Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, February 28, 2013

Indonesian and Hazardous Food and Drink


Senang jajan?

Nah, himbauan berhati-hati dengan makanan dan minuman berlaku bagi semua orang Indonesia dan orang asing yang berada di Indonesia.


Bukan perkara kebersihan saja yang harus diwaspadai. Tapi juga bahan-bahan pembuat makanan dan minuman yang di jual di luar rumah.

Kalau dulu orang hanya mengkhawatirkan apakah makanan dan minuman itu terkontaminasi oleh debu atau lalat, atau memakai air bersih dan matang.

Sekarang, bukan hanya itu yang harus dikhawatirkan karena banyak pedagang yang memakai bahan-bahan kimia tidak hanya untuk mengawetkan makanan/minuman tapi juga bahan-bahan seperti pewarna tekstil, pemutih dan segala macam bahan kimia lainnya yang tidak akan pernah terpikirkan oleh kita akan ada di dalam makanan atau minuman yang kita makan dan minum.

Tidak semua pedagang melakukan kecurangan ini tapi siapa yang berani ambil resiko? Tidak mungkin juga kan kita harus membawa dulu makanan atau minuman itu ke laboratorium untuk mengecek apakah mengandung bahan-bahan berbahaya sebelum kita memakan atau meminumnya.

Kalau hanya sekali-sekali kita jajan, yah, tidak apalah walau tetap harus berbesar hati menerima resiko bahwa yang kita masukkan ke dalam perut mengandung bahan-bahan berbahaya. Tapi kalau rutin, lebih baik jangan.

____________________________________________

We all like snacking. 

The warning goes not only to Indonesian but for anybody who lives in this country to be alert when consuming food or drink that are not homemade.

It is because hygiene is not the only thing we must worry about these days. The concern goes for the ingredients of the food and drinks.

In the old days we were just worry about the dust and flies that made the food or drink became dirty or contaminated. Also if it was well cooked or used boiled water. 


Now there are many vendors put hazardous stuff in the food or drinks. Chemical stuff that are definitely not for food and drink. Preservative stuff that used to preserve corpse, stuff to bleach clothes, stuff that used to dye fabrics. 

Not all vendors or baker use these stuff but would we take the risk? Beside how could we tell which one using those stuff with the ones that do not use them.

It is okay if you buy snacks occasionally. Just don't make it too often.

Wednesday, February 27, 2013

Indonesian and Freaky Thursday Night


Pernah nonton film Freaky Friday yang bintangi oleh Lindsay Lohan dan Jamie Lee Curtis? Ceritanya terjadi suatu hal yang aneh dan nakutin pada hari Jumat. Nah, buat orang Indonesia, yang di sebut Freaky (nakutin) bukanlah hari Jumat tapi hari Kamis malam atau malam Jumat.

Menurut pendapat umum orang Indonesia, hari Kamis malam itu menjadi Freaky karena di saat itulah para setan pada berkeliaran.

Padahal menurut logika saya, setiap saat para setan itu berkeliaran mencari manusia buat ditakut-takutin, di intimidasi, dicelakai atau malah di bunuh. Jadi tidak hanya pada hari tertentu saja.

Tapi ya kepercayaan demikian sudah berakar dari generasi ke generasi sehingga orang Indonesia sering tidak lagi bisa menemukan penjelasan logis dan sulit meninggalkan kepercayaan lama itu.

Jadi deh Kamis malam memberi kesan angker, Freaky. Dan saluran televisi menyiarkan film-film horror. Jadi bukannya berupaya untuk menghilangkan kepercayaan tersebut tapi malah mendukung supaya semakin berakar. Weleh…

Sebagai seorang yang punya banyak pengalaman yang berhubungan dengan dunia kasat mata karena seperti bokap dan almarhum ibunya (nenek saya), saya dikaruniai indra ke enam yang sering berfungsi di luar kemauan dan pilihan saya, tapi toh, saya menggolongkan diri saya sebagai orang yang selalu berupaya mencari penjelasan logis dari hal-hal kasat mata.

Mengenai kepercayaan umum bahwa Kamis malam adalah malam yang keramat atau angker karena para setan berkeliaran pada saat itu, saya mempunyai penyanggahan logis bahwa para setan berkeliaran setiap saat.

Buktinya, kecelakaan tabrakan beruntun yang terjadi belum lama ini karena sebuah truk kontainer menabrak begitu banyak mobil, motor sampai menghantam beberapa rumah. 16 orang mati seketika. Dan semua itu terjadi pada hari Sabtu pagi.

Lalu peristiwa tsunami di Aceh dan sekitarnya kan terjadinya hari Minggu.

Saya menyayangkan bahwa kepercayaan tentang Kamis malam ini menekankan pada para setan yang memunculkan diri dalam bentuk menakutkan di depan manusia. Padahal kenyataannya mereka menjadi lebih menakutkan bila mereka merasuki manusia, alam, kendaraan atau benda-benda lainnya. Karena bila hal tersebut terjadi maka mereka bisa membuat banyak hal yang lebih menakutkan, merugikan dan bahkan menciptakan suatu bencana.

Coba saja lihat lewat peristiwa rem blong, berapa nyawa melayang? Berapa yang terluka? Berapa banyak kerugian material?

Begitu pula halnya dengan bencana alam, peperangan, perampokan, penyakit dan banyak peristiwa lainnya yang saya yakini dan ketahui bahwa tidaklah murni terjadi karena faktor manusia, alam atau ketidaksengajaan. Entah anda bisa menerimanya atau tidak, tapi segala hal buruk itu tidak datang dari surga. Kita bisa menebak dengan mudah siapa yang sangat suka melihat pertengkaran, peperangan, penderitaan, kehancuran dan kematian muncul di dunia ini. Para setan tentunya.

Orang Indonesia mempercayai banyak hal irasional. Saya menyayangkan bahwa hal-hal tidak masuk akal itu masih dipercayai dan bahkan diturunkan kepada generasi berikutnya.

Sebagai orang yang hidup di jaman modern seperti sekarang ini dan sebagai seorang guru, saya menentang kepercayaan yang tidak logis.

Alangkah menyedihkan melihat orang dewasa (tidak jarang anak muda atau orang-orang berpendidikan tinggi) yang masih dipengaruhi atau malah memegang kuat kepercayaan lama yang sama sekali tidak menguntungkan mereka.
______________________________

Have you seen that movie Freaky Friday that starred by Lindsay Lohan and Jamie Lee Curtis?. The movie tells a story about freaky thing that happened on Friday. But do you know that for Indonesian the freaky day is not Friday? It is Thursday. Thursday night to be precise.

It is because in Indonesian’s general opinion and belief it is the time when devils go and haunting the land.

To my logic, the devils don’t go haunting people to scare them off, to to harm on them or to even kill them not only on Thursday night.

But that opinion and belief have been deep rooted in the mind of Indonesian that they can’t find any logical explanation to get those things out of their minds and lives.

