Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Sunday, September 30, 2012

Local or Imported?


Mana yang lebih saya sukai; cowok lokal atau orang luar?

Yang saya sukai dari orang asing adalah mereka lebih mandiri. Maksudnya begini, karena  budaya barat tidak terlalu mengagungkan laki-laki maka laki-laki tidak menerima perlakuan istimewa sejak mulai dari bayi.

Jadi, cowok non Indonesia yang pernah saya pacari atau yang sedang saya pacari saat ini punya sikap sama; Tidak minta dilayani oleh perempuan.

Si bule, misalnya, kalau dia pengen minum kopi (contoh sederhana), ya dia pergi sendiri ke dapur, bikin sendiri tu kopi. Tidak pernah dia ngomong ke saya, ‘eh, say, kayaknya ngopi enak ya’ (Trik basi cowo Indonesia. Pengen sesuatu tapi minta orang lain yang bikinin/beli). Abis ngopi, dia bawa gelas kopinya ke dapur dan cuci sendiri.

Dia juga tidak kagok pergi ke pasar, belanja, masak, sampai ke cuci dan setrika baju, nyapu, ngepel. Kenapa bisa begitu? Bukan karena dia tinggal sendiri tanpa pembantu. Tapi karena dari kecil, orang-orang barat sudah dibiasakan dan dididik untuk mandiri, semua harus bisa dikerjain sendiri.

Beda dengan orang Asia. Dari kecil, seorang anak melihat bagaimana ibunya melayani  ayah. Mulai dari ngambilin nasi dan lauk saat si ayah mau makan (seakan si ayah tidak punya tangan dan kaki saja) sampai menyediakan handuk dan pakaian ganti saat si ayah mau mandi.

Saya dibesarkan dalam keluarga yang memakai setengah gaya bule. Ayah saya tipe orang yang melakukan segalanya sendiri tanpa meminta dilayani. Bahkan dia yang mengurusi istri dan anak-anaknya.

Jadi dalam otak saya, pengertian tentang seorang istri adalah menjadi seorang pendamping. Bukan (menjadikan dirinya / dijadikan sebagai) pembantu dari suaminya.

Orang tua saya memang menjalani masa dua puluh tahun pertama dari empat puluh dua tahun usia pernikahan mereka dengan penuh pertengkaran tapi mereka selalu saling mendampingi. Disaat yang satu lemah, yang lain maju untuk menggantikan. Mereka menjadi rekan dalam menjalani kehidupan.

Saya memang lebih cocok berpasangan dengan orang barat atau orang Asia yang dibesarkan dengan gaya barat atau lama hidup di negeri barat sehingga tidak lagi memiliki 100% kepribadian orang Asia.

Kalau dengan cowok Indonesia yang dibesarkan dengan gaya ‘ayah dilayani sampai ke urusan disendokin nasi dan lauk oleh si ibu’, waduh, terus terang aja, saya rada ngeri karena rata-rata mereka mempunyai gambaran bahwa perempuan yang dipacari atau dinikahinya harus berlaku seperti itu pula kepada mereka.

Saya ngeri karena merasa tidak sanggup, tidak punya kepribadian dan tidak punya cukup kesabaran untuk berlaku seperti itu. Jadi lebih baik dari awal saya sudah mengibarkan bendera putih deh. Nyerah duluan. So kalau ketemu sama cowok kayak gini, mau kayak apa baiknya dia, saya milih mundur ah… hehehe…

Ya tapi bukan berarti orang barat lebih baik dari orang Asia. Dari semua orang barat yang pernah saya kenal, ada juga yang brengsek. Jadi berteman atau berpacaran dengan mereka pun tetap perlu lihat-lihat juga mana yang cocok, yang baik, yang tulus dan yang tidak.

Dari sekian banyak orang asing yang pernah dekat dengan saya, baru si bule ini, yang  bisa mengimbangi saya. Karena sekali pun saya seorang yang kokoh dan mandiri, tapi  saya mencari orang yang sama kokoh dan mandirinya supaya tidak ngerepotin saya  dengan tuntutan harus melayani dia (hehe) dan bisa menopang saya di saat saya lemah.

Yang melegakan juga adalah tidak seperti orang Asia yang sangat ‘married minded’, orang barat tidak membebani dirinya dengan target nikah. Mereka tidak merasa diuber-uber umur, tidak dibayangi oleh kewajiban untuk menikah supaya orang tua bisa bahagia dan lega, tidak merasa khawatir siapa nanti yang akan merawat dirinya bila sudah tua tapi belum menikah dan tidak punya anak.

Saya adalah orang Asia yang memiliki pemikiran dan prinsip seperti itu. Dan saya dianggap aneh oleh sesama bangsa saya sendiri, tapi tidak oleh orang barat.

Saya pikir saya tidak akan bahagia bila saya berhubungan dengan seorang lelaki yang memiliki target menikah. Karena hal itu membuat hubungan tidak santai, tidak enjoy, tidak bisa berhubungan untuk waktu yang lama.

Anyway, hal lain yang saya sukai dari orang asing adalah mereka lebih mesra kepada pasangannya. Mereka tidak ragu dan malu untuk menunjukkan afeksi seperti bergandengan tangan, berpelukan sampai berciuman didepan publik. Orang tua saya seperti itu. Jadi saya pun terbiasa menunjukkan rasa sayang saya dengan cara demikian dan itu tidak terbatas pada pacar, pada teman pun demikian walaupun harus saya pilah pilih juga karena takut ada yang merasa tidak nyaman atau malah jadi salah ngerti.

Jadi agak aneh bagi saya bila melihat sepasang kekasih ragu atau takut untuk menunjukkan afeksi secara terbuka di depan publik.

Seorang teman saya malah bersikap agak keterlaluan (menurut penilaian saya) karena kalau jalan dengan pacarnya, dia bisa nyelonong aja sendiri di depan, ceweknya ketinggalan berapa langkah dibelakangnya. Sampai-sampai saya pernah meledeknya,  ‘eh, gimana tuh kalau cewek kamu tiba-tiba pingsan, kecebur di comberan atau disrempet becak?. Kamu jalan aja terus ga tahu apa yang terjadi sama dia.. wah, kalau gue punya cowok kayak elu, sudah lama gue tonjok lu’… hehe.

Setiap kali jalan sama saya, si bule pasti menggandeng tangan saya. Bahkan biarpun kami harus lewat jalan yang tidak memungkinkan untuk kami berjalan bersisian sehingga dia jalan duluan, tetap saja tangannya tidak lepas menggandeng saya.

Ini bukan soal mesra-mesraan orang yang masih pacaran. Ini gambaran bahwa dia menjaga saya. Dia lelaki dan saat dia jalan dengan perempuan, apalagi perempuan itu adalah pacarnya, maka dia bertanggung jawab atas diri perempuan itu. Dan saya bisa merasakan itu lewat genggaman tangannya.

Ya, tentu saja pertanggungjawaban seorang laki-laki kepada pasangannya tidak bisa dinilai sebatas pada perkara dia menggandeng tangan pasangannya itu atau tidak saat jalan bareng.

Tapi bagi saya, gandengan tangan itu besar artinya karena memberi rasa nyaman, diperhatikan dan terlindungi.

Sebagai seseorang yang sebagian besar waktunya harus dijalani dengan berperan sebagai sosok yang mandiri, tegar dan kokoh, maka berjalan dengan seseorang yang menggandeng tangan saya memberi rasa bahwa saya bisa menyerahkan diri kepada orang lain untuk dibimbing, dituntun, dilindungi. Seakan saya bisa menyerahkan diri saya untuk dikendalikan dan dipimpin oleh orang itu.

Lagi pula, saya senang merasakan kekuatan dan kemaskulinan seorang lelaki ketika dia menggandeng tangan saya.

Jadi hal-hal diatas adalah alasan mengapa saya merasa lebih nyaman dan cocok berhubungan dengan orang asing dari pada dengan orang Asia. Bukan karena mengejar dollar, bukan karena ingin menjadi warga negara asing, bukan karena ingin dibawa ke negeri barat, bukan karena maniak bule.
____________________________________

Do I prefer Indonesian or foreign men?

