Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, October 31, 2012

Stone & Paper


Batu sudah pasti akan mengalahkan kertas. Setebal apa pun kertasnya, mana bisa menandingi batu?. Akan tetap robek bila di lempar atau ditimpakan batu.

Saya berkepribadian seperti batu. Kokoh. Keras. Tegar. Sulit untuk mengalah. Susah untuk memaafkan. Penaik darah. Pemberang. Bukan orang penyabar. Mudah tersinggung. Saya memang sudah belajar untuk menguasai diri tapi semua itu adalah sifat-sifat dasar yang tetap ada dalam diri saya.

Tapi apakah anda pikir saya akan menghancurkan siapa saja yang berdiri di depan saya atau yang merintangi jalan saya?

Beberapa hari lalu saya menyadari bahwa seseorang berkepribadian seperti kertaslah yang mengalahkan saya.

Dia adalah seorang yang beberapa kali membuat saya gregetan karena melihatnya tidak bisa tegas dalam sikon dimana dia harus bersikap tegas. Tapi kami berdua bersahabat, berteman akrab, rekan kerja dan menjadi seperti saudara selama setahun tiga bulan ini.

Kami berbagi tanggung jawab dalam pekerjaan, berbagi rahasia, berbagi cerita, berbagi beban dalam hati dan berbagi kekonyolan dalam kesamaan rasa humor. Kadang (sangat jarang terjadi), kami saling mengesalkan hati seorang dengan lainnya. Tapi seringkali kami menjadi sekutu oleh karena rasa senasib bekerja di tempat yang sama, dipersatukan oleh karena harus menghadapi sikon dan orang-orang yang sama selama 6 hari dalam seminggu.

Beberapa hari lalu dia mengesalkan hati saya oleh karena soal pekerjaan. Saya tidak mengandalkan dia sepenuhnya tapi karena menganggap kami adalah satu tim dalam beberapa pekerjaan maka saya membutuhkan perannya tidak hanya untuk memberi input tapi juga untuk melakukan cek dan ricek.

Ketika saya bekerja di sebuah perusahaan yang salah satu bisnisnya adalah menerbitkan buku telpon berbahasa Jepang, lima orang anggota divisi yang menjalankan bisnis ini bekerja sama mengecek draft dari buku telpon itu.

Jadi proses cek dan ricek draft di mulai dari si Jepang, kemudian draft itu diteruskan ke managernya untuk di cek ulang, lalu diserahkan ke saya untuk kembali di cek, setelahnya kepada tenaga marketing kami dan yang terakhir adalah seorang staff kami.

Pengecekan berlapis-lapis seperti itu sengaja dilakukan sebelum draft naik cetak karena mata seseorang belum tentu bisa mengindentifikasi kesalahan pada pencantuman data (nama perusahaan, alamat, telpon dll) atau kesalahan pengetikan. Bahkan si Jepang yang terkenal super duper teliti itu pun tidak mau ambil resiko dengan hanya mengandalkan dirinya yang melakukan pengecekan tersebut. Dia melibatkan kami semua yang ada di divisinya.

Nah, barulah setelah melalui proses cek dan ricek yang berlapis-lapis tersebut, draft itu naik cetak.

Ada bagian dalam pekerjaan saya yang melakukan hal seperti ini tapi walaupun judulnya juga ada pengecekan, sesungguhnya bisa dikatakan hampir seluruhnya yang mengerjakannya adalah saya. Dan dari sekian banyak orang yang minta dikirimi draft untuk (katanya) di cek, hanya seorang yang betul-betul melakukan pengecekan.

Yang seorang lagi, yang saya harapkan untuk melakukan pengecekan berlapis adalah teman saya ini. Dan saya memaksanya untuk mengecek tidak hanya sekali. Tapi dua kali. So, ketika cetakan itu sudah jadi maka semua isinya saya kategorikan sudah atas sepengetahuan termasuk sudah melalui pengecekan dia.

Toh, masih tidak sempurna. Dan semua protes serta kritikan atas kesalahan itu jatuh kepada saya. Bahkan saya rasa banyak yang mengira karya cetakan itu sepenuhnya adalah tanggung jawab saya. Bukan tanggung jawab dan kolaborasi satu tim. 

Saya berbesar hati untuk menerima semua kritikan dan protes seakan cetakan itu adalah hasil pemikiran, hasil kerja serta hasil karya saya dan dengan demikian menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya (FYI, pujian minim sekali saya terima -nyaris tidak ada- bila cetakan itu baik dan tidak ada kesalahan)

Entah kenapa, mungkin lama-lama muak juga saya jadinya.

Saya menekan dan menyembunyikan perasaan ini.

Tapi pagi itu ketika teman saya mengatakan saya salah mengetik tanggal tertentu dalam kolom info, saya meradang. Karakter batu saya naik ke permukaan. Saya jengkel, kesal, sebal, tersinggung, hati saya panas, bergolak sejadi-jadinya tanpa bisa saya kendalikan lagi.

Pikir saya, apa dia tidak melihat kesalahan itu pada waktu dia mengecek cetakan itu? Lalu sekarang kenapa baru protes? Kalau kayak begini, buat apa saya minta dia mengecek?. Dan kekesalan saya bertambah-tambah ketika datang orang lain yang ikut ‘berbaik hati’ menunjukkan kesalahan yang sama.

Saya telah mempelajari fakta bahwa orang tanpa malu dan ragu menunjukkan kekesalan dan kemarahan mereka kepada saya dibandingkan kepada orang-orang lain yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari saya. Bahkan beberapa berpikir bisa menjadikan saya sasaran stress atau ke-bete-an mereka tanpa di rem lagi. Dan saya seperti tidak mempunyai hak untuk membela diri dan menyatakan bahwa saya tidak bersalah. Walau kemudian ada yang meminta maaf tapi hal seperti itu terjadi lagi.

Dan teman saya serta orang-orang di tempat ini agaknya tidak menyadari tentang hal-hal tersebut.

Setelah dia pergi, saya menghentakkan kaki dan meninju tembok di dalam kemarahan dan rasa frustrasi saya. Asal tahu saja, ini kebiasaan saya kalau sudah merasa terlalu marah.


Aduh, saya tahu karakter batu itu meloncat keluar. Tapi saya tidak punya kendali. Saya berjalan hilir mudik dalam ruangan saya, merepet sendirian, mengomel, merutuk dan berupaya dengan segala susah payah untuk mendinginkan hati serta pikiran.

Ketika dia kembali siang harinya, saya belum sepenuhnya pulih dari kekesalan itu.

Tapi setelah mendengar ‘kicauan’ saya tentang apa yang saya rasakan, yang dilakukannya  kemudian adalah dengan tulus dan spontan meminta maaf, memberikan saya sebuah permen dan dengan gaya konyolnya yang sudah sangat saya kenal itu mengajuk hati saya.

Saya menundukkan kepala dalam-dalam. Tidak berani mengangkat kepala karena tanpa dapat saya cegah, air mata sudah memenuhi mata saya dan saya tidak mau dia melihat saya menangis. Aduh mak, malu ah.

Kemarahan dan kekesalan saya hilang lenyap karena kelemahlembutannya. Caranya yang demikian sederhana dan konyol itu anehnya mampu melunakkan hati saya. 

Saya hampir tak percaya bahwa batu itu tidak merobekkan kertas. Justru dalam kerapuhannya, kertas itu membungkus batu dan mengalahkan, menundukkan serta  melembutkannya.