And so Thursday night continues to be seen freaky. TV shows horror movies on Thursday night. Through this they support that opinion and belief that Thursday night is the time when hell break loose and all the satan haunting this country.

Having many experience with supernatural stuff as I have this six sense like my father and his late mother (my grandmother) that I don’t choose to have nor enjoy of having it, I try to be a logical person. I always try to find logical reason or explanation toward unexplainable stuff.

About this devils wandering around on Thursday night, I am so against it and I have logical explanation for that.

Recently there was a major collision involving a container truck that slammed into cars, motorcycles and even houses. 16 people killed instantly. This happened on Saturday morning.

How about the tsunami in Aceh? It happened on Sunday morning.

I regret general opinion in this country about the devils show themselves to people on Thursday night in scary forms whereas they are more scary when they manifest themselves in human, nature, vehicles or other things because they can create more damage.

Just take a look how a container truck that had broke its break had become a tool to kill and injured lots of people, not to mention the material loss.

I belief and know that natural disaster, war, robbery, disease and many other things do not caused by human errors, nature or just pure coincidence. Whether you can accept this or not, one thing for sure is that those things can not be made by any authority in heaven. So who would be so happy to see so fights, war, misery, destruction and death happen on earth? The satan and devils of course.

Indonesian believe too many irrational things. I feel pity that not only they keep those irrational belief but they also pass it on to the next generation.

As somebody who lives in this modern time and being a teacher, I truly against any irrational belief.

It is such a shame that many people (including the young ones and the high educated people) still very much hold on to this irrational and unbenefitable belief.

Monday, February 25, 2013

Indonesian and English

‘We-ha-i-te-e’, Dio, murid les saya, menyenderkan badannya ke saya sambil menyenandungkan huruf-huruf itu.

Dite, kakaknya, berhenti mengerjakan soal-soal yang saya berikan, menertawakan adiknya tapi juga bingung. ‘We-ha-i-te-e’, apaan tuh?, tanyanya.

Saya ikut tertawa jadinya. Pertama karena tingkah lucu Dio yang menghapal sambil menyanyikan huruf-huruf dari bahasa inggris itu dan karena melihat kebingungan kakaknya.

“Adikmu lagi menghapal warna-warna dalam bahasa Inggris” saya menerangkan.

“Terus, ‘We-ha-i-te-e’ itu apa?” Dite penasaran.

“Warna apa hayoo?” saya sengaja membuat dia berpikir.

“Oooh” sesaat kemudian Dite tersenyum setelah dia berhasil menebak rangkaian huruf-huruf yang disenandungkan adiknya tadi adalah sebuah kata untuk satu warna dalam bahasa Inggris.

I'm holding Joan
“Ayo, yo, kamu pasti bisa” Joan, yang paling tua dari tiga bersaudara itu, memberi semangat.

“Iya dong, pasti bisa” Dio menengadahkan mukanya untuk memandang saya.

“Pasti!” saya memeluknya. Anak lelaki kecil berusia 7 tahun itu pun merangkul lengan saya.

Dua kali seminggu mereka datang untuk les bahasa Inggris. Sudah setahun ini saya melihat bagaimana perbendaharaan kosa kata, pengertian dan tata bahasa mereka semakin lama semakin bertambah dan semakin baik. 80 adalah nilai terendah mereka dalam bahasa Inggris. Dio yang tidak diunggulkan di antara mereka pun sudah dua kali mendapat nilai 100.

“Kalian tahu ga, bu Keke belajar bahasa Inggris pertama kali waktu di kelas 1 SMP. Umur bu Keke waktu itu 13 tahun” beberapa kali saya berkata demikian untuk memberi semangat kepada mereka “sekarang Dio yang kelas 1 SD sudah belajar pelajaran yang bu Keke dapetin waktu umur 13 tahun. Jadi kalian lebih beruntung dan lebih pintar dari bu Keke”

“Jadi kalau bu Keke bisa, Dio juga pasti bisa ya, bu?” Dio dengan lugunya bertanya.

“Yap” jawab saya.

Dan Dio yang oleh ibunya dikatakan angin-anginan dalam hal belajar menunjukkan semangat serta ketekunan dalam belajar bahasa Inggris. Nilai-nilainya membuat kami semua gembira tentunya.

Tapi saya memang betul-betul mengagumi anak-anak jaman sekarang yang telah mengetahui pelajaran bahasa asing dari usia sangat muda. Bahkan ada yang sudah dapat berkomunikasi dengan lancar menggunakan bahasa itu karena sekolahnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Sementara saya sendiri baru mendapatkan kemampuan dan keahlian demikian setelah setidaknya mempelajari bahasa Inggris selama lebih dari 10 tahun. Penguasaan akan bahasa yang satu ini tidak datang walau nilai pelajaran bahasa Inggris saya selalu yang paling tinggi dari mata pelajaran lainnya dan tidak juga melalui korespondensi saya dengan teman-teman di luar negeri. 

Pekerjaan saya di perusahaan asing, banyak bertemu dengan orang-orang asing dan kemudian memiliki hubungan pribadi dengan beberapa dari mereka memberi kesempatan bagi saya untuk lebih memperbaiki dan menyempurnakan bahasa Inggris.

Hanya saja saat ini kontak saya menjadi lebih terbatas dengan orang asing, apalagi kalau Andre sedang tidak berlibur di sini, wah, saya kehilangan native speaker untuk menjadi lawan bicara.

Jalan keluarnya ya saya sengaja membuat blog dalam dua bahasa atau menulis status di facebook dalam bahasa Inggris untuk melatih diri sendiri. Kalau tidak begitu, setiap kali hendak menulis atau bicara dalam bahasa itu, saya harus berpikir agak lama untuk menyusun suatu kalimat atau menemukan satu kata.

Anda orang asing yang ingin berkunjung ke Indonesia? Jangan khawatir soal bahasa. Rata-rata orang Indonesia bisa berbahasa Inggris walau tentunya kefasihan itu tidak sama tapi setidaknya lumayanlah untuk bisa mengobrol atau sekedar berkomunikasi.

Tapi jangan di kira karena mentang-mentang saya mengajar les bahasa Inggris dan menjalin hubungan dengan orang asing lalu otomatis saya fasih sekali bicara dalam bahasa itu. Tidaklah.. hehe… mungkin jauh lebih baik dari kemampuan rata-rata tapi tidak sefasih native speakernya. Mungkin kalau saya tinggal selama bertahun-tahun di luar negeri, saya bisa fasih. Eh, tapi saya punya teman yang sudah lebih dari 10 tahun tinggal di Amerika dan bahkan sudah menikah dengan orang sana tapi bahasa Inggrisnya kayaknya kok masih ga beda-beda banget sama waktu dia masih tinggal di Indonesia. Hehe… jadi ga jamin tinggal di luar negeri trus kemampuan berbahasa Inggris otomatis jadi lebih ok.