What I like from western men is their culture does not see male as superior species over female. Therefore, they don’t get special treatment from the day they were born.

All the western men I have dated or am seeing now have not asked me to serve them.

My dear friend for example, if he wants to drink coffee, he goes to the kitchen and makes himself a cup of coffee. He never would say to me ‘hon, a cup of coffee seems nice’ (old Indonesian men’s trick when they want something but ask their wife/girlfriend to make or get it for them). After finishing his coffee, he brings his cup back to the kitchen and washes it.

Same thing when he does house chores all by himself, washes the dishes, doing laundry, ironing, vacuuming or mop the floor, goes shopping and cooking. He does it all himself and it is not because he does not have a maid or because he lives all by himself. It is because the western people are trained to do things by themselves.

It is different with Asian people. Children grow up seeing how their mothers serve their father. How wives put the meals on their husbands plates (as if the husbands don’t have their own hands and legs to do it themselves) and they put clean clothes and towel in the bathroom when the husbands are going to take a bath.

I happen to grow up in a family who apply half of the western culture. My father is someone who does it all. Not asking to be served by his wife. It is even he who serves his family.

So in my mind, the definition of a wife is someone who stands by her husband. Not somebody (who is made by herself or by her husband to) acts like a maid to her husband.

It is true that my parents spent the first twenty years of their forty two years of marriage rowing at each other but they stand side by side. When one was weak, the other stepped forward to become the solid rock. They are partners in life.

I find myself go along better with western men or Asian men who are raised abroad or raised by western values that makes them don’t have 100% Asian personalities.

I honestly get cold sweat over men who grew up seeing their mothers served their father in a way that I describe above. I think since they grew up seeing that kind of scenes everyday, they unconsciously or consciously want their wives / girlfriends treat them exactly like their mothers did to their fathers.

I don’t think I can play that kind of role, don’t have that kind of personality and definitely don’t have enough patience. I’d rather give up and leave the guy.

It doesn’t mean that every western men are better than Asian men. I know few of them are jerks. So precaution is definitely needed when you want to make friends or dating them.

Of all the foreign men I dated, my dear friend is the one who can balance me up. I know I’m tough and independent so I look for an equal partner, therefore I don’t have to be troubled by any obligation to serve him and he can stand like a rock by myside when I am weak.

Another relieving thing about western men is unlike the Asians who mostly have ‘married’ minded, they don’t burden themselves with the thoughts that they should get married before they turn 30 or 40, nor they think they should marry to please their parents or worry about get older and not having spouse or children to take care of them.

I am an Asian who have those thoughts and I am seen weird by my own fellow countrymen, though not by the westerner.

I think I won’t be happy to have a relationship with a man who’s into marriage thing because for me it won’t be enjoyable and fun anymore.

Anyway, another thing I like from the westerner is they are more affectionate to their partners. They are hesitate to hold hands, hug or kiss their partners in public. My parents are like that. So I am accustomed to do the same not only to my partner but also to my friends though I must be selective to avoid uncomfortableness or misunderstanding.

Obviously I find it odd and unthinkable when I see partners don’t feel comfortable to show their affection in public.

A friend of mine is even doing what I consider as totally absurd behavior because he is always few steps a head of his girlfriend that I once mocked it by saying ‘how if your girlfriend faints, fell off to a water duct or get hit by a tricycle? You wouldn’t know about it and went on walking .. you know, if my boyfriend behaves like that, I’d give him a big punch on the head’. Lol.

Everytime we take a walk, my dear friend holds my hand. Even when we can’t walk side by side and he has to walk infront of me, his hand keeps holding mine.

This is not about courtship affection. It’s about him guarding me. He is a man and when he is with his girlfriend, he has the responsibility to guard the girl, especially if she is his girlfriend. And I can sense it through his firm grasp on my hand.

Surely a man’s responsibility can’t be measured only through that. But to me, holding hands give me the feeling of being cared and security.

As someone who spends most of her time being tough and independent, walking with someone who holds my hand gives me the feeling that I can entrust myself in his care, guidance, lead, control and protection.

Besides, I love to feel a man’s strength and masculinity when he holds my hand as we take a walk.

So the above are reasons why I prefer foreign men than Indonesian. It is not for the dollars, not to seek for opportunity to be taken to that man’s country nor being a white man chaser.

Saturday, September 29, 2012

Tattoo

“Let’s see what they’ve got here” si bule menarik tangan saya untuk memasuki toko itu.

Saya baru ngeh itu toko apa setelah berada didalamnya.

“Good morning” sapa pemilik tokonya dengan ramah. Melihat isi toko itu dan juga penampilan pemiliknya membuat saya nyengir.

“These are new designs” lelaki itu menunjukkan berbagai macam gambar.

Saya jadi ikut tertarik untuk melihat-lihat.

“I’m thinking to get myself a new tattoo” si bule menggumam, bergantian menatap saya dan kemudian menatap pemilik toko itu.

Saya cuma mengangkat bahu. Kami berdua memiliki semacam perjanjian tidak tertulis tentang tidak boleh berkomentar mengenai selera masing-masing dalam berbusana atau berdandan.

Maksudnya begini, dia tidak pernah berkomentar tentang gaya cuek saya berpakaian, memilih sepatu atau rambut saya yang selalu pendek. Dari pengalaman, dia tahu saya tidak suka dikomentari untuk hal-hal tersebut. Walaupun mungkin dia ingin melihat saya tampil lebih manis dan feminin tapi dia memilih diam. Saya sih tetap bisa tahu dia keberatan dengan hanya dengan melihat kerutan dikeningnya, tatapan matanya atau bentuk garis mulutnya. Hehe.

Nah, jadi saya juga tidak mengomentari soal penampilannya. Padahal sebetulnya ada beberapa hal yang saya tidak terlalu suka. Tato adalah salah satunya. Si bule sudah punya 3 tato dibadannya. Di lengan atas kiri dan kanan ada, dilengan kiri bawah juga ada. Kalau dia berpakaian rapi, berbaju lengan panjang atau memakai jas tentunya tidak kelihatan. Tapi di rumah atau bila sedang liburan, dia berkeliaran hanya memakai kaos lengan pendek, singlet atau kadang malah cuek saja hanya bercelana pendek tanpa atasan seperti yang dilakukannya bila kami pergi ke pantai.

Pagi itu saya mendengar dia berkata ingin punya tato lagi. Wah. Buat saya sih rasanya 3 tato sudah cukup banyak. Tapi saya diam saja. Itu toh badan dia. Selera dia. Pilihan dia.

“Do you like this one?” dia menunjukkan sebuah gambar. Kamu suka ga yang ini?

“Where are you going to put it?” mau kamu taro dimana?

“I don’t know. The shoulder, I think” dia menunjuk belakang bahu kirinya.

“We have some designs for the lady” pemilik toko itu tersenyum pada saya “incase she’s interested”. Kami punya beberapa contoh tato untuk pacar anda. Kalau dia tertarik.

“I have sensitive skin” jawab saya. Kulit saya sensitif.

“How about temporary tattoo?” mau coba tato yang ga permanen?

That’s up to her” si bule tersenyum sambil menatap saya. Itu terserah dia.

Saya berpikir-pikir. Tapi pemilik toko itu sudah mengambil sesuatu. Lalu mengoleskannya ditangan saya. 

“We see if you’re not allergic with the ink” katanya. Uji coba apa kulit saya alergi atau tidak alergi dengan tintanya.

Ternyata memang tidak terasa apa-apa selama saya menunggui si bule di tato. Jadi ketika mereka selesai dan pemilik toko itu datang untuk melihat bagaimana reaksi kulit saya yang tadi diolesinya dengan sedikit tinta, saya memutuskan mau di tato yang tidak permanen. Yah, sebetulnya sih bukan tato namanya. Ini mah cuma digambar.

“Where do you want me to put it?” mau di taro dimana?

Hmm.. setelah berpikir sejenak saya memutuskan untuk memilih pinggul saja. Disitu kan tidak kelihatan.