Tidak sampai lima menit kemudian kami sudah kembali bercanda, saling meledek,  tertawa-tawa dan mengobrol seperti yang selalu kami lakukan. Tidak tersisa kekesalan atau kemarahan dalam hati saya.

Yah, siapa kira kalau batu dan kertas bisa saling membutuhkan.
_________________________________________

Stone will definitely tear off the paper. It does not matter how thick the paper is, a stone can easily rip it off.

I am a stone. Strong. Hard. Tough. Stubborn. Not easy to forgive. Short tempered. Impatient. Touchy. So over the years I have learned how to control them but they are still exist in me.

But do you think I would destroy anyone who stands infront of me or get into my way?

Few days ago I realized somebody who has paper type of personality, has tamed me.

He is somebody who has made me itchy to see him unable to stand firm when he should be firmed. But we both are friends, good buddies, co-worker and have even turn like siblings.

We share responsibilities at work, we share secrets, stories, burdens and jokes as we also share the same sense of humor. Sometimes (which is rare) we also make each other upset. But most of the time we have become allies, bound by the feelings of ‘in the same boat’ for having to deal with same situation and people for 6 days a week at this work place.

Now, few days ago he upset me over work. I know don’t rely on him fully but I thought since we are team then I am not expecting to get just input from him but I also need him to check this printing matter.

The Japanese company where I worked in 1998 published Japanese phone directory as one of its business. Before the draft was sent to printing company, five people who worked at its publishing division took turn on making layers of checking on the draft.

The checking process went from our Japanese boss, down to the manager, to me, to our marketing staff and the last went to an administrator.

That kind of checking was made because one person wouldn’t able to spot all the misprinting. Even our Japanese boss who was known for being very thorough didn’t want to do all the checking by himself. He just didn’t want to take the risk he might miss the misprinting so he recruited his staff to help him with the checking.

The draft went to the printing company after it got through those layers of checking.

Part of my present work involves me in publishing a printing matter. But when it comes to do the checking, you can say I do it all by myself because of the people who asked me to email them the draft so they can do the checking, well.., only one of them who really does it.

The one person whom I asks to do regular checking and rechecking is this friend. I am not only asking. I am forcing him to do not only once. So when it is finally printed I consider the content is all under his knowledge and has also passed his checking.

Still, it is imperfect. And all protest or critics be fallen upon my shoulder. Infact I think many thought the printing is my project and not the work and collaboration of a team.

I accept all input and critic given with big heart as if I single handedly came with the idea to do it as it were my project, my idea, my work and therefore my responsibility (FYI, little, zero praise when it came with no misprinting).

Well, I guess, I feel sick of it eventually..

I surpressed and hid the feelings though.

But that morning when he came to me and said I have mistyped his leave dates on the info column in that printing matter, I blew up. The stone came to the surface. I felt terribly upset, offended and just went mad. They just flooded out.

I thought didn’t he spot the mistype when he did the checking? If so, what good would it make to ask him to do it?. I became more upset when another person came and ‘kindly’ mentioned about the mistype.

I have learned the fact that people addressing their upsetness, critics or objection with no hesitation to me. They don’t do so to those who have higher position than me. Some people even think they can treat me like a sandsack that they can punch upon when they feel stress. And I was made as if I had no right to defend myself and stand on my innocence. Yes, so I occassionaly received an apology but the same thing is bound to happen again.

Somehow my friend and the people in this place seem don’t realize this.

So after he left, I stomped my feet on the floor as I walked around my room and punched the wall hard. It is what I would do to let out my anger and frustration.

I helplessly saw my stone characters came to the surface. I had no control of it so I walked around in my room, grumbling, swearing, cursing and tried in vain to cool myself down.

I haven’t completely overcome the upsetness when he returned at noon.

But after heard me talked about how I felt and of my point of view, he sincerely and spontaneously apologized, gave me a candy as he said he was sorry with his comical style that I have known so well.

I bowed my head down as tears just filled my eyes. Afraid that he would see them. I tried to get rid those tears without wiped them off or he would know I was crying. How embarrassing it would be, right?.

All the anger and upsetnes were gone. His gentleness has melted my heart. Though his way was silly but he just got a way to knock the stone into pieces. I cried because I was touched by his gentleness and patience.

I hardly believe to see the stone does not destroy the paper. On the contrary, it is the paper with all of its vulnerability wraps the stone and softened it.

Less than five minutes later we have joked around, teased each other, laughed merrily and had a conversation as we like to do on daily basis. No signs of anger left in my heart and mind.

I am still amazed to see how paper has knocked out the stone.

And how neat it is to see how the stone and the paper need each other.

Saturday, October 27, 2012

Passing On One's Message


Semua pasti tahu permainan anak-anak yang satu ini, bermain menyampaikan pesan dengan cara berbisik dari satu teman ke teman berikutnya. Permainan yang pasti mengundang gelak tawa karena pesan awal bisa sudah jadi berubah begitu sampai ke pemain yang paling akhir. Misalnya saja kata awal yang dibisikkan adalah ‘kuda’, tapi sampai ke telinga peserta terakhir sudah berubah menjadi ‘rusak’.

Tapi ternyata permainan lucu-lucuan ini sebetulnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan pelaku permainannya adalah orang-orang dewasa.

Tadinya saya tidak menyadari hal ini tapi setelah setahun dan tiga bulan bekerja di tempat ini, saya mendapati diri saya seringkali diharuskan menjadi seorang penyampai pesan.

Jenis penyampaian pesan yang saya maksud disini adalah orang-orang yang berkata kepada saya ‘Ke, tolong bilangin ke si ….., bla bla bla…. (isi pesan)’.

Nah, yang jadi bikin saya merasa aneh adalah si penyampai pesan dan penerima pesan adalah orang-orang yang berada dalam satu tim. Sedangkan saya sama sekali bukan anggota tim mereka.

Kalau sekiranya kita hidup di jaman ketika alat komunikasi tidak secanggih sekarang, hal seperti itu masuk akal saja. Tapi dengan kondisi semodern sekarang ini yang bikin  presiden sampai tukang bakso punya hp maka apa susahnya kalau menghubungi dan menyampaikan sendiri pesan itu kepada orang ybs. Ngapain mesti muter dulu lewat si Keke?.

Jadi agak kurang bisa masuk tuh ke akal logika saya.

Akibatnya saya kemudian berandai-andai memikirkan apakah mungkin orang-orang ini pada tidak akur? Ataukah terlalu malu atau sungkan untuk bicara langsung? Atau terlalu sibuk? Terlalu malas? Ga mau repot? Kolokan? Atau ngomong sama si Keke lebih asyik tuh dari pada kalau harus ngomong langsung sama orang yang harus diberikan pesan tsb. Hehe. Gile, ge-er banget gue ye… padahal mungkin mereka mikir ‘ah, ada si Keke inilah buat disuruh-suruh’. Haha.. 

Baru 2 hari lalu saya menerima sms seperti ini ‘Ke, tolong hubungi….., bilangin kalau saya pingin tukar jadwal sama dia karena saya tidak punya nomor hpnya’.

Lha??

Saya balas smsnya begini ‘ini no hpnya……, sori hubungi langsung aja ke dia ya. Bukannya ga mau nolongin tapi lebih praktis kalau kontak sama ybs’.