Anyway, saya juga tidak rajin mengumbar bicara dalam bahasa Inggris. Hanya sekali-sekali saja dan itu juga saya pilih lawan bicara yang mengerti bahasa itu dengan cukup baik.

Dan… psst, gini-gini otak saya bisa blank juga kalau kondisi fisik lagi kurang sehat, capek atau setiap kali saya lagi marah.

“I don’t feel like talking in English now” lagi ga mood buat ngomong pake bahasa Inggris, kata saya pada Andre kalau sudah demikian. Biasanya dia mengerti dan tidak banyak tanya. Tapi kadang dia protes.

“Then how do we communicate if you don’t feel like talking in English?” gimana kita berkomunikasi kalau kamu lagi ga mood buat ngomong pake bahasa Ingggris?

Hehe.

Tapi lebih parah kalau saya lagi marah. Entah marah ke dia atau karena sebab lain. Yang pasti otak saya buntu kalau sudah seperti itu. Nah, bikin pusing aja kan kalau dia nanya kenapa atau minta penjelasan. Yang muncul di otak saya malah berbagai kata makian macam f**ck, SOB, b**ch, d*mn.

Gawat kan…

Paling kalau sudah begitu saya cuma ngomong “for crying out loud, leave me alone, honey. Don’t ask, don’t talk to me” biarin gue sendiri dulu. Jangan nanya, jangan ajak gue ngomong.

Yah, untungnya sudah ada saling pengertian sehingga tidak terjadi perang dunia.. hehe..
___________________________

‘W-h-i-t-e’, Dio leaned himself on me as he hummed those words.

His brother, Dite, looked up to him with puzzleness on his face as he laughed ‘W-h-i-t-e’, what’s that?” he asked.

I laughed. First at seeing Dio and then on his brother’s question.

“Your brother is memorizing colors in English” I answered his question.

“Then what is ‘W-h-i-t-e’?” Dite looked curious.

“Well, what color is that?” I left him to figure it out.

“Ah” the smile on his face showed that he found the word.

“You can do it” Joan, the eldest of these threesome encouraged her youngest brother.

“You bet I can” Dio looked up to me.

“Yes, you can” I hugged this 7 year old boy. He hold my arm.

They come to my house twice a week for their English tutoring. It has been a year now and I see how they make impressive improvement and progress on their English vocabulary and grammar. So far 80 is their lowest English test. Even the under dog Dio has been getting 100 for his English tests.

“Do you know that when I was in school, English was taught in junior highschool. So the things that Dio learns in his English class was taught to me when I was 13 years old. You guys are luckier and smarter than me” sometimes I told them this to encourage them.

“So if you could excel in English, so can I, right?” Dio asked.

“You bet!”

And Dio who, according to his mother, shows little interest in studying has seriously and enthusiastically learned English. His progress and improving grades make us all happy and surprised.

I actually admire kids for their ability to know foreign language(s) in such young age. Some even become fluent because they study in school that put English as its main language.

Me? I have achieved that level of skill after I learned English for more than 10 years. I got it not only from school nor through my foreign pen-friends.

My work in foreign companies allowing me to meet and work with foreigners on daily basis. And I had personal relationship with some of them. It is all giving me the chance to work on my English.

I don’t have regular contact with them at the moment, especially when Andre is not visiting. I don’t have my native speaker to practice my English.

I am doing self practice by writing bilingual blog or write English status on facebook. Otherwise my English would go rusty and it would make me think when I had to speak on that language or when trying to find an English word.

Are you a foreigner planning to go to Indonesia? Language should be something that worries you because most of Indonesian know English though their level of fluency may vary but at least you can communicate with them in that language.

However, don’t think that I speak English fluently all because I tutor English and having a relationship with a native speaker. Maybe it is above the average level but not fluent. If I have live abroad I probably can speak it fluently.

I don’t speak English all the time or with anybody. I speak it only to the people I know understand English quite well.

Psst, my mind usually go completely blank when I feel tired, unwell or when I am upset.

“I don’t feel like talking in English now” I would let Andre knows that my mood was not good and it makes my brain unable to work perfectly when it comes to speaking in English. He understands and asks no question. But sometimes he protested.

“Then how do we communicate if you don’t feel like talking in English?”

Haha.

Worst is when I am angry. My brain completely having malfunction at times like that. the only words fill in my mind are the swearing ones such as f**ck, SOB, b**ch, d*mn.

Now that is bad.

And all I could say to him is “for crying out loud, leave me alone, honey. Don’t ask, don’t talk to me”.. well, I'm glad we both have some sort of understanding so there has been no fights sofar..

Saturday, February 23, 2013

Indonesian and Luxurious Things

Luxury. Kemewahan.

Bagi sebagian besar orang Indonesia, pengobatan dan pendidikan adalah dua hal yang merupakan kemewahan.

Kenapa pengobatan menjadi suatu kemewahan?

Pertama karena obat-obatan di buat dengan bahan dan takaran yang khusus, di tempat yang khusus dan ditangani oleh orang-orang yang berpendidikan khusus. Kombinasi faktor tersebut membuat harga obat melambung tinggi. Jadi, dengan perkecualian obat untuk sakit recehan, harga obat umumnya bisa berkisar antara 70 ribu sampai ratusan ribu.

Kemudian tenaga medis seperti seorang dokter juga dihargai mahal karena ilmu, pengetahuan dan pengalaman seorang dokter nilainya tentu tidak bisa disamakan dengan ilmu, pengetahuan dan pengalaman seorang (misalnya) kondektur bis. Dan semakin tinggi ilmu, pengetahuan dan pengalaman seorang dokter, bisa dipastikan semakin tinggi pula tarifnya. Pertimbangannya adalah karena dia sudah mengeluarkan tenaga, waktu, pikiran dan biaya untuk mendapatkan semua itu maka tentu dia harus menerima imbalan seimbang atau bahkan berlipat kali ganda.

Karena itu janganlah kaget kalau ongkos seorang dokter, sekalipun bagi mata orang awam seakan dia hanya melakukan pemeriksaan tekanan darah, mendengarkan detak jantung pasien dengan steteskop, memencet-mencet perut pasien, duduk diam mendengarkan keluhan pasien dan kemudian mencoret-coret selembar kertas dengan tulisan cakar ayamnya yang akan di bawa pasien ke apotik untuk mendapatkan obat, tapi untuk keseluruhan prosedur yang hanya memakan waktu antara 5-15 menit itu, pasien harus membayar antara 40 ribu sampai ratusan ribu.

Nah, kalau dia berpraktek di rumah sakit tentu tarif yang dipasangnya lebih tinggi lagi karena ada ketentuan bagi hasil. Sekian persen atau sekian ribu (entah puluh atau ratus ribu) untuk rumah sakit dan sisanya untuk si dokter.
 