“Sexy spot” si bule nyengir “now everytime I see your hip, I will want to kiss it”. Haha. Saya spontan ngakak mendengarnya. Setengah malu juga sih kalau dia sudah mulai menggoda saya kayak begitu.

Tapi malamnya saya berpikir, peristiwa-peristiwa dan segala kelakuan manusia bisa diibaratkan tato. Semua itu tercetak tidak hanya dalam ingatan kita. Beberapa diantaranya mempengaruhi sifat dan kebiasaan kita, bahkan membentuk diri kita menjadi manusia-manusia seperti sekarang ini.

“I hope the ‘tattoo’ I left in you is the biggest and most beautiful one” dia memeluk saya setelah saya menceritakan apa yang ada dalam pikiran saya. Mudah-mudahan ‘tato’ yang saya taro dalam diri kamu adalah yang terbesar dan terindah.

“I think you already have” saya nyengir. Kayaknya memang sudah tuh.

Berapa banyak ‘tato’ yang anda miliki dalam hati, ingatan dan kehidupan anda? Siapa saja yang menaruhkannya disana? Mudah-mudahan lebih banyak yang baik dari pada yang buruk. Adakah yang bersifat permanen atau yang hanya sementara?

Kehidupan dan manusia meninggalkan kesan bagaikan tato. Bermacam jenis dan desainnya.

Si bule memilih jenis tato permanen, berdesain lebih rumit dan menaruhnya ditempat yang mudah terlihat. Beberapa peristiwa dan kelakuan, perkataan atau perbuatan manusia dapat diibaratkan demikian pula, memberi kesan atau pengaruh yang permanen, memiliki kerumitan atau lebih rinci dari yang lain, mudah diingat dan dampaknya jelas terlihat.

Sementara saya memilih jenis tato tidak permanen, berdesain sederhana, berukuran kecil dan menaruhnya ditempat tersembunyi bisa menggambarkan beberapa peristiwa dan kelakuan, perkataan atau perbuatan manusia memberi kesan yang tidak terlalu mendalam dan dengan berlalunya waktu akan segera hilang, terlupakan.
____________________________________

“Let's see what they've got here” my dear friend pulled my hand as he entered that small shop.

I realized what shop it was after we got inside.

“Good morning” a man, who I assumed is the shop owner, greeted us. Seeing the stuff in the shop and him made it more clear that it was a tattoo shop.

“These are new designs” he showed us many tattoo samples.

It got my attention.

“I’m thinking to get myself a new tattoo” my dear friend looked at the guy and then turned to me.

I just shrugged my shoulder. We have some sort of unwritten agreement of not making any comment on each other’s way of dressing, hairdo, stuff like that.

It means he doesn’t comment my casual-tomboy style of clothing, my shoes or my short hair. Experience has taught him that I dislike to be commented on those stuff. However, he still finds his own way of showing me his dislike or disapproval by lifting his eyebrow, the frowned face or the line on his mouth. Yeah, I can see those gestures.

So I do the same to him when actually there are stuff that I dislike about his appearance. The tattoo is among them. He has three already. He has one on each of his upper right and left arms, one in his left arm. They are hidden behind his long sleeves shirt or jackets but when he is at home or vacationing he rarely dressed formarly. He goes by tshirt or just wears shorts when we are in the beach.

That morning I heard him telling me that he wanted another tattoo. For me three are more than enough. But I didn’t say a word. It’s his body. His interest. His choice.

“Do you like this one?” he showed me a picture.

“Where are you going to put it?”

“I don’t know. The shoulder, I think” he patted his left shoulder.

“We have some designs for the lady” the shop owner smiled at me “incase she’s interested”.

“I have sensitive skin”

“How about temporary tattoo?”

“That’s up to her” my dear friend smiled as he stared at me.

I thought about it. But in the meantime the shop owner went to get something and before I could say anything, he smeared it on my upper hand.

“We see if you’re not allergic with the ink” he was testing it on my skin.

But until he was done tattoing my dear friend, no allergy signs appeared on that skin so I decided that I wanted to have an unpermanent tattoo. Well, I can’t say it’s a tattoo. It’s more like a body painting.

“Where do you want me to put it?”

I thought it over before decided to have it on my hip.

“Sexy spot” my dear friend winked as he teased me “now everytime I see your hip, I will want to kiss it”. I laughed it, half in embarrassment.

But later in the evening I thought life events, the things people say or do are actually like tattoo. They are imprinted in our memory, influencing our personality, character or habit. They can even make us as the person we are today.

“I hope the ‘tattoo’ I left in you is the biggest and most beautiful one” he hugged me tight after I shared him that thought.

“I think you already have” I smiled.

How many tattoos do you have in your heart, memory or life? Who put them there? Well, I hope the good ones are more than the bad ones.

Life and people leave prints like tattoo. They come in different designs, size and placed in different places.

My dear friend chose a permanent tattoo with more complicated design, bigger size and placed it in visible spot. Life events, the things people say or do are sometimes like that, it is permanently imprinted in memory, its detail and deep impact are visible.

My chosen tattoo is an unpermanent one with simplier and smaller size, placed in hidden area of my body. It represents life events, the things people say or do that leave no significant effect on one’s life or character, time will eventually erase it off the memory.

Thursday, September 27, 2012

Jack In The Box


Ada mainan anak-anak yang namanya seperti itu. Saya tidak tahu apa sebutannya dalam bahasa Indonesia karena ini memang bukan permainan orang Indonesia.

Beberapa waktu lalu saya dan si bule berwisata ke Puncak. Setiap kali ke Puncak, kami pasti mampir ke villa milik temannya yang dengan segala kelapangan hati mengijinkan kami mampir kapan saja dan bahkan boleh menginap.

Saat berada di sana itulah saya pertama kali melihat mainan Jack in the box.

Bentuknya seperti kotak berukuran sedang. Entah bagaimana, rupanya tanpa sengaja saya menekan tombol yang membuat bagian atasnya menjeblak terbuka dan seketika itu juga boneka badut yang bernama Jack, melompat keluar.

Saya ingat saya juga ikut terlompat saking kagetnya. Hehe.

“That’s only Jack in the box, babe” si bule tertawa melihat kekagetan saya. Itu cuma  Jack in the box kok,’yang.

“Yeah, we've just met” saya ikut tertawa untuk menghilangkan kekagetan dan malunya saya. Ya, kami baru aja kenalan.

Baru-baru ini saya mengalami peristiwa yang menyangkut satu orang. Ketika saya menghubunginya untuk memenuhi amanat dari seorang pengurus ditempat kerja saya, orang ini memberikan reaksi diluar dugaan saya.

Sebaliknya dari pada menerimanya dengan sopan serta baik dan mengucapkan terima kasih sambil mengatakan bahwa berita tersebut sudah dia terima dari anggota pengurus lainnya (reaksi normal yang bisa kita harapkan dari seseorang), orang ini malah ngoceh panjang, menggerutu, mengomel, merepet seakan-akan saya melakukan sesuatu dengan sengaja untuk membuat dia kesal.

Saya tidak menduga akan menerima reaksi seperti itu karena orang ini memiliki kesan yang baik di mata saya. Yah, sebelum akhirnya dia sendiri juga yang merusak kesan baik itu.

Saya bertanya-tanya apa hari itu dia sedang mengalami hari yang tidak menyenangkan dan saya dijadikan pelampiasan? Atau dia mempunyai masalah dengan para pengurus disini dan menjadikan saya sebagai sasaran? Atau .... ?

Pastinya Jack in the box baru saja melompat keluar dari dalam kotaknya…

Ada banyak manusia dengan tipe Jack in the box. Tersembunyi rapi dalam kotak yang indah atau yang dihias dengan sangat bagus. Tapi didalamnya ada sosok yang disembunyikan. Menekan tombol tertentu atau memutar pegasnya akan membuat tutup kotak itu terbuka dan melompatlah si Jack keluar.

Saya tidak habis pikir bagaimana orang bisa menciptakan mainan seperti ini karena menurut pendapat saya, mainan ini berbahaya. Terutama bagi anak balita.

