Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, June 28, 2012

Budaya / Culture

Belum lama ini seorang pendeta di gereja saya mengundang kami untuk datang ke rumahnya untuk menghadiri acara perayaan ulang tahunnya.

Diantara banyaknya orang berikut dengan makanan-minuman yang melimpah dirumah beliau, perhatian saya justru jatuh pada berbagai benda yang koleksi oleh si bapak pendeta itu. Semua menarik untuk dilihat tapi yang membuat saya menahan napas adalah pajangan wayang golek.


Saya tidak tahu kenapa tapi dari dulu saya suka sekali dengan wayang golek. Kalau ada siaran pertunjukan wayang golek di tv pasti betah saya tontoni. Sayangnya saya belum pernah menonton pertunjukan wayang secara live. Wayangnya saja saya tidak punya. Kasihan banget ga sih? Hehe. Jadi pantaslah kalau melihat saya seperti tidak mau beranjak dari depan wayang-wayang itu. Dengan hati-hati saya menyentuhnya.

Aduh pak, boleh ga wayangnya buat saya satu? Ya, berhubung tidak mungkin juga wayangnya saya bawa pulang maka yang bisa saya lakukan adalah… jepret… jepret… saya potret saja deh… sampai saya ditertawakan serombongan ibu-ibu yang ada disitu dan melihat ulah saya itu.

Mungkin pikir mereka apa-apaan si Keke motretin wayang golek? Hehe. Ya, mereka ga tahu aja sih. Pertama, saya hobi motret. Kedua, saya demen wayang golek. Nah, klop kan.

Saya adalah orang yang tumbuh tanpa latar belakang budaya apa pun.

Padahal di Indonesia ada 360 suku.

Ayah saya berdarah Cina dari ayahnya dan Sunda dari ibunya yang pribumi sementara ibu saya berdarah Manado. Tapi dirumah tidak pernah mereka berbahasa daerah. Mereka tidak pernah dengan sengaja menanamkan suatu budaya tertentu kepada saya. Itu sebabnya saya tidak bisa berbahasa Sunda, Cina dan Manado.

Sudah begitu saya lahir di kota Jakarta yang merupakan tempat multi budaya, multi ras dan multi bangsa. Jadilah saya semakin tidak merasa menjadi bagian dari budaya tertentu.

Tapi lucunya jejak-jejak darah Sunda ada dalam diri saya. Tanpa dipengaruhi oleh ayah saya, saya menyukai wayang golek dan makanan tanah pasundan serta telinga saya rasanya nyaman mendengar bahasa Sunda walau tidak mengerti sepatah kata pun....

Tahun 1998 kami pindah ke kota Bogor. Biarpun sangat dekat dengan Jakarta tapi kota ini sudah masuk bagian Jawa Barat. Jadi bisa dikatakan saya kembali ke akar budaya leluhur dari pihak almarhumah nenek yang orang Sunda.

Kalau gitu, setelah tinggal di Bogor selama 14 tahun apa saya bisa berbahasa Sunda? Wah, ga tuh! Hehe.
___________________________________________________

Not long ago I was invited by a pastor in my church to his place to attend his birthday party.

Amidst the people and beverages, my attention was caught mostly by the stuff he collects. But I never expected to find some wayang golek, Sundanese puppet.

I don’t know why I have always like wayang golek. I would watch its show everytime it was shown on tv but I haven’t seen it perform live. I don’t even have any of wayang golek at home. So I was pretty surprised to find them at the pastor’s house. I stared at them in adoration. I carefully touched them with the tip of my finger.

Could I take one home? Well yeah, surely not so I just took a long look at those wayang golek and then got an idea. Yep, I took picture of them. A bunch of ladies couldn’t help not to laugh at me when they saw this.

They must be wondering what on earth I was doing. First, I like photography. Second, I adore wayang golek. Good combination, right?

I grew up having no particular cultural background.

Indonesia has 360 ethnic group.

My dad’s father was a Chinese who married an Indonesian. She was a Sundanese. My mom came from Manadonese ethnicity. But when they raised me, they didn’t instill in me their ethnicity cultural background.

All this combine with the fact that I was born and raised in Jakarta, the capital city of Indonesia.The city of multi ethnic, multi culture and even multi nationalism.

Funny thing is, the trace of my Sundanese in me appear in the form of me liking their food, culture and also the language though I don’t understand one word of it.

We moved to Bogor in 1998. Though the town is so close with Jakarta but it is in West Java region which means I somehow return to the land of my Sundanese root.

So after living in this town for 14 years would it make me able to speak Sundanese language? Yeah.. right.. lol …

Thursday, June 21, 2012

Pelangi / Rainbow

Masih ingat lagu anak-anak berjudul ‘Pelangi’?


Pelangi pelangi, alangkah indahmu
Merah kuning hijau dilangit yang biru
Pelukismu agung, siapa gerangan?
Pelangi pelangi, ciptaan Tuhan

Saya senang memperhatikan orang-orang disekitar saya. Mengamati mereka. Mengingat perbuatan mereka. Semua itu bisa membuat saya tersenyum manis atau tersenyum pahit.

Sebagai guru, saya kerap memperhatikan murid-murid saya. Dan saya tidak pernah berhenti mengagumi karya Tuhan karena mereka adalah bukti bagaimana ajaibnya Tuhan menciptakan manusia. Dari satu titik yang demikian kecil menjadi mahluk hidup!

Saya mengagumi kemampuan yang Tuhan anugerahkan kepada manusia untuk berpikir, mengingat dan berkarya. Hal ini tampak sangat nyata pada diri anak-anak. Mereka bertumbuh dari bayi yang tidak bisa apa-apa sampai menjadi kanak-kanak yang bisa berjalan, berlari, menari, berenang, membaca, berhitung, mewarnai sampai menguasai bahasa asing maupun bahasa daerah.

Saya adalah seorang guru selama 7 tahun terakhir ini. Menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Tapi setiap kali saya merasakan kelelahan fisik maupun mental maka setiap kali itu pula terpandanglah oleh saya anak-anak itu dan mereka bagaikan pelangi yang muncul dilangit setelah turun hujan. Demikian indah membentang, bercerita tentang keajaiban, kebaikan dan besarnya cinta kasih Tuhan.

Segala keletihan fisik dan batin pun terlupakan, terhibur dengan kehadiran pelangi-pelangi kecil disekeliling saya.