Dia tidak membalas sms saya..

Hehe…

Saya pikir aneh isi pesannya (baca: cara berpikirnya) karena mereka itu satu tim. Kalau memang tidak punya nomor hp anggota timnya, bolehlah tanya ke saya karena mungkin saja saya punya apalagi kalau memang tahu bahwa saya ada kontak rutin dengan orang yang di cari itu.

Jelas bagi saya kedengarannya konyol, kalau saya diminta untuk menghubungi orang tsb dengan memakai alasan bahwa si pengirim sms ini tidak memiliki nomor hpnya.

Saya akan berpikir berbeda kalau isi smsnya berbeda, misalnya seperti ini, ‘Ke, punya nomor hp ……? Saya mau menghubungi dia karena tgl …… saya berhalangan dan mau nanya apa dia mau tukar jadwal tugas sama saya’. Ini lebih bisa diterima akal logika saya.

Omong-omong, dulu pun saya tidak punya nomor hp si pengirim sms itu. Anda tahu bagaimana akhirnya saya berhasil menghubungi dia dan mendapatkan nomor hpnya?

Setiap bulan saya rutin menerima email berisi jadwal tugas tim mereka. So ketika saya lagi berpikir-pikir bagaimana caranya supaya saya bisa menghubungi dia, teringatlah saya pada email tersebut dan bahwa alamat emailnya ada tertera diantara sederet alamat email penerima email itu.

Saya kirim email ke dia, menyampaikan pesan sekaligus meminta nomor hpnya.

Dia membalas. Dan sukseslah saya berhasil menyampaikan pesan berikut mendapatkan nomor hpnya.

Jadi ketika saya bertemu dengan orang-orang yang meminta saya jadi penyampai pesan mereka sementara hal itu sebetulnya bisa mereka lakukan sendiri, maka terus terang saja, hal demikian bikin saya gerah.

Kecuali kalau mereka dalam sikon yang membuat mereka tidak bisa dan tidak sanggup untuk melakukan sendiri  sehingga saya diminta untuk jadi penerus pesan maka saya akan melakukannya tanpa banyak tanya dan tanpa gerutu.

Tapi kalau memang masih bisa dilakukan sendiri, yah, lakukanlah sendiri. Kalau mau pakai alasan repot, duile, di dunia ini siapa sih yang tidak repot?
__________________________________________

There is a play that children like to play sometime. They would stand in line and the first child in the line would whisper a word to the child who stands next to her or him. The word should be passed to the last child in the line by whispering. It is always make everyone laugh because the word usually has changed. The first child may whisper ‘horse’ but it has been heard differently that at the end of the line the word probably has changed to ‘burn’.

But would you believe if I say that this child play has actually happens in real life on daily basis?. We, adults, are actually doing this.

I didn’t realize it at first but after a year and three months of working in this place I find myself forced to play a role as a messenger in what appears to me just like that child play.

What I meant here is people come to me and say ‘Keke, could you tell… (a person’s name) that…. bla bla bla (the message)’.

The odd thing is the people giving the message and the message recipient are in the same team. While I am not in their team.

If this happens at the time when communication gadgets were not as sophisticate as present time, I could understand it. But nowadays when everybody from the president to meatball seller have cellphone, what makes it so difficult to deliver a message by ourselves?. Why should it be take a turn by taking me as the message deliverer?

It just not something that I can put into my common sense.

So I came up with many ‘maybes’. Maybe those people don’t get along? Maybe they are too shy or hesitate to talk directly? Or maybe they are too busy? Too lazy? Don’t want to trouble themselves swapping the message? The dependant type of people? Or they think talking to me is a whole lot fun than to talk among themselves? Yeah, right… talk about self praise… lol.. when who knows what they have on mind is actually ‘hey, why do this by ourselves when we have Keke who we can ask to do this’… haha, the big master and the lady type of people then..

It was just 2 days ago I received a text ‘Keke, could you contact ….. and tell her I want to switch my schedule with her. I don’t have her cellphone number’.

Excuse me??

I texted him back ‘here’s her cellphone number….. please excuse me, it’s not that I don’t want to offer you any assistance but I think it would be more convenient if you speak directly to her’.

He didn’t text me back..

LOL..

I find his text (way of thinking) is odd because they are in the same team. If they don’t have each other’s cellphone number then it make sense to contact me to get information especially if they know I am in regular contact with the team’s members.

So how ridiculous it sounds to ask me to deliver a message to his own team mate, using the excuse of not having her number.

I would think differently if his text were like ‘Keke, do you have …..’s cellphone number? I want to contact her about switching my schedule with her’. It is more likely to get into my common sense.

By the way, few months ago I didn’t have a clue about this guy’s cellphone number. Do you know how I got it?

Every month their team’s schedule is sent by email and I am one of the recipient. So when I was thinking hard on how could I contact him, I remembered of that email and I saw his email address is among the many other recipients email addresses.

I emailed him, gave my message for him and asked for his cellphone number.

He emailed me back so mission accomplished.

It is why it amazed me when I met people who ask me to be their message deliverer when they can do that by themselves.

Well, if they really stuck and asking me to that for them become their last option then I will do it without asking or grumbling.

But if we can do something by ourselves then why have to ask somebody else to do that for us? I mean, if too busy has become the excuse.. come on, who doesn’t?

Wednesday, October 24, 2012

Chicken (an animal, a coward, an escort)


Terjemahan aslinya berarti ayam.

“Bu Keke, chicken krupuk” kata Niko, mantan murid saya di TK dulu yang sekarang sudah kelas 1 SD, memberikan julukan demikian kepada saya karena dilihatnya bekal makan siang saya pasti ada menu berbahan dasar ayam. Dan krupuk tidak pernah ketinggalan.

Jadi di mata seorang Niko, ibu Keke itu identik dengan ayam dan krupuk. Hehe.

Nah omong-omong, chicken juga dipakai sebagai ungkapan orang Amerika yang artinya takut.

“Honey, don’t be such a chicken” ledek si bule waktu saya menolak diajak ikutan paralayang di Puncak beberapa bulan lalu. Terjemahan bebas dalam ucapannya itu adalah ‘Say, jangan jadi penakut dong’.

“Who do you call a chicken?” jawab saya kesal pada waktu itu. ‘Siapa yang takut?’.

Ya, akhirnya saya kemakan juga dengan ledekannya itu sehingga menerima tantangan dan ajakannya. Nyesel? Ga juga. Tapi jangan harap saya bakal mau terbang paralayang lagi biar pun diledek chicken sejuta kali. Hehe.

Tapi kata yang sama itu dipakai sebagai ungkapan yang berbeda artinya dalam bahasa Indonesia karena ‘Ayam’ dipakai sebagai kata pengganti untuk sebutan perempuan nakal.

Tempat paling umum yang dipakai sebagai tempat nongkrong para ayam adalah café atau bar. Kadang sulit membedakan mana yang ayam dan mana yang bukan karena penampilan mereka tidak ada bedanya dengan orang kantoran yang lagi clubbing seusai jam kantor.

Nah, para ayam ini umumnya datang bersama dengan orang asing. Kalau pun tidak, tempat clubbing yang mereka datangi pasti dipilih yang banyak dikunjungi oleh orang asing karena disanalah mereka akan mencari teman kencan.

Mungkin gara-gara hal ini saya pernah dikira ayam. Hehe. Edan betul. 