Dan rumah sakit seperti perusahaan atau tempat usaha mana pun, membutuhkan biaya operasional yang tidak kecil jumlahnya karena tentunya listrik, air, telpon, karyawan, pemeliharaan bangunan dan keamanan harus di bayar. Belum lagi obat-obat, peralatan medis dan hal-hal lainnya yang harus di beli atau di bayar.
 
Bagaimana dengan pendidikan? Yah, pada dasarnya sama saja. Setiap sekolah harus membayar biaya operasional dan membayar guru. Juga ada peralatan dan hal-hal lain yang harus di beli atau di bayar oleh sekolah.

Semakin lengkap fasilitas sebuah sekolah, semakin baik kondisi gedungnya, semakin banyak gurunya (yang bertitel S1, S2, S3, S Teler, S Cendol dan segala S lainnya), semakin tinggi standard nilai yang dicapai oleh murid-muridnya, semakin banyak prestasi akademik atau non akademiknya, apalagi kalau sekolah ini sudah memasang plang sekolah plus plus atau sekolah internasional, tentu semakin tinggi pula tariff yang di pasang oleh sekolah tersebut.  

Standar gaji guru pun demikian. Semakin tinggi pendidikannya, semakin tinggi pula standar gajinya.

Dengan catatan, hal ini tidak berlaku bagi rumah sakit, sekolah, dokter atau guru yang berada di kota kecil, desa atau di pedalaman. Di tempat-tempat demikian kondisi mereka sama prihatin atau sama susahnya dengan masyarakat sekitar.

Nah, belum lama ini saya mendengar berita di televisi tentang seorang pasien yang terpaksa tidak bisa di rawat di rumah sakit karena rumah sakit itu mengharuskan setiap calon pasien rawat inap untuk membayar 10 juta sebagai uang deposit.

Di akhir dan awal tahun 2000 saya pernah mengalami masa dimana saya pernah melenggang masuk dan keluar sebagai pasien rawat inap di sebuah rumah sakit swasta yang lumayan ternama tanpa harus repot berpikir bagaimana harus membayar uang deposit, biaya dokter, obat dan rawat inap karena saat itu saya bekerja di perusahaan swasta asing yang mengasuransikan para karyawannya.

Kemudian datanglah masa kesusahan. Beberapa tahun lalu saya pernah nyaris mau gila rasanya ketika orang tua saya bergantian sakit sampai harus di operasi dan di rawat di rumah sakit. Pada waktu itu saya hanya seorang guru TK bergaji tidak sampai sejuta, tidak ada asuransi, tidak ada deposito dan negeri ini tidak memiliki sistem jaminan sosial seperti yang ada di negeri-negeri barat. Kalau tidak karena bantuan kiri kanan, saya kira apa yang bisa di jual pastilah akan di jual. Itu saja beberapa benda berharga sudah di jual.

Demikianlah pengalaman saya dengan urusan pengobatan. Bagaimana dengan pendidikan?.

Tahun 1984, seorang pegawai tata usaha sebuah SMP swasta mengatakan ‘kalau tidak punya uang, jangan sekolah di sini’ ketika ayah saya meminta waktu untuk membayar kekurangan uang pendaftaran murid baru (untuk mendaftarkan saya di sekolah itu). Dan tahun 1990 ayah saya menjual satu-satunya mobil (Toyota Corolla tahun 1970an) yang kami miliki untuk membiayai masa tiga tahun saya kuliah di perguruan tinggi swasta.

Itulah kenyataan hidup.

Masing-masing kita pastilah mempunyai pengalaman pribadi atau setidaknya menyaksikan bagaimana orang lain berjuang (untuk kemudian berhasil atau gagal) mendapatkan pengobatan atau pendidikan yang layak.

Pengalaman pribadi saya dalam hal kesehatan dan pendidikan membuat saya melakukan apa yang saya bisa untuk menolong orang lain yang menghadapi sikon yang pernah saya hadapi. Seringkali saya frustrasi karena tidak bisa memberikan lebih banyak karena kondisi keuangan saya sendiri belum memungkinkan untuk bisa melakukannya.

Entah anda memiliki atau tidak memiliki pengalaman pribadi dengan keterbatasan mendapat pengobatan atau pendidikan, bantulah orang yang anda tahu sedang mengalami kesulitan untuk mendapat pengobatan atau pendidikan yang layak.

Di jaman sekarang ini janganlah berharap banyak dari pemerintah atau para politisi. Terutama bila anda tinggal di negeri seperti yang saya tinggali ini. Di sini, seringkali rakyat harus berjuang sendiri atau harus saling membela, saling menolong, saling menopang.
_____________________________________________

For most Indonesian, medication and education are two luxurious things.

Why does medication considered as a luxury?

First, it is made by people with specific knowledge and skill and made from specific stuff. That is the reason why its price is not cheap. Except the medication for regular illness such as cold or cough. Over here the price is between 70 thousand rupiah up to hundred thousands rupiah.

And medical practitioners don’t come cheap either because they have spent lots of time, energy and money to get all the knowledge, skills and experience. Theirs are specific ones that not everybody can have. Theirs are not something that like bus driver have.

So don’t get surprise when you see a doctor’s bill comes in huge amount. We may see the doctor is just checking our blood pressure, pulse, put the stethoscope on our stomach or listen quietly as we describe our health problem and then scribble something on a sheet of paper for us to bring to the drugstore. The whole procedure may only take 5-15 minutes but the charge is unbelievable high, here it varies from 40 thousand to hundred thousands  rupiah.

The more knowledge, skills or experience a doctor has, the higher his/her fee is. Well, it would be fair return.

The bill may go higher if for doctors in hospitals because they have to share their fees with the hospital.

And hospital like other business places have to pay for operational expenses such as water, power, phone, staff, building maintenance, security, not to mention for the medics, facilities and equipment. Those aren’t cheap.

How about education? It is just the same. Schools have operational expenses, staff and teachers to pay.

The better a school is in its building, facilities and the more teachers work there, especially if the teachers have high academic degree, or if it is a bilingual school, the school charge not just hundred thousands rupiah but millions of rupiah.

The exception is for hospitals, schools, teachers, medical practitioners who work in remote areas. They don’t charge you as high as the ones in the city. Sometimes their own condition is just as lack or poor as the people in their location.

I heard from the news that a patient couldn’t get hospitalized because the hospital requires every in-patient to put 10 millions rupiah deposit.

In 2000 I had the experience when I went to hospital as out or in-patient without had to pay a single cent because at that time I worked in a company that insured its employees. So I had medical insurance that covered all of my medical bills.

But came hardship when I thought I lost my sanity when my parents got sick and had to be hospitalized. I worked as a kindergarten teacher whose monthly salary was just about 500 thousand rupiah. We didn’t have health insurance, no saving and this country does not have social system like the one in western countries. If there was no financial help from people, I wouldn’t know how to pay those medical bills because we had sell things to pay those bills.