Kemudian saya berhenti bekerja dari taman kanak-kanak itu dan saya segera menyadari saya kehilangan pelangi yang selalu menghiasi hari-hari saya.

Maksud saya, pernahkah kita memperhatikan orang dewasa dan dapat mengagumi karya Tuhan dalam diri mereka sama seperti pada waktu kita memperhatikan anak-anak?

Ya, mungkin saja bisa bila orang dewasa itu mengalami suatu keajaiban dalam kehidupan mereka seperti sembuh dari penyakit, selamat dari kejadian yang mengancam nyawa atau terlepas dari ketergantungan pada obat bius.

Hanya pada peristiwa-peristiwa semacam itu saja kita baru bisa melihat bagaimana besarnya karya Tuhan dalam diri mereka.

Tapi bisakah kita memperhatikan seorang dewasa dan mengagumi bagaimana luar biasa karya Tuhan dalam diri mereka bila tidak terjadi peristiwa ajaib apa pun dalam diri atau hidup mereka?

Biasanya sih, pada waktu kita melihat seseorang, kita akan berpikir tentang apa yang menempel pada tubuhnya, bagaimana fisiknya, nilai material yang ada pada dirinya atau pencapaian atau kegagalannya serta tentunya bagaimana dia memperlakukan atau menilai diri kita.

Tapi juga bukan berarti semua orang dewasa tidak mencerminkan keindahan karya Tuhan.

Jangan salah mengerti. Saya hanya mengatakan bahwa pada waktu saya memandang seorang kanak-kanak, saya bagaikan melihat pelangi yang demikian indah dan mengagumkan yang bercerita tentang keagungan karya Tuhan. Dan saya tidak mendapat kesan yang sama pada waktu saya memandang seorang dewasa.

Tanggal 1 Juli ini akan genap setahun saya bekerja di gereja dan belum lama ini saja saya menyadari bahwa saya dapat menatap seorang dewasa dan mengagumi karya Tuhan dalam dirinya walau tentu dalam bentuk yang berbeda dengan pada waktu saya menatap anak-anak.

Lalu apakah yang membuat saya bisa melihat karya dan kehadiran Tuhan dalam diri seorang dewasa?

Saya menemukan kerendahan-hati dalam diri beberapa orang dewasa yang ada ditempat ini. Mereka mempunyai berbagai hal yang bisa membuat mereka meninggikan diri tapi itu tidak mereka lakukan karena mereka menyadari bahwa semua yang ada pada diri mereka datang dari Tuhan dan itu bukan untuk membuat mereka menjadi lebih tinggi dari orang lain. Mereka tetap membumi, merunduk bagai bulir padi yang bernas, semakin penuh berisi, semakin merunduk.

Ditempat ini pula saya menemukan kasih dalam diri beberapa orang dewasa. Kita boleh mempunyai segalanya, berhasil dalam hidup dan berotak pintar tapi kalau dalam diri kita tidak ada rasa kasih kepada orang lain maka kita melakukan segala sesuatunya atas dasar ambisi, ego dan demi perhitungan untung rugi.

Saya melihat mereka. Mengamati mereka. Memperhatikan. Mereka adalah orang-orang yang tanpa saya sadari telah menjadi panutan saya karena melalui mereka, Tuhan mengajari saya tentang banyak sekali hal yang baik. Dan melalui segala hal itulah saya melihat keajaiban karya Tuhan dalam diri mereka.

Dan saya menemukan kembali pelangi itu.

Walau dalam bentuk yang berbeda tapi sama indahnya dan sama-sama bercerita tentang “Pelukismu agung, siapa gerangan? Pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan
_______________________________________________________

There’s an Indonesian children song with the title ‘Rainbow’. Below is my translantion of the song;

Rainbow oh rainbow, how beautiful you are
Red, yellow and green, in the blue sky
Great is your painter, can you tell who that is?
Rainbow oh rainbow, God is your creator

I like watching people. Studying them. Recalling the things they did and do bring happy and bitter smiles to my face.

As a teacher, I watch and study my students. And everytime I do that I can never stop adoring and amazed of God’s creation on them. The magnificent work of God that makes a very tiny dot turn into a living human.



I admire how God makes human with the ability to grow, learn and develop. How He equips human with memory and the ability to think. All of this is reflected clearly on children. From powerless babies, they grow into toddlers who can walk, run, dance, swim, read, do math, coloring and can even speak foreign language(s).

I’ve been a teacher in the past 7 years. I can tell you that it is not easy to be a teacher. But everytime I felt exhausted, physically and mentally, I saw my students and they were like rainbow that appears in the sky after the rain. Stretched beautifully, bore testimonial of the greatness of its Creator, of His love and kindness upon us all.

It cast away all of the exhaustment I felt because those little rainbows around me took it away and replace it with gladness.

But then I resigned from that kindergarten where I worked for 6 years. And I soon discovered that I had to live without those little rainbows.

I mean, can you look at adults and able to see the amazing work of God on them just as when you look at children?

Well, you probably could if the adult had amazing experience of how God healed him / her from terminal illness or being saved from life threatened accident or being fred from any kind of addiction.

Only through those kind of catasthrope do we able to see God’s greatness in adults. But do we able to see it when someone’s life doesn’t bear witness to God’s greatness?

Usually, when we see an adult, we think about what the person wears, what’s in the physical appearance, the material values in him / her, the achievement or failures he / she has got and how that person treats or values us.

It does not mean that all adult do not reflect God’s greatness.

Don’t give me wrong. All I’m trying to say is when I see the children, it is like seeing beautiful rainbow that bears witness to the greatness of God and I don’t get same impression when I see adults.

First of July will mark my first year working in this church and I just recently discovered that I actually can find God’s greatness in adults though in different form with the one I discovered in children.

So what makes me finally able to see it?

I see humbleness in the people in this church. They have all the reason to treat people like doormat but they don’t do that because they understand that everything they have in possession or have achieved are God’s blessings so they find no reason to degrading other people. They keep themselves humble, down to earth and low profile.

And in this same place I find people who have love and compassion in their heart. We migh have it all, had many achievements and probably have genius brain but if we don’t have love and compassion for others, we would be driving only by our ambition, egos and only seek what benefit us.