Ceritanya waktu itu saya dan si bule pergi clubbing ke café yang cukup terkenal di Jakarta. Setelah masuk dan menemukan tempat yang agak lowong di pojok ruangan, dia pergi sebentar ke bar untuk memesan minuman. Sementara saya berdiri diam-diam menunggunya sambil mendengarkan musik.

Rasanya mungkin baru semenit saya disitu ketika datang dua orang bule. Berdiri di sebelah saya. Awalnya saya tidak memperhatikan. Sampai kemudian saya baru sadar yang seorang kok nempel ke saya. Karena heran, saya menoleh ke arahnya. Orangnya masih muda. Mungkin 30an. Temannya lebih tua.

Kami bertatapan. Bertukar senyum. Saya pikir wajarlah. Tapi yang tidak wajar adalah lama-lama kok makin mepet ke saya. Untuk menghindar tidak mungkin karena posisi saya ada di pojok tembok. Mau pindah lokasi, nanti si bule kebingungan mencari saya. Mau menyusul dia ke bar, saya takut nanti tidak ketemu karena penerangannya minimalis sementara pengunjungnya begitu banyak. Nanti malah bisa saling cari-carian.

Jadi saya pikir lebih baik saya tetap disitu. Eh, saya makin dipepet sama bule itu. Bahkan temannya pindah ke sisi yang satu lagi sehingga posisi saya jadi terjepit di antara mereka berdua. Wah, saya mulai waspada karena pikir saya jangan-jangan ini copet. Saya pun beranjak sambil berjaga-jaga.

“Where are you going?” si bule muda menarik tangan saya.

“To the bar” jawab saya “I need a drink”

“My friend here can get you a drink” dia tidak hanya memegang tangan saya tapi juga merangkul pinggang saya. Wah, ini pertanda kurang baik, pikir saya.

“No, thanks, I'll get my own drink” saya berusaha tetap tenang walau sebetulnya mulai panik dan takut. Aduh, si bule kok lama banget sih.

“Come on, baby, let’s have a drink with us” kata temannya “spend the night with us too?”

Buset, pikir saya. Ga salah denger? Gue diajak kencan sama dua bule ini? Edan apa? Untungnya pada waktu kritis itu si bule nongol.

“Honey, what took you so long?” saya lega banget melihatnya. ‘Duh sayang, kok lama banget?’. Tanpa suara saya juga mengucapkan ‘HELP’. Untunglah dia melihat dan bisa membaca gerak bibir saya itu.

“Is there a problem?” dari nada suara, tatapan mata dan bahasa tubuhnya, saya tahu si bule mengambil ancang-ancang untuk membuka konfrontasi “She is with me, guys. She is my girlfriend”.

“Sorry, man, we didn’t know” dengan ucapan itu ke dua bule mesum itu pun meninggalkan kami.

Tapi insiden itu membuat saya intropeksi diri. Apakah penampilan saya malam itu sangat ‘menggoda’? Saya bercelana jeans, tank top hitam yang saya tutupi dengan kemeja kotak-kotak biru, bersepatu pantofel. Dandanan muka rasanya biasa saja. Hanya bedak dan lipstik tipis. Kalau menurut penilaian saya rasanya penampilan saya sangat menggambarkan diri saya, sporty alias tomboy dan kasual. Atau mungkin karena di tempat itu ada banyak ayam yang berpenampilan kasual seperti saya sampai akhirnya orang sulit membedakan mana yang ayam dan mana yang bukan. Apes saja saya yang malam itu di kira ayam oleh dua bule itu.

Namun berbekal pengalaman itu juga saya dan si bule memutuskan kami tidak boleh terpisah kalau berada di tempat clubbing. Jadi kalau mau pesan minuman, kami ke bar berdua walau setiap kali itu pula dia harus menggenggam tangan saya erat-erat karena mengetahui saya suka terserang panik saat berada di tempat yang penerangannya minimalis dan penuh sesak dengan manusia.

Yah, begitulah kisah yang berhubungan dengan chicken… seru kan? Hehe..
____________________________

Its actual meaning is an animal.

“Miss Keke is chicken and chips” dubbed Nico, my former student in kindergarten, after seeing that my lunch always consists meal made of chicken and always have the chips.

So for him, I have become identic with chicken and chips. Lol.

By the way, chicken is an American slang for coward.

“Honey, don’t be such a chicken” teased my ‘dear’ friend when I declined his offer to go paragliding in Puncak few months ago. ‘Don’t be such a coward’.

“Who do you call a chicken?” was my respond at that time.

Well, wanting to prove him that I was not a coward made me accepted his offer and chalange to go paragliding. Did I feel sorry? Nope. But never expect me to do such thing again in the future no matter he would tease or call me chicken a million of times.

Chicken, however, is a different slang in Indonesian because it stands for escort girl (prostitute).

This kind of chicken prefer to hang out at café, pub or bar. It is hard to tell which one is the chicken because they appear like women who work in offices and go to those places after office hour.

So, they usually come with their dates (they prefer to date foreigner). Or they would go to café, pub or bar that oftenly attend by foreigners to get a date for the night.

Now I was once mistakenly thought as a chicken. Unbelievable.

It was when my ‘dear’ friend and I went clubbing to a quite well known café in Jakarta. Once we got inside and found a place in a corner of the room, he went to the bar to order our drinks. While I stayed in our corner, listening to the music.

It was probably just a minute when two white men came to my side. At first I didn’t notice until I realized one of them has pressed himself to me. This made me stared at him. He was a young man in his 30s. His friend was older.

We stared at each other. Exchanging smiles. Nothing wrong so far. Until I realized he pressing himself way too close to me. I couldn’t move away because I was already cornered. I thought of moved to other location but afraid my ‘dear’ friend would have trouble of finding me. Went to the bar was not an option either because the light was dim and the place was so crowded, I was afraid I wouldn’t able to find him.

So I thought I’d rather stay there. But these two guys stood on my right and left side. Making me unable to move anywhere. This alerted me. Thinking they might be pick pocket made me stood on guard as I moved away.

“Where are you going?” the young guy grabbed my hand.

“To the bar” was my reply “I need a drink”

“My friend here can get you a drink” he didn’t just hold my hand. He put his arm on my waist. Oh no, this isn’t good, I thought.

“No, thanks, I'll get my own drink” I appeared calm when infact I  started to feel scared and panic. What took my ‘dear’ friend so long anyway?.

“Come on, baby, let’s have a drink with us” said the other guy “spend the night with us too?”

Whatta? Have I heard it well? These guys just asked me for a date??. But right at that critical time, my ‘dear’ friend came.

“Honey, what took you so long?” I have never been so relief to see him coming. I motioned my lips to say ‘HELP’ with no sound. He saw it.

“Is there a problem?” I knew from his tone, eyes and body language that he was about to open a confrontation “She is with me, guys. She is my girlfriend”.

“Sorry, man, we didn’t know” those two guys got the message and left us.

That incident, however, made me wonder if I dressed too flirty? I made self intropection. I wore jeans, tank top under my blue shirt, with a pair of sneakers. So very little make-up. I appeared as myself, the sporty and casual me. Or too many chicken dressed like that so they can’t tell the difference?. If so, it wasn’t my luck to be mistakenly seen as a chicken that night.