Letak bahayanya ada pada waktu si Jack melompat keluar. Bila tidak hati-hati menjaga jarak, si Jack bisa menabrak muka anda. Lumayan sakit dan malah bisa bikin bibir jontor kalau kebetulan membentur bibir karena si Jack dilontarkan keluar dengan cepat dari dalam kotaknya karena ada per.

So, saya memakai Jack in the box sebagai ilustrasi untuk menggambarkan betapa mengejutkan, merugikan dan bahkan membahayakannya orang-orang yang memiliki kepribadian asli yang tersembunyi dan terpoles dengan rapihnya dibalik segala kelakuan, sikap maupun kata-kata yang indah, nyaris tanpa cela. Lalu pada suatu ketika kepribadian menakutkan yang tersembunyi itu melompat keluar sebagai reaksi atas ucapan atau kelakuan orang lain.

Dan anehnya saya lebih banyak menemukan Jack in the box ditempat kerja saya saat ini dari pada ditempat-tempat kerja saya sebelumnya. Kenyataan itu merupakan hal yang sangat memprihatinkan, mengkhawatirkan, menakutkan dan memalukan bila mengingat tempat dimana saya bekerja saat ini bukanlah sembarang tempat kerja.

* 4 hari setelah orang itu mengocehi saya, dia mengirimkan sms meminta maaf. Dugaan pertama saya yang benar, dia sedang kesal hari itu dan menjadikan saya sebagai sasaran kekesalannya. Saya sudah memaafkan tapi saya tidak bisa berhenti berpikir mengapa dibutuhkan waktu sampai 4 hari untuk menyadari suatu kesalahan? (sudah syukur, masih ada rasa nyesal dan kepikiran buat minta maaf, anda pasti berkata begitu.. hehe). 
Satu pertanyaan penting lainnya adalah apakah setiap kali kita merasa kesal, hal itu lalu membuat kita merasa berhak untuk melampiaskan kekesalan tersebut kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan kekesalan kita dan yang selalu bersikap baik kepada kita? Hmm..
_________________________________________

It is actually the name of a toy. I don’t know what it is called in Indonesian because it is not an Indonesian toy.

My dear friend and I went to Puncak some time ago. Whenever we went there we visited his friend’s villa. This friend has always kindly welcome us to visit it or to stay.

It was while we were there that I saw Jack in the box for the first time.

It is a medium size box. As I was looking at it I must be accidentally pressed the button because all of sudden the top of the box popped open and the clown, who surely be Jack, jumped out of the box.

I too jumped out of surprise. Lol.

“That’s only Jack in the box, babe” my dear friend laughed to see me like that.

“Yeah, we've just met” I laughed to hide my embarrassment.

I recently had quite an experience related to one specific person. A member of the board asked me to inform that person about something. I did what I was asked to do.

Instead taking the message nice and politely, said thank you and informed me that other member of the board has given the same information (the normal reaction we all expect one would give), that person started to grumble and complain as if I did something on purpose to upset him. 

I really didn’t expect to receive such reaction because this person had positive image in my eyes. Well, before he himself blew that image.

I wonder, though, if that person might have a bad day and threw it all on me. Or that person has some issues with the board and made me as the shooting target?. Or...

One thing for sure is... Jack in the box has just jumped out from inside of the box.

There are many people who have Jack in the box kind of personality. Hidden neatly inside a nice box. Some unexpected sides of personality are hidden there. Pressing one button or turning the pedal will open the top of the box and whatever hidden inside will come out.

I don’t know how could a toy like this be invented. In my opinion it is a dangerous toy for children aged under five years old.


The danger is when Jack jumps out from inside the box. If you don’t expect it and happens to place your head too close with the box, there is a possibility Jack may hit your face. That hurts. It can make your lips swell if it hits your lips.

So I use Jack in the box as an illustration to picture people who have their real characters hidden and wrapped so nicely behind those sweet words, adoring attitude, nearly too perfect to be true. But one word or behavior from people would be enough to bring the monster out of the box.

Strangely I find more Jack in the box in my present work place than in the former ones. It is actually very troubling, scarry and embarrassing facts considering that it is not just any workplace.

* 4 days after that guy yelled at me, he texted me his apology. My first guess was correct. He was having a bad day when I called him that day and he just threw it all on me. I forgave him but still can’t stop thinking why did it take 4 days for him to realize his mistake (well, good thing that he came to his senses and apologized, you may say.. lol) 
Another important question is would it give us the right to throw our upsetness on other people, innocent ones who have always been nice to us whenever we feel upset?. Hmm…

Wednesday, September 26, 2012

We Don’t Say Goodbye

Hari Jumat kemarin ini bukan hari yang membangkitkan semangat untuk saya. Ruang kantor kembali kebanjiran. Ini bukan yang pertama kalinya. Genteng merosot atau ada sampah menyumbat talang air jadi penyebabnya.

Tapi yang pasti saya harus turun tangan sendiri untuk mengeringkan ruangan itu. Untunglah ibu Rini, bagian kebersihan, masuk pagi. Berdua kami mengepel ruangan. Sukur bisa kelar dalam waktu satu jam walau sekejap saya sempat merasa badan gemetaran dan pandangan mata berkunang-kunang. Mungkin karena badan belum 100% pulih benar dari demam 2 hari lalu dan masih batuk pula.

Beberapa jam kemudian saya mengantar si bule ke airport.

Mungkin karena capek, belum sepenuhnya sembuh dari batuk, ditambah harus  mengawali hari  dengan harus ngepel di kantor, lalu beberapa hal dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan yang terjadi susul menyusul dalam jangka waktu berdekatan dan ditambah dengan kenyataan bahwa hari ini dia harus kembali ke negerinya membuat saya lepas kendali.

“Honey, what is it?” dia kaget waktu tiba-tiba saja saya menangis. Sayang, kamu kenapa?

Saya juga sebetulnya heran. Kok bisa-bisanya saya mewek begitu. Rasanya seperti bendungannya jebol. Aduh mak, untung saja kami masih berada dalam mobil. Malu-maluin banget kan kalau saya menangis terisak-isak begitu di airport yang penuh dengan orang. Bisa jadi tontonan orang sekampung…

“That darn ceiling, stupid roof tile, f**king flood!” saya memaki, menyumpah-serapahi atap sialan, genteng sialan, banjir sialan… ya, ya, saya sedang dilanda emosi jiwa. Ingin rasanya saya berteriak mengeluarkan semua beban di hati tapi hanya itu yang bisa keluar diantara sedu sedan saya.

Dia tentulah bingung mendengarnya karena saya tidak bercerita apa pun tentang kejadian pagi tadi. Tapi dia tidak bertanya. Dia meraih saya dalam pelukannya dan selama beberapa menit membiarkan saja saya menangis.

Saya pikir bukanlah acara jalan-jalan kami yang membuat dirinya punya arti besar bagi saya. Tapi karena di saat saya lemah, kacau dan kehilangan kendali diri seperti ini, dia ada, dia peduli dan dia berdiri di sisi saya.

“Maybe I should cancel this flight to next week?” dia berbisik. Saya tunda aja ya pulangnya ke minggu depan?.

“No, you shouldn’t” saya kaget “you can’t. You have your work, your apartment and with all this travel warning from your government”. Jangan. Kerjaan kamu gimana, terus apartemen kamu, mana lagi ada travel warning dari negeri kamu.

“I can’t leave you like this” dia betul-betul kelihatan khawatir karena selama 4 tahun belum pernah saya menangis saat mengantar dia ke airport ketika dia harus kembali ke negerinya. Saya ga bisa ninggalin kamu dalam keadaan begini.

“I will get over this” saya terharu juga melihatnya seperti itu. Saya akan bisa mengatasi ini.

“I don’t want to leave you like this” dia ragu “I can use the email to my clients, the apartment is fine and to hell with that travel warning. It’s just drive everybody crazy”. Saya ga mau ninggalin kamu kayak gini. Saya bisa pake email buat kontak dengan klien, apartemen saya aman dan masa bodoh amat dengan travel warning itu. Cuma bikin orang senewen aja.

