang mengirim pesan itu tahu kalau pesannya sudah kita terima. Lha, kalau kita diam, kan si pengirim pesan tidak tahu apa pesannya sampai atau tidak, itu bikin dia bisa bertanya-tanya” (atau jadi uring-uringan, tambah saya dalam hati teringat pada reaksi saya ketika pesan-pesan saya tidak diresponnya).


I once talked to him about this “please respond it, hun, it doesn’t matter to give short one. It is to make the message sender knows we have received his/her message. If there’s no respond, the sender will wonder if we have received the message or haven’t received it” (or would get upset, I quietly added as I remembered my reaction when he didn’t respond my messages).

Tapi yah.., mungkin karena tidak terbiasa atau mungkin saking kelewat cuekan, tetap saja dia begitu lagi.

Yeah well.., maybe because he is not accustomed with it or perhaps he is way too easy going, he’s doing it again.

Beda dengan saya yang mungkin karena faktor kebiasaan karena saya lama bekerja sebagai sekretaris dan kemudian sebagai guru, memaksa saya untuk memperhatikan pesan yang saya terima dan memberikan respon, kalau bisa tidak terlalu lama setelah saya menerima pesan tersebut. Ya, soalnya kalau tidak, saya diprotes orang.

It is so different with me who have developed it into a habit probably after years of  having been in the job as secretary and later as a teacher force me to pay attention to the messages given to me and duly respond them, right away, if it’s possible, after I received them. Or otherwise, people would protest me.

Nah, selama enam hari (sebelum kami bertemu hari Minggu itu) saya memendam kejengkelan karena beberapa pesan saya kok tidak direspon oleh pacar saya.

So, for six days (before we met on that Sunday) I kept my upsetness for not received any respond from my boyfriend.

Akhirnya saking kesalnya, saya sempat mogok mengiriminya pesan ucapan selamat pagi dan hari Sabtu sengaja saya cuekin permintaannya untuk mengirimkan sms kalau saya sudah sampai di rumah.

On top of that upsetnes,s I stopped sending him good morning message and on Saturday I deliberately ignored him when he asked me to text him once I have got home.

Hari Minggu kami bertemu di kantor saya dan saya menyadari cuaca hati saya tidak terlalu baik.

We met in my office that Sunday and I knew I wasn’t in quite  a good mood.

Kami berdua sibuk sampai hampir tengah hari.

We were busy until it was almost noon.

Setelah orang-orang pulang, saya mencarinya ke halaman kantor dimana dia memarkir motornya dan menemukan dia, dengan dibantu oleh rekan saya, sedang memperbaiki bagian motornya yang terlepas.

After everyone has left the office, I went looking for him at the office yard where he parked his motorcycle and I found him, working on something on it that fell off, with the help of my colleague.

Saya diam-diam memperhatikan mereka berdua bekerja.

I quietly watched them working.

Dan saya teringat pada seluruh kekesalan serta berbagai pikiran saya yang membuntuti saya selama hampir seminggu.

And I remembered all of my upsetness along with my thoughts that have followed me for almost a week.

Tapi sementara memperhatikannya bekerja, melihat mukanya yang tetap riang dan mendengar nada suaranya yang ringan ketika dia bicara pada rekan saya, bahkan sempat-sempatnya dia bergurau tentang bagian motornya yang copot itu, semuanya membuat saya berpikir.

But as I watched him working on his bike, seeing his cheerful face, hearing his light tone when he spoke to my colleague, even joked about the part of his bike that fell off, the whole thing made me thinking.

Saya membandingkan situasi yang masing-masing kami hadapi. Saya begitu cepat uring-uringan dan memendam kekesalan cuma karena beberapa pesan saya tidak diresponnya. Lalu saya melihat bagaimana dia menghadapi masalah dengan motornya dan dia tetap tenang serta tidak kehilangan keceriaannya.

I compared our situations. I was easily annoyed and stored my upsetness just because few of my messages were not responded by him. And then I saw how he dealt with the problem on his motorcycle and how he remained cool and didn’t lost his cheerfulness.