It also made me and my ‘dear’ friend decided that we should always be together when we go clubbing. If we want to order a drink then both of us will go to the bar. Though he must hold my hand tightly all the way there knowing that I could get panic attact in a crowded room with dim light.

So there goes my story regarding the chicken..

Sunday, October 21, 2012

Out Of The Closet

Closet disini bukan berarti benda yang ada di kamar mandi. Closet adalah lemari pakaian yang dibuat menyatu dengan tembok. Tapi bukan berarti lemari pakaian yang dimasukkan ke tembok. Ini gaya bule. Tidak lazim untuk orang Asia. Sejauh ini saya hanya pernah mendapatinya dibeberapa hotel dan apartemen yang pernah saya inapi.

Out Of The Closet adalah ungkapan yang artinya sesuatu yang tadinya disembunyikan seseorang kini terungkap.

Setiap orang pasti punya hal-hal yang disembunyikan dan dirahasiakan. Anda memilikinya. Saya juga memilikinya. Ini bukan hal yang luar biasa karena sejujur apa pun seorang manusia, tetap saja ada bagian dari dirinya, sifat, kepribadian, perbuatan atau masa lalu yang di rasa tidak pantas, tidak bagus, tidak baik untuk diketahui siapa pun.

Jadi buat saya, memiliki hal-hal yang dirahasiakan adalah sesuatu yang sah-sah saja asalkan masih dalam bentuk yang wajar.

Tapi toh akan ada satu titik dimana seorang manusia akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan rahasia yang dimilikinya. Entah itu secara menyeluruh atau hanya sedikit.

Ini yang terjadi minggu lalu. Saya agak kaget melihat si bule menaruh foto dan tidak lagi karikatur yang menggambarkan dirinya di akun facebooknya. Lebih kaget lagi ketika saya melihat dia mengganti pilihan ‘only me’ ke ‘public’ pada kolom in a relationship with..

“There’s no law that says I can’t do that” katanya nyantai waktu saya menanyakan perubahan itu “look, you are the first one who shared it to the world when you started writing about us on your blog”. Ga ada hukum yang melarang saya untuk tidak melakukannya. Lagian kan kamu yang pertama kali membocorkan tentang hubungan kita lewat tulisan-tulisan kamu di blog.

Yah, dia benar.

“Maybe we should come out. Besides, it is not like we were having an affair” Mungkin kita harus membuka hubungan kita ini. Toh hubungan kita ini bukannya hubungan selingkuh.

“You know the reason why I keep this quiet” jawab saya. Kamu tahu alasan mengapa saya memilih tidak mempublikasikan hubungan kita.

Alasannya sederhana saja; saya tidak mau diperhadapkan pada pertanyaan ‘kapan kalian akan menikah’ kalau saya muncul didampingi oleh seorang laki-laki.

Saya mau menjawab bagaimana kalau ditanya seperti itu?. Apa mau saya jawab sejujur-jujurnya ‘kami tidak berencana untuk menikah’. Wah, di jamin bisa bikin heboh kalau saya memberikan jawaban seperti itu. Hehe.

Saya bisa di anggap gila, aneh atau orang bisa mengira bahwa ini jenis hubungan haram dan saya tidak butuh nasihat, kritikan atau argumentasi dari siapa pun yang merasa dirinya lebih benar, lebih tahu dan lebih suci dari saya atau si bule.

Bagaimana dengan orang tua saya?. Sekali pun saya adalah tipe anak manis yang mengabdi pada orang tua tapi dari awal saya sudah menekankan bahwa hidup pribadi saya adalah milik saya sepenuhnya. Saya tidak mau di dikte oleh mereka. Dulu ya, sewaktu saya masih muda dan belum punya duit sendiri. Tapi sejak saya mulai bekerja dan harus menanggung kehidupan mereka sepenuhnya, saya tidak lagi mau di dikte. Lagi pula saya sudah dewasa sepenuhnya.

Jadi saya tidak akan menikah hanya untuk memuaskan keinginan segelintir orang. Saya tidak mau membahagiakan semua orang tapi mengorbankan kehidupan, keinginan dan kebahagiaan saya.

Yah, tapi kan orang umumnya mana mau repot mengamati dengan cermat supaya bisa memahami dan menerima keputusan, pilihan atau pikiran orang lain secara fair. Paling gampang langsung menarik kesimpulan berdasarkan dari apa yang kelihatan. Jadi itu yang bikin saya enggan mempublikasikan hubungan pribadi saya dengan seorang laki-laki.

Dan untuk hal yang satu ini saya terhitung cukup ahli. Si bule bukan laki-laki pertama yang saya ‘sembunyikan’. Saya sudah melakukan hal ini sejak dari awal tahun 2000. Yang dulu-dulu malah lebih sulit karena mantan-mantan saya itu bekerja di kantor yang sama dengan saya. Ada satu yang kerjanya malah satu ruangan. Tapi dari awal hubungan sampai bubar, tidak ada seorang pun di kantor yang tahu tentang hubungan saya dengan mereka.

Enaknya kalau kita diam-diam saja adalah tidak ada yang meributi hubungan itu dari awal sampai akhir. Buat saya itu bikin hati dan pikiran saya jadi tentram.

Tapi ya resiko pacaran diam-diam begini adalah bisa ada pihak lain yang langsung pe-de-ka-te karena mengira saya atau pacar saya masih sendiri. Ini beberapa kali terjadi. Ketika ada yang naksir dan mendekati saya, pacar saya tentu saja tidak bisa memberikan reaksi karena rahasia kami bisa terbongkar. Begitu pula sebaliknya.

Hal lain yang sulit adalah membangun rasa percaya. Lebih sulit dari pada mereka yang tidak menyembunyikan hubungannya.

Cemburu dan curiga pada dasarnya memang sulit untuk disembunyikan dan dikendalikan.

Untungnya saya kebetulan termasuk tipe orang cuekan sehingga tidak menemukan kesulitan berarti untuk menjinakkan rasa cemburu dan curiga. Tapi ga tau kenapa, lelaki yang tertarik pada saya adalah tipe posesif.

Si bule ini saja sudah berapa kali ‘menuduh’ saya menyembunyikan dia supaya saya dikira orang tidak punya pacar dan karenanya bebas buat berhubungan dengan siapa pun.

Pernah ada periode dimana dia merasa harus mengecek semua kegiatan saya, telpon saya, email saya, teman-teman saya, hingga melacak keberadaan saya melalui GPS. Lalu ketika dia merasa dia tidak bisa ‘mengawasi’ saya, dia minta beberapa temannya untuk memata-matai saya.

Kalau anda pikir itu sudah yang paling luar biasa, hmm.. dia pernah khusus datang jauh-jauh dari negerinya hanya untuk melabrak lelaki yang diketahuinya dengan sengaja mendekati saya. Untungnya tidak sampai terjadi perkelahian fisik. Wih..

Jelas saja saya pusing dan stress jadinya pada waktu itu karena saya bukan orang yang mau dikekang. Hubungan kami sampai nyaris bubar karenanya.

“I just can’t bear it to think the possibility that you meet somebody else and want to  break up with me” katanya sekali waktu. Saya tidak sanggup memikirkan kemungkinan kamu ketemu lelaki lain dan minta putus sama saya.

Buat saya, masing-masing kita punya tanggung jawab moral untuk menjaga kesetiaan pada pasangannya. Karena kita toh tidak bisa mencegah orang untuk tidak jatuh cinta pada diri kita. Sebaliknya, kita juga tidak bisa menjamin bahwa kita tidak akan pernah merasa tertarik pada lawan jenis kita setelah kita punya pasangan.