“No, you can’t. You have to go back” saya berkeras “I was having a rough day and temporarily lose my sanity”. Jangan. Kamu harus balik. Saya cuma lagi ngadepin satu hari yang berat yang bikin saya rada sinting.

Dia menatap saya seakan ingin meyakinkan diri bahwa hal itu benar.

“I’m fine. I will be fine. I will get through this” saya mengucapkannya dengan tulus. Saya baik-baik saja. Saya akan baik-baik saja. Saya pasti bisa melalui semua ini. “Trouble and problems will not go away or stop coming whether you are here or not”.  Kesusahan dan masalah tetap akan ada entah kamu disini atau tidak ada disini.

“I will return” cuma itu yang dikatakannya sebelum boarding “I promise you”. Saya pasti balik. Saya janji.

Malamnya saya baru menyadari saya kena… biduran!! Ya ampun!

Dari pagi memang sudah terasa kulit gatal dan ada bintik-bintik kecil merah muncul di kulit. Tadinya saya kira karena terkena debu dan air banjiran yang kotor. Tapi tidak hilang setelah saya cuci. Malamnya baru saya perhatikan ternyata ini biduran karena sekujur badan, bo.

Kabar baiknya adalah yang ini tidak separah yang pernah saya alami beberapa tahun lalu.

Kabar buruknya adalah ini pertanda saya sedang stress berat karena biduran hanya muncul kalau saya sedang dalam demikian.

Kabar terbaru yang menyusul adalah banjir berlanjut sampai ke hari berikutnya. Setelah mengalami banjir selama 2 hari berturut-turut, kondisi fisik saya yang tidak fit membuat saya ambruk pada hari itu juga. Akibatnya hari Minggu saya tidak bisa masuk kerja. Untung besokannya adalah hari cuti saya sehingga ditambah dengan hari libur saya maka saya bisa mendapat 3 hari berturut-turut untuk istirahat. 3 hari yang berharga buat memulihkan kesehatan.
_________________________________________

I had one discouraging day on Friday. The office got flooded again. It wasn’t the first time. Some trash stuck on the water drain or crack on roof tile might be the caused of the leak on the ceiling.

One thing for sure is I had to deal with it myself. Glad that Mrs. Rini, the cleaner, was in morning shift so together we mopped and cleaned the room. I could sigh in relief because it was done in just an hour though I had to stop once because I felt dizzy, shaking and saw stars. I haven’t completely recovered from the fever I had 2 days earlier and still having cough.

Few hours later I was on the way to the airport with my ‘dear’ friend.

Maybe I was exhausted, maybe it is the unwell feeling, maybe the things in the office in the morning, maybe the stuff in my personal life that came to trouble me lately, adding with the fact that he is going back to the US today that made me broke down.

“Honey, what is it?” he was so surprised to see me cried.

I myself couldn’t be any less surprised. I just broke into tears like that. I am so glad it happened while we were still in the car. It would be embarrassing to cry like that in the crowded airport.

“That darn ceiling, stupid roof tile, f**king flood!” I cursed those things. there were so many in my heart and mind that I felt I wanted to scream them out loud but they were the only ones that got out in between my sobbing.

I know he must be wondering what in the hell I was cursing at because I didn’t tell him about the flood in the office. But he didn’t ask. Quietly he took me to his arms, he hugged me close and let me cried for few minutes.

I think the main thing I treasured from him is not about our travelling time. It is in the time when I was weak, gone astray and lost, he is there for me, he cares and he stands by my side. He means a lot for me because of that.

“Maybe I should cancel this flight to next week?” he wishpered.

“No, you shouldn’t” I shook my head “you can’t. You have your work, your apartment and with all this travel warning from your government”.

“I can’t leave you like this” he looked worried because in our 4 years of togetherness I never cried when it is time for him to go back to his country.

“I will get over this” it touched my heart to see him so concerned like that.

“I don’t want to leave you like this” he hesitated “I can use the email to my clients, the apartment is fine and to hell with that travel warning. It’s just drive everybody crazy”.

“No, you can’t. You have to go back” I insisted “I was having a rough day and temporarily lose my sanity”.

He looked at me intensely as if he wanted to believe every word of it is true.

“I’m fine. I will be fine. I will get through this” I sincerely meant it “Trouble and problems will not go away or stop coming whether you are here or not”.

“I will return” he said that before he boarded the plane “I promise you”.

That evening I realized I have got rash. Tiny reddish spots appeared on my entire skin and they are itchy. I thought dust and dirty water from the flood have caused it. I carefully have washed my hands and feet with antiseptic soap but when they appeared on the entire body did I realize it was rash.

The good news is it is not as bad as the one I had few years ago.

The bad news is it is the sign of bad stress because I only had it when I was feeling completely down.

The updated news is the next day I had to deal with the same flood in my office room as I haven’t found the cause of the leak on the ceiling. However, it took toll on my health. That evening I found myself having fever that made me had to skip work on Sunday. Luckily the next day is my leave day and with my off day on Tuesday made me got 3 days off. 3 precious days off to rest and recover.

Saturday, September 22, 2012

Vacation Summary


Walaupun jumlah cuti yang boleh saya ambil cuma 3 hari dalam sebulan, tapi berhasil juga kami berdua pergi jalan-jalan.

So, kemana saja kami pergi selama ini?

Bogor dan Jakarta tidak terlalu kami jelajahi karena minat kami memang tidak pada kedua kota ini. Terutama bagi dia yang berpendapat Jakarta tidak ada bedanya dengan kota-kota metropolitan lainnya.

Yang selalu kami kunjungi bila ke Jakarta adalah Jalan Surabaya. Berburu barang antik. Favorit kami adalah kamera dan setrikaan jadul. Modelnya antik. Tapi kalau disuruh beli, wah, entar dulu deh. Mahal dan mau ditaruh dimana? Rumah saya sudah penuh dengan barang. Jadi biar si bule aja deh yang belanja.

Muara Angke juga jadi tempat kesukaan kami karena lokasinya sebagai pasar ikan. Biar bau amis, becek, senggol kiri, senggol kanan dengan orang, berapa kali hampir ditabrak atau nabrak orang bawa keranjang isi ikan, kecipratan air.. hehe.. tapi disitu itulah serunya.

Udahannya tentu jangan lupa beli sea food dan cari warung makan yang menyediakan jasa masakin seafood yang kita beli itu. Yang kami cari adalah warung makan yang lesehan karena doi suka banget makan sambil duduk di atas tikar. Makan dengan gaya cuek, ga usah repot mikir table manner, sendok dkk pun boleh dilupakan, mau makan sambil angkat kaki sebelah juga ok. Hehe.

“I love this country” katanya “the people, the culture, the view”

Ya, pandangannya sebagai orang asing tentunya beda dengan saya yang lahir dan besar di negeri ini. Tapi saya setuju dengannya. Indonesia adalah negeri yang indah, dengan segala keragaman yang memberinya warna berbeda dari negeri-negeri asia lainnya dan tentunya menyimpan banyak potensi. Sayangnya, negeri ini juga dibuat awut-awutan oleh rakyatnya sendiri.

Kami berdua sama-sama tidak suka mall atau factory outlet. Tapi ada satu tempat belanja yang kami datangi setelah melihat foto-foto jadulnya. Tempat itu adalah Pasar Baru.

Kami berjalan menyusuri jalanan Pasar Baru yang kiri kanannya dipadati toko-toko. Tujuan utamanya bukan untuk belanja. Kami membayangkan seperti apa rupa jalanan ini 50-100-150 tahun yang lalu. Hm, seandainya ada mesin waktu..

Tapi dari semua pengalaman kami jalan-jalan, yang paling heboh adalah saat dia berhasil mengajak saya terbang paragliding di Puncak.

“You’ll be fine” dia meyakinkan saya “look, you will be flying tandem and this guy, has been flying thousand of times”. Ya, biar pun judulnya terbang tandem dengan masternya tapi gue kan takut ketinggian, bo..