Itulah perbedaan di antara kami berdua.

That’s the difference in both of us.

Tapi bukankah keceriaannya itu yang membuat saya tertarik padanya? Bukankah itu juga satu dari beberapa hal yang saya kagumi dari dirinya?

But isn’t it because of his cheerfulness that made me attracted to him? Isn’t it one of the things that I admire in him?

Saya terlalu mengenal diri saya. Saya tahu sekalipun saya punya rasa humor tinggi tapi saya pemikir, saya cepat parno, gampang stress dan cenderung bisa jadi depresi.

I know myself all too well. I know despite my great sense of humor, I am also a thinker, I easily get paranoid, get stressed and then fall into depression.

Karena itu entah disadari atau tidak, saya selalu mencari orang-orang yang lebih kokoh dari saya tapi memiliki ketenangan serta keceriaan untuk mengimbangi hal-hal dalam sifat serta kepribadian saya.

Therefore, whether I realize it or not, I always seek for people who are stronger than me but have calmness and cheerfulness to balance my character and personality.

Saya sudah mengagumi pacar saya sejak di hari pertama kami bertemu beberapa tahun lalu karena saya melihat dia menghadapi sikon dan tantangan yang jauh lebih berat dari saya tapi dia menghadapinya dengan penuh ketenangan, keyakinan, ketegaran, keberanian, keceriaan dan optimisme.

I have admired my boyfriend on the first day we met few years ago because he faces tougher situation and challenges than mine but he deals it with calmness, faith, resilience, courage, cheerfulness and optimism.

Jadi ketika kami jadian empat bulan lalu, saya tahu saya menemukan seseorang yang saya anggap cukup kuat untuk bisa tahan menghadapi segala keruwetan dalam diri saya, laki-laki yang tegar dan kokoh untuk menjalani hari-hari bersama saya tapi memiliki ketenangan, keceriaan, keyakinan serta optimisme untuk mengimbangi saya.

So when we got together four months ago, I knew I found someone who I think strong enough to deal with my complexity, a tough and solid man with whom I want to spend my days but he has calmness, cheerfulness, faith along with optimism to balance me.

Dan siang itu dia tidak menyadari bahwa sikapnya saat menghadapi masalah telah memberikan contoh sangat baik. Buat saya ini jauh lebih mengena dari pada seribu nasihat.


And that afternoon he didn’t realize the way he handled his problem has set a very good example. It gave deeper effect on me than thousands of advices.

Segala kekesalan saya padanya pun hilang.

All my upsetness to him was just gone.

Dia memang orang yang luar biasa tapi dia juga tetap manusia. Ada hal-hal dalam sifat dan pribadinya yang tidak sempurna. Tapi bukankah saya juga tidak sempurna?

He is indeed a remarkable person but he is still a human being. There are imperfectness in his character and personality. But I am not perfect either.

Jadi manakah yang harus lebih saya perhatikan? Cinta saya padanya, cintanya pada saya atau memperhatikan setiap ketidaksempurnaannya?

So which one should I put my focus? My love to him, his love to me or watching his every imperfectness?

Setelah urusan dengan motornya beres, kami berdua kembali ke ruangan saya untuk duduk-duduk dan mengobrol. Ditengah-tengah obrolan, dia berhenti bicara, menatap saya dan kemudian menarik saya dalam pelukannya dan menghujani saya dengan ciuman.

After he was done with his bike, we returned to my room to sit and talked. He stopped talking in the middle of the conversation, he stared at me and then he pulled me into his arm and gave me kisses.

Saya tahu bahwa saya amat sangat mencintainya dan bersyukur karena saya sudah berhasil mengusir keruwetan pikiran saya.

I knew I love him so very much and glad I have able to get rid all of the things that burdened my mind.

Jadi berpikirlah sederhana saja seperti dia, kata saya dalam hati.  

So think simple just like him, I thought to myself.