Jadi ini soal saling percaya.

Mudah mengatakannya. Sulit untuk mempraktekkannya.

So saya yakin itu pastilah alasan utama mengapa si bule semakin terdorong untuk go public tentang hubungannya dengan saya. Kami sebetulnya telah melakukannya bila bersama dengan teman-temannya yang juga orang asing. Perkaranya adalah, orang-orang barat itu tidak bawel bertanya-tanya. Jadi kami bisa terang-terangan menunjukkan diri kami sebagai pasangan.

Namun saya belum sepenuhnya siap mental melakukan hal yang sama di depan orang-orang yang sebangsa dengan saya.

Menceritakan tentang hal-hal yang kami lakukan dan percakapkan serta memejeng fotonya bagi saya sudah merupakan satu langkah berani. Sukurlah sejauh ini tidak ada yang berkomentar. Hehe. Jadi masih aman-aman saja.

“But how long do you plan to lock me inside the closet?” dia bertanya. Tapi sampai berapa lama kamu berencana untuk menyembunyikan saya?

Adakah hal-hal dalam kepribadian, sifat, kebiasaan atau masa lalu kita yang kita sembunyikan?. Berharap supaya tidak seorang pun akan mengetahuinya? Tapi seperti pertanyaan yang diajukan oleh si bule tadi 'sampai kapan?’'. 

Menyembunyikan sesuatu bukanlah hal yang sederhana, tidak mudah dilakukan dan sama sekali tidak menentramkan hati.
__________________________________


A wardrobe is sometimes referred as closet when it is built inside the wall. Something that unusuall to have in Asian houses. I just find it in the apartments and hotels that I stayed in.

Out of the closet is an idiom which means a secret is being revealed.

Everyone of us have things that we hide. We all have secrets. I have it. You have it. So for me it is nothing out of the ordinary because we all think there are things in our lives, characters, personalities, habits or past that should better be kept to ourselves as these things maybe too personal, too unpropriate or to embarrassing for others to know.

But there would be one point when someone thinks the secret can no longer be hidden so the truth is out thoroughly or part by part.

Peekaboo.. :)
That what happened last week. I was surprised to see my ‘dear’ friend put his photo and replaced the old image he has been used as his facebook photo profile. It surprised me more when I saw he has changed the preference ‘only me’ to ‘public’ on the ‘in a relationship with..’ column.

“There’s no law that says I can’t do that” that was his calm answer me when I asked about it “look, you are the first one who shared it to the world when you started write about us on your blog”.

Yes, he is right.

“Maybe we should come out. Besides, it is not like we were having an affair”

“You know the reason why I keep this quiet”

It is simple; I don’t want to be asked ‘when are the two of you going to get married?’ if people see me with him.

What would be my answer to that question? Would I give true answer that ‘marriage is not our option’. I would create a big controversy if I give such answer. Lol.

People in this country would think I am so insane, weird or they might think we are having a forbidden relationship. And I don’t need any advice, critic or argument from anybody who thinks he or she is a righteous person, knows it better or holier than me or my ‘dear’ friend.

How about my parents? Eventhough I am considered as a devoted child to them but I have told them that my private life is my own business. I don’t want them to tell me what I should or shouldn’t do. They could do that when I was young and haven’t made my own money but it no longer works like that especially after I have to support them financially. Besides, I am an adult. I am not an underage person.

I certainly am not marrying anyone to please them but sacrificing my own life, happiness and wishes.

But what do people care about it? Would they give more time to look deeper to understand and accept one’s decision, option or mind fairly?. What usually happens is the easiest way is just to make one sided conclusion. That is what make me hesitate to let people know who I am seeing or dating.

I am actually good in hiding the guys I am seeing or dating. My ‘dear’ friend is not the first one. I have been doing this early in the 2000s. It was even trickier because my former boyfriends worked in the same company, even worked in the same room with me. But from the start to the end, nobody knew I had romance with them.

That’s the best part of keeping a relationship in private.

But it has a risk. Since nobody knows about it, they think I am single and any men can make an approach on me right before my partner’s eyes and there is nothing he can do about it or he blows up our secret.

Building a mutual trust is therefore difficult. Harder than any couples who don’t keep their romance in private.

Jealousy and suspicion are basically difficult to hide and to control.

Lucky for me to have an easy going personality so it makes it easier for me to tame my jealousy and suspicion. But I don’t know why the guys who are attracted to me are the possessive type.

My ‘dear’ friend, for example, has questioned my intention about keeping our relationship in private. He thinks I do that because I want people to think I were single and so I can date other men.

There were times when he felt he had to check my activities, my calls, my emails, my friends up to find my location using GPS. Then when he thought he couldn’t keep an eye on me, he turned to his friends to ‘spy’ on me.

If you think that’s outrage, hmm.., it happened when he deliberately came to this country only to confront the man whom he found out made an approachment on me. Glad there was no fight.

However it gave me the headache and stress because I dislike to be controlled. We nearly broke up because of that.

“I just can’t bear it to think the possibility that you meet somebody else and want to  break up with me” he confided his fears.

I personaly think each of us have moral responsibility toward our partner to keep our fidelity because we can’t stop people from falling in love to us nor can we guarantee we will never fall in love to other people.

This is about trust.

Easy to say. Hard to do.

I am certain it is the main reason why my ‘dear’ friend has been pressing me to make our relationship go public. We actually have done it when we are among his friends, who happens to be also a westerner like himself. And the westerners don’t noisly asked us  ‘when are the two of you going to get married?’ so we can clearly act like a couple.

I am still reluctant to do so infront of my own fellow countrymen.

Writing about the things we did and talked are two big things that I finally got the nerve to do. I am glad nobody said a thing about us. Lucky me. Lol.

“But how long do you plan to lock me inside the closet?” asked my ‘dear’ friend.

Is there something or things in your personality, character, habit or past that you hide?. Hoping that no one would find out. But like my ‘dear’ friend’s troubling but yet true question ‘until when?’.

It is not a simple and easy thing to hide something. It surely not bring any peace of mind either.

Friday, October 19, 2012

Don’t Trust What You See

Saya memikirkan tentang orang-orang yang saya kenal. Saya memikirkan tentang diri saya sendiri.

Penampilan kita bisa menipu. 

Si bule misalnya, ketika kami bertemu pertama kalinya 5 tahun lalu dia memberi kesan seperti seorang hippie. Penampilannya acak adut. Rambutnya seperti tidak pernah disisir, kumisan dan brewokan, badan ber-tato, merokok, pakaiannya lusuh… aduh mak, kalo itu bisa disebut berpakaian karena tidak jarang dia hanya berkeliaran hanya dengan bercelana boxer tanpa baju.

Dengan penampilannya yang seperti itu, tidaklah heran ketika saat itu saya menjauhinya seakan dia seorang penderita lepra.

Beda dengan Mark, teknisi asal Inggris, yang saat itu sedang menjalin hubungan dengan saya. Sekalipun dia lebih banyak bekerja dengan mesin, mengotori tangannya dengan oli dan berkeringat karena melakukan pekerjaan kasar tapi penampilannya klimis dan rapi.