“I’ll be right behind you” dia tertawa melihat saya senewen “worst scenario is you landed on a tree”. Saya ada dibelakang kamu nantinya. Hal terburuk yang mungkin terjadi ya, palingan kamu nyangkut di atas pohon.

“What??” saya melotot sementara dia ngakak “that’s a bad joke!”

“You should try this” dengan lembut dia menepuk kepala saya seakan-akan saya anak umur tiga tahun “come on, we don’t get to do this everyday”. Ayo deh, kapan lagi. Kan ga tiap hari kita bisa nyoba yang kayak gini.

“Yeah, but incase you forgot, we probably too old to do crazy stunts like this. I’m forty one and you’re forty five” Aduh, kita kan bukan anak muda lagi. Sudah ketuaan kali buat ikut-ikutan kegiatan gila kayak gini. Gue empat satu, elu empat lima. Elu lupa tuh?!

“Oh please, grandma” dia malah meledek saya. Nenek. Awas lu.. hehe…

Wups, saya pun terbang. Gimana rasanya? Sumpeh, ga bisa digambarkan dengan kata-kata. Yang pasti kagak bakal mau saya diajak ikut kegiatan model begini lagi. Hehe. Pemandangannya memang luar biasa tapi menyadari daratan jauh banget dibawah, hiii…

“You’ve made it, baby!” dia langsung berlari menghampiri saya begitu kami mendarat dilepaskan dari harness “Oh, oh, you’re shaking”. Saya memang gemetaran karena angin dingin dan karena pengaruh adrenalin masih tinggi.

“You see, everything is fine. We’re still alive” dia memeluk saya erat-erat, mengusap-usap punggung saya, menggosok-gosok telapak tangan saya kuat-kuat karena tangan itu sudah berubah warna menjadi putih kebiruan dan menciumi saya.

“You’re completely insane” rutuk saya setelah saya merasa cukup hangat dan kuat untuk bersuara. Kamu bener-bener gila.

“I know” dia nyengir.

Bali menjadi tujuan wisata kami berikutnya. Berhubung waktu kami sangat singkat, kami tidak berputar-putar. Toh sebagian besar Bali sudah pernah kami kunjungi diwaktu-waktu yang lalu. Jadi dia membooking hotel yang lokasinya ada di pantai Kuta supaya kami tidak usah jalan jauh-jauh ke pantai ini.

Kampung Sampireun di Garut jadi tujuan wisata kedua kami. Asli keren. Suasananya disengaja gaya alami pedesaan. Ada telaga dan pondok-pondok yang dibangun diatas telaga itu. Mau berkeliling telaga dengan perahu? Ada perahu. Tapi dayung sendiri ya.

This is paradise” dia menggumam begitu kami sampai di lokasi. Perjalanan panjang yang melelahkan rasanya sepadan deh.

Rencananya kami akan ke Lembang tapi saya ambruk. Badan panas, sakit semua, ngilu rasanya dan saya batuk sampai termuntah-muntah. Mana mungkin saya pergi berwisata dalam keadaan seperti itu. Ada hampir 2 hari saya tepar. Sampai diantar-jemput sama dia kemana-mana karenanya dan saya memilih menginap ditempatnya karena lokasinya lebih dekat dengan tempat kerja.

Saya mendoping diri dengan vitamin, obat batuk, obat demam, air jeruk, susu, banyak makan dan banyak istirahat. Hari Rabu kemarin ini misalnya, saya tidur dari jam 6 sore sampai jam 8 malam. Bangun cuma karena dia membangunkan saya. Disuruh makan dan minum obat. Jam 10 malam tidur lagi sampai jam 6 pagi keesokan harinya.

Untunglah kekuatan badan saya cepat pulih. Tinggal batuknya saja. Sukur deh. Masa ya hari-hari terakhir dia disini di isi dengan ngurusin saya yang sakit. Duh, jadi sedih mikir dia bentar lagi mau balik ke negerinya. Kalau aja dia bisa kerja disini atau kalau aja saya bisa pindah ke sana…
_____________________________________________


Eventhough I can only take 3 leave days in a month but we actually managed to make some travelling.

So where did we go?

We didn’t touring Bogor and Jakarta. We really don’t have the interest to do so especially my dear friend who thinks Jakarta is just like any other metropolitant city.

When we did visit Jakarta, it definitely to go to Surabaya street. The street has many antique shops. Our favourites are the antique camera and iron. I never buy any since it’s expensive and I don’t know where to put them at home. So let my ‘dear’ friend did the shopping.

Muara Angke is another place that we like to visit. It is a fish market. Though the place is smell, wet, sometimes muddy, you get bump by or bump yourself into fish baskets or get splash but that’s the fun part of the place.

Whenever we go here we buy some seafood and find a food stall that provide service of cooking the customer’s seafood. His favourite food stall is the one that allows us to sit on the mattress on the floor. Here, you can forget about table manner as you eat your meals while sitting crosslegged on the floor, no spoon, fork or knife required.

“I love this country” katanya “the people, the culture, the view”

His point of view is certainly different with my own who’s born and raised in this country though I agree that it is a beautiful country with it’s various cultures, making it different with other Asian countries. It is a country that have many potentials. Unfortunately, its own people are the ones held responsible for making damage, loss and ruin.

Anyway, both of us dislike malls and factory outlets. However, there is one shopping place that we visited after we saw its old photos. That place is Pasar Baru.

The place is well known for its textile stores but as we walked through it we were imagining what it was like 50-100-150 years ago. If there were time machine..

But of all of our travelling experiences, the time when we did paragliding in Puncak was the most memorable one.

“You’ll be fine” he tried to convince me that it is perfectly safe “look, you will be flying tandem and this guy, has been flying thousand of times”. Oh yeah, sure, you may call it fly tandem with the most experienced tandem master but I am afraid of height.

“I’ll be right behind you” he laughed to see me nervous “worst scenario is you landed on a tree”.

“What??” I snapped while he laughed it out loud “that’s a bad joke!”

“You should try this” he gently stroke my head as if I were a three year old kid “come on, we don’t get to do this everyday”.

“Yeah, but incase you forgot, we probably too old to do crazy stunts like this. I’m forty one and you’re forty five”.

“Oh please, grandma” he winked. Who do you call grandma? ?.. I’m gonna get you after this..

And off I went to the sky. How did it feel? Incredible. The view is definitely spectacular but I will never do this again. Seeing the ground was so far down there gave me the chill.

“You’ve made it, baby!” he quickly ran to me once we landed and freed from the harness “Oh, oh, you’re shaking”. I was shaking out of the freezing wind of the mountain and of adrenaline rush.

“You see, everything is fine. We’re still alive” he hold me close, caressed my back, rubbed my hands hard as their colors have turned to white and blue, and kissed me again and again.

“You’re completely insane” I grumbled after I felt warm and strong enough to speak.

“I know” he grinned broadly.

Bali became our next destination. Since we didn’t have enough time we decided that we needed not to tour it, we have done that in the past. He booked us a room at a hotel  located at Kuta Beach so it would spare us the time to get to the beach.

The bathroom in our room
Kampung Sampireun or Sampireun Village in Garut was another place that we visited. It is a beautiful place. Designed like a village, surrounded by the trees, plants, rice fields and some of the cabbanas (hut) are build on the lake. There are boats that you can take to row around the lake.

“This is paradise” he held his breath seeing the place once we got there. It is worth the long ride.

We planned to go to Lembang but I had fever, my body was in pain and I coughed so hard that I threw up. There was no way we could go travelling with that kind of condition. It lasted for 2 days. He didn’t let me go anywhere by myself. He drove me to and from work. I even stayed at his hotel as it is near the office.

I took vitamin, cough medicine, aspirin, fever medicine, orange juice, milk, eat well and lots of rest. Last Wednesday for example, I went to bed from 6 to 8 pm. He woke me up so I could have dinner and take some medicine before I went back to bed at 10 pm to 6 am the next day.

Glad that my body recovers in short time. I don’t want him spending his last days before he goes back home, taking care his sick girlfriend. Geez, it feels kind a sad to have to let him go. If only he can get a job here or I can move there..