I see these people. I study them. I take a good look at them because God has given me many good lesson through them. And through all those things I discovered God’s greatness.

I know I’ve found my lost rainbow.

Yes, this rainbow is different but it is just as beautiful as the other rainbow that I find in children because as the song says "Great is your painter, can you tell who that is? Rainbow oh rainbow, God is your creator".

Sunday, June 17, 2012

Tetangga vs Tetangga (5) / Neighbor vs Neighbor (5)

Mana yang lebih enak? Tinggal di Bogor atau di Jakarta? Kadang ada yang bertanya seperti itu kepada saya setelah tahu kalau saya lahir dan besar di Jakarta untuk kemudian pindah ke Bogor pada tahun 1998.

Big city
Sebetulnya semakin sering kita bepergian atau berpindah-pindah tempat tinggal, semakin kaya pula pengalaman kita. Itu sebabnya dulu saya getol mencari kerja diluar kota. Saya tidak hanya ingin mengunjungi berbagai kota. Saya ingin tinggal diberbagai kota.

Sayangnya selama 8 tahun terakhir ini kaki saya seperti terantai di Bogor. Ga jelek-jelek banget sih tapi sekarang ini badan rasanya mulai gatal karena ingin mencari pengalaman baru di kota yang berbeda. Semakin jauh, semakin baik.

Di Jakarta dulu saya cenderung menganut pola hidup dan pola pikir ‘elu-elu, gue-gue’. Mandiri dan individualis. Lingkungan kota besar cenderung membentuk orang untuk punya kepribadian seperti itu.

Kemudian saya dan orang tua pindah ke Bogor. Kotanya lebih kecil. Lebih ramah. Lebih terbuka. Suasananya mendorong orang untuk tidak bisa lagi bersikap individualis. Bogor telah merubah kami.

Saya mencintai Jakarta tapi saya lebih mencintai Bogor.

Pekerjaan sempat memberi saya kesempatan untuk tinggal selama kira-kira 6 bulan di kota Indramayu. Memang bukan langsung dikotanya tapi perbedaannya sangat terasa. Kota itu lebih kecil dari Bogor.

Entah mengapa rasanya semakin kecil suatu kota, semakin enak untuk ditinggali.

Kota besar memiliki banyak pesona dan fasilitasnya lebih lengkap serta lebih banyak dibandingkan dengan kota kecil. Tapi rasanya kota kecil memiliki manusia-manusia yang lebih menyenangkan untuk diajak bersosialisasi.

Tentunya kita juga harus mengerti bahwa karena mereka tidak bersikap individualis maka mereka lebih spontan, serba ingin tahu, tidak ragu untuk menolong sehingga mungkin membuat kita sedikit terkaget-kaget karena tidak terbiasa. Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika tinggal diantara orang-orang seperti mereka.

Tetangga-tetangga saya di Bogor ini sebagian besar adalah orang pendatang. Ada yang dari Jakarta, Cirebon, Tasikmalaya, Medan dan Aceh. Ada yang dari kota besar. Ada yang dari kota kecil.

Tapi kami semua berkumpul di kota Bogor dan sepertinya sebagian besar bersikap ramah, terbuka dan saling membantu. Hal-hal yang tidak saya jumpai di Jakarta. Tapi bukan berarti ini pukul rata. Mungkin hanya mewakili lingkungan tempat saya tinggal dulu.

Kalau anda tinggal di Jakarta atau kota besar lainnya, mudah-mudahan saja tetangga-tetangga anda bukan tipe individualis. Mudah-mudahan juga diri anda sendiri juga bukan tipe individualis.
_______________________________________________

Which town do you prefer to live in? Bogor or Jakarta? Sometimes people ask me that question after they discovered that I was born and raised in Jakarta and moved to live in Bogor since 1998.

The more we move from one town to another, the more experience we can get. It is why there was time when I job hunt in different town. I didn’t want just to travel between towns. I wanted to stay in various towns.

But somehow it seems my feet are chained to live in Bogor in the past 8 years. It isn’t that bad. But I have been feeling restless lately as that long time desire to live in different town has return to me. I want to live far away from home.

My ‘mind your own business’ way of life and thinking was pretty much the typical of  most big city inhabitants. It forms us to be individualistic.

My parents and I moved to Bogor. The town is smaller and the people are friendlier and warmer. You can’t stay individualistic in such environment. Bogor has changed us.

I love Jakarta but I love Bogor more.

Work has once given me the chance to live in Indramayu. The town is smaller than Bogor. I don’t know what does small town have but it seems the smaller a town is, the nicer it is.

Indramayu
Big town has lots of charms and public facilities than small towns but it seems small towns have nicer, warmer and friendlier inhabitants.

But if you’re used to live in big town, you need to understand that small towns inhabitants are less individualistic, making them spontaneous people, want to know other people’s business and willing to lend a hand at your call. I know it took sometime for me to get used to such attitude.

My neighbors in Bogor are mostly come from different towns. Jakarta, Cirebon, Tasikmalaya, Medan and Aceh. Some came from big home town or small town but in Bogor we don’t apply individualistic attitude. The thing that I didn’t find in my neighborhood when we lived in Jakarta.

Well, not all people in big town are individualistic but they did in my former neighborhood.

If you happen to live in Jakarta or in other big town, I hope your neighbors are not individualistic people. Let’s hope you yourself are not an individualist.

Friday, June 15, 2012

Tetangga vs Tetangga (4) / Neighbor vs Neighbor (4)

“Kalau dia bisa, aku juga pasti bisa”

Prinsip diatas kalau diterapkan dalam bentuk positif dapat memberikan semangat pada seseorang.

Sayangnya bentuk lain dari prinsip diatas sering kita temui didalam hidup bertetangga.

Jakarta dan Bogor.

Jakarta
Kota boleh beda tapi ternyata ada aja tipe tetangga yang berpikiran bahwa kalau yang seorang bisa membangun rumahnya maka dia pasti bisa (baca : harus) membangun rumahnya juga.

Dulu di Jakarta ada seorang tetangga yang tidak bisa melihat tetangganya memperbaiki,  membangun atau mengecat rumah tanpa kemudian ikut pula melakukan perbaikan, pembangunan atau apa sajalah pada rumahnya. 

Pindah ke Bogor, eh, ketemu lagi dengan model tetangga seperti itu.