That’s my experience regarding medication. Education? Lets see..,

In 1984 a staff in junior highschool where my father came to register me as freshman said ‘don’t enroll your child here if you don’t have the money to pay the expenses’ after my father asked he could pay the school’s registration fee in installment because the cash he brought was a little short. And in 1990 he had to sell our only car (a 1970s Toyota Corolla) for my education in college.

That’s the reality of life.

Each of us have personal experience or witness other people’s struggle to get proper medication or education that we deserve.

My personal experiences have made me tried to help when I saw anyone in need with medication or education bills. It frustrates me though that I can’t give as much as I want due to my own financial condition.

I urge you to help anyone who is struggling to get proper medical help or proper education.

These days don’t rely wholly in government or politician. Especially if you live in this country. Here, people are left to struggle on their own. So it has raised sort of people’s solidarity to stand up for each other, to help one another.

Thursday, February 21, 2013

Indonesian and Tardiness

“Haduh, jam berapa nih mo berangkat?” gerutu seorang oma kenalan saya

“Besok” kata saya sambil tertawa tertawa melihat muka frustrasi oma ini karena sudah menunggu selama hampir satu jam.

“Tahu begini tadi berangkat dari rumah ga usah pagi-pagi banget” gerutu si oma itu.

“Ya, kita sudah tahu memang berangkatnya tidak pernah bisa persis jam 9” saya memahami frustrasinya si oma “jadi besok-besok, sampe sini jam 8.45 aja supaya nunggunya jangan kelamaan”.

“Iya Ke, tapi saya di didik datang minimal setengah jam lebih awal”

“Itu prinsip kita berdua tapi orang di sini ga kayak gitu” saya nyengir “berangkat di jadwal jam 9 tapi orang-orangnya baru bermunculan jam 9. Jadi jangan harap jam 9 teng langsung bisa berangkat”

Di lain waktu, seorang teman di tempat kerja bercerita tentang anaknya yang tidak bisa tepat waktu. Kalau ada acara jam 9, pasti berangkat dari rumah jam 11. Lha, jam berapa sampai ke tempat tujuan? So telatnya pasti lebih dari 2 jam kalau sudah begitu.

Sewaktu masih menjadi guru, perkara acara terlambat terjadi saat pelaksanaan upacara bendera saat memperingati hari kemerdekaan dan saat acara perlombaan. Telatnya bisa lebih dari setengah jam. Kebayang dong gimana uring-uringnya kami karena harus berdiri (kadang di bawah teriknya matahari) demikian lama tanpa penjelasan dari panitia. Segala gerutuan dan sumpah serampah sudah sampai di ubun-ubun kalau sudah demikian.

Ya, betul sih tidak semua orang Indonesia seperti itu tapi rata-rata demikian. Kalau tidak, pasti tidak akan ada istilah ‘jam karet’. Bisa mulur semulur-mulurnya dari waktu yang telah ditentukan.

Saya kira segala sesuatu terbentuk dari kebiasaan. Kebiasaan tepat waktu bisa terbentuk dari didikan keluarga. Bisa juga dari lingkungan sekolah atau pekerjaan. Tentara, misalnya, di didik dengan disiplin tinggi. Termasuk disiplin dalam hal waktu.

Tapi entah kenapa pada orang-orang tertentu, naluri ‘jam karet’nya melampaui kebiasaan tepat waktu yang diterapkan oleh keluarga, sekolah atau tempat kerjanya.

Anak dari teman di tempat kerja saya itu misalnya, sekalipun teman saya adalah orang yang selalu tepat waktu tapi anak-anaknya setelah dewasa justru menjadi penganut ‘jam karet’. Heran juga saya jadinya karena saya yakin pastilah sejak kecil mereka terbiasa mengikuti pola kebiasaan dan didikan orang tua yang selalu tepat waktu tapi begitu mereka bertumbuh dewasa, mereka mengembangkan kebiasaannya sendiri yang bertolak belakang dari yang mereka dapatkan dari orang tuanya.

Kebiasaan buruk memang lebih mudah untuk dijalani, lebih menyenangkan dan lebih seru dari pada kebiasaan baik. Tapi hasil akhirnya nanti bagaimana dan seperti apa? 
_________________________

“What time time are we going to leave?” an aquitance of mine, an old lady, sighed.

“Tomorrow” I laughed at seeing her frustration after spending nearly an hour of waiting.

“If I knew it would be this late I wouldn’t leave my house so early” she grumbled.

“We all know it is never be 9 am sharp” I understood her frustration “so next time better get here at 8.45 am or make it 9 am so you don’t have to wait this long”

“But I was taught to come at least half hour early of my appointment time”

“We both are taught that way but not the people in this place” I grinned “it is scheduled at 9 am but the people get here at 9 am and don’t expect it to you are all be able to leave right away”

Another time, another acquaintance of mine told me about her daughter who can’t be on time. So if she has a 9 am appointment, it is always take her 2 hours to get ready so she is leaving at 11 am.

Back then when I worked as a teacher, this disability to be punctual went to major events such as the commemoration of independence day event or the children competition events. It would really drive us crazy to have to wait for more than half hour, most of the time we had to stand under the hot sun. You could hear not only sigh but also grumble and even quiet swearing.

Not all Indonesian are unable to be punctual but most are. We even came up with the call of ‘rubber watch’. It could be stretch far from the appointed time.

I think everything habitual. Parents, schools, work places and military teach us about discipline. That includes time discipline.

But some people seem more incline to the ‘elastic watch’ habit that making them always come late to school, to work or to any kind of appointment.

The daughter of my acquaitance for example, her mother is well known for her punctuality and so she has taught her kids to be punctual but somehow after they get older, they develop their own habit which is very much opposite with the one taught by their mother.

Bad habit is easy to develop and it is fun than good habit but at the end what does it bring as the outcome?

Indonesian and Traditional Market

Biar pun sekarang pasar swalayan sudah bertebaran di mana-mana tapi yang namanya pasar tradisional itu sampai kapan pun ga akan ada matinye. Bahkan sebetulnya pasar tradisional itu adalah bagian dari Indonesia.

Tapi dulu sewaktu masih kecil dan remaja, saya segan kalau harus masuk pasar tradisional. Karena jaman itu keadaannya jauh dari nyaman atau mentereng.

Pasar tradisional umumnya menempati satu bangunan yang di bagi-bagi menjadi ruangan-ruangan kecil yang ukurannya mungkin sama dengan atau sedikit lebih besar dari kamar saya (2,5 x 2,5 m). Ruangan-ruangan itu di jual cash, kredit atau hanya disewakan. Dalam ruangan-ruangan kecil itu para pedagang berjualan.

Dan hanya ada jalur selebar antara 90 cm sampai satu meter untuk orang berlalu-lalang.

Udara dan sinar matahari masuk hanya melalui bagian depan atau belakang yang terbuka. Kalau beruntung mendapat bangunan yang bagian tengahnya memiliki lubang ventilasi atau genteng kaca di atap sehingga cahaya matahari dan udara segar bisa masuk. Tapi biasanya sih tidak ada sehingga di dalam pasar cahayanya remang-remang walau pun di luar matahari sedang bersinar segarang-garangnya.