Wednesday, September 19, 2012

When You Tell Me That You Love Me..

Bilang cinta itu ternyata gampang-gampang susah buat beberapa orang (cowok). Karena butuh keberanian, kebulatan tekad dan kepercayaan diri yang tinggi.

Tidak heran akhirnya banyak yang ragu dan memilih diam dengan konsekuensi dihantui oleh rasa :
ð  Penasaran 
        (karena tidak tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh cewek  
       yang ditaksirnya);
ð  Tersiksa 
         (dengan rasa cintanya yang tidak kesampaian);
ð  Cemburu 
         (ketika melihat cewek yang ditaksir dekat dengan cowok lain    
       tapi tidak bisa protes karena cewek itu  kan bukan pacarnya);
ð  Disebelin sama cewek yang ditaksirnya karena gregetan   
       nungguin kok tidak ada ketegasan sikap dari pihak si cowok;
ð  Kecewa, gigit jari karena akhirnya cewek yang ditaksirnya 
      disambar cowok lain.

Saya tidak mau komentar soal hal diatas. Saya hanya mau mengatakan bahwa saya pernah beberapa kali bertemu dengan cowok seperti itu. Saya bersimpati dengan ketakutan dan keraguan mereka tapi juga tersiksa karenanya. Hehe.

Anyway, anda masih ingat bagaimana, kapan dan dimana pasangan anda atau anda pertama kali menyatakan cinta?

Hari Minggu lalu sekitar jam 2.30 siang saya menerima sms si bule. “Will come to pick you up. Usual place. What time will you leave?”. Mau jemput kamu. Tempat biasa. Jam berapa kamu pulang?

Jadi saya membalas smsnya. Dan tepat pada waktu yang saya tetapkan, dia sudah nongkrong didalam mobil. Di ujung jalan dekat kantor.

“Where are we going?” tanya saya. Mau kemana kita?

“You’ll see” katanya sok berahasia. Ntar lihat aja.

Ternyata dia membawa saya ke Ancol. Wah, ceritanya orang gunung turun ke laut nih. Hehe.

“I know a good spot to watch the sunset” katanya.

Kami memarkir mobil. Turun. Berjalan pelan-pelan menuju lokasi yang dipilihnya yang katanya enak buat melihat matahari terbenam.

“This is beautiful” bisik saya. Suasana yang tenang, suara debur ombak dan angin laut mempunyai keindahan tersendiri. Terutama karena tidak setiap hari bisa saya lihat.

“I know” dia memeluk dan mencium saya “You know what’s more beautiful than this?”. Kamu tahu apa yang lebih indah dari ini semua?

“What?”

“That I have you with me right now”. Kamu ada disini bersama saya.

Ya. Bener banget. Tapi sementara itu perhatian saya teralih. Sebuah kapal nelayan tampak dikejauhan dan samar-samar terdengar suara lagu Diana Ross ‘When You Tell Me That You Love Me’ mengalun. Kok bisa barengan ya?

Déjà vu. 

Kapal, laut, kata-kata di lagu Diana Ross mengingatkan saya pada sesuatu. Dan itu membuat saya tertawa.

“What?” dia bertanya. Bingung mendengar saya tiba-tiba tertawa. Mukanya terlihat lucu. “what’s so funny?”

“I didn’t laugh at you. I agree, the most beautiful thing is to be here with you”. Saya tidak ngetawain kamu. Setuju deh, yang paling indah adalah saya bisa bersama-sama dengan kamu.

“So what made you laugh?” kalau gitu apa yang bikin kamu ketawa?. Dia menatap saya dengan heran tapi juga ikut tertawa.

“Look at that boat” saya menunjuk ke arah kapal nelayan dikejauhan “The boat, the sea, five years ago… ring a bell?”. Kapal, laut, lima tahun lalu… inget ga?

Dia mengikuti arah yang saya tunjuk.

“Still not ring a bell?” saya penasaran. Masih belum ingat juga?

“The song says ‘when you tell me that you love me’. Do you not remember when you said you love me five years ago?” saya tertawa geli “for the first time”. Kata-kata di lagu itu, waktu kamu bilang kamu cinta ke saya. Kamu ga inget waktu kamu bilang cinta ke saya lima tahun lalu? Untuk yang pertama kalinya.

“I do remember” dia menatap saya sambil nyengir “you, me, Mark and the guys went fishing. It was a beautiful day. We made good catch that day. It was fun”.

Ya, pada hari bersejarah itu dia, saya, Mark dan yang lainnya pergi mancing. Kami berhasil menangkap ikan cukup banyak.

“I hate to see you with Mark” dia tertawa lagi “I was so jealous. It drove me crazy”. Benci betul saya ngelihat kamu dengan Mark. Cemburu berat. Mau gila rasanya.

Saya tertawa lepas.

Lima tahun lalu kami berlibur bersama-sama ke kepulauan seribu untuk mancing. Saya bisa terbawa ikut dalam rombongan mereka karena saat itu saya sedang jalan dengan Mark, seorang teknisi berkebangsaan Inggris.

Beberapa bulan sebelumnya si bule dan saya berkenalan lewat teman dari teman saya. Pada waktu itu jangan membayangkan kami langsung nempel. Saya sama sekali tidak tertarik padanya. Akrab juga tidak. Sikapnya kepada saya pun tidak menyiratkan adanya perasaan istimewa. Saat itu kami semua hanyalah sekumpulan teman dari berbagai bangsa yang memiliki banyak kesamaan. Kami suka travelling, clubbing, makan dan motret.

Saya sebetulnya tidak suka mancing tapi saya senang berada ditengah laut. Sekali pun tidak bisa berenang dan agak khawatir kena mabuk laut. Tapi mengingat akan jalan dengan Mark dan setelah mancing akan berenang serta snorkeling membuat saya semangat ikut.

Laut masih tenang pada waktu kami berangkat pagi-pagi sekali. Tapi semakin siang, gelombangnya semakin semangat. Wah, saat itulah saya mulai merasa kepala agak pening.

Jadi turunlah saya ke dek bawah untuk mengambil obat anti mabok dari ransel. Sambil berpikir-pikir mungkin kalau tidak terpaksa sebaiknya tidak diminum. Takut ngantuk. Mudah-mudahan pusing dan rasa sedikit mual ini bisa hilang kalau saya duduk diam-diam sambil makan biskuit. Kata orang, makan biskuit bisa membantu mengurangi rasa mabok laut.

“Hey” teguran itu membuat saya menoleh “here you are”

“Hi” saya tersenyum dengan tangan sebelah masih mengaduk-aduk ransel. Ah, kemana sih biskuit itu?

“I want to say something” si bule bicara tergesa-gesa “while we are here and he is not all over you”.

Saya mengerutkan kening. Apa maksudnya ingin bicara dengan saya sementara hanya kami yang berada disini dan dia sedang tidak berada bersama saya. Siapa yang dimaksudkannya dengan ‘dia’ (he)?

“Ok” hanya itu kata yang keluar dari mulut saya. Sementara itu tangan saya menemukan biskuit yang saya cari. Dengan lega saya menariknya keluar. Nah, sekarang tinggal mencari dimana obat anti mabok itu. Sebelah tangan saya kembali mengaduk-aduk ransel.

“I fell deeply madly in love with you” katanya.

“Huh??” saya ternganga mendengarnya.

Hehe. Seru, lucu dan unik kan?

“I didn’t know you were having sea sick at that time” si bule nyengir sambil memeluk saya erat “you didn’t even look pale”. Dia sama sekali tidak menduga saat itu saya lagi mabok laut karena saya sama sekali tidak kelihatan pucat.

Saya ngakak “you really took me by surprise that my sea sick was gone at that very second”

Kami berdua tertawa. Ya, saking kagetnya saya mendengar pernyataan cintanya sampai-sampai rasa mabok laut itu hilang seketika detik itu juga. Hehe.

“I have heard guys said they loved me before but yours were the most unexpected one” saya nyengir. Banyak lelaki pernah menyatakan cintanya pada saya tapi pernyataan cintanya yang paling tidak terduga.