Tapi bersyukurlah saya karena jumlahnya tidak banyak dan tidak pula sampai mengarah pada persaingan yang tidak sehat.

Orang sering membanding-bandingkan kita atau dirinya sendiri dengan orang lain. Kalau itu untuk menimbulkan semangat, mendorong untuk berusaha atau untuk berempati maka pembandingan itu tentunya bertujuan baik.

Tapi bila tidak, maka yang muncul dalam hati dan kemudian dalam perbuatan adalah rasa iri, rasa tidak suka melihat orang lain lebih berhasil, lebih tajir, lebih, lebih dan lebih dalam hal-hal yang kita lihat kurang dalam diri sendiri.

Padahal kehidupan sebetulnya mengajarkan kita untuk bisa menerima dan mensyukuri segala hal, entah itu baik atau tidak, lebih atau kurang. Dengan cara demikian kita belajar untuk bersabar, rendah hati, tapi tidak rendah diri, bisa berempati pada sesama dan mengerti bahwa Tuhan menciptakan kelebihan seseorang untuk menutupi kelemahan orang lain.
______________________________________________

“I can do that too”

The above sentence can work to boost up one’s confident. That’s from the positive side. But not always came from positive perspective. 

Jakarta and Bogor.

Bogor
Two different town but people are just a like. While in Jakarta I had a neighbor who could not stand to see another neighbor fixing, renovating or just painting his / her house without would do the same to his house.

So I was pretty much surprised when I found the same type of people here in Bogor. I am just glad that their numbers are a few. And this kind of rivalry does not go further.

People like to compare us or themselves with others. Sometimes it is to make us feel determine to do more, to make higher achievement, to not give up. So it’s all for good purpose.

But it could make us feel that others have all the good things and this making us feel envious and jealous. Some of us became so obsessive by those feelings that it drives them to prove that they can have better home, higher position, bigger income, richer, so on and so on than their neighbors.

We oftenly miss the point. Life has actually teach us to accept one another. That we are created imperfect so we need each other to help, love and support.. With all this, God teaches us to be patient, to have humble heart, not to feel inferior and can have empathy for others.

We are completing one another.

Wednesday, June 13, 2012

Tetangga vs Tetangga (3) / Neighbor vs Neighbor (3)

Anda pasti setuju bahwa mencari musuh lebih mudah dari pada memiliki hubungan baik dengan setiap orang yang kita temui karena tanpa angin dan hujan kita bisa mendapati diri kita menjadi sasaran ketidaksukaan orang lain atau sebaliknya dengan segala alasan masuk akal atau tidak, diri kita-lah yang mengambil sikap tidak simpatik terhadap orang.

Jadi memang membenci lebih mudah dilakukan dari pada mengasihi.

Lalu apa yang terjadi ketika kita mampu memiliki hubungan baik dengan orang lain? Saya akan mengatakan bahwa saya akan menjaga hubungan baik itu, saya menghargainya, saya menyukainya dan mensyukurinya.

Tapi belum tentu pula hubungan baik itu memberikan pengaruh yang baik kepada diri kita atau kepada hubungan kita dengan orang lain.

Ibu saya pernah bercerita bagaimana mantan rekan kerjanya pernah mengatainya ‘ular berkepala dua’ karena ibu saya tetap berteman baik dengan orang yang kebetulan tidak disukai (baca: dimusuhi) oleh rekan kerjanya itu.

“Kamu pikir saya harus menganggap teman kepada orang yang kamu anggap teman dan memusuhi setiap orang yang kamu musuhi?” labrak ibu saya kepada rekan kerjanya itu.

Prinsip ibu saya itu menurun kepada saya. Dalam perjalanan hidup saya, tidak terhindarkan untuk tidak sebal atau bentrok dengan orang lain. Tapi saya selalu menjaga bahwa saya tidak akan menyeret-nyeret orang lain untuk memusuhi orang yang saya musuhi. Itu urusan saya. Itu adalah antara saya dengan ybs.

Jadi jangan heran kalau melihat saya bisa bersikap antipati terhadap seseorang tapi tetap berhubungan baik dengan anak, kerabat atau teman dari orang tsb.

Namun banyak kali orang tidak bertindak dan berprinsip seperti itu. Naluri manusia adalah mencari dukungan orang lain terhadap dirinya, tindakannya, kelakuannya.

'Musuhku adalah musuhmu, temanku adalah temanmu’ adalah prinsip yang dianut oleh  orang-orang seperti ini.

Kalau anda mengikuti tulisan-tulisan saya di blog ini maka anda akan tahu bagaimana segala kelakuan dan sifat dari kepsek di taman kanak-kanak tempat saya bekerja dulu. Beliau bukanlah orang yang jahat tapi hal-hal dalam alam pikiran dan kepribadiannya membuatnya mendukakan hati orang-orang yang terdekat dengannya yaitu kami-kami yang bekerja dengannya.

Namun bagaikan dua sisi mata uang, tidaklah demikian dirinya terhadap tetangga-tetangganya. Bagi mereka, beliau pastilah sosok yang baik sampai seorang tetangga yang rumahnya persis didepan taman kanak-kanak bersikap sangat mendukung dan sangat setia kepadanya hinggakan menyediakan diri (entah diminta atau tidak) untuk diam-diam mengawasi saya, wali kelas TK B, Evelyn, Yohana dan teteh.

Evelyn & Keke
Pada awalnya kami tidak mengetahuinya. Bahkan tidak pernah sampai terpikir. Sampai akhirnya pada suatu hari kepsek menegur kami dengan mengatakan bahwa disiang hari saat kami sedang bercanda-canda disekolah, beliau jatuh di stasiun kereta api sampai kakinya keseleo.

Dan entah ide gila dari mana yang masuk ke kepala kepsek sehingga beliau mengatakan bahwa musibah itu terjadi gara-gara kami bercekakakan tidak karuan disekolah pada siang hari itu.

Nah lu!

Tapi sejak itu pula kami tahu kami dimata-matai karena tidak seorang pun dari kami yang akan pernah bercerita kepada beliau bagaimana kami bisa sebebas-bebasnya bersukacita setiap kali beliau tidak berada disekolah.