Dengan minimnya ventilasi untuk masuk udara dan cahaya matahari membuat ruangan di bagian dalam pasar menjadi sumpek, gelap, lembab, penuh dengan berbagai macam bau napas manusia bercampur berbagai aroma badan orang, parfum, deodoran, asap rokok, sayuran, beras, rempah-rempah, plastik, daging sapi sampai bau ikan.

Lantainya pun sudah tidak kelihatan lagi warna dan bentuk aslinya karena tertutup dengan tanah, lumpur (apalagi kalau sedang hujan), sampah sayuran, plastik, ceceran makanan, puntung rokok. Di beberapa pasar, lantainya malah hanya berupa semen. 

Dengan kondisi seperti itu pasar tradisional memberi kesan kumuh, jorok dan menjijikkan. Kalau anda tipe orang yang gampang jijik, mudah mual atau muntah, mending jangan masuk ke pasar tradisional.

Tapi dengan berjalannya waktu, pemerintah di berbagai daerah (bukan hanya di Jakarta) tergerak untuk memperbaiki kondisi pasar tradisional sehingga banyak yang sudah menjadi rapi, bersih dan nyaman walau tidak meninggalkan gaya khas pasar tradisional. Dan tentunya masih tanpa AC.

Cuma ya, orang Indonesia memang kreatif. Tidak perlu bangunan, di pinggir jalan, di terminal bis dan bahkan di tepi jalan rel kereta api pun para pedagang berkumpul dari sekian waktu kemudian tempat mereka berkumpul untuk berjualan telah menjadi pasar tradisional. Tentunya pasar tidak resmi. Tanpa ijin.

Namun begitulah orang Indonesia. Percampuran antara kegigihan perjuangan hidup dengan kebandelan dan kebodohan.

Yang terpikir hanyalah bahwa demi nafkah tidak jadi soal harus berjualan di bawah terik matahari, terhajar debu, angin dan hujan setiap harinya. Duduk di atas jongkok atau dingklik (kursi kecil) yang ukurannya secuil dan sama sekali tidak empuk. Bahkan tidak jarang hanya beralas plastik atau karton, sukur-sukur kalau punya tikar.


Demi menghidupi diri sendiri dan anggota keluarga, sepetak tanah tanpa ijin dan sertifikat itu di bela sampai titik darah penghabisan. Tak gentar melawan preman, tukang parkir, kendaraan yang berlalu lalang, kereta api yang melaju bagai angin taufan sampai polisi pun tidak mampu mematahkan kaki dan hati mereka.

Seperti kata Andre “You gotta admire them. The creativity, the spirit and the struggle to live. I know I admire them. You don’t anything like this in the US”. Kamu harus mengagumi mereka.  Kreativitasnya, semangatnya dan perjuangan hidup. Saya mengagumi semua itu. Kamu ga bisa nemuin yang kayak gini di Amerika.
__________________________________________

Eventhough supermarkets have been mushrooming but traditional markets can never be separated from Indonesian daily life.

But as a child and then a teenager I disliked it because back then it was not as good as it is now.

Traditional market is usually located in a building. Inside there are rooms that may not even bigger than my bedroom (2,5 x 2,5 m). The rooms are sold by cash, credit or for lease. And in those small rooms people sell from veggies, fruits, rice, spices, beef to plastic and pans.

And there is only about 90 cm to a meter wide of alley for people to walk.

Ventilation is from front or back entrance. So it is dim and hot inside. Not all building used for traditional market is equipped with good ventilation that allow fresh air and sunlight get inside the building.


If you are inside the building, the air you breath is the mixture of people’s body odor, perfume, deodorant, cigarette smoke, veggies, rice, spices, plastic, beef to fish. 

And the floor is not white or shiny. Sometimes you can’t even tell the design, form or color of the tiles because they are wet, muddy and covered with pieces of veggies, plastic, crumbs, cigarette butt. In some traditional market the floor is just a cemented ground.

The above condition makes traditional market looks dirty and disgusting. If you easily get sick by unpleasant odor or dirtiness then better not get inside these traditional markets.

But with the passing time government have been rebuilt, renovated or built the traditional markets buildings. Making them clean and neat without turning them into modern market. Which means no AC nor cart.

However, the creative Indonesian make trading available anywhere. Building is not necessarily needed. The traders can do their trading on the sidewalks, at bus station, even on the side of railway. And after some period of time the place they chose has become a traditional market. No registration. No permit. Ilegal market of course.

But that’s Indonesian. The mixture of perseverance, headstrong and ignorance.

To make ends meet is the main purpose. In doing so they don’t care if they have to do the trading under the burning heat of sun, being swarmed by dust from the passing vehicles on the street or showered by heavy rain. Sitting on stool or sometimes on the hard pavement, covered only by plastic, cardboard or mat.

No one can tell them to leave that very spot they choose as their place to trade. To feed themselves or their family, they stand firm on that ground even if it means they have to fight the police or facing the risk being hit by the passing vehicles or train. Nothing and nobody can break their spirits or their legs.

"You gotta admire them. The creativity, the spirit, the struggle to live. You don't find anything like this in the US" said Andre to me.

Friday, February 15, 2013

Indonesian and Vendors

Saya masih ingat bagaimana herannya Andre ketika melihat bahwa hanya dalam hitungan tidak sampai 5 menit, bergantian berbagai pedagang lewat di depan warung saat dia, saya dan teman-teman kami sedang makan.  

5 tahun sudah lewat sejak pertama kali dia melihat tukang bakso, tukang es cendol, tukang sayur, tukang perabot, tukang sol sepatu dan berbagai tukang jualan lainnya, tapi masih saja dia heran dan kagum melihat para pedagang itu.

Andre tidak hanya senang memperhatikan para pedagang itu. Dia terkagum-kagum melihat beragam jenis media yang di pakai untuk berjualan. Ada gerobak dan ada yang memakai pikulan. Gerobak tukang bakso beda dengan gerobak tukang mie pangsit, lain pula gerobak tukang ketoprak.

Yang di pikul pun berbeda antar satu pedagang dengan pedagang lainnya. Pikulan tukang sayur beda dengan tukang sol sepatu.

Lalu ada pedagang yang memakai motor, sepeda atau gerobaknya di buat sedemikian rupa sehingga mirip seperti sepeda, misalnya tukang roti. Andre terheran-heran dan kagum melihat kemampuan tukang bakso dan tukang siomay membawa-bawa segala macam jualannya berikut piring, sendok dan kompor dengan motor atau sepeda.

“How could they carry all those things on their bikes or motorcycle?” sekali waktu saya mendengar dia menggumam sendirian saat melihat seorang tukang bakso yang mengendarai motor melintas di depan kami. Gimana caranya ya mereka bawa semua itu di atas sepeda atau motornya?