“So I was the winner!” dia bersorak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.

“You’re so idiot” saya tertawa.

“An idiot who loves you so much” dia tergelak “who are still with you”

Tapi toh kami tidak langsung pacaran setelah dia menyatakan cintanya pada hari itu.

“I am with Mark” jawab saya padanya. Saya lagi jalan sama Mark.

“I know. I can see that”. Ya, saya tahu.

“And you expect me to leave him?” Kamu ngarepin saya ninggalin dia?

“Are you engaged to him?” saya ingat si bule mengamati jari-jari saya “I don’t see any ring”. Kamu tunangan sama dia? Saya tidak lihat ada cincin di jari kamu.

“What this has anything to do with engagement?”. Apa hubungannya sama tunangan?

“It means I still have a chance to win you” dengan santainya dia berkata demikian. Itu artinya dia masih punya kesempatan untuk bisa mendapatkan saya.

Whoa! Gile banget nih bule, pikir saya saat itu.

“You are insane if you think I am going to break up with Mark so I could be with you” omel saya. Sinting kamu kalau kamu pikir saya bakal putus sama Mark supaya bisa jadian sama kamu.

Eh, ternyata beberapa bulan kemudian saya dan Mark putus beneran. Hehe.

“I heard you and Mark broke up” itu kalimat pembuka yang diucapkannya ketika kami bertemu sekian bulan berikutnya. Entah dari siapa dia dengar kabar kami bubaran karena saya tidak pernah ngomong ke siapa pun.

“Yeah, what did you do? Put a spell on us?” jawab saya antara bercanda, kesal dan heran. Kamu ngejampi-jampi apa ke kita sampai kita putus.

“I still fell deeply madly in love with you” katanya seakan tidak terganggu dengan kata-kata saya “Why don’t you give yourself a chance to know me? That’s all I am asking”.

Hmm… dia minta saya memberinya kesempatan untuk mengenalnya.

“Deal” Saya menyepakatinya karena yakin saya akan bisa mengusirnya.

“I should never said deal” saya tersenyum.

“I’m glad you said deal” dia menunduk dan mencium saya “if I were not that insane, we would never be together”.

Ya. Dia pantang mundur. Tapi tidak mendesak. Namun kalau dia tidak seperti itu, kami tidak akan pernah jadian (hampir setahun setelah dia menyatakan cintanya pada saya di atas kapal itu, kami pun sepakat jadian).

Saya pikir, itulah karakter yang saya sukai dari seorang lelaki.
_______________________________________


Some people (men) find it hard to say I love you to the people they love. It need courage, determination and confidence.

No wonder many of them prefer to keep their mouth shut though they become restless out of :
ð  Curiousity (wondering what the girl would say if he tells    
      her he is inlove with her);
ð  Torture (by his discourage to come to the girl & tell her he 
      loves her);
ð  Jealousy (over seeing the girl he loves becomes close   
     with other guy);
ð  Have to deal with the girl’s upsetness seeing his 
     indecision;
ð  Disappointment to see the girl ends up with other guy.

I won’t say any comments. I just want to say that I have met men like that and how they brought headache to me though I symphatize their worries dan fears. Lol.

Well anyway, have you still remember how, when and where your spouse, girl/boy friend told you for the first time that he/she is in love with you?

Last Sunday, at around 2.30 pm, my ‘dear’ friend texted me. “Will come to pick you up. Usual place. What time will you leave?”

I texted him back. And he was at the corner of the street near the office, waited for me right at my given time .

“Where are we going?” I asked him.

“You’ll see”. He just winked at me.

He actually took me to the sea. The town where I live is surrounded by mountains and hills so it is always nice to go down to the sea.

“I know a good spot to watch the sunset” he said.

We parked the car and walked slowly to that spot.

“This is beautiful” I wishpered. The tranquility filled only with the sound of the waves and the breezing sound of wind. It is most treasured because I don’t get to see all this everyday.

“I know” he hugged and kissed me “You know what’s more beautiful than this?”.

“What?”

“That I have you with me right now”.

Yes. That’s so true. But in the meantime I’ve got distracted. A fishing boat appeared and I heard Diana Ross song ‘When You Tell Me That You Love Me’ quietly played.

Déjà vu.

That fishing boat and the words of the song reminded me to something. I laughed.

“What?” puzzled by my laugh made his face looked funny “what’s so funny?”

“I didn’t laugh at you. I agree, the most beautiful thing is to be here with you”

“So what made you laugh?” he looked confused but laugh along.

“Look at that boat” I pointed at the boat “The boat, the sea, five years ago… ring a bell?”.

He looked at my direction.

“Still not ring a bell?”

“The song says ‘when you tell me that you love me’. Do you not remember when you said you love me five years ago?” I laughed “for the first time”.

“I do remember” he grinned as he stared me “you, me, Mark and the guys went fishing. It was a beautiful day. We made good catch that day. It was fun”.

Yes. On that historic day we all went fishing. It was a beautiful day indeed.

“I hate to see you with Mark” he laughed again “I was so jealous. It drove me crazy”.

Five years ago we went to that outing trip to thousand island. I could be among them because I went there as Mark’s girl friend. Mark is a british technician.

Few months earlier my ‘dear’ friend and I were introduced through a friend’s friend. Don’t imagine that we got together at the moment. We were not even closed. I was not interested on him. We were just like a bunch of friends from many countries who have same interests in clubbing, travelling, culinary and photography.

I dislike fishing but love to be at the sea. I can’t swim and worried about sea sick. But the thought that I’d go out with Mark and we would go swimming and snorkeling after the fishing made me enthusiast about the trip.

The sea was calm in the morning but the wave got bigger as it reached noon. It was when I felt a little dizzy.

So I went to the deck below to get something to get rid it. I really didn’t want to take medicine because it made me sleepy. Maybe the biscuit would help.

“Hey” someone followed me down there “here you are”

“Hi” I smiled with one hand still reaching for the biscuit in my backpack. Where did I put it?

“I want to say something” my ‘dear’ friend spoke rushedly “while we are here and he is not all over you”.

Who did he refer to when he said ‘he’? I stared at him with that question hanging in my mind.

“Ok” was my reply. Aha, I found that biscuit. Now my sea sick pills. Where are they? My hand reached in the backpack again.

“I fell deeply madly in love with you” he popped the words.

“Huh??” I was really taken by surprise that I couldn’t say a word.

Lol. 

“I didn’t know you were having sea sick at that time” he grinned as he hold me closer “you didn’t even look pale”.

I laughed “you really took me by surprise that my sea sick was gone at that very second”

We both laughed.

“I have heard guys said they loved me before but yours were the most unexpected one” I grinned.

“So I was the winner!” he rose his arms up and shouted.

“You’re so idiot”.

“An idiot who loves you so much” he laughed “who are still with you”

However, we didn’t get together instantly after that.

“I am with Mark” that was my answer to him after he said he fell deeply madly in love with me.

“I know. I can see that”.

“And you expect me to leave him?”

“Are you engaged to him?” he studied my fingers “I don’t see any ring”.

“What this has anything to do with engagement?”.

“It means I still have a chance to win you”.

Whoa! He is so mad, I thought.

“You are insane if you think I am going to break up with Mark so I could be with you”

But what do you know, Mark and I broke up several months later. Lol.

“I heard you and Mark broke up” was his opening line when we met few months later. I didn’t know how he found out about it as I didn’t tell anyone.

“Yeah, what did you do? Put a spell on us?” I replied, half joking, half upset.

“I still fell deeply madly in love with you” he wasn’t bothered by my answer “Why don’t you give yourself a chance to know me? That’s all I am asking”.

“Deal” I only said that because I thought it could get rid of him.

“I should never said deal” I smiled.

“I’m glad you said deal” he kissed me “if I were not that insane, we would never be together”.

Yeah, talk about persistence. Without being pushy. But if he didn’t take such attitude, we would never be together (we officially got together nearly a year after he said he loved me on that boat).

I think that is the character I seek from a man.