Sejak itu pula setiap kali kepsek tidak ada disekolah, kami menjaga sikap supaya jangan terdengar terlalu rame. Kami tertawa dan bercanda sembunyi-sembunyi. Walaupun sebetulnya ada urusan apa kok kami tidak boleh tertawa dan bercanda. Itu toh kami lakukan sebebas-bebasnya setelah jam sekolah usai dan masing-masing kami berada didalam kelas sembari memeriksa pekerjaan murid-murid atau mempersiapkan materi untuk mengajar besok, sementara teteh juga sibuk dengan tugas bersih-bersih.

Kalau tiba-tiba tetangga depan itu bertandang maka segala pembicaraan yang bersifat sensitif segera dihentikan. Tidak ada lagi yang bercanda. Semua berlagak sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Sejak itu pula rasa antipati dan curiga muncul dihati kami terhadap tetangga depan itu.

Dan kami menciptakan kode. Bila salah seorang dari kami  melihatnya masuk ke sekolah atau berdiri didepan gerbang sekolah maka dia harus segera memperingatkan yang lainnya dengan berkata “CCTV”, merujuk pada sebutan untuk kamera pengawas, sehingga kami yang berada didalam ruang kelas mengetahui akan kehadiran tetangga ini.

Saya ingat bagaimana saya pernah lari terbirit-birit kembali ke kelas saya melalui celah kecil yang menghubungkan kelas saya dengan kelas TK B. Buru-buru duduk. Menaruh tumpukan buku murid-murid saya dimeja saya dan pura-pura sedang memeriksanya. Evelyn yang ada didalam ruangan itu sampai terbatuk-batuk menahan tawa melihat kelakuan saya. Dan setelah ‘CCTV’ pergi barulah kami semua tertawa mengingat kehebohan yang terjadi beberapa menit lalu.

teteh & wali kelas TK B. Celah dibelakang wali kelas TK B
menghubungkan kelas A & B / The passage behind the lady in
the right of this photo connects the two classrooms
Bukankah patut disayangkan bila kesetiaan kita pada seseorang bisa merusak hubungan baik kita dengan orang lain?
____________________________________________________________


I’d say it is easier to find enemy than to make friends. Evidence shows that we could find ourselves as the object of hate or it is us who show hostile attitude toward people.

So it is easy to hate than to love people, right?

What happens when we can have good relationship with people? I’d say I appreciate it, treasure it, keep it, be glad for it and thankfull.

But good relationship sometimes don’t give good impact on our relationship with other people.

My mom once told me about one of her colleague who spoke of her as a ‘two heads snake’ because my mom kept her good relationship with the person whom this colleague dislike.

“Do you think I must make friends only with those who you’re friended with and get rid all the people whom you dislike?” yelled my mom at her colleague.

My mom’s principle is instilled in me.

Yes, it is almost impossible not to dislike people but I when I do have it, I keep that feeling only toward the person and do not apply it  to his or her family, relatives or friends. And I certainly won’t drag people to like the people I like and hate the ones I dislike.

Not everybody has that kind of principle of course. It is our nature to find people support us. We need people’s support, justification and approval for our behavior or thoughts.

“Your enemy is my enemy. Your friend is my friend” therefore has become most people’s principle.

If you have read my blog from the start then you know how headmaster of the kindergarten where I worked behaved and how her personality is like. Don’t give me wrong. She is not a complete ass. But the things in her characters hurt people who happen to be in her close circle which were us who work with her everyday.

But she is like the two sides in a coin. Because the side she shows toward her neighbors are pretty much contrast with the one she shows us. For the neighbors she must be impressively wonderful person judging from one of them who spied on us (we don’t know if she did it willingly or under request from headmaster).

This lady’s house is facing the kindergarten but we didn’t know that she spied on us. Until one day headmaster fell off and sprained her ankle on the train station. I still don’t know what got into her mind when she said the accident happened at the same time when we were laughing loudly and merrily in school.

Yohana, Evelyn, another teacher, myself and the cleaning lady looked at each other with puzzleness on our faces. We would never tell headmaster about what we did in school when she wasn’t there. And we knew none of us would betray this code of silence.

Yohana with our other colleague
 So how did she know?

That was how we discovered that we were being spied by the lady whose house is facing the kindergarten. We never had the slightest idea that she would have done such thing.

But from that day on, we agreed to be on guard.

When we joke around, we carefully kept our laughs down. Though we think it is absurd for us to do that because we did all the laughing inside the kindergarten, in the classroom to be precise. And we did that after school hour, as we were checking our students papers or preparing for tomorrow’s teaching material. The cleaning lady herself was doing her part of the job; cleaned the classrooms and the yard.

So when the spying lady came, we would stop joking and talking, pretended that we were busy.

From that moment we felt the sentiment and suspicion toward her.

And we came up with a code ‘CCTV’. When one of us saw her near or entered kindergarten, warning wishper of ‘CCTV’ soon be heard.

I remember how I frantically ran back to my classroom when I heard that wishper. I wasn’t in my classroom. I was talking and joking with other teacher in her classroom when we heard that wishper.

I slipped myself through the tiny passage that connects our classrooms and nearly tripped myself as I sat in my seat, put my students books on the desk and pretended I was busy looking through those books.

Evelyn who was in the room, coughed as she tried to hold her laughs after seeing the whole thing.

Only after ‘CCTV’ left that we could laugh it out. Quietly, of course.

But isn’t it a pity when our loyalty toward somebody has ruined our good relationship with other people..

Saturday, June 9, 2012

Tetangga vs Tetangga (2) / Neighbor vs Neighbor (2)

Dibagian pertama saya sudah cerita soal segala macam tetangga kami waktu saya dan orang tua saya masih tinggal di Jakarta dari tahun 1975 – 1998.

Yah, yang namanya perbedaan itu pasti selalu ada karena kita masing-masing datang dari latar belakang budaya, agama, pendidikan, strata sosial yang berbeda yang membentuk kepribadian, kebiasaan, prilaku, pola hidup dan cara berpikir yang berbeda satu dengan lainnya.

Perbedaan-perbedaan itulah yang bisa menciptakan konflik entah disengaja atau tidak. Tapi sebetulnya kalau kita bisa saling mengerti, menerima dan bersabar, konflik bisa dihindari atau dampak kerusakannya bisa diminimalkan.