Hm, tapi jangan salah bo, itu penampilan luarnya. Sifat dan kelakuan Mark tidaklah se-klimis dan se-rapi itu. Setelah mengenalnya selama beberapa lama dan mengalami beberapa hal tidak menyenangkan, saya memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan kami.

Si bule yang punya penampilan acak adut dan sempat membuat saya menjauhinya seakan dia penderita lepra, justru memiliki sifat dan kelakuan yang jauh lebih baik dari penampilan luarnya. Dia juga memperlakukan saya jauh lebih baik. Kalau tidak, ga mungkin saya bisa dan mau menjalin hubungan dengan dia selama 4 tahun.

Alangkah anehnya manusia itu…

Saya telah bertemu dengan banyak macam manusia. Saya telah mengalami banyak pengalaman yang membuat saya mewanti-wanti diri sendiri untuk tidak tertipu dengan penampilan luar seseorang dan untuk tidak terburu-buru memberikan vonis atau membuat kesimpulan sepihak tentang seseorang.

Tapi toh, masih juga saya bisa terkelabui…

“Don’t judge the book by its cover” si bule tersenyum saat saya membagi pemikiran saya ini padanya. Jangan menilai buku dari sampulnya.

Saya tertawa “yeah, it can be deceiving”. Bisa menipu.

“So you were deceived to think I was not a good person when we met five years ago?” dia bertanya. Jadi kamu sempet ketipu dan mengira saya bukan orang yang baik waktu kita bertemu 5 tahun lalu?.

Saya tertawa malu.

Yah, tapi kan saya tidak tahu dia sebetulnya klimis dan rapi kalau tidak sedang berlibur. Gimana saya bisa tahu? Lha, setiap kali dia datang mengunjungi saya pastinya dia berpenampilan acak adut begitu. Saya baru tahu bagaimana penampilannya sehari-hari dinegerinya setelah tidak sengaja melihat foto-fotonya.

“Is this you?” saya sulit percaya bahwa lelaki dalam foto-foto itu adalah dia karena disitu rambutnya tersisir rapi tanpa jenggot dan kumis, yang bikin tambah pangling adalah karena dia memakai jas. Necis. Rapi. Keren. Kelihatan jauh lebih muda.

“Yes, baby, that’s me” dia mengedipkan sebelah matanya kepada saya.

Saya berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Yang saya kenali dari dirinya dalam foto-foto itu hanyalah mata, hidung dan kacamata bacanya itu. Wah, siapa kira si ‘Kapten Haddock’ ini ternyata ganteng juga bila penampilannya diubah drastis.

Manusia memang penuh dengan kejutan.

“I have been to many places. Some of them have shiny floors and windows while others are simply huts. It is easy to be fooled by what you see. But you have to look deeper and you will see that there are much than shiny floors”. Sudah banyak tempat yang saya kunjungi. Beberapa diantaranya berlantai dan berjendela mengkilap sementara yang lainnya cuma pondok sederhana. Jadi ya gampang banget untuk tertipu dengan apa yang kita lihat. Tapi kalau kamu lihat lebih dalam, akan kelihatan bahwa lantai mengkilap bukanlah segalanya.

Saya tertawa “and you were not that ‘shinny floor’ when I met you five years ago”. Kamu bukanlah ‘lantai mengkilap’ itu waktu kita ketemu lima tahun lalu.

“Neither did you” dia tersenyum. Begitu juga kamu.

“If I was not that ‘shiny floor’, what made you fell for me?”. Kalau memang saya bukan jenis ‘lantai mengkilap’, terus apa yang bikin kamu jadi suka sama saya?

“I don’t know” si bule mengangkat bahu “I honestly don’t know. I have dated many women before and then I was introduced to you”. Saya betul-betul tidak tahu. Saya sudah  pacaran dengan banyak perempuan dan kemudian saya dikenalin ke kamu.

“There is something about you that just caught my eyes. You looked like a simple person, casual, down to earth, happy to be yourself”. Ada sesuatu dalam diri kamu yang bikin saya tertarik. Kamu kelihatan seperti seorang yang sederhana, apa adanya dan bahagia menjadi diri sendiri.

Saya tertegun. Seperti itukah diri saya dimata orang lain?

“It is true that I am casual and down to earth but I am definitely not simple and not always happy to be myself. I have a complicated mind, I am easily lost my way” jawab saya. Memang betul kalau dibilang saya apa adanya tapi saya jelas bukan orang yang punya jalan pikiran sederhana dan saya tidak selalu bahagia menjadi diri sendiri.

“I didn’t know that at that time” dia tersenyum. Saya tidak mengetahuinya pada waktu itu.

Ya tentu saja.

“I was a bad tempered person when I was a kid and a teenager” saya mengingat-ingat masa lalu “I was still not an easy person to be with even after I was in my 20s and 30s”. Saya seorang yang emosional semasa kecil dan remaja. Umur 20-30 aja watak saya masih sulit.

“Did you hide it?”. Apa kamu sembunyikan itu?

“No” saya berpikir “but funny thing is people described me the same as your description about me”

“That you looked like a simple person, casual, down to earth, happy to be yourself?” dia nyengir.

“Yeah, imagine that I have deceived people” saya ngakak. Bayangin, saya sudah menipu orang dengan penampilan luar saya.

“You didn’t and don’t fool them thoroughly because half of that image is true. You are an easy going, simple, casual and down to earth”. Kamu tidak sepenuhnya mengelabui mereka karena memang benar kamu itu orangnya luwes, sederhana dan apa adanya.

“Yes”.

“I have met, and I am sure you have too, people who are  so deceiving. Their true characters are so completely different with the one they show the world”. Saya sudah pernah ketemu, dan saya yakin kamu juga sudah, banyak orang yang betul-betul bisa mengelabui kita dengan diri yang ditampilinnya kepada dunia luar karena beda banget sama diri aslinya.

Anda mungkin akan berargumentasi bahwa orang harus menyesuaikan citra dirinya dengan tempat, waktu dan jabatan.

Ya, argumen anda tidak salah tapi juga tidak sepenuhnya benar.

Saya telah bertemu dengan orang-orang yang punya jabatan tinggi tapi sikapnya tetap santai, tidak jaim, tidak menciptakan jarak, tidak merepotkan bagaimana orang harus bersikap terhadap dirinya yang lebih tinggi dalam posisi, lebih senior dalam umur, status, kepintaran atau pengalaman. Asyik banget deh pokoknya kalau punya atasan, rekan kerja atau teman seperti orang-orang ini.

Tapi ada juga yang tipe orang yang membangun citra dirinya begitu ‘mengkilap’ sampai membuat saya kadang bertanya-tanya dibalik semua itu seperti apa dirinya yang asli. Apa sama indah dan mengkilap?. Tapi dari pengalaman saya, biasanya tidak. Dan sedihnya, cepat atau lambat, dirinya sendiri juga yang kemudian membuka kedoknya itu.

Jadi janganlah terlalu cepat percaya dengan apa yang anda lihat.

“If, say, five years ago I appeared as the person you see in these pictures, would you dislike me?” si bule bertanya setelah sejenak diam merenungi kata-kata saya. Kalau penampilan saya seperti di foto-foto yang kamu lihat ini, apa kamu bakal merasa ga suka sama saya?.

“I’d have different impression” jawab saya. Kesan saya tentang kamu akan beda.