Kalau dia tidak membalas pesan-pesan saya saat itu juga, kadang dia menelpon saya besok paginya. Kadang juga tidak. Tapi toh pesan-pesan itu juga tidak terlalu penting karena kalau penting, saya pasti akan menelponnya. Sederhana aja kan?

If he didn’t answer my messages right away, sometimes he would call me the next morning. Sometimes he didn’t call. But those were not important messages anyway, if it was important, I would definitely call him. There, it’s simple, right?

K.I.S.S. (Keep It Simple, Stupid; sederhanakanlah itu)

Saya tersenyum sendiri.

I smiled to myself.

Saya balas memeluknya dan menciumnya.


I hugged him back and kissed him.

Saturday, October 17, 2015

Now & Then

Dulu & Sekarang..

Hari Senin kemarin (12/10) saya sebenarnya berencana untuk melewatkan hari cuti saya dengan pergi ke satu tempat bersama dua rekan kerja tapi karena dua-duanya tidak bisa jadi saya harus merubah rencana.

Last Monday (Oct 12th) I planned to spend my leave day by went to a place with two of my colleagues but both couldn’t come so I had to change the plan.

Setelah selama beberapa menit kebingungan memilih tempat mana yang enak untuk saya kunjungi, pilihan saya jatuh pada sekolah tempat saya dulu mengajar.

After spent few minutes in confusion thinking which nice place to go to, my pick fell on the school where I worked as teacher.

Empat tahun lalu saya mengundurkan diri dari sekolah itu dan sejak itu saya tidak pernah lagi mengunjunginya. Saya memang sengaja tidak mau berkunjung karena melihatnya membuat saya sedih.

Four years ago I resigned from that school and eversince that I never paid a single visit. I didn’t want to because it would only make me sad.

Saya menjadi guru bukan karena pilihan. Saya tidak sengaja menemukan panggilan jiwa sebagai guru ketika sepuluh tahun yang lalu saya mengajar di gereja. Walau awalnya saya sempat jiper ketika harus mengajar anak-anak balita tapi lama-lama saya menyukainya.

Becoming a teacher was not my option. I unintentionally found my calling on it when ten years ago I taught Sunday school in a church. Despite the fact that it made me nervous when I taught the toddlers but started to like it.

Beberapa bulan kemudian saya mendapat tawaran untuk mengajar di sebuah taman kanak-kanak.

Few months later an offer came to me to teach in a kindergarten.

Dan mengajarlah saya disana dari tahun 2005-2011.


So from 2005 to 2011 I worked there as teacher.

Menjadi guru murni karena panggilan jiwa, mengajar tanpa memiliki ijasah guru, bermodal hanya kasih sayang untuk anak-anak dan saya belajar tentang cara mengajar dari buku dan memperhatikan guru lain saat mengajar.

Becoming a teacher pure by a heart’s call, teaching without having any teaching degree, all I had was the love for children and learning how to teach from books and watching other teacher when they taught.

Tapi lebih banyak saya mengikuti insting saya, suatu rasa di dalam diri saya yang membimbing saya hingga saya tahu bagaimana harus menyampaikan pelajaran, bagaimana harus membimbing dan bergaul dengan murid-murid saya dan juga dengan orang tua mereka.

But I followed my gut feeling, this feeling in me that led me so I knew how to present the lesson, how to guide and built relationship with my students and with their parents as well.

Menjadi guru membuat saya bahagia biarpun gajinya kecil (gaji pembantu jauh lebih besar dari pada gaji guru TK), biarpun saya harus nyambi jadi guru les supaya saya bisa memberi makan diri saya dan orang tua saya, biarpun sekolahnya kecil, biarpun saya harus hidup prihatin..

Becoming a teacher made me happy though it sucks in its salary (a maid is paid higher than kindergarten teacher), though I had to take side job as English tutor to make ends meet as I had to feed not just myself but also my parents, though the school is small, though I had to live in scarce.

Kondisi kesehatan orang tua saya yang menurun memaksa saya untuk menerima tawaran kerja yang memberikan gaji lebih besar.