Cuma perkaranya adalah manusia itu punya pikiran bahwa :
1. saya benar dan kamu salah
2. saya boleh menuntut / protes, kamu tidak boleh
3. saya bisa berbuat salah, kamu tidak boleh berbuat salah
4. kamu harus bisa mengerti saya tapi saya tidak mau  mengerti tentang diri kamu
5. kamu harus bertoleransi ke saya tapi saya tidak mau bertoleransi kepada kamu

Repot kan kalau pola pikir kayak gitu yang kita terapkan dalam hidup keseharian.

Pemikiran ini muncul dibenak saya ketika suatu pagi belum lama berselang ini saya bertemu dengan seorang ibu yang adalah tetangga saya. Kebetulan kami naik diangkot yang sama tapi dia duduk dibelakang sopir sementara saya mendapat tempat tersisa dipojok belakang maka saya enggan mengobrol. Jadi saya hanya ber-hai saja ke dia lalu duduk diam.

Karena itu saya kaget sewaktu tiba-tiba dia memulai suatu pembicaraan setengah curhat maksa yang berjalan hampir lebih dari setengah perjalanan saya.

“Eh, gimana tuh tetangga sebelahmu itu?” dan dia nyerocos terus dengan suara keras untuk mengatasi kebisingan mesin mobil tanpa menyadari keresahan saya yang merasa angkot bukanlah tempat yang tepat untuk membicarakan hal-hal seperti itu.

“Aduh, betul-betul ga level, bo. Suaranya itu ga pake kira-kira. Kalo lagi nelpon apalagi, bisa orang sekampung dengar semua. Kira-kira menurutmu pantas ga kayak gitu? Apalagi kalau manggil tetangga depanmu itu atau manggil anaknya” katanya lalu menirukan gaya tetangga kami itu.

“Suaranya memang volumenya tidak bisa pelan” jawab saya akhirnya “ya memang orangnya sudah demikian. Kita harus bisa ngerti. Kalau memang merasa terganggu banget, ya ngomonglah baik-baik ke dia”

“Iya. Tapi kalau orangnya bisa ngerti. Bisa terima. Kalau ga?”

Disini saya mulai kesal. Bagi saya, apa intinya kalau kita cuma berputar-putar pada suatu masalah kalau kita tidak hendak mencari jalan keluarnya atau mengambil hikmahnya.

“Ya, suami saya bilang kita jadikan pelajaran aja” katanya akhirnya.

“Betul” saya mendukung.

Dia tertawa sumbang “pelajaran apa?”

“Belajar bersabar”

Dia tertawa sambil turun dari angkot. Tawanya seakan hendak mengatakan ‘bersabar apa?’.

Berhari-hari setelahnya hal ini tetap berada dalam pikiran saya. Tetangga kami yang dikeluh-kesahkan oleh ibu ini memang terkenal sebagai perempuan muda yang volume suaranya diatas rata-rata. Sampai dijuluki ‘lebay’ oleh tetangga kami yang lain.

Perkara terganggu dengan suaranya? Wah, saya berapa kali harus tidur siang dengan menekan selimut atau bantal menutupi telinga atau saya jadi terbangun karena suaranya itu.

Apakah saya terganggu karenanya? Pastilah. Tapi apakah saya sampai sedemikian anti kepadanya? Tidak.

Perempuan muda bersuara lantang ini adalah seorang yang ceria, spontan, lucu, ramah dan tidak pernah ragu untuk menolong siapa saja.

Pada waktu ayah saya harus dioperasi prostat, dia yang mengantar orang tua saya ke rumah sakit. Dia yang ber-repot ria menemani, yang mengangkati tas, yang membantu mendaftar dibagian pendaftaran karena pada waktu itu saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Saya baru beberapa minggu bekerja di gereja dan catatan saya bisa buruk kalau saya sudah minta ijin tidak masuk atau pulang cepat. Saya tidak punya saudara yang bisa menggantikan saya. Jadi kemana lagi kami minta tolong?

Bersyukurlah kami bahwa di Bogor ini kami punya tetangga yang baik.

Tapi apakah rasa hutang budi yang membuat saya mudah untuk mentolerir volume suaranya yang diatas rata-rata itu? Tentu tidak. Sifat-sifat baiknya-lah yang membuat kami bisa mentoleransi kelemahan dan kekurangannya. Dan itu juga dilakukan oleh tetangga-tetangga lainnya terhadap dia.

Lalu bagaimana dengan ibu yang berkeluh-kesah itu? Ketika dia sedang mengoceh panjang lebar tentang tetangga kami itu, yang muncul dipikiran saya adalah apakah dia lupa bagaimana dulu anjingnya menyiksa telinga kami semua.

Dia dan keluarganya memelihara anjing yang terus menerus dirantai. Akibatnya anjing yang awalnya waras menjadi miring. Semua digonggongi tanpa melihat lagi apa tetangga atau orang asing, bahkan majikannya sendiri. Ada orang lewat atau tidak, menggonggong terus. Dan itu tidak pandang waktu.

Pada waktu itu saya sudah bicara terang-terangan kepada dia bahwa anjingnya tersiksa. Bahwa itu bukan cara memelihara anjing yang benar. Lebih baik anjing itu dilepas. Dan bahwa suara gonggongan anjing itu mengganggu orang. Tapi tidak ada yang didengar.

Jadi ketika dia mengeluh tentang volume suara tetangga kami, saya bertanya-tanya dalam hati, sudah lupakah dia seperti apa kebisingan yang diciptakan oleh anjingnya selama kira-kira 2 tahun itu?

Sekalipun yang dikatakan ibu ini tentang tetangga kami itu ada benarnya tapi simpati saya tidak jatuh pada dirinya. Kalau disuruh memihak, saya akan memihak kepada tetangga dengan volume suara diatas rata-rata itu karena orangnya jauh lebih menyenangkan dari ibu yang berkeluh-kesah ini tapi tidak mau berinstropeksi terhadap diri sendiri.

Dalam kenyataannya pun tetangga kami yang bervolume suara keras itu lebih bisa bergaul dengan saya dan tetangga lainnya. Tidak demikian halnya dengan ibu yang berkeluh-kesah itu.

Tidak seorang pun terlahir sempurna. Tapi pada akhirnya terbukti bahwa kebaikan yang ada dalam diri seseorang menutupi kelemahan dan kekurangan yang dia miliki.

_______________________________________



In the part one of this topic I wrote about the neighbors we had in Jakarta in between 1975 to 1998.