“I don’t know, you gotta ask them” Ga tau, kamu harus tanya ke mereka, jawab saya pada waktu itu tanpa mengira pada suatu waktu kemudian saya sampai berteriak antara kaget dan takut melihat dia menaiki motor tukang bakso!

“Honey, what in the hell are you doing?!” saya melotot tak percaya. Astaga, say, kamu ngapain?!

“Oh, I just want to give it a ride” Oh, saya pengen nyoba aja kok, jawabnya santai, tersenyum manis sewaktu dia mengendarai motor itu melewati saya. "aren't you gonna take my picture?" kamu ga mau motret saya?

I searched the internet & found a
photo of meatball vendor on
motorcycle almost similar with the one
Andre decided to have a test drive
Bah! Boro-boro kepikiran buat motret dia ketika lagi mengendarai motor si tukang bakso, saat itu rasanya saya baru berani bernapas setelah dia turun dari motor. Saya tahu dia bisa mengendarai motor dan bahkan pernah mencoba mengendarai motor balap serta melakukan perjalanan jarak jauh dari Seattle ke LA dengan mengendarai motor Harley Davidson. Tapi naik motor tukang bakso lengkap dengan kompor dan perlengkapan jualannya adalah perkara yang berbeda. Kalau dia hilang keseimbangan dan jatuh, aduh, bukan hanya resiko tertimpa motor berikut kompor dan segala barang yang ada di atas motor itu, tapi nantinya pasti di todong minta ganti rugi sama tukang baksonya dong.

Saya pikir setelah sekian tahun berlalu pastilah dia sudah menjadi terbiasa melihat berbagai pedagang itu tapi ternyata tidak.

“You gotta admire them” kamu harus mengagumi mereka, katanya “the creativity, the spirit and the struggle to live. I know I admire them. You don’t find anything like this in the US”. Kreativitasnya,  semangatnya dan perjuangan hidup. Saya mengagumi semua itu. Kamu ga bisa nemuin yang kayak gini di Amrik.

Tidak hanya dia mengatakan tentang keunikan yang ada di negeri ini tapi dia juga menemukan filosofi tentang kehidupan melalui para pedagang kecil yang nyaris tidak lagi memiliki arti penting bagi saya karena sudah terlalu terbiasa melihat mereka.
___________________________________________

It is still fresh in my memory the amazement shown in Andre’s face when he saw that less than 5 minutes, many street vendors passed the food stall where he and I along with our friends had lunch.

5 years have passed since the first time he saw meatball vendor, ice cream vendor, vegetable vendor, convenient stuff vendor, shoe repairman and other vendors and his amazement remains to the present day.

Not only that he likes to watch those vendors, he admires the media they use to carry their merchandises. Some use cart and other use carrying pole. And the cart used by meatball vendor is different with the one used by noodle vendor.

It goes the same for vendors that use carrying pole. The one used by vegetable vendors are different with the one used by shoe repairman.

Other vendors use bicycle, motorcycle or tricycle like the one used by bread vendors. Andre amazes and admire the ability those vendors have when they carry their merchandises on those vehicles. The meatball or dimsum vendors carry not only the dish but also plates, bowls, fork, spoon, bottles of ketchup, sauces, vinegar and of course a small stove!

“How could they carry all those things on their bikes or motorcycle?” I once heard him muttered that question to himself when he saw a meatball vendor passed us.

“I don’t know, you gotta ask them” was my reply, not knowing that moments later I would get a shock when I saw him riding the meatball vendor motorcycle!

“Honey, what in the hell are you doing?!” I couldn’t believe my own eyes.

“Oh, I just want to give it a ride” he said it calmly, smiled when he passed me with that meatball vendor’s motorcycle. "aren't you gonna take my picture?"

You gotta be kidding me! Would I think about taking his picture riding on the meatball vendor's motorcycle??. Man, I held my breath until he got off that motorcycle safely. I know he can ride motorcycle, infact he once rode on a racing motorcycle and rode from Seattle to LA on his Harley Davidson. But riding a meatball vendor’s motorcycle that carries not only the merchandise but also a stove, I mean, good heavens!.., if he lost his balance and fell, the motorcycle could fell on him along with all the stuff on it, including the stove. Not to mention that the vendor would ask him to pay for the damages.

After all these years I thought he’s got used to see those vendors.

“You gotta admire them” he said to me “the creativity, the spirit and the struggle to live. I know I admire them. You don’t find anything like this in the US”

Not only that he told me about the uniqueness in this country but he also found life  philosophy from those vendors, the kind of people that don’t attract my attention because they have become too much of a regular view.

Since I didn't have time to take pictures of those vendors by myself, I searched the internet & found 
the above photos.

Monday, February 11, 2013

Indonesian and Spices

Rempah-rempah alias bumbu dapur. Hehe. Jangan nyebut diri orang Indonesia kalau ga tahu bumbu dapur. Biar pun ga bisa masak atau jarang turun ke dapur, yang namanya bumbu dapur pasti dong tahu.

Biji Pala, Ketumbar, Jinten, Cengkeh, Kemiri, Kunyit, Langkuas, Laos, Jahe, Sereh, Daun Salam, Kayu Manis, Kencur, Asam... sebagian dari sekian banyak rempah-rempah Indonesia.

Beberapa waktu lalu saya menonton Kompetisi Master Chef Australia dan dalam episode kali itu ditayangkan saat dua pesertanya berkesempatan untuk belajar masak pada seorang koki (chef) terkenal yang ahli dalam bidang bumbu dapur.

Nutmeg (Biji Pala)
Saya melihat bagaimana Chef dan kedua peserta kompetisi Master Chef dengan takzimnya membicarakan deskripsi, karakteristik, tampilan dan aroma dari masing-masing bumbu-bumbu dapur yang tersaji di atas meja.

Heran dan lucu juga sih memperhatikan mereka membicarakan dan mendiskusikan bumbu dapur begitu serius, bahkan terlihat kekaguman dan juga rasa hormat pada bumbu-bumbu yang buat kita orang Indonesia sudah jadi pemandangan sehari-hari…

Maksud saya, aduh mak…, bumbu gituan doang sih di dapur saya juga banyak. Kalau habis? Gampang, noh, tinggal beli di tukang sayur yang lewat di depan rumah atau jalan dikit ke warung.

Intinya adalah kalau soal bumbu dapur… apa istimewanya buat kita orang Indonesia?!.. betul ga?..

Tapi lihat bagaimana itu bule-bule memandang, mengamati, mendiskusikan, membaui aroma setiap bumbu dapur tersebut dengan sikap demikian takzim, kagum, hormat, serius seakan mereka sedang menghadapi sesuatu yang sakral, langka, yang sangat berharga dan mengagumkan.