My parents deteriorating health forced me to accept job offer that pays higher.

Saya mengundurkan diri dari sekolah itu.

I resigned from that school.

Saya benci pada sikon yang memaksa saya untuk menerima pekerjaan yang memberikan gaji lebih besar. Saya merasa tidak ada bedanya dengan pelacur yang menjual jiwa dan tubuhnya demi uang.

I hated the condition that forced me to accept the job that pays me higher. I felt no difference with a whore who sells her soul and body for money.

Saya tidak pernah bisa benar-benar mencintai pekerjaan saya seperti saya mencintai pekerjaan saya sebagai guru.

I can never really love my job as I love teaching.

Saya belajar untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru itu, saya melakukannya sebaik mungkin dan selama empat tahun ini saya berhasil survive di pekerjaan itu tapi saya melihatnya hanya sebagai pekerjaan yang memberi saya uang lebih banyak.

I learn to adapt myself with the new job, I do my job as well as I can and I have survived in this job for the past four years but I see it just as a job that gives me more money.

Hati saya, jiwa saya dan cinta saya tidak ada disana.

My heart, my soul and my love are not in there.

Ketika saya bekerja sebagai guru, saya melakukannya dengan seluruh hati saya, jiwa saya dan cinta saya.

When I work as teacher, I do that with all my heart, my soul and my love.

Berhenti mengajar rasanya seperti kehilangan jiwa dan tahun pertama setelah saya berhenti dari sekolah itu adalah tahun yang paling berat. Dua tahun berikutnya adalah masa-masa penuh kesusahan.

To quit teaching felt like losing my soul and the first year after I resigned from that school was the hardest year. Two years after that were hardship years.

Keadaan mulai membaik sejak akhir tahun lalu.

Things got better from last year’s end.

Beberapa ibu dari mantan murid saya di sekolah itu sudah sering menanyakan kapan saya mampir ke sana. Baru hari Senin itu hati saya tergerak untuk datang ke sana.

Few mothers of my former students in that school have been asking when would I visit it. But only on that Monday did my heart moved to go there.

Dalam perjalanan menuju sekolah itu..

On the way to that school..

Sepanjang jalan menuju sekolah itu membuat saya seperti berjalan mundur ke masa lalu tanpa meninggalkan masa sekarang.

On the way there it made me felt like walking backward to the past but without leaving the present.

Beberapa rumah menjadi lebih bagus sementara rumah-rumah lainnya kini berubah menjadi toko-toko kecil.

Few houses have been renovated while others turned into small shops.

Tapi jalannya tetap sama dan hati saya terharu saat teringat dulu karena uang saya tidak sebanyak sekarang maka entah itu panas atau hujan, saya jalan kaki. Sekarang tanpa ragu saya naik becak. Dulu cuma kalau hujan besar sekali atau saya sedang tidak sehat, barulah saya naik becak.

But the street is still the same and it was bitter sweet memory when I remembered how my money was not as much as I have now so whether it was sunny or rainy, I walked to school. Now I could afford to ride on pedicab. Back then, I would only ride on pedicab when it rained heavily or I was not feeling well.

Dan sebelum saya naik becak, saya membeli dulu gorengan senilai sepuluh ribu rupiah. Dulu, jangankan mengeluarkan sepuluh ribu untuk cemilan, keluar duit tiga ribu buat naik becak saja saya ogah. Bukan karena saya pelit pada diri sendiri tapi karena uang saya memang tidak banyak.

And before I rode on pedicab, I bought some fried snacks worth ten thousand rupiah. Back then, let alone spending ten thousand for snacks, I wouldn’t waste three thousand for riding on pedicab. Not because I was cheap on myself but it was because I didn’t have lots of money.

Dulu saya kurus dan kulit tidak seputih sekarang.

Back then I was thin and my skin wasn’t as fair as it is now.

Sampai di sekolah..

After arriving in school..

Empat orang ibu menyambut saya dengan gembira.

Four mothers excitedly greeted me.