Differences are unavoidable due to the diversities in educational, cultural, religion,  background that formed way of life, habits, perspective and characters of every living individual.

And these differences can create conflicts. If we can accept, understand and be patient toward each other, these conflicts can be avoid or at least minimize the damage.

But we have this way of thinking that :
1.  I’m right and you’re wrong
2.  I can make demands / protest, you can’t
3.  It’s ok for me to make mistakes, but it’s not for you
4.  You have to understand me but I don’t want to  understand you
5.  You must show tolerance upon me but I give you no tolerance

Can you see how damaging it is if we apply such way of think on our life?

I thought about this after I met this lady who happens to be our neighbor on my way to work. We met in the car that used as public transportation. She sat behind the driver while I sat in the back. It is why I didn’t gain her in any conversation after I greeted her when I got in it.


I was surprised when all of sudden she spoke to me with quite loud voice to overcome the noise from the car’s engine “what do you think of that neighbor of yours?”, unaware to my discomfort over her voice that made other passengers could hear everything she said to me.

“She’s really a grass level person” this lady continued “would you not notice the volume of her voice when she speaks or when she calls out for her son or to other neighbor?” and she imitated how this high pit voice neighbor speaks or calls out “would you think it is the proper way of speaking?”

“Some people do have high pit voice” I grew uneasy “so she speaks like that. We have to understand and accept that it is the way she is. If we find it so untolerable, we better tell her wisely so she knows other people find it annoying”

“How if she couldn’t accept it?”

This starts to agitate me because I’m the kind of person who dislike talking in circle over something with no intention to find solution or to get lesson out of it.

“My husband said just take it as a lesson” she said.

“Yes, it is”

She laughed in sarcasm “what lesson?”

“Patience”

She laughed as she got off the car. Her laugh sounds like a question ‘what patience?’

For days it stuck in my mind. The neighbor whom she complained about is a young woman who’s married and has a son. She lives next to my house, which is facing that lady’s house. And she can’t speak in soft low voice.

Does her voice volume annoy me? Yes, of course. I had to put my thick folded blanket or a pillow on my ear when I take a nap and she happens to chat in her terrace. Other time it woke me up from my sleep.

But does it make me dislike her? Absolutely not.

mom & dad
This young woman is an outgoing, friendly, funny, spontaneous and helpful person. It was her who lend a hand when my dad had to have prostate surgery. She accompanied my parents to the hospital, carried the bags, helped with the registration forms and did many other things that I should have done but couldn’t because I was just started a new job at the church and it would go bad on my record if I had to skip or left early from work.

I had no siblings. There were no relatives near by that could help us either so where else did we go than to our neighbors?

And I am grateful to have good neighbor in the place where we live here in Bogor.

But is it the feeling of indebted to her that makes it easier for me to tolerate the volume of her voice? No. Her positive characters overcome her weaknesses. It is also what other neighbors may have think of her because we just accept her the way she is.

How about the lady who complained about her voice volume? Well the truth is during the time she complained about that young woman, I couldn’t stop think about how her dogs barking had torchured us all who live near her.

She and her family had dogs that they chained all the time. The dogs ended up going insane. They barked at everyone whether it was a stranger, neighbor or even at their own masters. And they barked so loud almost all the time.

I spoke to her about the attitude of the dogs, how they didn’t treat them right, how it tortured the dogs to be chained all the time. But my words fell on deaf ears.

So I thought how could she complain about the noise from that young woman’s voice when her dogs had created a whole lot worst noise for 2 years!

The lady probably is right about the young woman but if I’m asked to take side, I will definitely take the young woman’s side because she is a better person than that lady who clearly didn’t make self-instropection before she made complain toward other people.

The young woman makes friends with her neighbors. The lady doesn’t.

So nobody is perfect but at the end it is proven that positive sides in someone can overcome her / his weaknesses.

Wednesday, June 6, 2012

Tetangga vs Tetangga (1) / Neighbor vs Neighbor (1)

Hidup bertetangga itu gampang-gampang susah. Padahal kalo dipikir-pikir tetangga kan tidak tinggal serumah tapi kok ya masih bisa nemu bahan buat berselisih atau malah bertengkar. Seperti yang saya jumpai belum lama ini yang terjadi antara tetangga saya. Lalu ada pula pengalaman panjang saya seputar per’tetangga’an yang bikin saya berpikir-pikir tentang topik ini.

Saya lahir dan besar di Jakarta. Tahun 1998 barulah kami pindah ke Bogor. Beda kota, beda lingkungan tempat tinggal, manusianya berbeda tapi ternyata konflik tetap saja ada diantara yang namanya tetangga.

Yah, masih mending yang di Bogor dari pada yang di Jakarta. Disana rumah kami jaraknya hanya kira-kira 5 langkah dengan rumah tetangga depan. Belum lagi sebagian besar dari mereka datang dari lapisan masyarakat menengah ke bawah.

Itu yang membuat kelakuan mereka sering kami anggap ‘ajaib’. Contohnya dari tahun 1975 sampai 1998 hubungan kami dengan tetangga depan itu bagai madu dan racun. Bisa tiba-tiba tanpa angin dan hujan, mereka tidak mau menegur kami.

Kebiasaan mereka adalah nongkrong didepan rumah atau disepanjang jalan kecil yang memisahkan rumah-rumah setiap sore. Bercengkrama, menyuapi anak, mencari kutu, bergosip, bergenit-genit dengan lawan jenis. Waduh. Suasananya sudah mirip pasar malam saking ramenya.

Kalau sudah bercengkrama begitu sampai anak yang kebelet pipis pun disuruh saja pipis dicomberan, ditiang listrik atau ya embat sajalah ditembok rumah tetangga.

Nah, kalau itu sudah bisa bikin anda geleng-geleng kepala, ah, belum seberapa. Ada seorang tetangga yang anaknya sepertinya selalu buang air besar dimana-mana. Dan karena ibunya terlalu asyik bercengkrama maka seringkali anak itu sudah main jongkok aja dan buang hajat ditanah dijalan itu.

Itu sebabnya kalau kami keluar rumah maka kami harus memperhatikan dengan seksama jalan yang akan kami pijak supaya jangan terpijak ‘ranjau’ dalam bentuk ludah, dahak, kotoran ayam sampai manusia. Hehe. Gitu-gitu, 23 tahun lho kami tinggal dilingkungan seperti itu. Bukan karena betah tapi karena rumah baru laku terjual pada tahun 1998.