Dia diam. Menatap saya lama. “I have met and dated so many women. Some of them got impressed by my outer look. You know I am that ‘shinny floor’ but in reality am not shinny inside”. Saya sudah ketemu dan pacaran dengan banyak perempuan. Beberapa dari mereka terpesona dengan penampilan saya yang luarnya memang ‘mengkilap’ tapi aslinya kan tidak.

“And do you know how people see me?” saya tertawa. Setengah geli, setengah dalam ironi “I am admired as a teacher; liked as a person; mocked for my disabilities; needed for my skills and degraded by people who somehow felt threatened by my presence or envied me when I thought I was really nothing compared to them”. Tahu ga gimana orang melihat saya?. Sebagai guru, saya dikagumi; disukai sebagai seorang individu; dihina oleh karena kekurangan dalam diri say;, dibutuhkan karena kemampuan saya dan direndahkan oleh orang-orang yang entah bagaimana bisa merasa diri mereka terancam karena kehadiran saya atau karena iri pada saya. (Lucunya) menurut saya, saya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan mereka .

“It shows clearly that we all should not believe what we see” dia memeluk saya “because what we see can be deceiving”. Jadi semua ini menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak boleh percaya begitu saja dengan apa yang kita lihat karena semua itu bisa menipu.

“Mmmm..” pelukannya selalu membuat saya merasa nyaman dan aman “I have misjudged people. I did that to you. That’s a mistake”. Saya pernah salah menilai orang. Saya salah menilai kamu.

“Everybody makes mistake” dia mencium saya “I am just glad the impression I gave you  didn’t stop you from giving yourself a chance to know me”. Manusia tidak lepas dari berbuat salah. Saya bersyukur karena kamu tetap memberi kesempatan untuk mengenal saya sekalipun saya memberikan citra diri yang acak adut.

“Honey, FYI (for your information/untuk diketahui), I don’t do that to everybody” saya tertawa antara geli, malu dan dengan nurani yang sedikit terusik. Saya tidak melakukan hal seperti itu kepada semua orang.

“Well, I’m glad you did that to me” dia ikut tertawa. Saya bersyukur kamu melakukan hal itu kepada saya.

“So am I” saya menghela napas dengan sejuta pikiran berseliweran didalam kepala saya “so am I”. Saya juga.
_____________________________________________


I am thinking about the people I know. I am thinking about myself.

Our looks can be deceiving.

My ‘dear’ friend for example, when we met 5 years ago his appearance was really unflattering. It looked as if he never combed his hair, he was bearded and whiskered so thick, he smokes, he has tattoos on his body, it looked like he didn’t care of the way he dressed, if I could say ‘dressed’ because it happened often that he would wander around wearing only shorts.

So it was not a surprise if I didn’t want to get near him. I treated him as if he were a person who had leprosy.

Mark, the British technician whom I dated at that time had a complete contrast appearance. Though his kind a work made him got dirty and sweaty because he worked with machines in factories but he always neat.

But that was his outer appearance. His characters and personality were not that neat. After some period of time in courtship and experiencing few unpleasant stuff, I decided to end our relationship.

My ‘dear’ friend who had unflattering appearance that made me avoided him as if he had leprosy, turned out to have better characters and personality. He treats me better too or otherwise I would not keep our relationship goes this long.

People are so weird…

I have met so many type of people. I have lots of experience to make me warn myself not to be fooled by people’s outer appearance and not to judge them too fast.

But it still fooled me occassionaly ..

“Don’t judge the book by its cover” my ‘dear’ friend smiled when I shared him these thoughts.

It made me laughed “yeah, it can be deceiving”


“So you were deceived to think I was not a good person when we met five years ago?”

I laughed again. Embarrassed.

But how would I know that he only looked unflattering like that in holiday time and not on daily basis. How am I to know if he always appeared so unflattering like that everytime he comes here for a holiday and also to visit me. It was after I found his photos that I realized he appears neat on daily basis.

“Is this you?” I asked in my disbelief on seeing those photos. His hair is neatly combed, he doesn’t have beard and moustache, he dresses neatly, he looks so much younger. Nice. Clean. Smooth.

“Yes, baby, that’s me” he winked his eyes at me.

I shook my head in amazement. His eyes, nose and reading glasses were the only one I recognize. Well, what do you know that he could look handsome when he changed his appearance drastically.

People are so full with surprises.

“I have been to many places. Some of them have shiny floors and windows while others are simply huts. It is easy to be fooled by what you see. But you have to look deeper and you will see that there are much than shiny floors”.

I laughed, “and you were not that ‘shinny floor’ when I met you five years ago”

“Neither did you” he smiled.

“If I was not that ‘shiny floor’, what made you fell for me?”.

“I don’t know” he shrugged his shoulder “I honestly don’t know. I have dated many women before and then I was introduced to you”

“There is something about you that just caught my eyes. You looked like a simple person, casual, down to earth, happy to be yourself”.

It stunned me. Do I give people those kind of impression?

“It is true that I am casual and down to earth but I am definitely not simple and not always happy to be myself. I have a complicated mind, I am easily lost my way”.

“I didn’t know that at that time”  he smiled softly.

“I was a bad tempered person when I was a kid and a teenager” I reminded of how I was in the past “I was still not an easy person to be with even after I was in my 20s and 30s”.

“Did you hide it?”.

“No” I thought it for awhile “but funny thing is people described me the same as your description about me”

“That you looked like a simple person, casual, down to earth, happy to be yourself?” he grinned.

“Yeah, imagine that I have deceived people” I bursted out my laugh.

“You didn’t and don’t fool them thoroughly because half of that image is true. You are an easy going, simple, casual and down to earth”.

“Yes”.

“I have met, and I am sure you have too, people who are  so deceiving. Their true characters are so completely different with the one they show the world”.

You may argue that we should put our appearance according to place, time and position. Yes, it is correct but also incorrect.

I have met with people who have important position but have easy going, casual and low profile personalities, they don’t really focus on setting certain image, not sweating over people’s attitude toward them. It is definitely making them fun to be with, to work with and be friended with.

Others, however, polish their clean-smooth-neat outer images so shinny that I wonder would it be like that too inside?. My experiences tell that it usually goes the opposite. Sad thing is it would always be themselves who eventually reveal their true color.

Therefore, don’t trust what you see.

“If, say, five years ago I appeared as the person you see in these pictures, would you dislike me?” my ‘dear’ friend popped the question.

“I’d have different impression” was my reply.

He went quiet. Staring at me for a moment.

“I have met and dated so many women. Some of them got impressed by my outer look. You know I am that ‘shinny floor’ but in reality am not shinny inside”.

“And do you know how people see me?” I laughed. Half tickled, half in irony “I am admired as a teacher; liked as a person; mocked for my disabilities; needed for my skills and degraded by people who somehow felt threatened by my presence or envied me when I thought I was really nothing compared to them”.

“It shows clearly that we all should not believe what we see” he held me close “because what we see can be deceiving”.

“Mmmm..” he makes me feel warm and safe whenever he held me like this “I have misjudged people. I did that to you. That’s a mistake”.

“Everybody makes mistake” he kissed me “I am just glad the impression I gave you  didn’t stop you from giving yourself a chance to know me”.

“Honey, FYI (for your information), I don’t do that to everybody” I laughed but something inside my conscious bothered me.

“Well, I’m glad you did that to me” he laughed it too.

“So am I” I sighed. Lots of thoughts are still pretty much hanging on my mind. “So am I”