Saya juga gembira dan tidak menduga bertemu dengan mereka karena sudah lewat entah berapa tahun sejak anak-anak mereka lulus dari TK ini.


I was also happy and surprised to meet them because it has passed few years after their children graduated from this kindergarten.

“Sekarang giliran adik-adiknya yang sekolah disini, bu”

“It is their siblings who study here, ma’am”

Mereka tetap mengingat dan menghormati saya sekalipun saya bukan lagi guru di sekolah ini.

They still regard and respect me though I no longer teacher in this school.

Tapi karena dari dulu saya menerapkan hubungan informal dengan para orang tua dari murid-murid saya, hubungan saya dengan mereka lebih mirip menyerupai hubungan kekawanan. Dan sekarang setelah saya tidak lagi menjadi guru di sekolah itu, rasa kekawanan itu menjadi lebih dekat, lebih akrab.

But since I always built informal relationship with parents of my students, my relationship with them was more like a friendship. And now being no longer a teacher in that school makes that friendship bonds, closer.

Apa kabar, kamerad?

How are you doing, comerades?

“Halo, Ke!”

“Hello, Keke!”

Sambutan meriah berikutnya datang dari rekan-rekan guru, termasuk kepala sekolahnya.

The next merry greetings came from my former fellow teachers, including the headmaster.

Melihat mereka, bertemu dengan mereka, bicara dengan mereka, berada kembali di ruang kelas.. semua melontarkan saya kembali ke masa lalu.


Seeing them, meeting them, talking to them, being in the classroom.. it all put me back to the past.

Mereka tidak melupakan saya. Tidak menganggap saya sebagai bukan guru. Mereka tetap melihat saya sebagai bagian dari mereka. Mereka ingin saya kembali menjadi bagian dari sekolah ini, kembali menyatu dengan mereka.


They have not forgotten me. I am not considered as an ex-teacher. They still see me as one of them. They want me to become part of this school again, becoming one of them once more.


Saya masih memiliki 'sentuhan ajaib' itu

I still have that 'magic touch'

Saya sedang berdiri sambil bicara dengan ibu-ibu itu ketika saya merasa ada yang mencolek lengan saya dari belakang.

I was standing and talking to those ladies when I felt somebody touched my arm from behind me.

Saya menoleh ke belakang dan melihat seorang anak laki-laki menatap saya dengan sepasang mata yang bersinar nakal sambil terkekeh kecil.

I turned and saw a little boy stared at me with his shinning pair of eyes, mischievously, as he giggled.

“Oh, jadi kamu ya yang colek-colek” kata saya sambil pelan-pelan berjalan mendekatinya dan memasang cengiran nakal di muka saya.

“Oh, so you are the one who touched me” I spoke as I walked slowly toward him and put on a mischievous grin on my face.

Dia spontan tertawa terpingkal-pingkal.

He spontaneously burst out his laughter.

Dan selama beberapa saat kami berdua menikmati permainan saling colek lalu saya lari mengejarnya.

And so the two of us spent few moments of the game touching me and I ran after him trying to catch him.

Pada waktu istirahat..

During recess..

“Kappa” gadis kecil itu membaca tulisan di kaos saya.

“Kappa” the little girl read the writing on my tshirt.

Saya yang sedang memegangi ayunan yang dinaikinya sampai kaget karena tidak menduga dia sudah bisa membaca.

She was on the swinging and I was holding it, I didn’t expect her to read the writing on my surprise and so got surprised to see that she could read it.

“Ya, Kappa” saya tersenyum sambil mengelus pipinya “Kamu sudah bisa membaca”

“Yes, Kappa” I smiled as I caressed her cheek “You can read”

Dia tersenyum dan kami mengobrol tentang berbagai hal. Beberapa dari kawannya mendekat dan tahu-tahu sudah ikut mengobrol.

She smiled and we talked about many things. Few of her friends approached us and suddenly they just joined our conversation.

Saya sedang istirahat di ruang tata usaha ketika serombongan anak lelaki mendatangi saya dan menggerombol di depan pintu.