Tetangga kami yang lain, beda lagi kelakuannya. Setiap malam bercengkrama dengan anak-anak muda. Ditraktirnya makanan, minuman dan rokok. Lalu mengobrol, bercanda, tertawa cekakakan seakan itu jam 8 pagi.

Perkaranya adalah tetangga yang satu ini sudah bersuami dan punya 2 anak. Tapi setiap malam dia bercengkrama dengan pemuda-pemuda dilingkungan itu. Kebiasaan ini berlangsung bertahun-tahun tanpa ada yang bisa menghentikan.

Ketika kami baru pindah ke sini pada tahun 1975, lingkungannya tidak demikian. Lebih banyak yang merupakan orang kantoran dan dari latar belakang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi semakin lama mereka tergusur oleh kalangan menengah bawah yang tampaknya beranak-pinak lebih cepat daripada kalangan menengah ke atas. Jadi segera saja lingkungan itu dipadati oleh kalangan mereka.

Dulu itu sampai saya ogah membawa teman ke rumah. Bukan karena rumah kami yang kecil atau karena ada di gang tapi karena lingkungannya. Kalaupun ada teman yang bertandang ke rumah maka saya menyarankannya atau membawanya pada jam-jam yang saya tahu sedang sepi.

Itu juga sebentar saja bisa mengundang kepala-kepala bermunculan. Anak-anak kecil mengintip lewat sela-sela pintu pagar. Emak-emak yang merupakan orang dewasa saja mencuri-curi pandang sementara berpura-pura ngumpul sambil menyuapi anak atau bercengkrama.

Alamak. Betul-betul tidak ada privacy.

Saking kesalnya karena rumah kami kok tidak laku-laku juga membuat saya sampai membuat ultimatum pada Tuhan “kalo Tuhan ga keluarin kami dari tempat ini, saya ga akan mau nikah”. Karena dengan kondisi yang saya jabarkan diatas itu manalah enak membawa pacar ke rumah? Masa ya pacaran sambil diintip oleh sekian banyak mata tetangga? Bisa-bisa dikira bukan pacaran tapi adegan sinetron satu babak.

Tahun 1998 rumah kami akhirnya laku terjual juga. Setelah survey ke berbagai kompleks perumahan, kompleks perumahan Ciomas Permai di Bogor menjadi pilihan terakhir.

Mengingat pengalaman tinggal di Jakarta membuat kami memilih blok yang ukuran rumah-rumahnya lebih besar sehingga tidak rumah yang saling berhadapan tidak dipisahkan oleh jarak yang hanya 5 langkah. Selain itu halaman ditiap rumah juga lebih besar sehingga otomatis kami tidak perlu merasa terganggu dengan orang yang lalu lalang dijalan atau kehilangan privasi.

Ciomas Permai, Bogor - 2011
 Tetangga-tetangga kami jelas lebih baik daripada yang ada di Jakarta. Yang pasti tidak ada lagi yang ngerumpi dengan anak muda dijalanan sampai jauh malam, tidak ada sekumpulan emak-emak ngumpul didepan rumah, tidak harus pasang mata kalau berjalan melewati jalanan didepan rumah karena takut menginjak ‘ranjau’ karena memang tidak ada yang menebar ‘ranjau’ dijalan dan kalaupun ada, jalanannya lebih lebar sehingga masih tersedia jalur-jalur yang aman.

Tapi apa terjalin hubungan ‘damai dibumi’ diantara para tetangga dilingkungan tempat tinggal kami ini? Baca deh dibagian berikut dari seri ‘Tetangga vs Tetangga’ ini.
_______________________________________________________

Neighbors don’t live under the same roof but somehow we and them able to pick any cause for arguments or even fights. It is why I say we all have love-hate relationship with our neighbors and the topic steals my attention.

I was born and raised in Jakarta, the capital city of Indonesia. We moved to Bogor in 1998. The town and neighborhood could be different but people still manage to create conflicts.

We live in a so much better neighborhood of course. Back then in Jakarta, the distance between our front neighbor’s gate is just 5 steps away. Not to mention that most of them came from lower level of education.

Their behavior therefore was quite ‘erradic’ in our perspective. For example our front neighbor could suddenly turn cold or hostile toward us without any reason.

The ladies had habits to gather outside their houses, on the street, chatted, joked around, gossiped, while some of the mothers fed or breastfed their kids. Sometimes they didn’t bother to take their kids home when the kids needed to go to the bathroom. So the street infront of the houses in our neighborhood had also served as public restroom meaning the kids peed and sometimes also pooped there.

Unbelievable? Believe it.

Everytime we passed that street we had to watch where we stepped so we wouldn’t step on some ‘mines’ of well, you know what I mean.

Another neighbor, a lady with a husband and 2 kids, would hung out with young men after dark on that same street. They had their own gathering and it went for years without anyone able to stop it.

And we lived in that kind of neighborhood from 1975 to 1998! Not because we loved it but because it took years before the house was finally sold.

It wasn’t a bad environment when we moved there. It used to be occupied by well educated working people but years passed and they moved. Their houses were bought by people who came from lower level of society who seemed to multiply so fast because they, their kids and their grandchildren took over the neighborhood in just a little of time.

There was time when I never brought my friends to my house. Let alone the guys I dated. It was because too much of prying eyes. I myself amazed to see how fast they gathered outside their houses, pretending to chat but actually peeped at our guests.

Tell me about privacy..

I was so upset with the fact that it took many years before our house finally sold that I once set an ultimatum in my prayer where I said to God that I would never get married if we still live in that neighborhood.

Ciomas Permai housing complex in Bogor has became our final choice after made long surveys.

Our experience living in that kind of neighborhood in Jakarta made us picked bigger house because it has wider yard. The street dividing the houses are also wider. Therefore we wouldn’t feel like we had no privacy nor be bothered by the passers by.

My house in Bogor
 No more ladies gather in the street, feeding their kids, no worries about stepping on any disgusting ‘mines’ on the street. No more happy hour after dark on the street.

But wait, would it make heaven on earth? Would that nice environment makes our neighbors have angelic relationship with one another? I tell you more about it in the next part of this ‘Neighbor vs Neighbor’ epic.