Cumin (Jintan)
Mungkin karena bumbu-bumbu dapur itu tidak bisa tumbuh di negeri-negeri Barat sampai menjadi demikian berharganya bagi mereka. Kita ingat saja pelajaran di sekolah dulu tentang VOC. Demi rempah-rempah, bule-bule itu sampai menyeberang samudera dan malah pake perkara perang segala.

Orang Indonesianya sendiri malah suka ga nyadar betapa beruntungnya kita karena ga susah buat dapetin bumbu dapur.

Galingale (Laos)
Dan aneka ragam bumbu dapur itu yang bikin masakan Indonesia rasanya mantap. Ayam goreng, rendang, pepes, sayur asem cuma sebagian dari contoh masakan Indonesia yang rasanya sedap karena perpaduan berbagai macam bumbu dapur. Biar pun proses masaknya jadi lebih lama dan agak ribet buat mereka yang tidak suka masak atau tidak punya banyak waktu. Tapi bumbu-bumbu itu bikin masakan Indonesia punya ciri khas dalam rasa dan aroma. Yang pasti sih di jamin enak… hehe.

Saya juga suka masakan bule tapi menurut saya bahan-bahannya hanya berkisar-kisar antara mentega, bawang putih, bawang bombay, peterseli, keju. Variasinya paling ya kadang pake daun rosemary, sage, thyme, safron, basil, yoghurt, saus tomat, cuka apel.

Kecap aja jarang di pake. Yang ada malah anggur merah yang di pake. Beneran! Pertama kali saya melihat anggur merah di campur ke dalam masakan adalah waktu saya menonton acara masak Rachel Ray dan kemudian melihat sendiri Andre menuangkan anggur merah ke dalam stew (semur) yang sedang dimasaknya. Saya sempat menebak-nebak dalam hati bagaimana rasanya ya. Untungnya tetap enak. Ya, buat lidah saya sih masih masuk kategori enak. Entah buat orang Indonesia lainnya.

1950 (my great-grandmother holding my cousin)
Eh, omong-omong soal rempah-rempah, kata nyokap saya, almarhum neneknya (nenek buyut saya) selalu mengantongi cengkeh. Jadi nenek itu beraroma cengkeh. Lain dari yang lain kan. Umumnya manula berbau berbagai macam obat gosok atau bau keringat karena jarang mandi berhubung kondisi fisik yang tidak sehat.. hehe.. jadi jelas jarang dong ada yang berbau harum aroma rempah. Tapi sayangnya beliau meninggal jauh sebelum saya lahir jadi saya tidak pernah bertemu dengannya. Kalau tidak, pasti saya betah berada dekat-dekat dengannya karena saya suka dengan aroma cengkeh.. hehe.

Masih berhubungan dengan pengalaman saya seputar rempah-rempah ini, beberapa tahun lalu rumah kami kedatangan mahasiswa-mahasiswa Korea yang sedang mengadakan studi lapangan ke Indonesia. Mereka mendapat kesempatan untuk melewatkan satu hari di rumah orang Indonesia agar dapat sedikit merasakan kehidupan penduduk lokal.

Ketika itu kami menunjukkan cara membuat semur. Dan saya menahan tawa ketika melihat mereka terbingung-bingung melihat rempah-rempah yang dimasukkan ke dalam masakan itu. Saya kira saya yang paling bloon kalau sudah sampai ke urusan masak. Tapi melihat muka bingung mahasiswa-mahasiswa itu saat kepada mereka disodorkan biji pala dan cengkeh, saya sadar bahwa di dunia ini ternyata ada yang jauh lebih bloon dari saya dalam urusan mengenali bumbu dapur… hehehe…

Hebat ga tuh rempah-rempahnya orang Indonesia?
______________________________________

Cooking spices are too familiar stuff for Indonesian. Even to those who can’t cook or rarely cook. Indonesian grow up with spices. We have them stored in our kitchen.

Turmeric (Kunyit)
Nutmeg, coriander, cumin, clove, candlenut, turmeric, galangale, galingale, ginger, lemongrass, laurellike leaf, cinnamon, greater galingale, tamarind.

In an episode of Master Chef Australia that I watched some time ago, it showed two of its contestant were sent to a well known chef to get some cooking lesson.

What I saw is the chef and those contestants talked and discussed the description, characteristic, appearance and aroma of each spices that were on the table.

Tamarind (Asam)
I couldn’t help not to feel funny and amazed to see how they looked so serious and even in sort of awe mixed in respect toward those spices. The same spices that Indonesian see everyday because they have them in their houses.

I mean, they are just cooking spices. We have them in our houses and when we need more we can buy it from the spice vendors. Such vendors are easily to be found around the neighborhood.

So spices are not some foreign stuff for Indonesian. So common that I think most of Indonesian don’t think them to be any kind of special stuff at all.

But just look at those westerners who studied, talked, discussed and smelled the aroma of those spices with an attitude as if they were facing sacred, rare, very valuable and disirable stuff.

VOC (United East India Company, Dutch Commercial Enterprise)
sailed to Far East between 16th to 18th centuries
Maybe because they can’t grow those spices in their countries. Back then in school we learned about the Dutch who crossed the ocean and even went into battles for those spices.

And Indonesian sometimes take it for granted that they can get it anywhere, without have to give much struggle.

The same spices that make Indonesian dish rich in flavor and surely taste good. Fried chicken, rendang dish (meat simmered in spices and coconut milk), pepes dish (fish wrapped in babana leaf and roasted), sour vegetable soup are just few of Indonesian dish that use many kind of spices. The cooking may take longer and are not simple, something that people with less interest in cooking or with less time may not keen to cook such dish, but those spices are what make Indonesian dish rich in flavor.

I do enjoy and like western dish but I think most ingredients are about butter, garlic, onion, parsley, cheese. With rosemary leaf, sage, thyme, saffron, basil, yoghurt, tomato sauce and vinegar as variant ingredients.

They even rarely put ketchup into their dish. What I saw is red wine added to the cooking in Rachael Ray cooking show and so did Andre when he cooked stew. I wondered how the stew would taste when I saw him poured some red wine into the dish. Well, to my taste it felt quite good but I don’t know what other Indonesian would think if they taste it.

Clove (Cengkeh)
Oh, speaking about spices, my mom told me about her late grandmother (my great grandmother) who always put some clove in her pocket so while other elderly usually smell of liniments or sweat because they don’t bath regularly due to physical condition, my late great grandmother smelled like clove. It is a pity that she passed away long before I was born. I would love to be around her if she were still alive because I love the smell of clove and she smelled like one. Lol.

My encounter with spices continue to the thing that happened few years ago when we hosted few Korean university students who were in field trip to Indonesia. They were given opportunity to spend a day at local people’s houses so they could see how the local lived.

We showed them how to cook stew. And I hold my laugh upon seeing their confuse look when we showed them the nutmeg and clove that are the spices adding into the dish. At the time I thought I was the lousiest one when it came to spices. Those students made me realized that I was not the lousiest one at all. Lol..

Indonesian spices, you rock!