I was taking a break in the school’s administrator room when a bunch of little boys came to me and gathered infront of the door.

Ributnya mereka karena ada yang bicara ke saya, ada yang menyanyi-nyanyi dan ada yang menatap saya sambil nyengir serta membuat gerakan untuk mengajak saya bermain.

It was so noisy as they tried to talk to me, others were singing and there were some who stared at me, grinned and made a gesture of asking me to join their game.

Saya mengikuti permainan mereka, permainan ‘tangkaplah saya’.

I joined their game, the game of ‘catch me’.

Setelah sekolah usai, saya masuk ke ruang kelas TK B. Beberapa anak sedang mengikuti pelajaran membaca. Saya duduk dengan niat hanya untuk memperhatikan mereka dan mencuri waktu untuk mengobrol dengan walikelasnya.


After school I sneaked into the classroom for the older students. Some children were there learning to read. I took a seat and wanted to just observing them and stole some time talking with their teacher.

Tapi akhirnya anak-anak itu dan saya jadi terlibat dalam pembicaraan diselingi dengan canda tawa saat saya memakai cara bercanda untuk membuat mereka menyelesaikan tugas dengan cepat.

But at the end those children and I got ourselves into small talk full with jokes and laughter when I tried to use the joke to make them did their task faster.

Saya sendiri terheran-heran melihat diri saya begitu cepat melebur dengan anak-anak ini padahal semua tidak mengenal saya. Hari itu adalah hari pertama mereka melihat saya.

I was amazed to see how fast I could blend in with those children who didn’t know me. That day was the first time they met me.

Selama empat tahun sejak saya mengundurkan diri dari sekolah itu, kontak saya dengan anak-anak usia 2-6 tahun sangat terbatas. Saya tidak lagi terbiasa bergaul dengan mereka tapi hari itu saya tidak merasa kikuk berada di antara mereka.

For four years after I resigned from that school, I make few contact with children age 2-6 years old. I am no longer used to be around them but that day I didn’t even feel ackward to be among them.

Bernapas dalam oksigen murni..

Breathing in pure oxygen..

Satu hal yang tidak pernah bisa membuat saya memberikan seluruh hati saya, jiwa saya dan cinta saya pada pekerjaan di luar mengajar adalah karena berada di antara anak-anak seperti bernapas dalam udara yang bersih, menghirup oksigen murni.

One thing that makes me unable to give all my heart, my soul and my love to any job outside teaching is because being with children is like breathing the clean air, inhaling pure oxygen.

Selama empat tahun saya bekerja di dunia orang dewasa dan berada di antara orang dewasa. Rasanya seperti menghirup udara yang penuh dengan polusi. Membuat sesak napas dan kadang seperti mencekik seluruh keberadaan saya.

For four years I work in adult environment and be in the midst of the adult. It feels like breathing polluted air. Making it hard to breath and sometimes it choked my whole being.

Banyak yang baik pada saya. Banyak yang menyayangi saya.

Many are kind to me. Many love me.

Tapi orang dewasa penuh dengan ego, ambisi, keinginan tersembunyi, kemunafikan, iri, masalah-masalah psikologis yang jauh lebih parah dari masalah anak-anak.

But grown ups are full with ego, ambition, hidden wishes, hypocrisy and psychologic problems that are worse than the children’s.

Dalam diri saya tetap ada sisi kanak-kanak yang menginginkan kemurnian itu.

The child in me still wanting to have that purity.

Kembalilah..

Come back..

Rekan-rekan saya dan beberapa orang tua murid ingin saya kembali mengajar di sekolah itu.

My fellow teachers and some parents wish to have me back as teacher in that school.

Dari hasil obrolan saya hari itu, saya tahu saya pasti akan langsung diterima kalau saya mau kembali.

From that day’s conversation I knew I definitely will be accepted right away if I want to regain my position as teacher.

Dan tidak ada yang lebih saya inginkan selain dapat kembali mengajar di sekolah.

And there is nothing I want more than to be able to teach in school again.